Wednesday 8 July 2015

Shingeki No Kyojin : Chapter 5 [Bunga Liar / Wild Flower]

BY Unknown IN No comments



Shingeki No Kyojin Special : Levi’s  Romantic Love Story
“Wild Flower”

Cast     : Levi Ackerman x Rhein Forester
Genre  : Romance, Action, Mature
Song    : Gentleman by Daniela Andrade

Chapter 5
Love Me Harder, Captain!

2 hari sebelum ekspedisi..
Di siang hari yang terik itu, ketua pasukan penjaga Komandan Dot Pixis yang diikuti beberapa bawahannya memasuki gedung akademi. Kunjungan Pixis kali ini khusus untuk menemui Jacob Abelard, membicarakan informasi baru dan kemungkinan untuk meminta bantuan dari akademi.

Para rombongan melewati koridor panjang dengan pemandangan lapangan latihan dikiri dan kanannya. Dengan mudah ia bisa melihat kedua orang gadis sedang berlatih memanah di salah satu sudut lapangan. Tepat ketika Minazuki untuk pertama kalinya berhasil membidik anak panah dengan tepat ke titik fokus di papan sasaran.

Mengakhiri kesenangannya menonton pemandangan barusan rombongan itu pun berbelok di koridor selanjutnya dan akhirnya sampai di depan pintu masuk ruang kerja Jacob Abelard. Pixis masuk seorang diri kedalam ruangan itu.

“Pixis!” sambut Abelard. Pixis tersenyum dan berjalan santai kearah sahabat lamanya. “Lama tidak melihatmu kawan, tampaknya kau masih bertahan hidup,”

“Lama tidak mendengarmu mengatakannya, Abelard,”

“Ku tebak ini bukanlah kunjungan biasa, seorang Pixis muncul dalam jam tugas, kabar apa yang kau bawa untukku,”

Pixis mendelikkan kepalanya, Abelard memang benar. Ini bukan kunjungan biasa dan pria ini selalu mengatakan semuanya tanpa basa-basi.

“Seperti biasa kau selalu bisa membaca pikiranku, tapi sebenarnya aku kemari untuk mengajakmu bermain catur” serunya sembari mengeluarkan papan catur dan bidak-bidaknya dari dalam tas kecil yang dibawanya.

Abelard tertawa pelan. “Apa yang terjadi?” Tanyanya setelah mempersilakan Pixis duduk dengan menggunakan isyarat tangannya. Mereka mulai mengatur bidak catur masing-masing.

Pixis memulai permainan lebih dulu, ia menggerakkan bidak prajuritnya. “Aku mendengar informasi baru dari Hanji,”

“Wanita freak dari pasukan pengintai itu ya? Analisis apa lagi yang muncul dari kepalanya yang jenius itu?”

“Menurut Hanji sebagian besar populasi penduduk yang ada dalam benteng ini kemungkinan besar memiliki kemampuan berubah menjadi titan. Tentu saja hal ini masih dalam penyelidikan, kami belum bisa memberitahukan semua informasi ini pada yang lainnya.”

“Kalau kau sampai menyampaikan informasi sepenting ini kepadaku aku berasumsi bahwa pendapat Hanji sangat benar, bukankah hal ini membutuhkan perencanaan serius? Apalagi mengingat keputusanmu untuk menyembunyikan hal ini dari pasukan lainnya. Katakan padaku... apa kau sedang mengalami krisis kepercayaan?”

Pixis tersenyum mendengar penuturan sahabatnya.

“Kupikir aku sedang mengalaminya, mengingat sangat sedikit yang bisa dipercaya dalam masa sesulit ini,”

Abelard menatap sahabatnya dalam diam. “Jadi.. apa aku masih termasuk dalam orang kepercayaanmu?”

Pixis kembali tertawa dan menjalankan bidak lainnya. “Kupikir kau sudah mengetahui jawabannya. Tapi alasanku kemari adalah.. aku ingin meminta bantuanmu, tepatnya.. bantuan akademi,”

Abelard menangkupkan kedua jarinya dan ia menatap Pixis dengan tatapan serius. “Kau ingin menggunakan mereka untuk apa? Begini saja, aku akan mempertimbangkan permintaanmu, kau tahu.. aku tak bisa begitu saja mengorbankan nyawa anak-anak yang belum siap mati ini,”

“Jangan salah paham dulu, saat ini pasukan penjaga memang tidak kekurangan prajurit. Namun aku ingin meminta beberapa anak didikmu yang memiliki kemampuan tinggi untuk menjalankan beberapa tugas. Tugas ini tidak sulit, kami membutuhkan beberapa bantuan dibagian peralatan manuver three dimensional tugasnya cukup mudah hanya mengumpulkan informasi dan memastikan pengantaran dengan aman, tapi akan sangat sulit jika mereka tidak memiliki mental yang kuat,”

Abelard terdiam sejenak menatap bidak-bidak catur miliknya. “Aku punya beberapa nama, tapi aku akan memikirkannya lagi. Maaf Pixis karena untuk saat ini aku belum bisa memberikan jawaban untukmu,”

Pixis tersenyum sambil menganggukkan kepalanya santai. “Skak mat!” serunya.

“Aahh.. lagi-lagi kau melakukannya, tak bisakah kau sedikit mengalah padaku? Pixis mari kita sudahi saja permainan ini, aku sudah bosan melawanmu,”

“Ingin jalan-jalan sebentar?” ajak Pixis.

Keduanya keluar dari dalam ruangan Abelard dan memutuskan untuk berjalan-jalan santai mengelilingi akademi.

“Dalam perjalanan kemari aku melihat sesuatu yang menarik Abelard,”

“Ku harap bukan sesuatu yang memalukan,”

“Tentu saja bukan..” Pixis menghentikan langkahnya dan memandang keluar lapangan dimana kedua gadis itu masih berlatih memanah.

“Ternyata mereka berdua masih melakukannya,” gumam Abelard terdengar sebal.

“Dimana kau menemukannya Abelard?”

Abelard menatap Pixis dengan tatapan ingin tahu. Kemudian ia memandang ke lapangan ke arah tatapan Pixis.

“Kristina Burnhild? Dia memang seorang pemanah yang sangat berbakat di angkatannya, matamu memang sangat jeli. Sejujurnya namanya masuk dalam daftar yang kau inginkan. Tapi tentu saja aku belum menyetujui permintaanmu..”

“Bagaimana dengan gadis yang satunya?” tanya Pixis, tatapannya masih terfokus pada dua gadis itu. Abelard kembali menatap Pixis dengan tatapan tak percaya. “Bukankah dia keturunan langka?”

Abelard terdiam sebelum akhirnya memutuskan untuk memberitahu Pixis. “Rupanya mata tuamu masih berfungsi sebaik ini Pixis, dia adalah salah satu yang tersisa dari keturunan itu,”

“Orang tuanya?”

“Tewas oleh titan,”

Pixis mengalihkan pandangannya dari lapangan dan mengernyitkan dahi menatap Abelard. “Penanggung jawabnya?”

“Dia mengajukan dirinya sendiri untuk mengikuti akademi ini, tidak punya nama depan hanya Minazuki,”

“Hmm, terdengar seperti musim panas bagiku,”

“Tapi aku mendapat informasi khusus, bahwa saat ini dia berada dibawah pengawasan mantan pembunuh bawah tanah terkejam dan Kapten pasukan pengintai,”

Pixis masih menatap lapangan dalam diam lalu kembali menatap Abelard. “Korporal muda Rivaille Ackerman?”

Abelard menelengkan kepalanya mengiyakan. Pixis tersenyum penuh arti.

“Tak kusangka manusia berbahaya itu bisa memiliki sesuatu sebagus ini, kalau kau sepakat aku ingin namanya masuk dalam daftarku,”

* * *

Keduanya terus berjalan, Rivaille memimpin didepan sementara tangannya masih menarik tangan Minazuki yang terus berusaha mengikutinya dengan langkah setengah berlari. Hari telah mulai beranjak gelap.

“Pelan-pelan Rivaille, aku capek,” ringis Minazuki.

“Kau bilang ingin membantu melawan Titan tapi baru jalan sebentar saja kau sudah capek,” protes Rivaille. “Apa bualanmu itu cuma omong kosong?”

“Aku kan tidak sepertimu, istirahat sebentar,”

Rivaille membiarkan gadis itu menarik napas sebanyak-banyaknya dan ketika sudah merasa lebih baik ia kembali menarik tangan Minazuki. Rivaille melepas tangan Minazuki ketika mereka sudah berada didepan halaman sebuah rumah.

“Kenapa kita kesini?” tanya Minazuki saat menyadari keberadaan mereka sekarang.

“Apa kau lapar?”

“Hmm.. sedikit,”

“Ayo masuk,”

Keduanya masuk kedalam rumah yang sudah lama mereka berdua tinggalkan itu. “Sepertinya kau sudah bekerja keras selama beberapa bulan ini,” seru Rivaille sembari membuka jaket dan jubahnya lalu menggantungnya digantungan baju.

“Maaf kalau hari ini sedikit berdebu, aku tidak sempat mengurus rumah ini karena seseorang sedang menculikku,”

“Tenanglah, Idiot,”

“Kau mau mandi? aku akan memanaskan air untukmu sebelum memasak,”

“Pergilah memanaskan air,” seru Rivaille. “Aku akan pergi sebentar, kau bisa mandi lebih dulu,”

“Kau mau kemana?”

“Tunggu saja disini dan jangan sentuh apapun, aku akan segera kembali,”

“Baiklah, aku mengerti!”

Sepeninggal Rivaille Minazuki sibuk memanaskan air di kamar mandi utama. Sembari menunggu air menghangat ia kembali keruang tamu dan melakukan sedikit tur, ia memasuki kamarnya dan melihat pemandangan lama yang sudah ditinggalkannya lalu beranjak kekamar Rivaille, sama seperti biasa kamar itu tidak mengalami perubahan apapun. Sesuatu yang terletak diatas meja Rivaille mengusik perhatiannya, ia mendekatinya dan melihat sebuah tas biola. Ia kembali teringat saat Rivaille memainkan alat musik itu untuknya dan.. ciuman itu.

“Ah.. airnya..” serunya sembari bangkit berdiri. Ia memutuskan akan membawa biola itu bersamanya nanti.

Air yang akan di gunakan untuk mandi kini telah cukup panas, namun Rivaille masih belum juga muncul ketika ia bolak-balik mengecek pintu hingga akhirnya ia pun memutuskan untuk mandi lebih dulu.

Teringat kembali kata-kata Rivaille saat mereka berada ditaman, Minazuki ingin tahu apa yang yang sebenarnya ada dalam benak Rivaille. Semua yang dilakukan lelaki itu hari ini benar-benar sangat menyenangkan untuknya tapi entah kenapa dia merasakan sesuatu yang lebih besar sedang menunggunya.

“Kau tidak berencana untuk menghilang dariku tanpa mengatakannya kan..?” gumamnya. “Kalau iya.. aku akan membunuhmu, sialaan!!” serunya lagi sembari memukul air.

Tanpa disadarinya ia telah mandi selama dua puluh menit. Ketukan dipintu kamar mandi mengagetkannya.

“Hei, apa kau didalam?” terdengar suara Rivaille dari balik pintu. “Apa kau baik-baik saja? Kau tidak mati kan?”

“Ah! Ya! Sebentar lagi aku selesai,” pekiknya panik.

“Cepatlah!”

Minazuki segera mengenakan pakaiannya lagi, ia tidak punya baju ganti lain dan harus memakai baju yang sama. Setelah selesai mengeringkan rambutnya hingga setengah kering ia menuju dapur untuk melihat keadaan Rivaille. Ia dapat menghirup aroma roti dan aroma lain yang membuat perutnya keroncongan. Ia melihat Rivaille sedang menyiapkan makan malam mereka diatas meja makan.

“Kau memasak semua ini?” tanya Minazuki, ia benar-benar sangat terkejut.

“Sampah ini akan terasa lebih enak dari makanan buatanmu, kau tahu?”

“Hei, kau harus lebih hati-hati menggunakan kata-kata itu dalam kalimatmu,” serunya. Rivaille menatapnya dingin lalu bergerak mengitari meja makan, ia menarik kursi dan mempersilakan Minazuki duduk. Lalu Rivaille duduk dikursi lain yang ada diseberang meja hingga mereka bisa melihat wajah satu sama lain. Lilin-lilin itu membuat suasana terasa lebih berbeda.

“Apa kau memang sudah merencanakan semua ini? Aku... benar-benar tidak menduganya sama sekali,”

“Karena kau selalu berpikir bahwa aku tak mungkin mampu mengerjakan hal seperti ini,”

“Bukannya begitu... hanya saja semua ini sangat... berbeda... kau tahu... ini sangat romantis,”

“Aku yakin akan lebih baik jika kau segera memakan makanan itu sebelum kau mati kelaparan, idiot,”

“Ooh.. benar-benar sangat sopan, Kapten,” balas Minazuki namun wajahnya tersenyum. Ia mengamati makanan yang ada dalam piring itu. “Ini apa?”

“Itu makanan prancis kalau ku katakan juga kau tidak akan mengerti. Makan saja dan jangan banyak tanya,” seru Rivaille.

“Okee.. kau tidak harus meraung seperti itu padaku, aku memang akan memakannya. Aku tidak sebodoh itu lagi pula aku sudah lapar sekali” Rivaille bangkit dari kursinya dan mendekati meja Minazuki namun gadis itu masih terus saja mengoceh sebal. “Mana mungkin aku tidak memakannya.. lagipula ini masakan buatanmu aku.. hmmmpphhh”

Rivaille mengecup bibir Minazuki dan melumatnya lembut, ia membuat gadis itu kesulitan bernapas untuk sejenak.

Rivaille menghentikan ciumannya ketika Minazuki sudah bersikap lebih tenang. “Hidangan pembuka yang sangat enak bukan?” serunya. Kata-kata Rivaille membuat wajah Minazuki langsung memanas.

“Lumayan, tapi tidak begitu berkesan,” balas Minazuki ia mulai memakan makanannya.

“Ooh... aku mengerti, kau bisa mendapatkan hidangan utama yang lebih baik nanti,” Rivaille kembali duduk dikursinya ia mengamati Minazuki yang telah memakan makanannya.

“Tidak tertarik,” balas gadis itu lagi.

Namun Minazuki sama sekali tak menyangka bahwa Rivaille bisa memasak makanan ini, rasanya juga lumayan enak. Ia kembali terpesona pada lelaki yang sedang makan dengan tenang didepannya. Melihat hubungan mereka baik-baik saja meskipun Minazuki masih belum tahu Rivaille menganggapnya sebagai kekasih atau bukan, dia merasa renungannya ketika mandi tadi terlalu berlebihan.

Keduanya menghabiskan makan malam dengan tenang dan Rivaille memarahi Minazuki ketika tau gadis itu akan mencuci piring. “Kau duduk saja dikursi itu dan lakukan kegiatan konyolmu sesukamu, biar aku yang mencuci semua ini,” serunya sembari mendorong punggung Minazuki lembut.

“Kau memang sedang sakit, Kapten,”

“Terima kasih,” balas Rivaille lalu kembali menuju dapur. Minazuki duduk disofa panjang yang ada diruang tamu sambil memeriksa lagi tas biola yang tadi ditaruhnya diatas meja disebelah sofa. Ia memutuskan akan belajar memainkan alat musik itu nanti.

Rivaille telah menyelesaikan pekerjannya dan ia pun beranjak menemui Minazuki yang ada diruang tamu.

“Ckk.. benar-benar pemalas bisa-bisa nya dia tertidur begitu saja setelah makan malam,” gerutu Rivaille. Ia membuka bajunya dan beranjak kekamarnya tak lama kemudian dia turun kembali dengan handuk tersampir dibahunya, ia memutuskan untuk mandi selama gadis itu tertidur.

Beberapa menit berlalu ketika Minazuki merasa setengah terbangun. Ia benar-benar kelelahan setelah jalan seharian dan merasakan sofa itu tempat yang lebih nyaman daripada kasurnya yang ada di asrama. Wangi yang segar dan bersih memenuhi hidungnya, benar-benar nyaman dan hangat.

Ia membuka matanya dan melihat sosok Rivaille yang sedang membaca sebuah buku. Belum sempat ia menyadarinya ternyata ia sedang berbaring dipangkuan Rivaille. Gadis itu berusaha untuk bangun namun Rivaille menahan kepalanya dengan tangannya.

Rivaille mengalihkan matanya dari buku dan menatapnya dengan tatapan maut.

“Kau boleh menggunakanku sebagai kasurmu,” seru Rivaille. Kata-katanya kembali membuat Minazuki malu. Gadis itu memutuskan untuk berbaring sejenak.

“Sudah berapa lama aku tertidur?”

“Hmmm.. Sekitar satu setengah jam,”

“Apa sesuatu terjadi selama aku tertidur?”

Rivaille menatapnya ingin tahu. “Seperti apa contohnya?”

“Ah, lupakan saja..”

“Hei aku ingin tahu.. jangan memberiku informasi setengah-setengah begitu,”

“Berhentilah mengerjaiku,”

Mereka berdua pun kembali terdiam, Rivaille kembali membaca bukunya. Minazuki mengalihkan pandangannya kepada Rivaille. Ia mengamati wajah yang sedang serius itu dalam diam.

“Jangan menatapku seperti itu,” seru Rivaille dengan mata masih menatap buku.

“Maaf, hmm.. hei.. aku ingin.. bertanya sesuatu. Bisakah?”

Rivaille menatapnya sekilas lalu mengangguk pelan.

“Aku ingin tahu.. apa.. semua ini berarti sesuatu bagimu?”

“Apa maksudmu? Bukankah sudah jelas aku seorang Kapten dan tuan rumah ditempat yang kau tinggali ini? Dan kau hanya seorang kadet dan orang yang menumpang dalam rumahku?”

“Hmm.. begitu..”

“Apa kau menganggap bahwa kita sedang menjalin hubungan khusus.. dan kau menganggapku kekasihmu..?”

Minazuki menarik napas dalam-dalam, dia merasa bahwa seharusnya dia memang tidak berpikir terlalu jauh. Entah kenapa dia sedikit berharap lelaki itu mengatakan hal yang sebaliknya. Ternyata memang semua ini hanya omong kosong tak berarti, dan Rivaille sangat memahami situasinya. Hal itu membuat hatinya terluka. Seharusnya dia tidak menanyakan hal ini karena dia sudah tahu jawabannya.

“Aku mengerti maksudmu, maaf... aku hanya ingin memastikannya saja. Supaya nanti.. aku tak akan menyalah artikan lagi semua perbuatanmu kepadaku dan mungkin kita bisa berhenti melakukan semua hal bodoh ini,”

Minazuki berusaha untuk memperbaiki posisinya, yah.. seharusnya dia tidak boleh merasa senyaman ini ketika berbaring diatas pangkuan tuan rumahnya. Bukankah hal itu sangat tidak sopan. Entah kenapa dia menjadi sangat membenci dirinya sendiri dan sekarang dia terlihat seperti sangat berharap, dia tak bisa memikirkan lebih jauh lagi dan bertanya dalam hati.. apa dia sudah seperti wanita murahan? Pasti hal itu yang ada dalam pikiran Rivaille.

Ia bangkit dari sofa dan memutuskan untuk kembali ke asramanya, tak ada gunanya dia berada lebih lama ditempat ini. Karena saat ini bersama Rivaille justru akan membuatnya merasa kesal dan.. kecewa. Namun belum sempat disadarinya tubuhnya telah kembali terhempas keatas sofa dan kini ia bisa melihat Rivaille sedang berdiri menatapnya, kedua tangan Rivaille terbentang menekan sofa membuatnya terkurung dalam tatapan dingin itu.

“Aku harus pergi kapten, sebaiknya kau membiarkanku pulang ke asrama,” pinta Minazuki ia tak sanggup menatap wajah Rivaille.

“Apa kau mau jadi kekasihku?” tanya Rivaille.

“Hentikan omong kosong ini Kapten, baru tadi siang kau mengajakku menikah lalu tadi kau bilang kita tak punya hubungan apa-apa dan sekarang kau bertanya apa keinginanku? Sebaiknya lupakan saja.. aku sudah mengerti situasinya,”

“Aku bertanya, apa kau mau jadi kekasihku?” ulang Rivaille.

Sejenak Minazuki diam dan menatap Rivaille. “Kau benar-benar sampah! Sesaat kau membuatku merasa kau menginginkanku tapi setelah itu kau membuangku dan menghempasku tak perduli, kau selalu mempermainkanku, apa aku bisa memikirkan pembenaran lainnya lagi? Aku tak bisa menebak isi hatimu Rivaille.. Kau selalu... selalu membuatku frustasi. Kau membuatku gila!” pekiknya.

“Shit,”

“Bisakah kau tidak..”

“Kau selalu menatapku dengan tatapanmu itu, lalu menyentuhku sesuka hatimu. Menurutmu apa aku punya lebih banyak kesabaran untuk menahan diriku..?”

“Apa maksudmu?” Minazuki kembali menatap Rivaille dalam kebingungan.

“Oh, shit. I’m getting excited now.. kau sudah membuatku tidak bisa berhenti untuk menyentuhmu,”

“Woah.. apa maksudmu?”

“Aku bertanya lagi, apa kau mau jadi kekasihku?” tanyanya lagi. Minazuki diam dan bingung harus menjawab apa. Rivaille mendekatkan wajahnya keleher Minazuki dan menciumnya lembut, ia bisa merasakan napas hangat Rivaille menyentuh kulitnya.

“Apa aku harus menjawabnya sekarang?”

“Tentu saja, kau sudah menghabiskan terlalu banyak waktu untuk memikirkannya kan, untuk apa membuang-buang waktu lagi,”

“Bisakah kau berhenti melakukan ini?”

“A, a, ... aku tidak akan berhenti sebelum kau menjawabnya,”

Minazuki menarik napas panjang sebelum membalas kata-kata Rivaille. “Kau tahu... kau selalu membuatku bingung..”

Kini kecupan Rivaille beralih kebahunya. “Hmm..”

“Kau... selalu membuatku frustasi,”

Tangan Rivaille berpindah kepinggangnya. “Hmm..”

“Kau membuatku... jadi semakin menyukaimu,”

Rivaille menghentikan kegiatannya dan menatap wajah Minazuki tangannya masih menekan sofa. “Jadi, apa kau mau menikah denganku?” tanya Rivaille lagi dengan tatapan dinginnya.

Minazuki menatap Rivaille dengan jantung masih berdegup kencang dan napas tersengal. “Kalau... kujawab ‘iya’ apa aku... akan dapat hadiah?”

Rivaille berdiri dan meletakkan lutut kirinya disebelah tubuh Minazuki. “Kau bahkan tidak boleh menjawab “tidak”,” serunya. Tangan kanannya mengangkat pelan dagu gadis itu dan ia mulai mendekatkan bibirnya lagi hingga bibir mereka pun bersentuhan. Bibir hangat dan basah milik Rivaille mengecup bibirnya lembut, Minazuki merasa jantungnya berdegup terlalu kencang. Bahkan tangannya yang menyentuh dada Rivaille juga merasakan hal yang sama, ia bisa merasakan detak jantung Rivaille yang berpacu cepat.

Rivaille menjauhkan bibirnya dari bibir Minazuki, ia membiarkan gadis itu bernapas normal lalu ia kembali mengecup bibir bawah Minazuki dengan kecupan ringan. Ia kembali duduk di sofa dan merogoh bajunya, melepaskan kalung yang ia pakai dan memakaikannya pada Minazuki.

“Jaga ini untukku.. jangan sampai kau menghilangkannya, kau paham?”

“Kalau kuhilangkan apa yang akan terjadi?”

“Ku harap kau tidak akan pernah menghilangkannya, idiot,” serunya sembari mengelus kepala MInazuki. “... hmm... jadi... apa sekarang kau masih ingin kembali ke asrama?”

* * *

PS : Akh! Akhirnya aku bisa tidur selama dua hari tanpa melanjutkan cerita ini, meskipun begitu aku tetap merasa kepalaku sakit saat bangun tidur. Sepertinya aku masih tetap memikirkan jalan cerita ini akan bagaimana ketika sedang tidur dan akhirnya terbangun dipagi hari dengan wajah pucat. Saat baca review sebelum ini kuposting aku merasa "Hmm.. ini nyambung gak sih? Bukannya ini cerita cinta Levi tapi kok sudut pandangnya lebih ke si cewek? Harusnya aku buat plot yang lebih romantis ya? Hmmm... aku stress, buang aja plot yang ini... akh tuker ini harusnya di chapter selanjutnya.. cut-copy-paste bagian ini... pindah, pindah, pindah, ke word baru... oh tuhan.. aku cuma bisa tidur sejam sebelum sahur...". Hahahaha... tujuan cerita ini emang arahnya lebih ke action sih ya ketimang cinta cckh.. tapi meskipun begitu aku senang banget karena nggak nyangka dengan hasil yang sudah kubuat sejauh ini, duh kok jadi curhat? Iya, soalnya aku sering gagal ditengah jalan dan gak bisa menemukan ide lain. Emang bener ya.. kalau mau menulis sesuatu kita harus jatuh cinta dulu sama karakter tokoh yang ingin kita tulis.. Wkwkwkwk. Maaf kalau ceritanya kurang bagus, tapi terima kasih karena sudah meluangkan waktu untuk membaca. Thanks : )



0 comments:

Post a Comment