Shingeki No Kyojin Special
: Levi’s Romantic Love Story
“Wild Flower”
Genre : Romance, Action, Mature
Song : Gentleman by Daniela Andrade
Chapter 5
Love Me Harder, Captain!
2
hari sebelum ekspedisi..
Di
siang hari yang terik itu, ketua pasukan penjaga Komandan Dot Pixis yang
diikuti beberapa bawahannya memasuki gedung akademi. Kunjungan Pixis kali ini
khusus untuk menemui Jacob Abelard, membicarakan informasi baru dan kemungkinan
untuk meminta bantuan dari akademi.
Para
rombongan melewati koridor panjang dengan pemandangan lapangan latihan dikiri
dan kanannya. Dengan mudah ia bisa melihat kedua orang gadis sedang berlatih
memanah di salah satu sudut lapangan. Tepat ketika Minazuki untuk pertama
kalinya berhasil membidik anak panah dengan tepat ke titik fokus di papan
sasaran.
Mengakhiri
kesenangannya menonton pemandangan barusan rombongan itu pun berbelok di
koridor selanjutnya dan akhirnya sampai di depan pintu masuk ruang kerja Jacob Abelard.
Pixis masuk seorang diri kedalam ruangan itu.
“Pixis!”
sambut Abelard. Pixis tersenyum dan berjalan santai kearah sahabat lamanya.
“Lama tidak melihatmu kawan, tampaknya kau masih bertahan hidup,”
“Lama
tidak mendengarmu mengatakannya, Abelard,”
“Ku
tebak ini bukanlah kunjungan biasa, seorang Pixis muncul dalam jam tugas, kabar
apa yang kau bawa untukku,”
Pixis
mendelikkan kepalanya, Abelard memang benar. Ini bukan kunjungan biasa dan pria
ini selalu mengatakan semuanya tanpa basa-basi.
“Seperti
biasa kau selalu bisa membaca pikiranku, tapi sebenarnya aku kemari untuk
mengajakmu bermain catur” serunya sembari mengeluarkan papan catur dan
bidak-bidaknya dari dalam tas kecil yang dibawanya.
Abelard
tertawa pelan. “Apa yang terjadi?” Tanyanya setelah mempersilakan Pixis duduk
dengan menggunakan isyarat tangannya. Mereka mulai mengatur bidak catur
masing-masing.
Pixis
memulai permainan lebih dulu, ia menggerakkan bidak prajuritnya. “Aku mendengar
informasi baru dari Hanji,”
“Wanita
freak dari pasukan pengintai itu ya? Analisis apa lagi yang muncul dari
kepalanya yang jenius itu?”
“Menurut
Hanji sebagian besar populasi penduduk yang ada dalam benteng ini kemungkinan
besar memiliki kemampuan berubah menjadi titan. Tentu saja hal ini masih dalam
penyelidikan, kami belum bisa memberitahukan semua informasi ini pada yang
lainnya.”
“Kalau
kau sampai menyampaikan informasi sepenting ini kepadaku aku berasumsi bahwa
pendapat Hanji sangat benar, bukankah hal ini membutuhkan perencanaan serius?
Apalagi mengingat keputusanmu untuk menyembunyikan hal ini dari pasukan
lainnya. Katakan padaku... apa kau sedang mengalami krisis kepercayaan?”
Pixis
tersenyum mendengar penuturan sahabatnya.
“Kupikir
aku sedang mengalaminya, mengingat sangat sedikit yang bisa dipercaya dalam masa
sesulit ini,”
Abelard
menatap sahabatnya dalam diam. “Jadi.. apa aku masih termasuk dalam orang
kepercayaanmu?”
Pixis
kembali tertawa dan menjalankan bidak lainnya. “Kupikir kau sudah mengetahui
jawabannya. Tapi alasanku kemari adalah.. aku ingin meminta bantuanmu,
tepatnya.. bantuan akademi,”
Abelard
menangkupkan kedua jarinya dan ia menatap Pixis dengan tatapan serius. “Kau
ingin menggunakan mereka untuk apa? Begini saja, aku akan mempertimbangkan
permintaanmu, kau tahu.. aku tak bisa begitu saja mengorbankan nyawa anak-anak
yang belum siap mati ini,”
“Jangan
salah paham dulu, saat ini pasukan penjaga memang tidak kekurangan prajurit.
Namun aku ingin meminta beberapa anak didikmu yang memiliki kemampuan tinggi
untuk menjalankan beberapa tugas. Tugas ini tidak sulit, kami membutuhkan
beberapa bantuan dibagian peralatan manuver three dimensional tugasnya cukup
mudah hanya mengumpulkan informasi dan memastikan pengantaran dengan aman, tapi
akan sangat sulit jika mereka tidak memiliki mental yang kuat,”
Abelard
terdiam sejenak menatap bidak-bidak catur miliknya. “Aku punya beberapa nama,
tapi aku akan memikirkannya lagi. Maaf Pixis karena untuk saat ini aku belum
bisa memberikan jawaban untukmu,”
Pixis
tersenyum sambil menganggukkan kepalanya santai. “Skak mat!” serunya.
“Aahh..
lagi-lagi kau melakukannya, tak bisakah kau sedikit mengalah padaku? Pixis mari
kita sudahi saja permainan ini, aku sudah bosan melawanmu,”
“Ingin
jalan-jalan sebentar?” ajak Pixis.
Keduanya
keluar dari dalam ruangan Abelard dan memutuskan untuk berjalan-jalan santai
mengelilingi akademi.
“Dalam
perjalanan kemari aku melihat sesuatu yang menarik Abelard,”
“Ku
harap bukan sesuatu yang memalukan,”
“Tentu
saja bukan..” Pixis menghentikan langkahnya dan memandang keluar lapangan
dimana kedua gadis itu masih berlatih memanah.
“Ternyata
mereka berdua masih melakukannya,” gumam Abelard terdengar sebal.
“Dimana
kau menemukannya Abelard?”
Abelard
menatap Pixis dengan tatapan ingin tahu. Kemudian ia memandang ke lapangan ke
arah tatapan Pixis.
“Kristina
Burnhild? Dia memang seorang pemanah yang sangat berbakat di angkatannya,
matamu memang sangat jeli. Sejujurnya namanya masuk dalam daftar yang kau
inginkan. Tapi tentu saja aku belum menyetujui permintaanmu..”
“Bagaimana
dengan gadis yang satunya?” tanya Pixis, tatapannya masih terfokus pada dua
gadis itu. Abelard kembali menatap Pixis dengan tatapan tak percaya. “Bukankah
dia keturunan langka?”
Abelard
terdiam sebelum akhirnya memutuskan untuk memberitahu Pixis. “Rupanya mata
tuamu masih berfungsi sebaik ini Pixis, dia adalah salah satu yang tersisa dari
keturunan itu,”
“Orang
tuanya?”
“Tewas
oleh titan,”
Pixis
mengalihkan pandangannya dari lapangan dan mengernyitkan dahi menatap Abelard. “Penanggung
jawabnya?”
“Dia
mengajukan dirinya sendiri untuk mengikuti akademi ini, tidak punya nama depan hanya
Minazuki,”
“Hmm,
terdengar seperti musim panas bagiku,”
“Tapi
aku mendapat informasi khusus, bahwa saat ini dia berada dibawah pengawasan
mantan pembunuh bawah tanah terkejam dan Kapten pasukan pengintai,”
Pixis
masih menatap lapangan dalam diam lalu kembali menatap Abelard. “Korporal muda Rivaille
Ackerman?”
Abelard
menelengkan kepalanya mengiyakan. Pixis tersenyum penuh arti.
“Tak
kusangka manusia berbahaya itu bisa memiliki sesuatu sebagus ini, kalau kau
sepakat aku ingin namanya masuk dalam daftarku,”
* * *
Keduanya terus berjalan, Rivaille
memimpin didepan sementara tangannya masih menarik tangan Minazuki yang terus
berusaha mengikutinya dengan langkah setengah berlari. Hari telah mulai beranjak gelap.
“Pelan-pelan
Rivaille, aku capek,” ringis Minazuki.
“Kau
bilang ingin membantu melawan Titan tapi baru jalan sebentar saja kau sudah
capek,” protes Rivaille. “Apa bualanmu itu cuma omong kosong?”
“Aku
kan tidak sepertimu, istirahat sebentar,”
Rivaille
membiarkan gadis itu menarik napas sebanyak-banyaknya dan ketika sudah merasa
lebih baik ia kembali menarik tangan Minazuki. Rivaille melepas tangan Minazuki
ketika mereka sudah berada didepan halaman sebuah rumah.
“Kenapa
kita kesini?” tanya Minazuki saat menyadari keberadaan mereka sekarang.
“Apa
kau lapar?”
“Hmm..
sedikit,”
“Ayo
masuk,”
Keduanya
masuk kedalam rumah yang sudah lama mereka berdua tinggalkan itu. “Sepertinya
kau sudah bekerja keras selama beberapa bulan ini,” seru Rivaille sembari
membuka jaket dan jubahnya lalu menggantungnya digantungan baju.
“Maaf
kalau hari ini sedikit berdebu, aku tidak sempat mengurus rumah ini karena
seseorang sedang menculikku,”
“Tenanglah,
Idiot,”
“Kau
mau mandi? aku akan memanaskan air untukmu sebelum memasak,”
“Pergilah
memanaskan air,” seru Rivaille. “Aku akan pergi sebentar, kau bisa mandi lebih
dulu,”
“Kau
mau kemana?”
“Tunggu
saja disini dan jangan sentuh apapun, aku akan segera kembali,”
“Baiklah,
aku mengerti!”
Sepeninggal
Rivaille Minazuki sibuk memanaskan air di kamar mandi utama. Sembari menunggu
air menghangat ia kembali keruang tamu dan melakukan sedikit tur, ia memasuki
kamarnya dan melihat pemandangan lama yang sudah ditinggalkannya lalu beranjak
kekamar Rivaille, sama seperti biasa kamar itu tidak mengalami perubahan
apapun. Sesuatu yang terletak diatas meja Rivaille mengusik perhatiannya, ia
mendekatinya dan melihat sebuah tas biola. Ia kembali teringat saat Rivaille
memainkan alat musik itu untuknya dan.. ciuman itu.
“Ah..
airnya..” serunya sembari bangkit berdiri. Ia memutuskan akan membawa biola itu
bersamanya nanti.
Air
yang akan di gunakan untuk mandi kini telah cukup panas, namun Rivaille masih belum
juga muncul ketika ia bolak-balik mengecek pintu hingga akhirnya ia pun memutuskan
untuk mandi lebih dulu.
Teringat
kembali kata-kata Rivaille saat mereka berada ditaman, Minazuki ingin tahu apa
yang yang sebenarnya ada dalam benak Rivaille. Semua yang dilakukan lelaki itu
hari ini benar-benar sangat menyenangkan untuknya tapi entah kenapa dia
merasakan sesuatu yang lebih besar sedang menunggunya.
“Kau
tidak berencana untuk menghilang dariku tanpa mengatakannya kan..?” gumamnya.
“Kalau iya.. aku akan membunuhmu, sialaan!!” serunya lagi sembari memukul air.
Tanpa
disadarinya ia telah mandi selama dua puluh menit. Ketukan dipintu kamar mandi
mengagetkannya.
“Hei,
apa kau didalam?” terdengar suara Rivaille dari balik pintu. “Apa kau baik-baik
saja? Kau tidak mati kan?”
“Ah!
Ya! Sebentar lagi aku selesai,” pekiknya panik.
“Cepatlah!”
Minazuki
segera mengenakan pakaiannya lagi, ia tidak punya baju ganti lain dan harus
memakai baju yang sama. Setelah selesai mengeringkan rambutnya hingga setengah
kering ia menuju dapur untuk melihat keadaan Rivaille. Ia dapat menghirup aroma
roti dan aroma lain yang membuat perutnya keroncongan. Ia melihat Rivaille
sedang menyiapkan makan malam mereka diatas meja makan.
“Kau memasak
semua ini?” tanya Minazuki, ia benar-benar sangat terkejut.
“Sampah
ini akan terasa lebih enak dari makanan buatanmu, kau tahu?”
“Hei,
kau harus lebih hati-hati menggunakan kata-kata itu dalam kalimatmu,” serunya.
Rivaille menatapnya dingin lalu bergerak mengitari meja makan, ia menarik kursi
dan mempersilakan Minazuki duduk. Lalu Rivaille duduk dikursi lain yang ada
diseberang meja hingga mereka bisa melihat wajah satu sama lain. Lilin-lilin
itu membuat suasana terasa lebih berbeda.
“Apa
kau memang sudah merencanakan semua ini? Aku... benar-benar tidak menduganya
sama sekali,”
“Karena
kau selalu berpikir bahwa aku tak mungkin mampu mengerjakan hal seperti ini,”
“Bukannya
begitu... hanya saja semua ini sangat... berbeda... kau tahu... ini sangat
romantis,”
“Aku
yakin akan lebih baik jika kau segera memakan makanan itu sebelum kau mati
kelaparan, idiot,”
“Ooh..
benar-benar sangat sopan, Kapten,” balas Minazuki namun wajahnya tersenyum. Ia
mengamati makanan yang ada dalam piring itu. “Ini apa?”
“Itu
makanan prancis kalau ku katakan juga kau tidak akan mengerti. Makan saja dan
jangan banyak tanya,” seru Rivaille.
“Okee..
kau tidak harus meraung seperti itu padaku, aku memang akan memakannya. Aku
tidak sebodoh itu lagi pula aku sudah lapar sekali” Rivaille bangkit dari
kursinya dan mendekati meja Minazuki namun gadis itu masih terus saja mengoceh
sebal. “Mana mungkin aku tidak memakannya.. lagipula ini masakan buatanmu aku..
hmmmpphhh”
Rivaille
mengecup bibir Minazuki dan melumatnya lembut, ia membuat gadis itu kesulitan
bernapas untuk sejenak.
Rivaille
menghentikan ciumannya ketika Minazuki sudah bersikap lebih tenang. “Hidangan
pembuka yang sangat enak bukan?” serunya. Kata-kata Rivaille membuat wajah
Minazuki langsung memanas.
“Lumayan,
tapi tidak begitu berkesan,” balas Minazuki ia mulai memakan makanannya.
“Ooh...
aku mengerti, kau bisa mendapatkan hidangan utama yang lebih baik nanti,”
Rivaille kembali duduk dikursinya ia mengamati Minazuki yang telah memakan
makanannya.
“Tidak
tertarik,” balas gadis itu lagi.
Namun
Minazuki sama sekali tak menyangka bahwa Rivaille bisa memasak makanan ini,
rasanya juga lumayan enak. Ia kembali terpesona pada lelaki yang sedang makan
dengan tenang didepannya. Melihat hubungan mereka baik-baik saja meskipun
Minazuki masih belum tahu Rivaille menganggapnya sebagai kekasih atau bukan,
dia merasa renungannya ketika mandi tadi terlalu berlebihan.
Keduanya
menghabiskan makan malam dengan tenang dan Rivaille memarahi Minazuki ketika
tau gadis itu akan mencuci piring. “Kau duduk saja dikursi itu dan lakukan
kegiatan konyolmu sesukamu, biar aku yang mencuci semua ini,” serunya sembari
mendorong punggung Minazuki lembut.
“Kau
memang sedang sakit, Kapten,”
“Terima
kasih,” balas Rivaille lalu kembali menuju dapur. Minazuki duduk disofa panjang
yang ada diruang tamu sambil memeriksa lagi tas biola yang tadi ditaruhnya
diatas meja disebelah sofa. Ia memutuskan akan belajar memainkan alat musik itu
nanti.
Rivaille
telah menyelesaikan pekerjannya dan ia pun beranjak menemui Minazuki yang ada
diruang tamu.
“Ckk..
benar-benar pemalas bisa-bisa nya dia tertidur begitu saja setelah makan
malam,” gerutu Rivaille. Ia membuka bajunya dan beranjak kekamarnya tak lama
kemudian dia turun kembali dengan handuk tersampir dibahunya, ia memutuskan
untuk mandi selama gadis itu tertidur.
Beberapa
menit berlalu ketika Minazuki merasa setengah terbangun. Ia benar-benar
kelelahan setelah jalan seharian dan merasakan sofa itu tempat yang lebih
nyaman daripada kasurnya yang ada di asrama. Wangi yang segar dan bersih
memenuhi hidungnya, benar-benar nyaman dan hangat.
Ia membuka
matanya dan melihat sosok Rivaille yang sedang membaca sebuah buku. Belum
sempat ia menyadarinya ternyata ia sedang berbaring dipangkuan Rivaille. Gadis
itu berusaha untuk bangun namun Rivaille menahan kepalanya dengan tangannya.
Rivaille
mengalihkan matanya dari buku dan menatapnya dengan tatapan maut.
“Kau
boleh menggunakanku sebagai kasurmu,” seru Rivaille. Kata-katanya kembali
membuat Minazuki malu. Gadis itu memutuskan untuk berbaring sejenak.
“Sudah
berapa lama aku tertidur?”
“Hmmm..
Sekitar satu setengah jam,”
“Apa
sesuatu terjadi selama aku tertidur?”
Rivaille
menatapnya ingin tahu. “Seperti apa contohnya?”
“Ah,
lupakan saja..”
“Hei
aku ingin tahu.. jangan memberiku informasi setengah-setengah begitu,”
“Berhentilah
mengerjaiku,”
Mereka
berdua pun kembali terdiam, Rivaille kembali membaca bukunya. Minazuki
mengalihkan pandangannya kepada Rivaille. Ia mengamati wajah yang sedang serius
itu dalam diam.
“Jangan
menatapku seperti itu,” seru Rivaille dengan mata masih menatap buku.
“Maaf,
hmm.. hei.. aku ingin.. bertanya sesuatu. Bisakah?”
Rivaille
menatapnya sekilas lalu mengangguk pelan.
“Aku
ingin tahu.. apa.. semua ini berarti sesuatu bagimu?”
“Apa
maksudmu? Bukankah sudah jelas aku seorang Kapten dan tuan rumah ditempat yang
kau tinggali ini? Dan kau hanya seorang kadet dan orang yang menumpang dalam
rumahku?”
“Hmm..
begitu..”
“Apa
kau menganggap bahwa kita sedang menjalin hubungan khusus.. dan kau
menganggapku kekasihmu..?”
Minazuki
menarik napas dalam-dalam, dia merasa bahwa seharusnya dia memang tidak
berpikir terlalu jauh. Entah kenapa dia sedikit berharap lelaki itu mengatakan
hal yang sebaliknya. Ternyata memang semua ini hanya omong kosong tak berarti,
dan Rivaille sangat memahami situasinya. Hal itu membuat hatinya terluka.
Seharusnya dia tidak menanyakan hal ini karena dia sudah tahu jawabannya.
“Aku
mengerti maksudmu, maaf... aku hanya ingin memastikannya saja. Supaya nanti..
aku tak akan menyalah artikan lagi semua perbuatanmu kepadaku dan mungkin kita
bisa berhenti melakukan semua hal bodoh ini,”
Minazuki
berusaha untuk memperbaiki posisinya, yah.. seharusnya dia tidak boleh merasa
senyaman ini ketika berbaring diatas pangkuan tuan rumahnya. Bukankah hal itu
sangat tidak sopan. Entah kenapa dia menjadi sangat membenci dirinya sendiri
dan sekarang dia terlihat seperti sangat berharap, dia tak bisa memikirkan
lebih jauh lagi dan bertanya dalam hati.. apa dia sudah seperti wanita murahan?
Pasti hal itu yang ada dalam pikiran Rivaille.
Ia
bangkit dari sofa dan memutuskan untuk kembali ke asramanya, tak ada gunanya
dia berada lebih lama ditempat ini. Karena saat ini bersama Rivaille justru
akan membuatnya merasa kesal dan.. kecewa. Namun belum sempat disadarinya
tubuhnya telah kembali terhempas keatas sofa dan kini ia bisa melihat Rivaille
sedang berdiri menatapnya, kedua tangan Rivaille terbentang menekan sofa
membuatnya terkurung dalam tatapan dingin itu.
“Aku
harus pergi kapten, sebaiknya kau membiarkanku pulang ke asrama,” pinta
Minazuki ia tak sanggup menatap wajah Rivaille.
“Apa
kau mau jadi kekasihku?” tanya Rivaille.
“Hentikan
omong kosong ini Kapten, baru tadi siang kau mengajakku menikah lalu tadi kau
bilang kita tak punya hubungan apa-apa dan sekarang kau bertanya apa
keinginanku? Sebaiknya lupakan saja.. aku sudah mengerti situasinya,”
“Aku
bertanya, apa kau mau jadi kekasihku?” ulang Rivaille.
Sejenak
Minazuki diam dan menatap Rivaille. “Kau benar-benar sampah! Sesaat kau
membuatku merasa kau menginginkanku tapi setelah itu kau membuangku dan
menghempasku tak perduli, kau selalu mempermainkanku, apa aku bisa memikirkan
pembenaran lainnya lagi? Aku tak bisa menebak isi hatimu Rivaille.. Kau
selalu... selalu membuatku frustasi. Kau membuatku gila!” pekiknya.
“Shit,”
“Bisakah
kau tidak..”
“Kau
selalu menatapku dengan tatapanmu itu, lalu menyentuhku sesuka hatimu.
Menurutmu apa aku punya lebih banyak kesabaran untuk menahan diriku..?”
“Apa
maksudmu?” Minazuki kembali menatap Rivaille dalam kebingungan.
“Oh,
shit. I’m getting excited now.. kau sudah membuatku tidak bisa berhenti untuk
menyentuhmu,”
“Woah..
apa maksudmu?”
“Aku
bertanya lagi, apa kau mau jadi kekasihku?” tanyanya lagi. Minazuki diam dan
bingung harus menjawab apa. Rivaille mendekatkan wajahnya keleher Minazuki dan
menciumnya lembut, ia bisa merasakan napas hangat Rivaille menyentuh kulitnya.
“Apa
aku harus menjawabnya sekarang?”
“Tentu
saja, kau sudah menghabiskan terlalu banyak waktu untuk memikirkannya kan,
untuk apa membuang-buang waktu lagi,”
“Bisakah
kau berhenti melakukan ini?”
“A,
a, ... aku tidak akan berhenti sebelum kau menjawabnya,”
Minazuki
menarik napas panjang sebelum membalas kata-kata Rivaille. “Kau tahu... kau
selalu membuatku bingung..”
Kini
kecupan Rivaille beralih kebahunya. “Hmm..”
“Kau...
selalu membuatku frustasi,”
Tangan
Rivaille berpindah kepinggangnya. “Hmm..”
“Kau
membuatku... jadi semakin menyukaimu,”
Rivaille
menghentikan kegiatannya dan menatap wajah Minazuki tangannya masih menekan
sofa. “Jadi, apa kau mau menikah denganku?” tanya Rivaille lagi dengan tatapan
dinginnya.
Minazuki
menatap Rivaille dengan jantung masih berdegup kencang dan napas tersengal. “Kalau...
kujawab ‘iya’ apa aku... akan dapat hadiah?”
Rivaille
berdiri dan meletakkan lutut kirinya disebelah tubuh Minazuki. “Kau bahkan
tidak boleh menjawab “tidak”,” serunya. Tangan kanannya mengangkat pelan dagu
gadis itu dan ia mulai mendekatkan bibirnya lagi hingga bibir mereka pun
bersentuhan. Bibir hangat dan basah milik Rivaille mengecup bibirnya lembut,
Minazuki merasa jantungnya berdegup terlalu kencang. Bahkan tangannya yang
menyentuh dada Rivaille juga merasakan hal yang sama, ia bisa merasakan detak
jantung Rivaille yang berpacu cepat.
Rivaille
menjauhkan bibirnya dari bibir Minazuki, ia membiarkan gadis itu bernapas
normal lalu ia kembali mengecup bibir bawah Minazuki dengan kecupan ringan. Ia
kembali duduk di sofa dan merogoh bajunya, melepaskan kalung yang ia pakai dan
memakaikannya pada Minazuki.
“Jaga
ini untukku.. jangan sampai kau menghilangkannya, kau paham?”
“Kalau
kuhilangkan apa yang akan terjadi?”
“Ku
harap kau tidak akan pernah menghilangkannya, idiot,” serunya sembari mengelus
kepala MInazuki. “... hmm... jadi... apa sekarang kau masih ingin kembali ke
asrama?”
* * *
PS : Akh! Akhirnya aku bisa tidur selama dua hari tanpa melanjutkan cerita ini, meskipun begitu aku tetap merasa kepalaku sakit saat bangun tidur. Sepertinya aku masih tetap memikirkan jalan cerita ini akan bagaimana ketika sedang tidur dan akhirnya terbangun dipagi hari dengan wajah pucat. Saat baca review sebelum ini kuposting aku merasa "Hmm.. ini nyambung gak sih? Bukannya ini cerita cinta Levi tapi kok sudut pandangnya lebih ke si cewek? Harusnya aku buat plot yang lebih romantis ya? Hmmm... aku stress, buang aja plot yang ini... akh tuker ini harusnya di chapter selanjutnya.. cut-copy-paste bagian ini... pindah, pindah, pindah, ke word baru... oh tuhan.. aku cuma bisa tidur sejam sebelum sahur...". Hahahaha... tujuan cerita ini emang arahnya lebih ke action sih ya ketimang cinta cckh.. tapi meskipun begitu aku senang banget karena nggak nyangka dengan hasil yang sudah kubuat sejauh ini, duh kok jadi curhat? Iya, soalnya aku sering gagal ditengah jalan dan gak bisa menemukan ide lain. Emang bener ya.. kalau mau menulis sesuatu kita harus jatuh cinta dulu sama karakter tokoh yang ingin kita tulis.. Wkwkwkwk. Maaf kalau ceritanya kurang bagus, tapi terima kasih karena sudah meluangkan waktu untuk membaca. Thanks : )
0 comments:
Post a Comment