Sunday 26 July 2015

Shngeki No Kyojin : Chapter 9 [Bunga Liar / Wild Flower]

BY Unknown IN No comments



Shingeki No Kyojin Special : Levi’s  Romantic Love Story
“Wild Flower”

Cast     : Levi Ackerman x Rhein Forester
Genre  : Romance, Action, Mature
Type    : Attack On Titan Fanfiction


Chapter 9
You're Mine Stupid Brat

          Rhein mengakhiri pekerjaannya didalam kantor Rivaille dengan tubuh terasa seperti habis dipukuli banyak orang. Ia telah melewatkan makan malamnya dan telah beberapa kali membuat teh agar membuatnya terus terjaga hingga larut malam, namun sialnya ia hanya bisa menyelesaikan sepertiga bagian dari semua tumpukan kertas yang tingginya hampir mencapai satu meter itu.

Ia tahu tubuhnya sudah tidak bisa menerima teh lagi, seharusnya ia mendapat waktu tidur yang cukup bahkan lebih agar otaknya bisa beristirahat ketika ia melakukan tugas sesungguhnya, ia sudah merasa tak sanggup lagi dan akhirnya terkulai lemas di mejanya. Sebenarnya Rivaille juga membuatnya merasa sedikit kesal, setelah memberinya semua tugas harian ini Rivaille tidak juga muncul di depan batang hidungnya hal itu membuatnya merasa frustasi. Sungguh pekerjaan yang sangat menyebalkan dan saat ini ia benar-benar ingin protes pada lelaki itu namun meja itu justru membutnya merasa lebih nyaman.

Rivaille membuka pintu ruang kerjanya dengan perlahan, ia tak ingin membangunkan gadis itu. Terdengar bunyi terjatuh di dekat meja dan ia berjalan perlahan mendekati tubuh Rhein menatap asal suara dari bunyi barusan, ia bisa melihat alat tulis Rhein bergerak-gerak pelan dilantai. Perlahan ia memeriksa pekerjaan gadis itu dan dahinya berkerut.

“Hanya dalam sehari saja dia sudah menyelesaikan sepertiga pekerjaannya? Hmm.. bahkan tulisannya juga rapi,” gumam Rivaille. Ia kembali meletakkan hasil pekerjaan Rhein dan ia pun duduk bersandar dimejanya tepat disebelah Rhein, mengamati gadis itu dengan seksama. “Kau akan kesulitan mengerjakan semua ini kalau punggungmu sakitkan.. kucing pencuri,” gumam Rivaille.

Perlahan ia mulai menggendong tubuh mungil Rhein yang cukup ringan dan membopongnya keluar dari ruang kerjanya. Hari telah sangat larut, hanya beberapa orang yang ditugaskan untuk menjaga kastil malam itu sementara yang lainnya pergi tidur. Ia melangkahkan kakinya pelan menaiki tangga, berusaha untuk tidak menimbulkan bunyi. Wajah yang sangat dikenalnya dimasa lalu, tapi ia juga sadar mana mungkin orang yang sudah mati bisa hidup lagi. Tepat diatas anak tangga terakhir Rivaille kehilangan keseimbangannya karena dalam keremangan itu sesuatu menghantam kakinya, dengan jantung berdegup kencang karena panik ia berusaha tetap menggendong gadis itu tanpa menjatuhkannya dan bertahan dengan kaki dan lututnya.

“Apa yang kau lakukan.. Hanji?”

“Refleks yang sangat bagus Rivaille,” suara Hanji terdengar samar, Rivaille mengalihkan pandangannya pada sahabatnya, gadis itu tersenyum lebar karena berhasil mengerjai Kaptennya. Rivaille kembali mengernyitkan dahinya. “Aku akan menunggumu didapur, setelah urusanmu selesai dengannya bergabunglah denganku,”

Hanji pergi meninggalkannya dan ia kembali menggendong Rhein dengan sangat hati-hati, membuka pintu kamar gadis itu perlahan dan mendapati kamar yang cukup berantakan dengan beberapa kertas penuh coretan bertebaran di sudut lantai kamar.

Rivaille menghela napas panjang, ia tak suka pemandangan ini. Sepertinya besok dia akan memberikan pekerjaan lain kepada Rhein. Ia berjalan mendekati kasur dan membaringkan gadis itu dengan hati-hati. Rivaille melihat kancing baju Rhein yang terbuka.

“Kenapa kau suka pakai baju dengan kancing yang mudah lepas sih?” gumamnya perlahan. Tangannya bergerak menyentuh kemeja putih Rhein dan tatapannya teralih pada sesuatu yang tampak menarik yang ada didada gadis itu. Dengan perasaan bingung ia menyentuh benda itu, menariknya pelan agar bisa melihatnya lebih jelas.

Sebuah kalung dengan bentuk yang sangat khas.

Matanya bergantian melihat ke arah Rhein dan kalung itu, napasnya memburu cepat. Ia memperhatikan kalung itu lebih seksama, itu adalah kalung yang sama dengan kalung miliknya yang pernah ia berikan pada Minazuki.

“...vaille...”

Rivaille mengalihkan tatapannya pada Rhein yang sedang mengigau. Jantungnya berdegup cepat berusaha memompa darah keotaknya agar ia bisa berpikir lebih jelas tentang yang baru saja dilihatnya. Ia berusaha mengendalikan dirinya dan meletakkan lagi kalung itu dan mengancing kembali baju Rhein lalu beranjak dari kasur kesudut ruangan.

Ia memperhatikan semua kertas itu, terlihat beberapa tulisan acak adut ditiap sisinya, meskipun semua tertulis dikertas itu tapi ia tak bisa membaca dengan jelas semua analisis yang bahkan telah digambarkan Rhein secara bersambungan dengan kertas-kertas lainnya. Ia tak menyangka pikiran Rhein serumit ini.

Mata Rivaille melihat sebuah kata yang hampir terlihat jelas. “Reeves?” gumam Rivaille dengan dahi berkerut. Ia tahu Reeves adalah sebuah perusahaan besar yang selama ini menopang perekonomian rakyat dan berada dibawah kendali pemerintah dan kerajaan, fakta bahwa Rhein sedang meneliti perusahaan itu menjadi salah satu pertanyaan besar bagi Rivaille.

Ia mendengar gerakan kuat dibelakangnya dan menoleh, Rhein masih mendengkur pelan dengan posisi yang telah berubah. Ia bangkit dan meninggalkan kertas-kertas itu tetap berserakan, sebelum menutup pintu itu ia kembali menatap Rhein yang sudah tertidur pulas.

Ia menutup pintu dengan hati-hati dan menuruni tangga menuju dapur, Hanji telah duduk menunggunya dengan secangkir teh diatas meja. Gadis itu menatap Rivaille yang baru saja muncul dibelakangnya.

“Hai kapten.. aku ingin memaksamu untuk menceritakan sesuatu padaku.. kemarilah,” pintanya.
* * *

          Menjelang pagi yang masih gelap gulita terdengar dentangan bel besar dipusat kota penanda siaga. Semua pasukan scouting legiun segera bersiap mengambil posisi dalam barisan masing-masing.

          Margo muncul untuk memberikan pengarahan cepat dan darurat. “Menurut informasi yang baru kami terima, beberapa Titan kembali terlihat dari dalam dinding bagian barat. Segera atur strategi penyerangan yang terbaik, karena menurut data yang dimiliki scouting legiun di wilayah itu terdapat beberapa desa dengan lokasi yang sangat buruk dalam pertarungan menggunakan manuver three dimensional. Keputusan bagaimana eksekusi dilakukan ada dalam tangan kalian, yang jelas ketika melihat mereka (Titan) secepat mungkin untuk melakukan pertarungan dengan serangan mematikan,” terang Margo ketika memberi arahan pada para juniornya. “Kalian mengerti?” serunya dengan nada yang sangat keras.

          “Mengerti, pak!” pekik semua barisan junior itu.

          “Segera bergabung dengan tim masing-masing dan bergerak dalam formasi yang telah ditentukan. Bubar!” pekik Margo.

          Rivaille tidak ikut dalam pertarungan melawan Titan dalam dinding ini, bukannya tidak ingin membantu tetapi dia sudah sangat percaya pada kemampuan pasukan dan teman-temannya, selain itu dia punya rencana lain yang harus ia lakukan. Rhein keluar dari kamarnya dengan kepala pusing, ia hanya sempat tertidur selama dua jam. Segera saja hiruk pikuk para pasukan yang bersiap untuk pergi dengan kuda masing-masing itu mencuri perhatiannya.

          Melihat kepanikan yang terjadi ia segera kembali kekamarnya dan mengambil jubah scouting legiunnya, mengenakannya dengan cepat tak lupa pistol bom dan busur panahnya. Ia keluar dari kamar dengan terburu-buru, kepalanya tertutup tudung jubah yang dipakainya.

          Ia baru saja menuruni anak tangga ketiga saat melihat Rivaille sedang mengamatinya tepat dianak tangga paling bawah. Ia berdiri bersandar pada dinding dengan tangan terlipat didadanya.

          “Kenapa kau masih disini?” tanya Rhein kaget. Ia tak menyangka Rivaille akan tinggal di kastil dan tidak ikut dalam penyerangan.

          “Kau mau kemana?” seru Rivaille balik bertanya.

          “Kemana?” tanya Rhein lagi sambil terus menuruni anak tangga. “Tentu saja membantu mereka, ayo! Kita juga harus segera pergi,” ajaknya. Namun Rivaille menghalangi jalannya. “Hei..?”

          “Kau tidak boleh pergi kemana pun, kau tetap berada di kastil ini,”

          Rhein tertawa tipis ia tak menghiraukan Rivaille. “Tidak, aku harus pergi..”

          “Tidak, kau harus tetap di kastil..” seru Rivaille ia menarik tangan Rhein dan bermaksud menyeretnya menaiki tangga. Namun gadis itu berusaha melepaskan tangannya dari Rivaille.

          “Kau tidak bisa melakukan ini padaku, Rivaille! Lepas!” pekik Rhein sambil memukuli lengan Rivaille, ia tahu usahanya percuma karena Rivaille sangat kuat dan saat ini ia juga sangat kelelahan. Namun ada tugas yang harus dilakukannya saat itu.. mencari informasi.

Penyerangan menuju desa adalah satu-satunya kesempatan paling bagus untuk menerobos sebuah desa dan memeriksa setiap rumah yang ditinggalkan tanpa harus takut ketahuan penduduk. Setidaknya ia hanya perlu takut menjadi makanan Titan.
         
          Ia tahu harus mengakali pria ini, sudut lemah dari tubuh manusia juga ada pada Rivaille jadi bukankah tidak masalah untuk sedikit melukainya. Setidaknya saat lengah ia bisa segera lari mencari kuda dan pergi. Tanpa berpikir dua kali lagi ia menendang bagian sudut belakang dari lutut kiri Rivaille, membuat lelaki itu menekuk lututnya kaget dan akhirnya terdengar suara keras menghantam anak tangga, tak sengaja Rivaille melepas pegangannya pada tangan Rhein.

          Ia tahu itulah kesempatan satu-satunya untuk lari ketika Rivaille lengah dan terduduk diatas anak tangga dengan lutut mengahantam tangga. Pikiran dan spekulasi memang telah sesuai dengan hasil perhitungan cepat dalam otak Rhein, namun ia lupa bahwa Rivaille bukanlah pria selemah itu. Ia adalah seorang “Humanity Strongest” yang dimiliki umat manusia, meskipun lututnya harus menghantam anak tangga itu ribuan kali ia tak akan membiarkan buruannya lepas seketika.

          Rivaille kembali menangkap tubuh Rhein dengan gerakan yang sangat cepat dan ia pun membopong gadis itu diatas bahunya menaiki anak tangga menuju kamar Rhein dilantai dua. “Hei! Turunkan aku bodoh! Aaaahhh... anak panahkuu..” pekik Rhein ketika anak panah itu mulai jatuh tercecer dilantai, ia terus memukuli punggung Rivaille minta diturunkan.

          Ketika telah sampai didalam kamar Rhein, Rivaille menurunkannya dari bahunya. Ia bisa melihat wajah tertekuk Rhein yang sudah memerah karena kesal. Namun ia memandang gadis itu tanpa ekspresi seperti biasa, sekejap ada banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan tapi segera ia urungkan niatnya dan memutuskan untuk pergi meninggalkan gadis itu dalam kamar yang terkunci.

          “Aku perintahkan padamu, untuk tetap berada di kastil,” serunya dingin lalu ia menutup pintu kamar Rhein dan segera saja terdengar bunyi asing yang membuat Rhein segera memegang kenop pintu dan mengguncang-guncangnya untuk membuka pintu itu.

          “Rivaille!! Beraninya kau... hei.. buka pintu ini sialan!! Kau tidak bisa mengunciku didalam kamarku sendiri, Rivaillee!!!” pekiknya sambil menggedor pintu itu kuat-kuat. “Rivaillee!!” panggilnya lagi. Namun percuma ia tahu ketika telah memutuskan sesuatu pria itu tak akan mundur. Rhein menatap jendela kamarnya dan membuka jendela itu. ia tahu meskipun kamarnya ada dilantai dua namun bangunan ini tetap saja bangunan besar yang cukup tinggi.

          Ia melihat seprainya dan memutuskan untuk menggunakan seprai itu sebagai alat untuk turun. Namun ketika memeriksa ukurannya ia merasa kecewa karena panjang seprai itu hanya dua meter, ia bahkan masih membutuhkan tali yang sangat kuat untuk dijadikan bahan pengikat.

          Dengan putus asa dia terdiam didepan jendelanya, ia bahkan bisa melihat derap kuda terakhir keluar dari kastil itu. Rivaille dan tim Hanji telah pergi menyusul teman-temannya. Seandainya saja kuda hitam miliknya ada disekitar kastil dan dia sedang memakai manuver three dimensional, tentu saja melompat dari bangunan setinggi ini adalah pilihan pertama yang akan ia pilih.

          Yang ia miliki hanya busur dengan beberapa anak panah tersisa dan sebuah pistol bom. Ia kembali merogoh kantungnya dan memeriksa peluru miliknya yang tersimpan dalam kotak khusus dengan sangat aman. Pergi tanpa manuver three dimensional adalah keputusan bunuh diri, ia hanya bisa mempertahankan diri sebentar saja bila bertemu dengan Titan tanpa bisa membunuh Titan itu.

          Saat sedang asyik larut dalam kesedihannya terdengar suara siulan dari arah luar bangunan kastil, Rhein segera beranjak dan melongok kearah bawah kastil mencari orang yang baru saja bersiul memanggilnya. Ia bisa dengan cepat melihat sosok mungil yang sedang duduk diatas kuda dengan jubah dan tudung yang menutupi kepalanya. Orang itu memandangnya dari bawah dan ia membawa seekor kuda hitam yang terlihat sangat kuat dan satu set manuver three dimensional terikat ditubuh kuda itu.

          “Marques!!” pekik Rhein girang, tanpa pikir panjang lagi ia segera mengambil seprainya dan merobek seprai itu menjadi dua bagian. Lalu membuat simpul dan mengikatnya pada jeruji besi yang ada didekat jendela. Perlahan ia keluar dari jendela dan mengatur posisi turunnya agar tidak tergelincir dan jatuh seperti kotoran kuda.

          “Uuuuhh... lihat saja nanti, bisa-bisanya dia membuatku melakukan hal ini..” gerutu Rhein saat menuruni dinding kastil dengan seprainya. Tersisa satu setengah meter dari atas tanah dan ia pun melompat turun dari seprainya keatas tanah dengan posisi aman yang sempurna lalu berjalan mendekati sosok berjubah itu.

          “Marquess,” serunya girang sambil memeluk kudanya, sosok itu melemparkan tali kekang yang dipegangnya kepada Rhein dan gadis itu menangkapnya.

“Sudah berapa lama aku tidak melihatmu melakukan itu nona,” seru sosok itu. Rhein hanya menyunggingkan senyumnya dan dengan cepat ia mengenakan peralatan manuvernya lalu menaiki Marquess.

          “Pria itu membuatku melakukan hal ini lagi, aku benar-benar membencinya. Kau siap? Ayo.. mereka telah menunggu kita,”

* * *

          Tim Mike..

          “Desa ini telah kosong.. entah kenapa aku merasa hal ini pernah terjadi.. seperti deja vu,” seru Connie dari atas kudanya. Mereka sama sekali belum melihat kemunculan Titan sejak datang kesalah satu desa beberapa saat yang lalu. Ia, Sasha, dan beberapa pasukan scouting lainnya masuk dalam tim Mike.

          “Segera periksa desa ini dan pastikan apa ada penduduk yang masih tertinggal dan bisa kita selamatkan. Semua berpencar dalam formasi dua orang dan tetap waspada dengan sekitar, segera berkumpul disini setelah menyelesaikan tugas kalian” seru Mike memberi komando.

          Para pasukan segera berpencar menjadi dua orang dalam satu formasi dan berpisah menuju empat arah mata angin. Memeriksa tiap sudut desa siapa tahu masih ada penduduk yang tersisa. Namun mereka bisa melihat beberapa mayat penduduk yang telah hilang sebagian karena di makan Titan. Darah dimana-mana. Entah ada yang selamat atau tidak tapi yang pasti mereka tahu.. bahwa Titan itu telah menyelesaikan tugasnya di desa ini.

          Karena tak menemukan satu pun Titan mereka mulai berkumpul lagi untuk menunggu instruksi selanjutnya dari Mike.

          “Bagaimana?” tanya Mike setelah semuanya berkumpul.

          “Nihil,”

          “Kami tak melihat seorang pun..”

          “Kandang kuda telah kosong..”

          “Tak ada yang tersisa, pak,”

          “Segera bersiap kita akan menuju desa berikutnya dan membantu tim Margo,” seru Mike menarik tali kekangnya dan mengarahkan kudanya menuju desa berikutnya. “Bentuk formasi awal dan sesuaikan dengan masing-masing kecepatan kuda kalian,” serunya lagi dan membuat isyarat untuk segera memacu kuda.

* * *

Tim Margo..

          “Kita belum bertemu Titan sampai sejauh ini.. segera periksa kampung ini.. keadaan tenang ini sangat berbahaya.. semua berpencar berpasangan dan bergerak dengan hati-hati,” titah Margo. Ia juga menelusuri sebuah jalan kecil yang mengarah kedalam desa.

          Saat memasuki bagian dalam desa ia bisa melihat Titan seukuran 5 meter sedang berkeliaran didekat rumah penduduk. Ia menatap Margo diam, tiba-tiba saja Margo merasa jantungnya akan berhenti saat itu juga ketika ia sadar Titan itu telah bergerak cepat mendekatinya. Ia memacu kudanya dan berusaha menghindar diantara bangunan rumah lainnya.. percuma.. didepannya juga ada Titan lain seukuran 4 meter yang telah melihat sosoknya dengan jelas.

          “Dua Titan dari arah depan dan belakang.. bangunan disini benar-benar sangat buruk untuk bertarung,” gerutunya lagi berusaha melarikan diri mencari tempat yang lebih baik untuk bertarung. Kalau sekarang ia menyerang kedua Titan itu, bukannya selamat dia akan mati sia-sia tanpa perlawanan berarti. Ia terus berusaha memacu kudanya dan menggiring kedua Titan itu agar mengikutinya ketempat bagus untuk bertarung dan menjauhi desa.

* * *

          Rhein telah sampai disalah satu desa terdekat dari distrik, ia menaruh kudanya didalam hutan dan tidak mengikat kuda itu. Sosok disebelahnya mengikuti langkahnya, berjalan ringan menuju desa.

          “Nona..”

          “Ssshh..” bisik Rhein ia menarik anak disebelahnya agar mendekat dengan tubuhnya dan mereka merapat pada dinding bangunan. “Ada apa?” bisik Rhein menatap anak itu.

          “Apa sekarang aku sudah boleh bernapas seperti biasa..?” bisik anak itu. Rhein tersenyum iseng lalu mengangguk pelan, ia baru saja mengerjai anak itu. setelah berusaha keras menahan tawa ia kembali mengamati sekelilingnya.

          “Apa bangunan itu yang kau maksud?” bisik Rhein sembari menunjuk sebuah bangunan besar yang ada ditengah desa. Anak disebelahnya mengiyakan dan ia mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari sakunya kemudian menyerahkannya pada Rhein.

          “Apa aku boleh menyimpan ini?” tanya Rhein setelah ia membaca sekilas isi catatan itu. Anak itu mengangguk lagi. “Kita akan mengendap-endap menuju gudang itu, kau mengerti?” serunya lagi sembari menyimpan buku kedalam sakunya.

          “Iya.. tapi bukankah situasi disini sangat aman? Nona lihat? tak ada satu pun Titan disini dan tempat ini sangat tenang sepertinya penduduk sudah pergi meninggalkan tempat ini..”

          “Kau benar, Collins.. tapi aku minta kau ikuti instruksiku dan jangan pergi jauh dariku, mengerti? Ketenangan ini membunuhku,”

          “Baik nona..”

          Rhein kembali mengamati sekelilingnya yang memang terlihat sangat aman. Dengan tubuh sedikit menunduk ia memberi isyarat pada Collins agar bergerak cepat mengikutinya. Dengan mudah mereka berdua telah berada didepan pintu gedung. Rhein membuka palang yang terhalang dan mendorong pelan pintu tersebut, ia segera menarik jubah Collins agar masuk lebih dulu kedalam gedung sebelum akhirnya ia juga masuk dan segera menutup pintu.

          Gudang itu dipenuhi banyak peti kayu, Rhein memberi instruksi agar Collins membuatkannya penerangan dengan lampu minyak. Ia mulai membuka peti kayu itu satu persatu ketika cahaya telah menyinari ruangan.

          “Nona, coba lihat ini..” seru Collins. Ia menunjukkan sebuah botol ditangannya. “Apa boleh aku membawakan anggur ini untuk Luke?” tanyanya lagi. Rhein hanya menatap diam botol ditangan Collins.

          “Ambil satu botol untukku, aku membutuhkannya untuk sample,”

          “Kau akan meminumnya? Bukankah kau tidak suka mabuk?” tanya Collins lagi.

          Rhein berhasil mengeluarkan isi peti yang dibukanya, ditangannya ada sebuah botol anggur yang sama dengan botol ditangan Collins. “Hmm.. Ini bukan minuman yang pantas diminum manusia.. cepat periksa peti lainnya dan kumpulkan semua sample itu. Kau sudah membuang waktu berharga kita,”

          “Baiklah..”

          Keduanya tengah asyik mengumpulkan beberapa barang baru yang telah mereka temukan, ada beberapa kaleng makanan dan beberapa botol berisi anggur. Saat itulah Rhein mendengar suara derap kuda menggema disekitar jalan desa.

          Ia bergerak cepat kedekat Collins dan mematikan lampu minyak lalu menarik anak itu agar merapat padanya, perlahan mereka menuju jendela, Rhein tahu resiko sangat besar jika ia membuka jendela dan kemungkinan besar akan mendapati Titan sedang melirik kedalam gudang hingga sebisa mungkin ia menghindari membuka jendela. Selain suara derap kuda ia juga bisa mendengar suara dentuman lain yang lebih keras dan memiliki dampak lebih besar. Ia tahu Titan sedang mengejar para pasukan berkuda itu.
         
          Dengan nekat Rhein membuka jendela dan membuat celah kecil untuk sekedar mengecek keadaan. Ia tak punya pilihan lain. Dari celah itu ia bisa melihat banyak Titan sedang berlarian mengejar kuda pasukan scouting legiun. Tiba-tiba terdengar suara dentuman sangat keras dan beberapa reruntuhan dinding beterbangan disekitar Rhein dan Collins. Ia segera memeluk anak itu dan berusaha sebisa mungkin menyembunyikan tubuh mereka berdua ketempat yang lebih gelap. Salah satu bagian dari gudang itu hancur karena tendangan Titan. Setelah keadaan menjadi sedikit lebih tenang ia menatap Collins.

          “Apa aku terlihat ketakutan?” tanyanya.

          “Hmm, ya.. wajahmu terlihat pucat dan.. kotor..” seru Collins sambil membersihkan wajah Rhein dengan jubahnya.

          “Ayo kita segera kembali ke kuda, tempat ini tidak cocok untuk bertarung melawan Titan,”

          Rhein membuat sebuah siulan dan Collins juga melakukan hal yang sama. Beberapa detik kemudian kedua kuda yang mereka tinggalkan di dekat hutan telah berlari menuju gudang. Keduanya segera naik ke atas kuda dan memacunya pergi dari tempat itu secepat mungkin menuju jalan awal tempat mereka datang tadi.

          “Collins..” panggil Rhein. Anak itu menoleh padanya. “Kau bawa semua sample ini dan amankan, aku akan segera menemuimu.. sekarang pergilah..”

          “Kau mau kemana?”

          Rhein menarik tudung jubah Collins hingga tudung itu menutupi rambut silvernya. “Ada yang ketinggalan, aku akan mengambilnya..” serunya sambil memakai tudung kepalanya.

          “Kau tidak sedang berencana untuk menyusul mereka kan? Kau tahu itu berbahaya!” seru Collins.

          Rhein tersenyum dan menarik tali kekang kudanya agar kuda itu kembali berbalik menuju desa. “Tentu saja tidak, aku hanya ingin memastikan keadaan desa.. pastikan dirimu selamat Collins, sebisa mungkin menghindar sejauh mungkin dari para Titan dan terus pacu kudamu. Aku tak mau sample itu hilang ataupun rusak..”

          “Baiklah, kau juga harus segera kembali mengambil sample ini..”

          Collins segera memacu kudanya pergi menjauhi desa, setidaknya jalur yang tadi mereka lewati cukup aman. Tapi melihat Titan yang baru saja muncul tadi membuat Rhein sedikit was-was dengan keadaan Collins. Tapi untuk saat ini ia tak akan mengkhawatirkan anak itu ia merasa harus segera mengikuti pasukan scouting legion yang tadi lewat, dengan cepat ia memacu kudanya kembali kedesa dan segera mengikuti jejak para Titan.

* * *

          Beberapa pasukan scouting legiun sedang terdesak disalah satu atap bangunan yang cukup tinggi. Ada banyak Titan berukuran kecil yang setinggi tiga sampai lima meter mengelilingi bangunan tempat mereka berdiri. “Reiz.. berapa pisau milikmu yang tersisa?” tanya Karl.

          “Tinggal sepasang ini saja, dan yang satu ini juga sudah patah..” seru Reiz sambil mengangkat pisau ditangan kirinya.

          “Ini.. ambil punyaku masih tersisa satu..” seru Karl, Reiz segera mengganti pisaunya dengan pisau milik Karl. “Sudah berapa banyak yang kita semua habisi?”

          “Aku tak tahu... terlalu banyak dan aku tak bisa menghitungnya.. dari delapan orang yang berangkat yang tersisa hanya kita berempat, sialan!”

          “Haahh... ini kesempatan terakhir kita, hei Joan, Marriette.. bagaimana keadaan kalian?” tanyanya lagi pada dua gadis yang tersisa.

          “Kami akan sebisa mungkin menghabisi bagian sebelah sini,” seru Joan menunjuk arah datangnya Titan.

          “Baiklah, semuanya.. berusahalah untuk tetap hidup.. setidaknya setelah ini kita bisa berpesta,” seru Karl memberi komando. Keempat orang itu bergerak dan mulai menghabisi Titan yang tersisa. Satu, dua, tiga, empat.. beberapa Titan telah berhasil dirubuhkan dan salah satu Titan mengibaskan tangannya dengan gerakan sangat cepat, membuat tali manuver three dimensional milik Reiz tersangkut di tangan Titan itu.

          Joan dan Marriette melihat kondisi Reiz yang sudah hampir tewas, Titan itu berhasil menggenggam tubuh Reiz sementara pria itu berusaha menggeliat untuk melepaskan diri. Marriette memekik nyaring dan berbalik berusaha menyelamatkan Reiz, wajahnya terlihat sangat panik.

          “Marriette!” panggil Joan panik. Ia takut Marriete kehilangan tujuan untuk bertarung jika melihat Reiz tewas ditangan Titan itu. Namun Marriette tak menghiraukan panggilan Joan, dengan membabi buta ia melesatkan tali manuvernya dan bergerak sangat cepat tanpa melihat situasi. Ia segera mengarah kearah Titan itu dan memotong tangannya yang menggenggam tubuh Reiz. Namun sayangnya Reiz kurang refleks untuk menggerakkan pendorong manuvernya hingga tubuhnya melayang jatuh bersama tangan Titan itu.

          Karl melesat mendekati Marriette yang masih melayang diudara dan terlihat sangat panik. Ia segera memperingatkan Marriette agar segera melesat menuju atap. Namun Marriette terlalu panik saat melihat Titan lainnya datang mendekati tubuh Reiz yang tergeletak ditanah.

          “Reiz!!!” panggil Marriette, Karl segera bergerak menangkap tubuh Marriette dan mengarahkannya kembali ke atas atap. Wajah Marriette sangat pucat dan ia hanya mampu terduduk tanpa bisa bergerak. “Reiz..” gumamnya. Joan dan Karl hanya bisa menatap Marriette yang telah kehilangan semangat bertarung.

          Terdengar sebuah dentuman yang sangat keras dan salah satu Titan jatuh terduduk. Perhatian ketiga orang itu kembali fokus dan mereka bisa melihat uap panas menyembur keluar dari salah satu tubuh Titan, dibawah sana seekor kuda tampak pergi  menjauh membawa seseorang diatas punggungnya.

          “Siapa..? Ke.. kenapa?” gumam Karl. Seseorang melesat cepat dan berputar diudara menebas tengkuk beberapa Titan dalam sekali lompatan. Mereka tak bisa melihat sosok itu karena tudung yang dikenakannya. Namun jubahnya sangat jelas sekali adalah jubah scouting legion.

          Dalam sekali putaran ia bisa menebas empat tengkuk Titan sekaligus dan kembali menginjakkan kakinya diatas atap yang sama dengan ketiga pasukan lainnya. “Hei apa kalian baik-baik saja?” sapanya dengan tudung masih menutupi kepalanya. “Sebaiknya kita  atur strategi secepatnya, ayo kemarilah sebelum mereka berhasil memanjat bangunan ini..”

          “Kau siapa?” tanya Joan.

          “Aku? Aku bukan musuh, ayo kemari kita rapat sebentar sembari menunggu bantuan datang..”

          “Bantuan?”

          “Pasukan yang lain pasti sedang menuju kesini, setidaknya kita harus bertahan sampai bantuan tiba.. coba kita lihat senjata kalian yang masih tersisa,” serunya.

          “Kami hanya memiliki sepasang pisau ini, bahkan sekarang pisau Marriette telah patah,”

          “Marriette segera ganti pisaumu dengan pisau cadangan milikku,” serunya sambil memperlihatkan peralatan manuver miliknya.

          “Tapi Marriette sekarang...” cegah Joan karena Marriette masih terduduk panik.

          “Apa? Bukankah dia masih bisa bertarung?” potong Rhein sambil mendekati Marriette. “Hei Marriette temanmu baik-baik saja.. Kalian tidak boleh mati disini, mengerti? Cepat ambil pisauku, Marriette,” titahnya lembut.

          Marriette yang telah mendapatkan kembali ketegarannya segera mengganti pisau miliknya dengan pisau cadangan baru. Dengan cepat mereka mengatur strategi bertahan menggunakan peralatan yang tersisa.

          “Apa kalian bisa menghitung ada berapa bangunan tinggi diwilayah ini yang bisa dijadikan pijakan?” tanyanya, meskipun pertanyaan itu seolah menganggap orang lain bodoh, namun dengan refleks ketiganya memandang kesekeliling bangunan dan menghitung.

          Ada sekitar delapan bangunan cukup tinggi sekitar empat sampai enam meter didekat mereka dan yang tertinggi adalah tower yang saat ini mereka pijak. Lokasi yang cukup berbahaya mengingat ke delapan bangunan itu berdiri secara acak dan ada yang tidak berdampingan.

          “Dengar, aku akan menggiring mereka kearah bangunan itu,” serunya menunjuk ke salah satu bangunan setinggi delapan meter yang berada cukup jauh dengan mereka. “Kita bisa menggunakan bangunan yang ada untuk mensejajarkan gerakan manuver kalian. Saat mereka mengejarku, kalian ambil kesempatan terbaik untuk menebas tengkuk para Titan dengan urutan paling aman yaitu dari Titan paling belakang. Saat aku melesat biarkan beberapa Titan mengikutiku setelah itu salah satu dari kalian harus segera bergerak dan menghabisi Titan dibelakangku, begitu seterusnya kalian akan bergerak secara bergiliran, tujuannya supaya orang terakhir bisa melihat situasi paling aman saat ia bisa bergerak untuk melindungi bagian belakang teman lainnya,”

          “Kau berniat jadi umpan kan?” celetuk Karl.

          “Ya tentu saja.. tapi disini kita semua yang akan menjadi umpan,”

          “Dan kau tahu? Masih tersisa lebih dari sembilan Titan yang ada dibawah kita, bagaimana mungkin kau yakin bahwa semuanya akan termakan pancinganmu hingga kau bisa dengan mudah menggiring mereka. Gerakan mereka sangat cepat, apa kau ingin bunuh diri?” seru Karl sebal karena ia tak ingin dikomando oleh orang ini, ia merasa khawatir dengan rencana seseorang yang tak dikenalnya.

          “Jangan khawatir, kita cukup menghabisinya satu persatu.. lagi pula aku yakin kalian adalah pasukan pilihan terbaik dari yang terbaik..”

          “Ini bukan masalah kami adalah pasukan terbaik atau tidak tapi dengan rencana tidak masuk akalmu itu aku yakin kita tak mungkin selamat, kita tak tahu pasti ini akan berhasil atau tidak. Dengar.. kami sudah mendapat instruksi untuk menghabisi Titan dengan resiko seminimal mungkin. Pilihan terbaik adalah menyabet mereka saat itu juga,”

          “Hmm... serangan membabi buta hanya akan membuat kalian mati sia-sia apalagi dengan menipisnya gas pendorong dan pisau yang hanya tinggal sepasang itu, kita butuh sebuah rencana kecil dan cukup mencobanya sebaik mungkin, setidaknya kalian harus bertahan sampai pasukan lainnya datang itu prioritas utama saat ini..” Rhein tidak melanjutkan kalimatnya saat gedung tempat mereka berpijak bergetar hebat. Beberapa Titan itu berusaha untuk merobohkan tower. “Kita sudah tak punya waktu lagi... super man, aku akan pergi memancing mereka terserah kalian ingin membantuku atau tidak,” serunya bangkit dan berjalan menuju pinggiran atap gedung.

          “Dia benar-benar gila..” gumam Karl tak habis pikir.

          Terdengar bunyi ledakan diudara dan perhatian beberapa Titan beralih mendekati sosok bertudung itu berusaha menggapainya. Segera saja ia melesat menggiring Titan-titan itu mengitari bangunan tinggi.

          “Ayo Karl.. setidaknya kita tak boleh membiarkan penyelamat Reiz membuang nyawanya begitu saja untuk kita,” seru Joan, ia berjalan menuju pinggiran atap.

          “Hhh, kalau kita selamat aku ingin sekali melihat wajahnya.. ayo Marriette.. kau bisa mengerjakan omong kosong ini kan?”

          Bahkan tanpa bisa disadarinya, Marriette justru melesat lebih dulu mengikuti lima Titan yang mengejar sosok bertudung itu. Joan dan karl terkejut melihat kondisi psikologis Marriette yang membaik secepat itu dengan segera mereka melesat mengikuti instruksi yang telah direncanakan dengan posisi Karl berada dipaling belakang. Mereka mulai menebas tengkuk para Titan dengan sangat mudah. Rencana ini terlihat sangat lancar namun ternyata dibagian paling depan justru lebih berbahaya lagi.

          Salah satu Titan setinggi enam meter muncul tiba-tiba dari arah samping dan ia mengayunkan tangannya hingga mengenai tubuh sosok berjubah dan membuatnya terlempar ke atas atap, namun dengan cepat sosok itu berusaha bangkit dan ia berhasil berkelit agar tidak tergenggam oleh Titan dan tak lama terdengar bunyi dentuman yang sangat nyaring membuat Titan itu kehilangan sisi wajah sebelah kanannya dan seketika saja tubuh besar itu kehilangan keseimbangan. Dengan gerakan berputar sosok itu menyabet tengkuk Titan. Ia melesat terlalu tinggi dan terlau cepat hingga Marriete yang sedang menyelesaikan tugasnya dibelakang para Titan menatapnya penuh rasa shock.

          Beberapa Titan lain terus muncul dari kiri dan kanan sosok bertudung namun dengan sigap ia bergerak dan terus menyabetkan pisaunya berusaha melindungi kadet lain yang ada dibelakangnya.

          Setelah beberapa menit berkutat dengan para Titan akhirnya mereka sampai di bangunan tujuan mereka dan segera menghitung berapa Titan yang telah berhasil mereka lumpuhkan sejauh ini. Marriette berhasil menyabet lima Titan yang tadi bergerak didepannya dan Joan berhasil menyabet empat Titan dibelakang Marriette. Ketiganya menunggu kedatangan Karl yang masih membawa banyak pengikut.

“Aku menghabisi enam Titan dibelakang Joan,” seru Karl dengan napas terengah saat berhasil bergabung kembali dengan timnya. Total Titan yang berhasil dihabisi ada dua puluh. Namun masih ada beberapa Titan yang mengikuti mereka.

          “Hei.. apa kalian tahu berapa banyak penduduk diwilayah ini yang tewas?” tanya Rhein membuat ketiganya kebingungan.

          “Kami tidak tahu.. tidak ada waktu untuk menghitungnya..” jawab Joan.

          “Kita habisi sisanya dengan cara tadi?” tanya Karl mulai bersemangat.

          “Jangan, kita periksa gas pendorong dulu.. kalian masih bisa melakukan berapa dorongan lagi?”

          “Punyaku sudah habis..” seru Marriette.

          “Sepertinya gasku hanya cukup melakukan dua dorongan lagi,” seru Karl.

          “Aku juga..” gumam Joan lesu.

          “Kalian butuh kuda..” gumam sosok itu.

          Karl berjalan cepat mendekati sosok bertudung “Hei perempuan.. kemana kuda itu membawa Reiz pergi?” tanya Karl.

          “Aku tidak tahu, tapi semoga saja kuda itu bisa membawanya selamat sampai di kota,”

          “Hei, bagaimana kalau kuda itu tersesat dan Titan lainnya mengejar mereka?” seru Joan panik. “Kau justru membahayakan nyawa Reiz dan penduduk lainnya.”

          “Tenang saja.. dia kuda yang sangat pintar..”

          “Kau selalu bersikap seperti ini dari tadi, jujur saja ketenanganmu membuatku muak,” seru Karl menarik jubah sosok itu dengan perasaan kesal. Ia bisa merasakan lengannya menyentuh sesuatu yang asing dibagian dada sosok misterius itu dan tudungnya terbuka. Seorang gadis berambut kuning keemasan dan bermata biru sedang menatap tajam dirinya. Karl segera melepaskan genggamannya dijubah itu.

          “Maafkan aku, aku tak bermaksud mengorbankan nyawa teman kalian tapi semoga saja kudaku bisa membawanya dengan selamat ketempat yang aman,” seru Rhein.

          “Aku tak pernah melihatmu sebelumnya..” seru Karl. Tentu saja karena Rhein berada dikastil yang berbeda dengan beberapa pasukan scouting legiun lainnya. “Kau dari resimen mana?”

          “Hei, lenganmu berdarah..” seru Marriette menunjuk lengan Rhein yang telah basah oleh darah.

          “Ini bukan masalah besar, aku akan selesaikan sisanya sementara itu kalian tetap disini,” dengan refleks Rhein menyembunyikan lengannya dibelakang tubuhnya dan memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Karl.

           Tanpa menunggu persetujuan dari ketiganya ia melesat kearah Titan-titan itu. Ada hal lain yang ingin ia pastikan. Apa ada kemungkinan lain yang menarik Titan untuk memangsa manusia tak hanya dari bentuk fisik saja.

          “Sial, cewek itu..” gumam Karl kesal. Ia telah bersiap untuk membantu Rhein namun serombongan pasukan berjubah hijau lainnya telah melesat kesekeliling Titan dan menghabisi Titan yang telah tersisa. Dalam sekejap saja ia sudah tak bisa melihat sosok Rhein diantara para senior yang telah datang membantu mereka. Marriette beralih kesebelah Karl.

          “Hei, Karl kenapa wajahmu memerah ketika melihat wajah gadis yang kau benci itu?” tanya Marriette.

          “Tck, diam kau..”

* * *

          Rhein memacu kuda curiannya dengan sangat cepat, ia memutuskan untuk segera kembali kekastil setelah menolong Reiz dan membawa pria itu pada Collins agar bisa segera dirawat. Marquess dan peralatan manuvernya akan dijaga oleh Collins karena tak mungkin ia membawa semua itu ke kastil.

Darah terus mengalir dari lengannya, ia tak menghiraukan permintaan Collins untuk tinggal dan dirawat, ada hal penting lain yang harus segera ia bereskan. Dengan mata yang mulai kabur dan tubuh yang sangat lelah ia terus memacu kudanya menuju kastil Rivaille. Dalam perjalanannya dari kejauhan ia bisa melihat seprai robeknya yang menjuntai keluar dari jendela lantai dua kastil. Hal itulah yang membuatnya khawatir, ia harus segera mengamankan seprai itu sebelum Rivaille melihatnya dan mengamuk.
         
          Dengan cepat ia mengikat kudanya dikandang kuda lalu berlari sempoyongan mengitari kastil dan masuk dari pintu depan. Bangunan itu masih sangat sepi, ia merasa lega karena sepertinya Rivaille belum kembali. Namun ketika melewati koridor dalam, sosok yang sedang duduk elegan dikursi itu mengagetkannya. Ia menoleh dan melihat Rivaille baru saja selesai meminum teh dari cangkirnya. Melihat ekspresi Rivaille ia kembali teringat pada Dot Pixis yang selalu menghukumnya karena semalaman tidak pulang kerumah dan kabur lewat jendela.

Rivaille berjalan santai mendekatinya. “Kau..” namun Rivaille tidak melanjutkan kata-katanya matanya bergerak cepat dari wajah pucat Rhein yang terlihat sangat lelah ia menatap sesuatu yang menetes dilantai. Ia berjalan mendekati Rhein. “Tck.. kau ini keterlaluan sekali..” serunya sembari menggendong Rhein yang sudah kelelahan dengan gaya bridal style.

          Rhein bernapas sangat lambat dan ia memeluk bahu Rivaille dengan perasaan tenang. Ia tahu pria itu akan memakinya tapi tak apa dia sudah siap menerima makian apapun yang penting ia telah mendapatkan apa yang ia inginkan didesa itu. Rivaille masuk kedalam kantor dan mendudukkannya di sofa.

          Rivaille mengambil sebuah kotak kecil dari dalam lemari penyimpanannya ia menarik kursi kayu lain kedepan Rhein dan duduk dikursi itu. Rivaille membuka kotak kecil dan didalamnya ada perlengkapan P3K.

          “Tanganmu,” pintanya. Rhein mengulurkan tangannya yang masih bercucuran darah. Rivaille melepas jubah scouting legion yang masih dipakai Rhein hingga ia bisa melihat luka yang cukup besar dilengan gadis itu. Luka itu akan meninggalkan bekas sangat besar karena robekannya cukup dalam.

          Ia mulai membersihkan luka Rhein.  “Kau.. merobek sepraimu dan kabur lewat jendela?” tanyanya dengan nada suara datar.

          “Hmm.. aku sedang terdesak.. ada pekerjaan yang harus kulakukan,”

          “Apa kau lupa aku baru saja mencuci seprai itu kemarin?” tanyanya lagi, membuat Rhein harus menelan air liurnya dengan susah payah.

          “Hmm.. sepertinya iya.. tapi aku agak lupa.. auch!” rintihnya menahan sakit. Rivaille menatap wajah Rhein sambil terus mengobatinya tak ada air mata kesakitan yang mengalir disudut mata itu.

          “Apa kau sudah dapat yang kau inginkan?” tanyanya lagi. Rhein tahu apa yang dimaksud Rivaille.

          “Hmm.. ya, sebagian besar..”

“Kau benar-benar gadis yang nekat.. membuatku teringat pada seseorang..”

          “Hmm.. kuharap orang itu tidak banyak membuatmu kesal.. Rivaille,”

          “Bisa kukatakan kalian setara, dia bisa melakukan hal lebih bodoh lainnya bahkan dengan mudah ia mengantar nyawanya begitu saja kedepan pintu kematian padahal tak seharusnya ia melakukan itu..” Rhein diam mendengarkan dan matanya terus mengamati wajah tenang tanpa ekspresi Rivaille yang masih membalut lukanya dengan perban yang ia pegang. “Dengan luka sebesar ini dan sifat pembangkang ini apa akan ada pria yang mau menikahimu..?”

          “Hmm.. Kurasa tidak akan ada pria baik yang mau menikahi wanita sepertiku.. bagiku tak masalah karena aku tak ingin menikah,”

          Dahi Rivaille berkerut namun matanya masih menatap luka Rhein. Ia menyelesaikan simpul terakhirnya. “Gadis malang,” seru Rivaille sembari menatap Rhein dengan tangan terlipat didada.

          “Terima kasih sudah mengobatiku.. aku akan segera memperbaiki dan membersihkan seprai itu jadi kau tak perlu khawatir..”

          Namun Rivaille tidak menjawabnya, matanya masih menatap Rhein lekat-lekat hingga membuat gadis itu merasa jengah. Ia tahu Rivaille akan menghukumnya lebih parah daripada menulis jurnal setebal setengah meter. “Aku telah memutuskan sesuatu..”

“Hmm.. apa?”

Rivaille menatap dalam langsung kemata Rhein dan dengan penuh keyakinan dia mengucapkannya. “Kau harus jadi kekasihku..” seru Rivaille.

          “...”

          “...”

          “Tidak.. Tidak mungkin.. kau tidak serius mengatakan hal itu, aku tahu..” seru Rhein tertahan, ia sangat kaget dengan perkembangan baru ini.
         
“Apa kupingmu buntu? Apa kata-kataku kurang jelas, kadet? Kau pikir aku sedang bercanda?” Rivaille berdiri dan meletakkan kedua tangannya menekan punggung sofa, mengurung tubuh Rhein. “Mari kita perjelas lagi..”

Rivaille mengangkat dagu Rhein agar wajah mereka bisa berhadapan. Wajah mereka berdua sangat dekat, dan jarak diantaranya tiba-tiba memudar seketika. Rhein dapat merasakan kehangatan bibir Rivaille menjalarinya, tanpa bisa disadarinya ia telah menutup matanya dan perlahan membalas ciuman Rivaille, melumat lembut bibir shorty corporal yang sempat dibencinya ternyata rasanya tidak begitu buruk. Aroma mint dari tubuh Rivaille memenuhi hidungnya dan membuatnya nyaman, ciuman itu membuatnya hampir kehabisan napas. Perlahan Rivaille menjauhkan bibir mereka berdua, lelaki itu bisa melihat rona merah dipipi Rhein yang putih pucat.

Rivaille menyunggingkan senyuman liciknya. “Sepertinya kau sudah mengerti apa yang kumaksud, Forester?” Rivaille meletakkan tangannya dikepala Rhein dan mengelusnya lembut. “Aku tahu kau lebih suka jika aku menjelaskannya dengan kekerasan,” serunya lagi lalu berjalan menjauh.

          Wajah Rhein semakin merona merah, namun ia berusaha menenangkan dirinya. “Tidak.. kau memang tidak pernah suka keinginanmu ditolak.. itulah kenyataan sebenarnya,”

          Rivaille kembali mendekatkan tubuhnya pada tubuh Rhein dan menatap matanya lekat-lekat. “Mulai saat ini kau adalah kekasihku, aku akan terus mengawasimu secara pribadi. Sekarang kembalilah kekamarmu dan istirahat, besok kita lanjutkan lagi,” serunya lalu pergi meninggalkan Rhein.


* * *


Sometimes.. i feel the same way.. :p




Pppffffttthhhh... Levi..yang sabar ya hubby..

0 comments:

Post a Comment