Shingeki No Kyojin Special
: Levi’s Romantic Love Story
“Wild Flower”
Genre : Romance, Action, Mature
Type : Attack On Titan Fanfiction
Chapter 9
You're Mine Stupid Brat
Rhein mengakhiri
pekerjaannya didalam kantor Rivaille dengan tubuh terasa seperti habis dipukuli
banyak orang. Ia telah melewatkan makan malamnya dan telah beberapa kali
membuat teh agar membuatnya terus terjaga hingga larut malam, namun sialnya ia
hanya bisa menyelesaikan sepertiga bagian dari semua tumpukan kertas yang
tingginya hampir mencapai satu meter itu.
Ia tahu tubuhnya sudah tidak bisa
menerima teh lagi, seharusnya ia mendapat waktu tidur yang cukup bahkan lebih
agar otaknya bisa beristirahat ketika ia melakukan tugas sesungguhnya, ia sudah
merasa tak sanggup lagi dan akhirnya terkulai lemas di mejanya. Sebenarnya
Rivaille juga membuatnya merasa sedikit kesal, setelah memberinya semua tugas harian
ini Rivaille tidak juga muncul di depan batang hidungnya hal itu membuatnya
merasa frustasi. Sungguh pekerjaan yang sangat menyebalkan dan saat ini ia
benar-benar ingin protes pada lelaki itu namun meja itu justru membutnya merasa
lebih nyaman.
Rivaille membuka pintu ruang kerjanya
dengan perlahan, ia tak ingin membangunkan gadis itu. Terdengar bunyi terjatuh
di dekat meja dan ia berjalan perlahan mendekati tubuh Rhein menatap asal suara
dari bunyi barusan, ia bisa melihat alat tulis Rhein bergerak-gerak pelan
dilantai. Perlahan ia memeriksa pekerjaan gadis itu dan dahinya berkerut.
“Hanya dalam sehari saja dia sudah
menyelesaikan sepertiga pekerjaannya? Hmm.. bahkan tulisannya juga rapi,” gumam
Rivaille. Ia kembali meletakkan hasil pekerjaan Rhein dan ia pun duduk
bersandar dimejanya tepat disebelah Rhein, mengamati gadis itu dengan seksama.
“Kau akan kesulitan mengerjakan semua ini kalau punggungmu sakitkan.. kucing
pencuri,” gumam Rivaille.
Perlahan ia mulai menggendong tubuh
mungil Rhein yang cukup ringan dan membopongnya keluar dari ruang kerjanya.
Hari telah sangat larut, hanya beberapa orang yang ditugaskan untuk menjaga
kastil malam itu sementara yang lainnya pergi tidur. Ia melangkahkan kakinya pelan
menaiki tangga, berusaha untuk tidak menimbulkan bunyi. Wajah yang sangat
dikenalnya dimasa lalu, tapi ia juga sadar mana mungkin orang yang sudah mati
bisa hidup lagi. Tepat diatas anak tangga terakhir Rivaille kehilangan
keseimbangannya karena dalam keremangan itu sesuatu menghantam kakinya, dengan
jantung berdegup kencang karena panik ia berusaha tetap menggendong gadis itu
tanpa menjatuhkannya dan bertahan dengan kaki dan lututnya.
“Apa yang kau lakukan.. Hanji?”
“Refleks yang sangat bagus Rivaille,”
suara Hanji terdengar samar, Rivaille mengalihkan pandangannya pada sahabatnya,
gadis itu tersenyum lebar karena berhasil mengerjai Kaptennya. Rivaille kembali
mengernyitkan dahinya. “Aku akan menunggumu didapur, setelah urusanmu selesai
dengannya bergabunglah denganku,”
Hanji pergi meninggalkannya dan ia
kembali menggendong Rhein dengan sangat hati-hati, membuka pintu kamar gadis
itu perlahan dan mendapati kamar yang cukup berantakan dengan beberapa kertas
penuh coretan bertebaran di sudut lantai kamar.
Rivaille menghela napas panjang, ia
tak suka pemandangan ini. Sepertinya besok dia akan memberikan pekerjaan lain
kepada Rhein. Ia berjalan mendekati kasur dan membaringkan gadis itu dengan
hati-hati. Rivaille melihat kancing baju Rhein yang terbuka.
“Kenapa kau suka pakai baju dengan
kancing yang mudah lepas sih?” gumamnya perlahan. Tangannya bergerak menyentuh
kemeja putih Rhein dan tatapannya teralih pada sesuatu yang tampak menarik yang
ada didada gadis itu. Dengan perasaan bingung ia menyentuh benda itu,
menariknya pelan agar bisa melihatnya lebih jelas.
Sebuah kalung dengan bentuk yang
sangat khas.
Matanya bergantian melihat ke arah
Rhein dan kalung itu, napasnya memburu cepat. Ia memperhatikan kalung itu lebih
seksama, itu adalah kalung yang sama dengan kalung miliknya yang pernah ia
berikan pada Minazuki.
“...vaille...”
Rivaille mengalihkan tatapannya pada
Rhein yang sedang mengigau. Jantungnya berdegup cepat berusaha memompa darah
keotaknya agar ia bisa berpikir lebih jelas tentang yang baru saja dilihatnya.
Ia berusaha mengendalikan dirinya dan meletakkan lagi kalung itu dan mengancing
kembali baju Rhein lalu beranjak dari kasur kesudut ruangan.
Ia memperhatikan semua kertas itu,
terlihat beberapa tulisan acak adut ditiap sisinya, meskipun semua tertulis
dikertas itu tapi ia tak bisa membaca dengan jelas semua analisis yang bahkan telah
digambarkan Rhein secara bersambungan dengan kertas-kertas lainnya. Ia tak
menyangka pikiran Rhein serumit ini.
Mata Rivaille melihat sebuah kata yang
hampir terlihat jelas. “Reeves?” gumam Rivaille dengan dahi berkerut. Ia tahu
Reeves adalah sebuah perusahaan besar yang selama ini menopang perekonomian
rakyat dan berada dibawah kendali pemerintah dan kerajaan, fakta bahwa Rhein
sedang meneliti perusahaan itu menjadi salah satu pertanyaan besar bagi
Rivaille.
Ia mendengar gerakan kuat
dibelakangnya dan menoleh, Rhein masih mendengkur pelan dengan posisi yang
telah berubah. Ia bangkit dan meninggalkan kertas-kertas itu tetap berserakan,
sebelum menutup pintu itu ia kembali menatap Rhein yang sudah tertidur pulas.
Ia menutup pintu dengan hati-hati dan
menuruni tangga menuju dapur, Hanji telah duduk menunggunya dengan secangkir
teh diatas meja. Gadis itu menatap Rivaille yang baru saja muncul
dibelakangnya.
“Hai kapten.. aku ingin memaksamu
untuk menceritakan sesuatu padaku.. kemarilah,” pintanya.
*
* *
Menjelang
pagi yang masih gelap gulita terdengar dentangan bel besar dipusat kota penanda
siaga. Semua pasukan scouting legiun segera bersiap mengambil posisi dalam barisan
masing-masing.
Margo
muncul untuk memberikan pengarahan cepat dan darurat. “Menurut informasi yang
baru kami terima, beberapa Titan kembali terlihat dari dalam dinding bagian
barat. Segera atur strategi penyerangan yang terbaik, karena menurut data yang
dimiliki scouting legiun di wilayah itu terdapat beberapa desa dengan lokasi
yang sangat buruk dalam pertarungan menggunakan manuver three dimensional.
Keputusan bagaimana eksekusi dilakukan ada dalam tangan kalian, yang jelas
ketika melihat mereka (Titan) secepat mungkin untuk melakukan pertarungan
dengan serangan mematikan,” terang Margo ketika memberi arahan pada para
juniornya. “Kalian mengerti?” serunya dengan nada yang sangat keras.
“Mengerti,
pak!” pekik semua barisan junior itu.
“Segera
bergabung dengan tim masing-masing dan bergerak dalam formasi yang telah
ditentukan. Bubar!” pekik Margo.
Rivaille
tidak ikut dalam pertarungan melawan Titan dalam dinding ini, bukannya tidak
ingin membantu tetapi dia sudah sangat percaya pada kemampuan pasukan dan
teman-temannya, selain itu dia punya rencana lain yang harus ia lakukan. Rhein keluar dari kamarnya dengan kepala pusing, ia hanya sempat tertidur selama dua
jam. Segera saja hiruk pikuk para pasukan yang bersiap untuk pergi dengan kuda
masing-masing itu mencuri perhatiannya.
Melihat
kepanikan yang terjadi ia segera kembali kekamarnya dan mengambil jubah
scouting legiunnya, mengenakannya dengan cepat tak lupa pistol bom dan busur panahnya.
Ia keluar dari kamar dengan terburu-buru, kepalanya tertutup tudung jubah yang
dipakainya.
Ia baru
saja menuruni anak tangga ketiga saat melihat Rivaille sedang mengamatinya
tepat dianak tangga paling bawah. Ia berdiri bersandar pada dinding dengan
tangan terlipat didadanya.
“Kenapa
kau masih disini?” tanya Rhein kaget. Ia tak menyangka Rivaille akan tinggal di
kastil dan tidak ikut dalam penyerangan.
“Kau mau
kemana?” seru Rivaille balik bertanya.
“Kemana?”
tanya Rhein lagi sambil terus menuruni anak tangga. “Tentu saja membantu
mereka, ayo! Kita juga harus segera pergi,” ajaknya. Namun Rivaille menghalangi
jalannya. “Hei..?”
“Kau
tidak boleh pergi kemana pun, kau tetap berada di kastil ini,”
Rhein
tertawa tipis ia tak menghiraukan Rivaille. “Tidak, aku harus pergi..”
“Tidak,
kau harus tetap di kastil..” seru Rivaille ia menarik tangan Rhein dan
bermaksud menyeretnya menaiki tangga. Namun gadis itu berusaha melepaskan
tangannya dari Rivaille.
“Kau
tidak bisa melakukan ini padaku, Rivaille! Lepas!” pekik Rhein sambil memukuli
lengan Rivaille, ia tahu usahanya percuma karena Rivaille sangat kuat dan saat
ini ia juga sangat kelelahan. Namun ada tugas yang harus dilakukannya saat
itu.. mencari informasi.
Penyerangan menuju desa adalah
satu-satunya kesempatan paling bagus untuk menerobos sebuah desa dan memeriksa
setiap rumah yang ditinggalkan tanpa harus takut ketahuan penduduk. Setidaknya
ia hanya perlu takut menjadi makanan Titan.
Ia tahu
harus mengakali pria ini, sudut lemah dari tubuh manusia juga ada pada Rivaille
jadi bukankah tidak masalah untuk sedikit melukainya. Setidaknya saat lengah ia
bisa segera lari mencari kuda dan pergi. Tanpa berpikir dua kali lagi ia
menendang bagian sudut belakang dari lutut kiri Rivaille, membuat lelaki itu
menekuk lututnya kaget dan akhirnya terdengar suara keras menghantam anak
tangga, tak sengaja Rivaille melepas pegangannya pada tangan Rhein.
Ia tahu
itulah kesempatan satu-satunya untuk lari ketika Rivaille lengah dan terduduk
diatas anak tangga dengan lutut mengahantam tangga. Pikiran dan spekulasi
memang telah sesuai dengan hasil perhitungan cepat dalam otak Rhein, namun ia lupa
bahwa Rivaille bukanlah pria selemah itu. Ia adalah seorang “Humanity
Strongest” yang dimiliki umat manusia, meskipun lututnya harus menghantam anak
tangga itu ribuan kali ia tak akan membiarkan buruannya lepas seketika.
Rivaille
kembali menangkap tubuh Rhein dengan gerakan yang sangat cepat dan ia pun
membopong gadis itu diatas bahunya menaiki anak tangga menuju kamar Rhein
dilantai dua. “Hei! Turunkan aku bodoh! Aaaahhh... anak panahkuu..” pekik Rhein
ketika anak panah itu mulai jatuh tercecer dilantai, ia terus memukuli punggung
Rivaille minta diturunkan.
Ketika
telah sampai didalam kamar Rhein, Rivaille menurunkannya dari bahunya. Ia bisa
melihat wajah tertekuk Rhein yang sudah memerah karena kesal. Namun ia
memandang gadis itu tanpa ekspresi seperti biasa, sekejap ada banyak pertanyaan
yang ingin ia tanyakan tapi segera ia urungkan niatnya dan memutuskan untuk
pergi meninggalkan gadis itu dalam kamar yang terkunci.
“Aku
perintahkan padamu, untuk tetap berada di kastil,” serunya dingin lalu ia
menutup pintu kamar Rhein dan segera saja terdengar bunyi asing yang membuat
Rhein segera memegang kenop pintu dan mengguncang-guncangnya untuk membuka
pintu itu.
“Rivaille!!
Beraninya kau... hei.. buka pintu ini sialan!! Kau tidak bisa mengunciku
didalam kamarku sendiri, Rivaillee!!!” pekiknya sambil menggedor pintu itu
kuat-kuat. “Rivaillee!!” panggilnya lagi. Namun percuma ia tahu ketika telah
memutuskan sesuatu pria itu tak akan mundur. Rhein menatap jendela kamarnya dan
membuka jendela itu. ia tahu meskipun kamarnya ada dilantai dua namun bangunan
ini tetap saja bangunan besar yang cukup tinggi.
Ia
melihat seprainya dan memutuskan untuk menggunakan seprai itu sebagai alat
untuk turun. Namun ketika memeriksa ukurannya ia merasa kecewa karena panjang
seprai itu hanya dua meter, ia bahkan masih membutuhkan tali yang sangat kuat
untuk dijadikan bahan pengikat.
Dengan
putus asa dia terdiam didepan jendelanya, ia bahkan bisa melihat derap kuda
terakhir keluar dari kastil itu. Rivaille dan tim Hanji telah pergi menyusul
teman-temannya. Seandainya saja kuda hitam miliknya ada disekitar kastil dan
dia sedang memakai manuver three dimensional, tentu saja melompat dari bangunan
setinggi ini adalah pilihan pertama yang akan ia pilih.
Yang ia
miliki hanya busur dengan beberapa anak panah tersisa dan sebuah pistol bom. Ia
kembali merogoh kantungnya dan memeriksa peluru miliknya yang tersimpan dalam
kotak khusus dengan sangat aman. Pergi tanpa manuver three dimensional adalah
keputusan bunuh diri, ia hanya bisa mempertahankan diri sebentar saja bila
bertemu dengan Titan tanpa bisa membunuh Titan itu.
Saat
sedang asyik larut dalam kesedihannya terdengar suara siulan dari arah luar
bangunan kastil, Rhein segera beranjak dan melongok kearah bawah kastil mencari
orang yang baru saja bersiul memanggilnya. Ia bisa dengan cepat melihat sosok
mungil yang sedang duduk diatas kuda dengan jubah dan tudung yang menutupi
kepalanya. Orang itu memandangnya dari bawah dan ia membawa seekor kuda hitam
yang terlihat sangat kuat dan satu set manuver three dimensional terikat
ditubuh kuda itu.
“Marques!!”
pekik Rhein girang, tanpa pikir panjang lagi ia segera mengambil seprainya dan
merobek seprai itu menjadi dua bagian. Lalu membuat simpul dan mengikatnya pada
jeruji besi yang ada didekat jendela. Perlahan ia keluar dari jendela dan
mengatur posisi turunnya agar tidak tergelincir dan jatuh seperti kotoran kuda.
“Uuuuhh...
lihat saja nanti, bisa-bisanya dia membuatku melakukan hal ini..” gerutu Rhein
saat menuruni dinding kastil dengan seprainya. Tersisa satu setengah meter dari
atas tanah dan ia pun melompat turun dari seprainya keatas tanah dengan posisi
aman yang sempurna lalu berjalan mendekati sosok berjubah itu.
“Marquess,”
serunya girang sambil memeluk kudanya, sosok itu melemparkan tali kekang yang
dipegangnya kepada Rhein dan gadis itu menangkapnya.
“Sudah berapa lama aku tidak melihatmu
melakukan itu nona,” seru sosok itu. Rhein hanya menyunggingkan senyumnya dan dengan
cepat ia mengenakan peralatan manuvernya lalu menaiki Marquess.
“Pria
itu membuatku melakukan hal ini lagi, aku benar-benar membencinya. Kau siap?
Ayo.. mereka telah menunggu kita,”
*
* *
Tim Mike..
“Desa
ini telah kosong.. entah kenapa aku merasa hal ini pernah terjadi.. seperti
deja vu,” seru Connie dari atas kudanya. Mereka sama sekali belum melihat
kemunculan Titan sejak datang kesalah satu desa beberapa saat yang lalu. Ia,
Sasha, dan beberapa pasukan scouting lainnya masuk dalam tim Mike.
“Segera
periksa desa ini dan pastikan apa ada penduduk yang masih tertinggal dan bisa kita
selamatkan. Semua berpencar dalam formasi dua orang dan tetap waspada dengan
sekitar, segera berkumpul disini setelah menyelesaikan tugas kalian” seru Mike memberi
komando.
Para
pasukan segera berpencar menjadi dua orang dalam satu formasi dan berpisah
menuju empat arah mata angin. Memeriksa tiap sudut desa siapa tahu masih ada
penduduk yang tersisa. Namun mereka bisa melihat beberapa mayat penduduk yang
telah hilang sebagian karena di makan Titan. Darah dimana-mana. Entah ada yang
selamat atau tidak tapi yang pasti mereka tahu.. bahwa Titan itu telah
menyelesaikan tugasnya di desa ini.
Karena
tak menemukan satu pun Titan mereka mulai berkumpul lagi untuk menunggu
instruksi selanjutnya dari Mike.
“Bagaimana?”
tanya Mike setelah semuanya berkumpul.
“Nihil,”
“Kami
tak melihat seorang pun..”
“Kandang
kuda telah kosong..”
“Tak ada
yang tersisa, pak,”
“Segera
bersiap kita akan menuju desa berikutnya dan membantu tim Margo,” seru Mike
menarik tali kekangnya dan mengarahkan kudanya menuju desa berikutnya. “Bentuk
formasi awal dan sesuaikan dengan masing-masing kecepatan kuda kalian,” serunya
lagi dan membuat isyarat untuk segera memacu kuda.
*
* *
Tim
Margo..
“Kita
belum bertemu Titan sampai sejauh ini.. segera periksa kampung ini.. keadaan
tenang ini sangat berbahaya.. semua berpencar berpasangan dan bergerak dengan
hati-hati,” titah Margo. Ia juga menelusuri sebuah jalan kecil yang mengarah
kedalam desa.
Saat
memasuki bagian dalam desa ia bisa melihat Titan seukuran 5 meter sedang
berkeliaran didekat rumah penduduk. Ia menatap Margo diam, tiba-tiba saja Margo
merasa jantungnya akan berhenti saat itu juga ketika ia sadar Titan itu telah
bergerak cepat mendekatinya. Ia memacu kudanya dan berusaha menghindar diantara
bangunan rumah lainnya.. percuma.. didepannya juga ada Titan lain seukuran 4
meter yang telah melihat sosoknya dengan jelas.
“Dua
Titan dari arah depan dan belakang.. bangunan disini benar-benar sangat buruk
untuk bertarung,” gerutunya lagi berusaha melarikan diri mencari tempat yang
lebih baik untuk bertarung. Kalau sekarang ia menyerang kedua Titan itu,
bukannya selamat dia akan mati sia-sia tanpa perlawanan berarti. Ia terus
berusaha memacu kudanya dan menggiring kedua Titan itu agar mengikutinya ketempat
bagus untuk bertarung dan menjauhi desa.
*
* *
Rhein
telah sampai disalah satu desa terdekat dari distrik, ia menaruh kudanya didalam
hutan dan tidak mengikat kuda itu. Sosok disebelahnya mengikuti langkahnya,
berjalan ringan menuju desa.
“Nona..”
“Ssshh..”
bisik Rhein ia menarik anak disebelahnya agar mendekat dengan tubuhnya dan
mereka merapat pada dinding bangunan. “Ada apa?” bisik Rhein menatap anak itu.
“Apa
sekarang aku sudah boleh bernapas seperti biasa..?” bisik anak itu. Rhein tersenyum
iseng lalu mengangguk pelan, ia baru saja mengerjai anak itu. setelah berusaha
keras menahan tawa ia kembali mengamati sekelilingnya.
“Apa
bangunan itu yang kau maksud?” bisik Rhein sembari menunjuk sebuah bangunan
besar yang ada ditengah desa. Anak disebelahnya mengiyakan dan ia mengeluarkan
sebuah buku catatan kecil dari sakunya kemudian menyerahkannya pada Rhein.
“Apa aku
boleh menyimpan ini?” tanya Rhein setelah ia membaca sekilas isi catatan itu.
Anak itu mengangguk lagi. “Kita akan mengendap-endap menuju gudang itu, kau
mengerti?” serunya lagi sembari menyimpan buku kedalam sakunya.
“Iya..
tapi bukankah situasi disini sangat aman? Nona lihat? tak ada satu pun Titan
disini dan tempat ini sangat tenang sepertinya penduduk sudah pergi
meninggalkan tempat ini..”
“Kau
benar, Collins.. tapi aku minta kau ikuti instruksiku dan jangan pergi jauh
dariku, mengerti? Ketenangan ini membunuhku,”
“Baik
nona..”
Rhein
kembali mengamati sekelilingnya yang memang terlihat sangat aman. Dengan tubuh
sedikit menunduk ia memberi isyarat pada Collins agar bergerak cepat
mengikutinya. Dengan mudah mereka berdua telah berada didepan pintu gedung.
Rhein membuka palang yang terhalang dan mendorong pelan pintu tersebut, ia
segera menarik jubah Collins agar masuk lebih dulu kedalam gedung sebelum
akhirnya ia juga masuk dan segera menutup pintu.
Gudang
itu dipenuhi banyak peti kayu, Rhein memberi instruksi agar Collins
membuatkannya penerangan dengan lampu minyak. Ia mulai membuka peti kayu itu
satu persatu ketika cahaya telah menyinari ruangan.
“Nona,
coba lihat ini..” seru Collins. Ia menunjukkan sebuah botol ditangannya. “Apa
boleh aku membawakan anggur ini untuk Luke?” tanyanya lagi. Rhein hanya menatap
diam botol ditangan Collins.
“Ambil satu
botol untukku, aku membutuhkannya untuk sample,”
“Kau
akan meminumnya? Bukankah kau tidak suka mabuk?” tanya Collins lagi.
Rhein
berhasil mengeluarkan isi peti yang dibukanya, ditangannya ada sebuah botol
anggur yang sama dengan botol ditangan Collins. “Hmm.. Ini bukan minuman yang
pantas diminum manusia.. cepat periksa peti lainnya dan kumpulkan semua sample
itu. Kau sudah membuang waktu berharga kita,”
“Baiklah..”
Keduanya
tengah asyik mengumpulkan beberapa barang baru yang telah mereka temukan, ada
beberapa kaleng makanan dan beberapa botol berisi anggur. Saat itulah Rhein
mendengar suara derap kuda menggema disekitar jalan desa.
Ia
bergerak cepat kedekat Collins dan mematikan lampu minyak lalu menarik anak itu
agar merapat padanya, perlahan mereka menuju jendela, Rhein tahu resiko sangat
besar jika ia membuka jendela dan kemungkinan besar akan mendapati Titan sedang
melirik kedalam gudang hingga sebisa mungkin ia menghindari membuka jendela.
Selain suara derap kuda ia juga bisa mendengar suara dentuman lain yang lebih
keras dan memiliki dampak lebih besar. Ia tahu Titan sedang mengejar para
pasukan berkuda itu.
Dengan
nekat Rhein membuka jendela dan membuat celah kecil untuk sekedar mengecek
keadaan. Ia tak punya pilihan lain. Dari celah itu ia bisa melihat banyak Titan
sedang berlarian mengejar kuda pasukan scouting legiun. Tiba-tiba terdengar
suara dentuman sangat keras dan beberapa reruntuhan dinding beterbangan
disekitar Rhein dan Collins. Ia segera memeluk anak itu dan berusaha sebisa
mungkin menyembunyikan tubuh mereka berdua ketempat yang lebih gelap. Salah
satu bagian dari gudang itu hancur karena tendangan Titan. Setelah keadaan
menjadi sedikit lebih tenang ia menatap Collins.
“Apa aku
terlihat ketakutan?” tanyanya.
“Hmm,
ya.. wajahmu terlihat pucat dan.. kotor..” seru Collins sambil membersihkan
wajah Rhein dengan jubahnya.
“Ayo
kita segera kembali ke kuda, tempat ini tidak cocok untuk bertarung melawan
Titan,”
Rhein
membuat sebuah siulan dan Collins juga melakukan hal yang sama. Beberapa detik
kemudian kedua kuda yang mereka tinggalkan di dekat hutan telah berlari menuju
gudang. Keduanya segera naik ke atas kuda dan memacunya pergi dari tempat itu
secepat mungkin menuju jalan awal tempat mereka datang tadi.
“Collins..”
panggil Rhein. Anak itu menoleh padanya. “Kau bawa semua sample ini dan
amankan, aku akan segera menemuimu.. sekarang pergilah..”
“Kau mau
kemana?”
Rhein
menarik tudung jubah Collins hingga tudung itu menutupi rambut silvernya. “Ada
yang ketinggalan, aku akan mengambilnya..” serunya sambil memakai tudung
kepalanya.
“Kau
tidak sedang berencana untuk menyusul mereka kan? Kau tahu itu berbahaya!” seru
Collins.
Rhein
tersenyum dan menarik tali kekang kudanya agar kuda itu kembali berbalik menuju
desa. “Tentu saja tidak, aku hanya ingin memastikan keadaan desa.. pastikan
dirimu selamat Collins, sebisa mungkin menghindar sejauh mungkin dari para
Titan dan terus pacu kudamu. Aku tak mau sample itu hilang ataupun rusak..”
“Baiklah,
kau juga harus segera kembali mengambil sample ini..”
Collins
segera memacu kudanya pergi menjauhi desa, setidaknya jalur yang tadi mereka
lewati cukup aman. Tapi melihat Titan yang baru saja muncul tadi membuat Rhein
sedikit was-was dengan keadaan Collins. Tapi untuk saat ini ia tak akan
mengkhawatirkan anak itu ia merasa harus segera mengikuti pasukan scouting legion
yang tadi lewat, dengan cepat ia memacu kudanya kembali kedesa dan segera
mengikuti jejak para Titan.
*
* *
Beberapa
pasukan scouting legiun sedang terdesak disalah satu atap bangunan yang cukup
tinggi. Ada banyak Titan berukuran kecil yang setinggi tiga sampai lima meter
mengelilingi bangunan tempat mereka berdiri. “Reiz.. berapa pisau milikmu yang
tersisa?” tanya Karl.
“Tinggal
sepasang ini saja, dan yang satu ini juga sudah patah..” seru Reiz sambil
mengangkat pisau ditangan kirinya.
“Ini..
ambil punyaku masih tersisa satu..” seru Karl, Reiz segera mengganti pisaunya
dengan pisau milik Karl. “Sudah berapa banyak yang kita semua habisi?”
“Aku tak
tahu... terlalu banyak dan aku tak bisa menghitungnya.. dari delapan orang yang
berangkat yang tersisa hanya kita berempat, sialan!”
“Haahh...
ini kesempatan terakhir kita, hei Joan, Marriette.. bagaimana keadaan kalian?”
tanyanya lagi pada dua gadis yang tersisa.
“Kami
akan sebisa mungkin menghabisi bagian sebelah sini,” seru Joan menunjuk arah
datangnya Titan.
“Baiklah,
semuanya.. berusahalah untuk tetap hidup.. setidaknya setelah ini kita bisa
berpesta,” seru Karl memberi komando. Keempat orang itu bergerak dan mulai
menghabisi Titan yang tersisa. Satu, dua, tiga, empat.. beberapa Titan telah
berhasil dirubuhkan dan salah satu Titan mengibaskan tangannya dengan gerakan
sangat cepat, membuat tali manuver three dimensional milik Reiz tersangkut di
tangan Titan itu.
Joan dan
Marriette melihat kondisi Reiz yang sudah hampir tewas, Titan itu berhasil
menggenggam tubuh Reiz sementara pria itu berusaha menggeliat untuk melepaskan
diri. Marriette memekik nyaring dan berbalik berusaha menyelamatkan Reiz,
wajahnya terlihat sangat panik.
“Marriette!”
panggil Joan panik. Ia takut Marriete kehilangan tujuan untuk bertarung jika
melihat Reiz tewas ditangan Titan itu. Namun Marriette tak menghiraukan
panggilan Joan, dengan membabi buta ia melesatkan tali manuvernya dan bergerak
sangat cepat tanpa melihat situasi. Ia segera mengarah kearah Titan itu dan
memotong tangannya yang menggenggam tubuh Reiz. Namun sayangnya Reiz kurang
refleks untuk menggerakkan pendorong manuvernya hingga tubuhnya melayang jatuh
bersama tangan Titan itu.
Karl
melesat mendekati Marriette yang masih melayang diudara dan terlihat sangat
panik. Ia segera memperingatkan Marriette agar segera melesat menuju atap.
Namun Marriette terlalu panik saat melihat Titan lainnya datang mendekati tubuh
Reiz yang tergeletak ditanah.
“Reiz!!!”
panggil Marriette, Karl segera bergerak menangkap tubuh Marriette dan
mengarahkannya kembali ke atas atap. Wajah Marriette sangat pucat dan ia hanya
mampu terduduk tanpa bisa bergerak. “Reiz..” gumamnya. Joan dan Karl hanya bisa
menatap Marriette yang telah kehilangan semangat bertarung.
Terdengar
sebuah dentuman yang sangat keras dan salah satu Titan jatuh terduduk.
Perhatian ketiga orang itu kembali fokus dan mereka bisa melihat uap panas
menyembur keluar dari salah satu tubuh Titan, dibawah sana seekor kuda tampak
pergi menjauh membawa seseorang diatas
punggungnya.
“Siapa..?
Ke.. kenapa?” gumam Karl. Seseorang melesat cepat dan berputar diudara menebas
tengkuk beberapa Titan dalam sekali lompatan. Mereka tak bisa melihat sosok itu
karena tudung yang dikenakannya. Namun jubahnya sangat jelas sekali adalah
jubah scouting legion.
Dalam
sekali putaran ia bisa menebas empat tengkuk Titan sekaligus dan kembali
menginjakkan kakinya diatas atap yang sama dengan ketiga pasukan lainnya. “Hei
apa kalian baik-baik saja?” sapanya dengan tudung masih menutupi kepalanya.
“Sebaiknya kita atur strategi secepatnya,
ayo kemarilah sebelum mereka berhasil memanjat bangunan ini..”
“Kau
siapa?” tanya Joan.
“Aku?
Aku bukan musuh, ayo kemari kita rapat sebentar sembari menunggu bantuan
datang..”
“Bantuan?”
“Pasukan
yang lain pasti sedang menuju kesini, setidaknya kita harus bertahan sampai
bantuan tiba.. coba kita lihat senjata kalian yang masih tersisa,” serunya.
“Kami
hanya memiliki sepasang pisau ini, bahkan sekarang pisau Marriette telah
patah,”
“Marriette
segera ganti pisaumu dengan pisau cadangan milikku,” serunya sambil
memperlihatkan peralatan manuver miliknya.
“Tapi
Marriette sekarang...” cegah Joan karena Marriette masih terduduk panik.
“Apa?
Bukankah dia masih bisa bertarung?” potong Rhein sambil mendekati Marriette. “Hei
Marriette temanmu baik-baik saja.. Kalian tidak boleh mati disini, mengerti?
Cepat ambil pisauku, Marriette,” titahnya lembut.
Marriette
yang telah mendapatkan kembali ketegarannya segera mengganti pisau miliknya
dengan pisau cadangan baru. Dengan cepat mereka mengatur strategi bertahan
menggunakan peralatan yang tersisa.
“Apa kalian
bisa menghitung ada berapa bangunan tinggi diwilayah ini yang bisa dijadikan
pijakan?” tanyanya, meskipun pertanyaan itu seolah menganggap orang lain bodoh,
namun dengan refleks ketiganya memandang kesekeliling bangunan dan menghitung.
Ada
sekitar delapan bangunan cukup tinggi sekitar empat sampai enam meter didekat
mereka dan yang tertinggi adalah tower yang saat ini mereka pijak. Lokasi yang
cukup berbahaya mengingat ke delapan bangunan itu berdiri secara acak dan ada
yang tidak berdampingan.
“Dengar,
aku akan menggiring mereka kearah bangunan itu,” serunya menunjuk ke salah satu
bangunan setinggi delapan meter yang berada cukup jauh dengan mereka. “Kita
bisa menggunakan bangunan yang ada untuk mensejajarkan gerakan manuver kalian.
Saat mereka mengejarku, kalian ambil kesempatan terbaik untuk menebas tengkuk
para Titan dengan urutan paling aman yaitu dari Titan paling belakang. Saat aku
melesat biarkan beberapa Titan mengikutiku setelah itu salah satu dari kalian harus
segera bergerak dan menghabisi Titan dibelakangku, begitu seterusnya kalian
akan bergerak secara bergiliran, tujuannya supaya orang terakhir bisa melihat
situasi paling aman saat ia bisa bergerak untuk melindungi bagian belakang
teman lainnya,”
“Kau
berniat jadi umpan kan?” celetuk Karl.
“Ya
tentu saja.. tapi disini kita semua yang akan menjadi umpan,”
“Dan kau
tahu? Masih tersisa lebih dari sembilan Titan yang ada dibawah kita, bagaimana
mungkin kau yakin bahwa semuanya akan termakan pancinganmu hingga kau bisa
dengan mudah menggiring mereka. Gerakan mereka sangat cepat, apa kau ingin
bunuh diri?” seru Karl sebal karena ia tak ingin dikomando oleh orang ini, ia
merasa khawatir dengan rencana seseorang yang tak dikenalnya.
“Jangan
khawatir, kita cukup menghabisinya satu persatu.. lagi pula aku yakin kalian
adalah pasukan pilihan terbaik dari yang terbaik..”
“Ini
bukan masalah kami adalah pasukan terbaik atau tidak tapi dengan rencana tidak
masuk akalmu itu aku yakin kita tak mungkin selamat, kita tak tahu pasti ini
akan berhasil atau tidak. Dengar.. kami sudah mendapat instruksi untuk
menghabisi Titan dengan resiko seminimal mungkin. Pilihan terbaik adalah
menyabet mereka saat itu juga,”
“Hmm...
serangan membabi buta hanya akan membuat kalian mati sia-sia apalagi dengan menipisnya
gas pendorong dan pisau yang hanya tinggal sepasang itu, kita butuh sebuah
rencana kecil dan cukup mencobanya sebaik mungkin, setidaknya kalian harus
bertahan sampai pasukan lainnya datang itu prioritas utama saat ini..” Rhein
tidak melanjutkan kalimatnya saat gedung tempat mereka berpijak bergetar hebat.
Beberapa Titan itu berusaha untuk merobohkan tower. “Kita sudah tak punya waktu
lagi... super man, aku akan pergi memancing mereka terserah kalian ingin
membantuku atau tidak,” serunya bangkit dan berjalan menuju pinggiran atap
gedung.
“Dia
benar-benar gila..” gumam Karl tak habis pikir.
Terdengar
bunyi ledakan diudara dan perhatian beberapa Titan beralih mendekati sosok
bertudung itu berusaha menggapainya. Segera saja ia melesat menggiring
Titan-titan itu mengitari bangunan tinggi.
“Ayo
Karl.. setidaknya kita tak boleh membiarkan penyelamat Reiz membuang nyawanya
begitu saja untuk kita,” seru Joan, ia berjalan menuju pinggiran atap.
“Hhh,
kalau kita selamat aku ingin sekali melihat wajahnya.. ayo Marriette.. kau bisa
mengerjakan omong kosong ini kan?”
Bahkan
tanpa bisa disadarinya, Marriette justru melesat lebih dulu mengikuti lima
Titan yang mengejar sosok bertudung itu. Joan dan karl terkejut melihat kondisi
psikologis Marriette yang membaik secepat itu dengan segera mereka melesat
mengikuti instruksi yang telah direncanakan dengan posisi Karl berada dipaling
belakang. Mereka mulai menebas tengkuk para Titan dengan sangat mudah. Rencana
ini terlihat sangat lancar namun ternyata dibagian paling depan justru lebih
berbahaya lagi.
Salah
satu Titan setinggi enam meter muncul tiba-tiba dari arah samping dan ia
mengayunkan tangannya hingga mengenai tubuh sosok berjubah dan membuatnya
terlempar ke atas atap, namun dengan cepat sosok itu berusaha bangkit dan ia
berhasil berkelit agar tidak tergenggam oleh Titan dan tak lama terdengar bunyi
dentuman yang sangat nyaring membuat Titan itu kehilangan sisi wajah sebelah kanannya
dan seketika saja tubuh besar itu kehilangan keseimbangan. Dengan gerakan
berputar sosok itu menyabet tengkuk Titan. Ia melesat terlalu tinggi dan terlau
cepat hingga Marriete yang sedang menyelesaikan tugasnya dibelakang para Titan
menatapnya penuh rasa shock.
Beberapa
Titan lain terus muncul dari kiri dan kanan sosok bertudung namun dengan sigap
ia bergerak dan terus menyabetkan pisaunya berusaha melindungi kadet lain yang
ada dibelakangnya.
Setelah
beberapa menit berkutat dengan para Titan akhirnya mereka sampai di bangunan
tujuan mereka dan segera menghitung berapa Titan yang telah berhasil mereka
lumpuhkan sejauh ini. Marriette berhasil menyabet lima Titan yang tadi bergerak
didepannya dan Joan berhasil menyabet empat Titan dibelakang Marriette.
Ketiganya menunggu kedatangan Karl yang masih membawa banyak pengikut.
“Aku menghabisi enam Titan dibelakang
Joan,” seru Karl dengan napas terengah saat berhasil bergabung kembali dengan
timnya. Total Titan yang berhasil dihabisi ada dua puluh. Namun masih ada
beberapa Titan yang mengikuti mereka.
“Hei..
apa kalian tahu berapa banyak penduduk diwilayah ini yang tewas?” tanya Rhein
membuat ketiganya kebingungan.
“Kami
tidak tahu.. tidak ada waktu untuk menghitungnya..” jawab Joan.
“Kita
habisi sisanya dengan cara tadi?” tanya Karl mulai bersemangat.
“Jangan,
kita periksa gas pendorong dulu.. kalian masih bisa melakukan berapa dorongan
lagi?”
“Punyaku
sudah habis..” seru Marriette.
“Sepertinya
gasku hanya cukup melakukan dua dorongan lagi,” seru Karl.
“Aku
juga..” gumam Joan lesu.
“Kalian
butuh kuda..” gumam sosok itu.
Karl
berjalan cepat mendekati sosok bertudung “Hei perempuan.. kemana kuda itu
membawa Reiz pergi?” tanya Karl.
“Aku
tidak tahu, tapi semoga saja kuda itu bisa membawanya selamat sampai di kota,”
“Hei,
bagaimana kalau kuda itu tersesat dan Titan lainnya mengejar mereka?” seru Joan
panik. “Kau justru membahayakan nyawa Reiz dan penduduk lainnya.”
“Tenang
saja.. dia kuda yang sangat pintar..”
“Kau
selalu bersikap seperti ini dari tadi, jujur saja ketenanganmu membuatku muak,”
seru Karl menarik jubah sosok itu dengan perasaan kesal. Ia bisa merasakan
lengannya menyentuh sesuatu yang asing dibagian dada sosok misterius itu dan
tudungnya terbuka. Seorang gadis berambut kuning keemasan dan bermata biru
sedang menatap tajam dirinya. Karl segera melepaskan genggamannya dijubah itu.
“Maafkan
aku, aku tak bermaksud mengorbankan nyawa teman kalian tapi semoga saja kudaku
bisa membawanya dengan selamat ketempat yang aman,” seru Rhein.
“Aku tak
pernah melihatmu sebelumnya..” seru Karl. Tentu saja karena Rhein berada
dikastil yang berbeda dengan beberapa pasukan scouting legiun lainnya. “Kau
dari resimen mana?”
“Hei,
lenganmu berdarah..” seru Marriette menunjuk lengan Rhein yang telah basah oleh
darah.
“Ini
bukan masalah besar, aku akan selesaikan sisanya sementara itu kalian tetap
disini,” dengan refleks Rhein menyembunyikan lengannya dibelakang tubuhnya dan
memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Karl.
Tanpa menunggu persetujuan dari ketiganya ia
melesat kearah Titan-titan itu. Ada hal lain yang ingin ia pastikan. Apa ada
kemungkinan lain yang menarik Titan untuk memangsa manusia tak hanya dari
bentuk fisik saja.
“Sial,
cewek itu..” gumam Karl kesal. Ia telah bersiap untuk membantu Rhein namun
serombongan pasukan berjubah hijau lainnya telah melesat kesekeliling Titan dan
menghabisi Titan yang telah tersisa. Dalam sekejap saja ia sudah tak bisa
melihat sosok Rhein diantara para senior yang telah datang membantu mereka.
Marriette beralih kesebelah Karl.
“Hei,
Karl kenapa wajahmu memerah ketika melihat wajah gadis yang kau benci itu?”
tanya Marriette.
“Tck,
diam kau..”
*
* *
Rhein
memacu kuda curiannya dengan sangat cepat, ia memutuskan untuk segera kembali kekastil
setelah menolong Reiz dan membawa pria itu pada Collins agar bisa segera
dirawat. Marquess dan peralatan manuvernya akan dijaga oleh Collins karena tak
mungkin ia membawa semua itu ke kastil.
Darah terus mengalir dari lengannya,
ia tak menghiraukan permintaan Collins untuk tinggal dan dirawat, ada hal
penting lain yang harus segera ia bereskan. Dengan mata yang mulai kabur dan
tubuh yang sangat lelah ia terus memacu kudanya menuju kastil Rivaille. Dalam
perjalanannya dari kejauhan ia bisa melihat seprai robeknya yang menjuntai
keluar dari jendela lantai dua kastil. Hal itulah yang membuatnya khawatir, ia
harus segera mengamankan seprai itu sebelum Rivaille melihatnya dan mengamuk.
Dengan
cepat ia mengikat kudanya dikandang kuda lalu berlari sempoyongan mengitari
kastil dan masuk dari pintu depan. Bangunan itu masih sangat sepi, ia merasa
lega karena sepertinya Rivaille belum kembali. Namun ketika melewati koridor
dalam, sosok yang sedang duduk elegan dikursi itu mengagetkannya. Ia menoleh
dan melihat Rivaille baru saja selesai meminum teh dari cangkirnya. Melihat
ekspresi Rivaille ia kembali teringat pada Dot Pixis yang selalu menghukumnya
karena semalaman tidak pulang kerumah dan kabur lewat jendela.
Rivaille berjalan santai mendekatinya.
“Kau..” namun Rivaille tidak melanjutkan kata-katanya matanya bergerak cepat dari
wajah pucat Rhein yang terlihat sangat lelah ia menatap sesuatu yang menetes
dilantai. Ia berjalan mendekati Rhein. “Tck.. kau ini keterlaluan sekali..”
serunya sembari menggendong Rhein yang sudah kelelahan dengan gaya bridal style.
Rhein
bernapas sangat lambat dan ia memeluk bahu Rivaille dengan perasaan tenang. Ia
tahu pria itu akan memakinya tapi tak apa dia sudah siap menerima makian apapun
yang penting ia telah mendapatkan apa yang ia inginkan didesa itu. Rivaille masuk
kedalam kantor dan mendudukkannya di sofa.
Rivaille
mengambil sebuah kotak kecil dari dalam lemari penyimpanannya ia menarik kursi
kayu lain kedepan Rhein dan duduk dikursi itu. Rivaille membuka kotak kecil dan
didalamnya ada perlengkapan P3K.
“Tanganmu,”
pintanya. Rhein mengulurkan tangannya yang masih bercucuran darah. Rivaille
melepas jubah scouting legion yang masih dipakai Rhein hingga ia bisa melihat
luka yang cukup besar dilengan gadis itu. Luka itu akan meninggalkan bekas
sangat besar karena robekannya cukup dalam.
Ia mulai
membersihkan luka Rhein. “Kau.. merobek
sepraimu dan kabur lewat jendela?” tanyanya dengan nada suara datar.
“Hmm..
aku sedang terdesak.. ada pekerjaan yang harus kulakukan,”
“Apa kau
lupa aku baru saja mencuci seprai itu kemarin?” tanyanya lagi, membuat Rhein
harus menelan air liurnya dengan susah payah.
“Hmm..
sepertinya iya.. tapi aku agak lupa.. auch!” rintihnya menahan sakit. Rivaille
menatap wajah Rhein sambil terus mengobatinya tak ada air mata kesakitan yang
mengalir disudut mata itu.
“Apa kau
sudah dapat yang kau inginkan?” tanyanya lagi. Rhein tahu apa yang dimaksud
Rivaille.
“Hmm..
ya, sebagian besar..”
“Kau benar-benar gadis yang nekat..
membuatku teringat pada seseorang..”
“Hmm..
kuharap orang itu tidak banyak membuatmu kesal.. Rivaille,”
“Bisa kukatakan
kalian setara, dia bisa melakukan hal lebih bodoh lainnya bahkan dengan mudah
ia mengantar nyawanya begitu saja kedepan pintu kematian padahal tak seharusnya
ia melakukan itu..” Rhein diam mendengarkan dan matanya terus mengamati wajah
tenang tanpa ekspresi Rivaille yang masih membalut lukanya dengan perban yang
ia pegang. “Dengan luka sebesar ini dan sifat pembangkang ini apa akan ada pria
yang mau menikahimu..?”
“Hmm..
Kurasa tidak akan ada pria baik yang mau menikahi wanita sepertiku.. bagiku tak
masalah karena aku tak ingin menikah,”
Dahi
Rivaille berkerut namun matanya masih menatap luka Rhein. Ia menyelesaikan
simpul terakhirnya. “Gadis malang,” seru Rivaille sembari menatap Rhein dengan
tangan terlipat didada.
“Terima
kasih sudah mengobatiku.. aku akan segera memperbaiki dan membersihkan seprai
itu jadi kau tak perlu khawatir..”
Namun
Rivaille tidak menjawabnya, matanya masih menatap Rhein lekat-lekat hingga
membuat gadis itu merasa jengah. Ia tahu Rivaille akan menghukumnya lebih parah
daripada menulis jurnal setebal setengah meter. “Aku telah memutuskan
sesuatu..”
“Hmm.. apa?”
Rivaille menatap dalam langsung kemata
Rhein dan dengan penuh keyakinan dia mengucapkannya. “Kau harus jadi
kekasihku..” seru Rivaille.
“...”
“...”
“Tidak..
Tidak mungkin.. kau tidak serius mengatakan hal itu, aku tahu..” seru Rhein
tertahan, ia sangat kaget dengan perkembangan baru ini.
“Apa kupingmu buntu? Apa kata-kataku
kurang jelas, kadet? Kau pikir aku sedang bercanda?” Rivaille berdiri dan
meletakkan kedua tangannya menekan punggung sofa, mengurung tubuh Rhein. “Mari
kita perjelas lagi..”
Rivaille mengangkat dagu Rhein agar
wajah mereka bisa berhadapan. Wajah mereka berdua sangat dekat, dan jarak
diantaranya tiba-tiba memudar seketika. Rhein dapat merasakan kehangatan bibir
Rivaille menjalarinya, tanpa bisa disadarinya ia telah menutup matanya dan perlahan
membalas ciuman Rivaille, melumat lembut bibir shorty corporal yang sempat
dibencinya ternyata rasanya tidak begitu buruk. Aroma mint dari tubuh Rivaille
memenuhi hidungnya dan membuatnya nyaman, ciuman itu membuatnya hampir
kehabisan napas. Perlahan Rivaille menjauhkan bibir mereka berdua, lelaki itu
bisa melihat rona merah dipipi Rhein yang putih pucat.
Rivaille menyunggingkan senyuman
liciknya. “Sepertinya kau sudah mengerti apa yang kumaksud, Forester?” Rivaille
meletakkan tangannya dikepala Rhein dan mengelusnya lembut. “Aku tahu kau lebih
suka jika aku menjelaskannya dengan kekerasan,” serunya lagi lalu berjalan
menjauh.
Wajah
Rhein semakin merona merah, namun ia berusaha menenangkan dirinya. “Tidak.. kau
memang tidak pernah suka keinginanmu ditolak.. itulah kenyataan sebenarnya,”
Rivaille
kembali mendekatkan tubuhnya pada tubuh Rhein dan menatap matanya lekat-lekat.
“Mulai saat ini kau adalah kekasihku, aku akan terus mengawasimu secara
pribadi. Sekarang kembalilah kekamarmu dan istirahat, besok kita lanjutkan
lagi,” serunya lalu pergi meninggalkan Rhein.
*
* *
Sometimes.. i feel the same way.. :p
Pppffffttthhhh... Levi..yang sabar ya hubby..
0 comments:
Post a Comment