Shingeki No Kyojin Special
: Levi’s Romantic Love Story
“Wild Flower”
Cast : Levi Ackerman x Rhein Forester
Genre : Romance, Action, Mature
Chapter 8
Mystery
“Rivaille,
apa hari ini kau mengunjunginya lagi,” pekik Hanji dari jendela kastil di
lantai dua. Rivaille menarik tali kekang kudanya dan berbalik menghadap Hanji.
“Baiklah, jangan lupa kita harus ke kota hari ini,” seru Hanji kembali
mengingatkan padahal Rivaille sama sekali belum mengatakan apapun.
Rivaille
beranjak pergi, ia memacu cepat kudanya meninggalkan kastil. Seorang kadet
mendekati Hanji dengan sapu ditangannya. “Hanji-san, Kapten ingin mengunjungi siapa?
Aku melihatnya sedang memetik bunga mawar dikebun belakang tadi pagi,”
“Hmm..
dia pergi menemui kekasihnya,” jawab Hanji sekenanya lalu tersenyum.
“Haaahh?!!
Kapten punya kekasih??” pekik kadet baru survey corps itu. Ia berlari dari
ruangan dan memberitahukan teman-temannya.
“Uups,
sepertinya anak itu salah paham. Semoga dia tidak mengatakan apapun pada
Rivaille, aku tak ingin melihat wajahnya lebam lagi,” seru Hanji santai.
Rivaille
menghentikan kudanya didekat sebuah pohon besar dan ia menambatkan kuda itu,
kemudian melanjutkan perjalanannya melalui sebuah jalan setapak kecil. Sekitar
lima menit ia berjalan hingga akhirnya menghentikan langkahnya didepan sebuah
batu nisan. Ia mencium sekuntum bunga mawar putih yang dibawanya sebelum
meletakkan bunganya didepan nisan itu dan sekuntum lagi bunga mawar kuning ia
letakkan pada batu nisan yang ada disebelahnya.
“Kau
tahu Mina... sudah setahun berlalu,” gumamnya pelan. “Rasanya masih sama..”
Rivaille tak melanjutkan lagi kalimatnya, ia tak bisa mengungkapkan apa yang
dirasakannya secara langsung. Rivaille memandangi nisan itu, ya.. biasanya
seorang prajurit yang gugur akan dibakar namun mereka membuat pengecualian
untuk Minazuki dan Kristina Burnhild.
“Hari
ini sangat cerah.. kuharap kau bisa melihatnya bersamaku..”
*
* *
Rivaille dan Hanji muncul di kota dua
jam kemudian, mereka berdua menuju kantor pertahanan survey corps untuk menemui
Erwin Smith. Ada sesuatu yang sangat ingin Erwin bicarakan pada Rivaille dan disinilah
ia berada, Rivaille duduk santai diatas sofa dengan gaya elegan khasnya.
Sementara Hanji pergi ke kamp penelitian Titan.
Erwin menyerahkan beberapa file
berbentuk berkas kepada Rivaille. Lelaki itu mulai membaca cepat bagian atas
file.
“Rhein Forester?” serunya dengan dahi
berkerut.
“Ya, coba kau baca dulu berkasnya
setelah itu akan kujelaskan padamu,”
Rhein Forester, umur 21 tahun,
ciri-ciri fisik berambut panjang kekuningan (blonde), berkulit pucat, tinggi
158 sentimeter dengan berat badan 45 kilogram.
“Hmm...
benar-benar kecil,” gumam Rivaille, lalu kembali melanjutkan bacaannya.
Hobinya
membaca dan menulis, senjata yang dikuasai 3DM, belati, senapan dan panah, peringkatnya
setara Kapten namun ia bekerja secara independen dan tidak memiliki tim khusus,
keluarga yang dimiliki hanya seorang ayah yaitu Dot Pixis. Ia memilih untuk
memakai nama lama almarhum ibunya daripada menggunakan nama ayahnya.
“Kenapa
ini bisa ada padamu?” tanyanya tanpa menghabiskan bacaannya.
“Pixis menyerahkannya padaku,”
“Apa yang sedang ia rencanakan?”
“Entahlah.. tapi gadis ini muncul
sebulan yang lalu di wilayah Shiganshina, ia tidak tergabung dalam scout
manapun, dan bekerja secara diam-diam, ia tidak akan menampakkan dirinya dalam
kerusuhan namun selalu menyelesaikan tugasnya seperti bayangan. Aku cukup
tertarik dengannya, bisa kau lihat dia menguasai empat barang itu sekaligus dan
mampu menggunakan semuanya dengan baik dalam pertarungan,”
Rivaille telah melihat aksinya.
Sejujurnya saat itu ia merasa ‘sedikit’ terpesona. “Lalu?”
“Dia membutuhkan tempat bersembunyi,”
“Oh..”
“Aku ingin menempatkannya dalam
scouting legion dibawah kendalimu,”
“Aku menolaknya!” seru Rivaille tenang
namun ada nada tinggi dalam suaranya. “Gadis ini terlalu berbahaya dia sangat liar,
licik, manipulatif, terlalu tenang, terlalu menggoda dan cukup misterius. Jika
berada dalam resimenku dia hanya akan membuat kekacauan untuk anggota lainnya,”
Erwin memandang Rivaille dengan dahi
berkerut. “Apa kalian pernah bertemu sebelumnya?” tanyanya bingung. “Aku tidak
ingin kau membawa masalah pribadimu dengannya dalam urusan ini,”
“Jangan salah paham, Erwin..”
“Terserah apapun pendapatmu Rivaille,
jujur saja aku sangat ingin mengetahui tentang gadis ini lebih jauh lagi. Akan
lebih mudah mengumpulkan informasi tentangnya ketika ia berada dikastilmu,”
“Tidak, aku menolaknya,”
*
* *
Kastil,
tengah hari...
Sebuah kereta kuda berhenti dihalaman
depan kastil survey corps Rivaille turun dari kudanya dan menambatkannya
disalah satu pohon terdekat, pintu kereta itu terbuka dan seseorang turun dari
dalamnya. Gadis berambut kuning keemasan itu menaruh tas memanahnya diatas
bahunya dan memandang sekeliling kastil dengan terpesona, meskipun wajahnya
seolah tampak tak tertarik tapi sebenarnya ia cukup merasa excited dalam
hatinya. Pada akhirnya penolakan Rivaille tak berarti sama sekali di mata Erwin.
“Kastil yang bagus, Kapten,” pujinya.
“Ikuti aku,” titah Rivaille. Sebelum
mengikuti Rivaille, gadis itu mengoceh sebentar pada kusir kereta kudanya. Ia
meminta kusir itu menurunkan bawaannya dan memasukkannya kedalam kastil.
Beberapa kadet melihat pemandangan baru itu dengan perasaan senang.
Rivaille mengumpulkan semua orang dan
memperkenalkan mereka secara khusus pada Rhein. Setelah itu ia menunjukkan tur
kecil kastil itu dengan langsung membawanya ke kamar kosong dilantai dua.
“Ini kamarmu,” seru Rivaille ketika
mereka berada dalam sebuah ruangan. Di depan kamarmu ada kamar Armin, Mikasa,
Eren, Sasha, Jean, DLL, mereka sedang tidak ditempat tapi kau akan segera
mengenal mereka,”
“Kamar ini cukup bagus dan.. bersih,”
komentar Rhein sembari menyentuh kasurnya.
“Aku harap kau tidak menimbulkan
masalah dalam resimenku, aku akan mengawasimu secara pribadi,” seru Rivaille
beranjak kepintu. “Kalau kau sudah selesai dengan omong kosong sampahmu didalam
sini, segera lah berbaur bersama yang lain,”
“Hmm.. Kapten,” Rivaille menghentikan
langkahnya dan berbalik menatap Rhein. “Kamar anda dimana?”
“Hmm.. tepat disebelah kamar ini,
kuharap kau tidak membuat kegaduhan dengan suara yang aneh,”
Rhein tersenyum penuh arti. “Baiklah,
Kapten,” jawabnya. Entah kenapa hal itu membuat Rivaille sebal. Ia menutup
pintu dibelakangnya dan berjalan menuruni tangga, seorang kadet berjalan menghampirinya.
“Kapten Rivaille.. apakah gadis itu
kekasih anda?”
Rivaille memicingkan matanya dan
dahinya semakin berkerut membuat kadet itu berlari ketakutan.
*
* *
Seminggu
berlalu sejak Rhein bergabung dalam scout Rivaille, ia menerima perlakuan yang
sangat baik dari teman-teman barunya namun tampaknya Rivaille masih belum
mempercayainya.
Tiba-tiba saja pintu dapur menjeblak
teruka dan Sasha menyerbu masuk dari pintu dapur sambil membawa sebuah kotak
kayu besar dengan susah payah. Membuat Rhein yang saat itu tengah membaca buku
panduan memanah terkejut melihatnya. Ia menaruh buku dan kacamatnya diatas meja
lalu berlari mendekati Sasha.
“Wow, apa yang kau bawa Sasha? Ini
berat sekali,” berdua mereka mengangkat kotak kentang itu ketengah ruangan.
“Kita akan pesta malam ini,” seru
Sasha girang. Ia segera membuka isi kotak itu untuk ditunjukkan pada Rhein.
“Kentang? Sebanyak ini?”
“Kapten mengomeliku karena aku
ketahuan mencuri daging dari gudang persediaan, dan sebagai hukumannya dia
menyuruhku mengupas kentang ini sendiriaaaann,” pekik Sasha hendak menangis.
“Tapi karena ini untuk pesta, aku agak merasa lega,”
Rhein merasa simpati pada Sasha tapi
dia juga kagum karena gadis itu sangat berani mencuri dari gedung penyimpanan.
“Ayo, kita bersihkan dari sekarang” ajak Rhein ia mengambil pisau dan wadah.
“Tapi kalau Kapten tahu kau membantuku
dia akan menghukummu juga, soalnya tugas ini harus aku yang mengerjakan,”
“Sudah jangan khawatir, kita akan menyelesaikannya
sebelum dia kembali.. lagi pula apa salahnya membantumu,”
Sasha memeluk Rhein senang. “Aaahh,
kau memang dewi penyelamatku Rheiiinn!”
“Ini pisaumu dan wadahnya, buang
kulitnya kedalam sini saja jadi kotorannya tidak menyebar kemana mana,” jelas
Rhein memberikan arahan pada Sasha.
Sasha merasa cepat akrab dengan Rhein
karena mereka memiliki hobby yang sama yaitu memanah. Mereka juga dengan mudah
membicarakan hal lain selain memanah. Rhein terlihat sangat tenang ia juga
lebih suka mendengarkan Sasha bicara.
“Kau mengingatkanku pada temanku
dulu,” celetuk Rhein.
“He? Dulu? Apa sekarang kalian sudah
tidak berteman lagi?”
“Hmmm, kami masih berteman hanya saja
sudah tidak bisa bertemu lagi, oh ya dia juga sangat suka memanah sama sepertimu
orangnya ceria dan dapat diandalkan,”
“Hmm.. Apa temanmu seorang laki-laki?
Kau terlihat sangat merindukannya,”
“Hahaha, begitulah..”
“Rhein.. kau pasti sudah punya pacar
kan? Ayo jujur saja.. Gadis menarik sepertimu tak mungkin tidak punya pacar,”
desak Sasha.
“Hmm, sejujurnya aku sedang tidak
tertarik untuk menjalin hubungan, aku akan sangat kesulitan jika punya hubungan
serius apalagi ketika kita harus melakukan ekspedisi dan melawan Titan,”
“Kenapa kau tidak menjadi anggota pasukan
militer saja?”
“Hmm, kenapa kau menyarankan military
corps?”
“Ah,
maksudku.. bukankah akan lebih aman jika menjadi pasukan militer daripada jadi
pasukan pengintai? Kau bisa menjalin hubungan tanpa harus membahayakan nyawamu,”
“Apa
aku terlihat selemah itu, Sasha?” tanyanya sambil tersenyum, namun Sasha tak
menjawabnya hanya menelengkan kepalanya. “Sejujurnya aku tidak suka terkurung
ditempat sekecil itu, didalam dinding Rose. Lagi pula.. aku lebih suka berada
disini bersama kalian,”
Sasha tersenyum mendengar jawaban
Rhein. “Hei Rhein, seandainya disuruh memilih seorang pria dalam scouting
legion ini. Siapa yang menurutmu akan kau pilih?”
“Hmm.. mungkin aku akan memilih si
pendek. Bagaimana menurutmu, bukankah dia pria yang sangat menarik?”
“Kapten Rivaille? Err.. Apa kau
yakin..? Dia kan.. kau tahukan Kapten kita itu bagaimana? Ku harap matamu
baik-baik saja,”
“Hahaha, aku bercanda kok. Jangan
dianggap serius. Tentu saja aku akan pilih Eren. Tapi kurasa aku akan
bermasalah dengan Mikasa, tapi.. menurutku Kapten kita orang yang sangat baik
dia sangat memperhatikan pasukannya meskipun caranya sedikit kasar,”
Seseorang menyeruak masuk dari pintu
dapur membuat perhatian keduanya teralihkan. “Apa yang sedang kalian lakukan
kadet,” suara Rivaille membuat Sasha dan Rhein terlonjak kaget. Rivaille
meletakkan sekantung daging diatas meja. “Sepertinya kau punya banyak waktu
luang Rhein, setelah selesai membantu Sasha pergilah keruanganku, sendiri!”
“Baik Kapten,”
Rhein
menatap Sasha yang terlihat panik. “Maafkan aku Rhein,” bisiknya panik.
“Tak apa, tenang saja Sasha..” serunya
menenangkan Sasha sembari tersenyum.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya,
Rhein segera menemui Rivaille di kantornya. Perlahan ia mengetuk pintu namun
tak ada jawaban ia pun membuka pintu ruangan itu namun ternyata Rivaille tidak
ada didalamnya. Ia masuk kedalam ruangan dan memutuskan untuk menunggu sambil
membaca buku yang dipegangnya.
Angin sepoi-sepoi yang berhembus dari
jendela disebelahnya membuat Rhein merasa sangat mengantuk entah sudah berapa
lama dia duduk menunggu tapi Rivaille masih tidak muncul juga. Rasa kantuk
membuatnya jatuh tertidur dalam posisi duduk.
Rivaille baru saja menyelesaikan
pekerjaannya dihalaman, ia masuk kedalam ruang kerja dan langsung membuka
jaketnya, menggantungnya dengan sangat rapi ditempat gantungan baju. Ia
menyisir rambutnya kebelakang dengan jari-jarinya dan melipat setengah lengan
kemejanya kemudian melepaskan tiga kancing bajunya, tubuhnya sudah basah oleh
keringat. Ia memutuskan hendak mandi saat menyadari ada orang lain dalam
ruangannya.
Rhein sedang tertidur nyenyak dengan
kacamata masih melekat diwajahnya. Buku memanahnya terjatuh kelantai. Rivaille
memungut buku itu dan menaruhnya diatas meja kerja, ia menatap Rhein sambil
membuka bajunya dan membiarkan gadis itu tetap tertidur sementara ia pergi
mandi.
Entah sudah berapa lama berlalu, tapi
Rhein merasa sangat nyaman ia benar-benar menikmati tidurnya yang nyenyak.
Apalagi aroma segar yang sedang dihirupnya saat ini membuatnya sangat betah
untuk menutup mata lebih lama lagi. Ia pun semakin tenggelam dalam rasa nyaman
bersama bantalnya yang hangat.
Ia teringat harus menemui Rivaille
dikantornya, dia telah menunggu pria itu sangat lama namun pria itu tak kunjung
muncul, mengingatnya membuat Rhein merasa kesal ia lebih suka menghabiskan
waktunya untuk tidur lebih lama lagi. Ia pun semakin mengeratkan pelukan pada
bantal yang sedang ditidurinya.
Rhein merasa tangannya sedang memegang
sesuatu yang tidak empuk dan tidak nyaman. Ia meraba-raba bantal empuknya yang memiliki
banyak gelombang dan mulai membuka mata perlahan. Kacamata yang ia pakai
menyakiti wajahnya. Ia melihat tangannya sedang memegangi bagian perut
seseorang. Rhein mengangkat wajahnya dan berusaha melihat dengan jelas sosok
orang yang duduk tenang disebelahnya, ia sedang membaca sebuah buku panduan memanah.
“Apa tidurmu nyenyak kadet?” sapa
suara yang sangat dikenalnya itu. Rhein melepas pelukannya dari tubuh Rivaille,
ia sangat kaget dan panik kepalanya juga pusing.
Rhein bisa melihat wajah dingin
Rivaille sedang mengamatinya. Ia benar-benar lupa kalau sudah ketiduran dan
merasa sangat malu.
“Bagaimana rasa kasur barumu kadet?”
tanya Rivaille, ia masih duduk dengan elegan sambil membaca buku panduan memanah
milik Rhein.
“Eh? He.. Nyaman sekali Kapten,” jawab
Rhein polos. Tubuh Rivaille sedikit tersentak namun ekpsresinya tidak berubah.
Rhein pikir Rivaille sungguh menanyakan kasur baru yang ada dikamarnya.
“Aku tak menyangka ternyata kau sangat
suka tidur diatas tubuhku kadet,” seru Riaville. Ia menutup buku yang sedang
dibacanya lalu melihat ekspresi panik di wajah Rhein. “Besok pagi kembalilah
kesini, aku akan memberimu pekerjaan khusus,” ia menyerahkan buku panduan
memanah itu pada Rhein dan bangkit berdiri.
Tanpa perlu disuruh dua kali Rhein
segera memperbaiki sikapnya dan memberi salute. “Siap! Kapten!” ia segera
keluar dari ruangan itu sebelum Rivaille berubah pikiran.
Keesokannya Rhein terbangun pagi-pagi
sekali bahkan langit masih gelap gulita, ia membawa busurnya ke lapangan dan
mulai melakukan beberapa olah tubuh ringan sebelum berlatih memanah. Ia hendak
berlatih sebentar sebelum menemui Rivaille nanti pagi.
Ia
sama sekali tidak bisa tidur nyenyak tadi malam, karena pikirannya terus saja membayangkan
Rivaille dan ia masih mengingat betapa nyaman tubuh Kaptennya itu. Rhein
mengatur papan sasaran dengan perasaan frustrasi, yang membuatnya semakin
frustrasi adalah ia lupa meminta maaf pada Rivaille. Ia kembali merasa wajahnya
mulai memanas karena malu.
Rhein sangat menguasai tehnik menembak
dengan pistol bom yang telah dirancang khusus untuknya. Namun ia masih belum
bisa menguasai tehnik memanah dengan baik, sudah setahun ia belajar tapi ia
merasa kemampuannya masih belum meningkat. Pistol bom yang dimilikinya
dirancang khusus oleh seorang pembuat senjata kepercayaan Pixis, bisa dibilang
baru dia seorang yang menguasai dan memiliki pistol jenis itu. Tapi ia tidak
bisa terus menggunakan pistol, ia sangat ingin menggunakan busurnya untuk
melawan Titan.
“Kau sedang apa tuan putri?” suara
Jean mengagetkan Rhein hingga ia melepas anak panahnya yang ternyata melesat
tepat mengenai pusat sasaran. “Woah.. kau hebat juga, apa kau sudah lama
melatihnya?” pekik Jean takjub.
“Begitulah, tapi aku belum cukup bisa
menguasai alat ini,”
“Kau ingin menggunakan itu untuk
melawan Titan?”
“Begitulah,”
“Sebaiknya kau melatih gerakan manuver
three dimensional saja, cukup menyilet tengkuk Titan mereka akan langsung
mati,”
“Yah, kau benar.. tapi tidak selamanya
kita bisa mengandalkan pisau. Aku ingin menggunakan busur ini untuk strategi
pengalih perhatian disaat terdesak,”
“Menjadi umpan?”
Rhein terkekeh. “Entahlah, apapun
namanya tapi yang jelas aku tidak ingin jadi makanan Titan dan mati..”
“Kau berani sekali, tidak akan ada
yang mau menjadi umpan.. kau tahu.. kebanyakan dari mereka semua tewas
sia-sia,”
“Benar, makanya kita membutuhkan
pengalih perhatian yang baru,”
“Kalau boleh tahu, kenapa kau
memutuskan untuk pindah ke dalam pasukan pengintai, bukankah dulunya kau berada
dalam pasukan penjaga?”
Rhein kembali mengambil anak panahnya
dan membidiknya kearah papan sasaran. “Aku mendapat hukuman dari Komandan scout
garrison, kau tahu kan Kapten di pasukan pengintai sangat pandai mengajarkan
kedisiplinan, karena Komandan Pixis tidak tega menghukumku makanya aku dikirim
kemari,” anak panah itu lepas dan melesat jauh menancap tepat disebelah anak
panah yang sebelumnya.
“Jawabanmu sangat tidak masuk akal,” celetukan
Jean membuat Rhein terkekeh lagi ia kembali mengambil anak panahnya dan
membidik. “Tapi Kapten muda kami memang yang terbaik dalam hal disiplin, dia benar-benar..
sangat.. mengerikan dan sangat hebat,” Rhein melepas anak panahnya dan sekali
lagi ia melesat jauh mengenai papan sasaran tepat ditengah dua anak panah
sebelumnya. Namun Jean sama sekali tak memperhatikan.
“Jean, kau ingin minum teh?” tanya
Rhein, ia membereskan busur dan anak panahnya memasukkan semuanya kedalam tas
besarnya. Jean termangu menatap gadis itu. Rhein menyantolkan tasnya kebahu dan
menarik tangan Jean. “Ayo masuk disini dingin sekali,”
“Rhein.. apa kau yakin keputusanmu
pindah kesini karena dihukum kurasa kau sedang mengincar seseorang,” seru Jean
dengan wajah merona merah.
Rhein tertawa mendengar penuturannya.
“Tidak ada yang seperti itu, Jean,”
Rhein menghabiskan waktunya di dapur
bersama Jean hingga menjelang subuh, sambil mengobrol tentang Titan ia membersihkan
dapur dan membuatkan sarapan untuk semua orang. Terdengar suara obrolan
beberapa orang dari arah pintu dapur keduanya pun mengalihkan pandangan kearah
pintu, Hanji muncul diikuti Margo dan Rivaille dari pakaian yang mereka kenakan
sepertinya mereka baru saja kembali dari perjalanan jauh.
“Apa yang kalian lakukan di sini,
anak-anak nakal? Melakukan kencan di pagi buta disaat yang lain sedang tidur?”
suara Rivaille dan tatapan mautnya membuat keduanya membeku ditempat
masing-masing.
“Hai Rhein, kau sedang apa berada
didapur berduaan dengan Jean?” sapa Hanji. Ia terlihat ceria seperti biasanya.
Ketiganya duduk di kursi masing-masing, Rivaille memilih duduk disebelah Jean,
dia bisa dengan leluasa menatap Rhein yang sedang mengobrol dengan Hanji.
“Kami hanya mengobrol santai dan
sedikit berkencan. Kau mau teh?” tanya Rhein. Kata-kata Rhein membuat Jean
mendongakkan kepalanya dan matanya menatap tajam wajah Rhein yang tersenyum
mengobrol dengan Hanji.
“Apa kau sedang memasak? Aku mencium
aroma yang enak,” tanya Hanji balik.
Rhein tersenyum. “Aku sedang memanggang
roti, sebentar lagi akan matang. Tunggu sebentar lagi ya.. akan kutuangkan teh
untukmu,”
“Aah, terima kasih kau tahu saja kalau
aku lapar,”
“Kapten Rivaille, Margo kalian mau
minum teh?” tawarnya sembari menuangkan teh untuk Hanji.
“Aku ingin secangkir,” jawab Margo.
“Kuharap rasanya tidak buruk kadet,”
jawab Rivaille menatapnya dengan tatapan dingin.
“Anda klasik sekali Kapten, sebentar
akan kubuatkan,” Rivaille tidak membalas pernyataan Rhein. Ia memilih untuk
berbicara dengan Margo dan Jean. Rhein membuatkan secangkir teh untuk Rivaille.
“Kalian habis melakukan apa Hanji? Kenapa sepagi ini baru berada di kastil?”
“Aku sedang melakukan penelitian pada
Titan yang kami tangkap kemarin, jadi kami pergi mengunjungi kamp soalnya
kekuatan Titan melemah saat malam hari,”
“Bagaimana perkembangannya? Apa Jason
baik-baik saja?” tanya Rhein sembari menghidangkan secangkir kopi untuk Margo
dan secangkir teh untuk Rivaille.
Rhein mengeluarkan roti-roti yang
telah selesai dipanggangnya sementara Hanji masih sibuk bercerita tentang Titan
bernama Jason. Ia menghidangkan roti yang baru selesai di panggangnya, menaruh
beberapa roti untuk Hanji diatas sebuah keranjang makanan yang terbuat dari
rotan dan menaruh beberapa roti di keranjang lain kemudian menghidangkannya keatas
meja makan. Ia dapat melihat teh Rivaille masih belum tersentuh sedikitpun.
Hari hampir pagi saat Hanji memutuskan
untuk tidur dikursi meja makan. ketiga pria lainnya masih sibuk mengobrol
membahas beberapa rancangan strategi baru. Rhein mengambil sebuah selimut dari
tempat penyimpanan dan menyelimutkannya keatas tubuh Hanji. Ia membawa tas
berisi busurnya dan pergi meninggalkan para lelaki.
“Forester..”
Langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara Rivaille memanggil namanya. “Dua
jam setelah selesai merapikan diri pergilah keruanganku,” titahnya.
“Oh.. baik Kapten,”
Rhein merasa jantungnya akan copot
ketika ia mendengar suara Rivaille memanggilnya. Atmosfir yang dirasakannya
ketika mereka berdua bertemu dipesta dan ketika berada dikastil benar-benar
sangat berbeda. Ia bisa merasakan aura Rivaille yang sangat mendominasi.
Matahari sudah muncul saat para
prajurit terbangun dan kaget ketika mendapati dapur telah bersih dan sarapan
telah tersedia untuk mereka. Tak ada yang tahu siapa yang melakukan itu, bahkan
Jean tutup mulut karena Rhein memintanya untuk merahasiakannya.
Rhein keluar dari kamarnya, ia telah
bersih, rapi dan segar. Karena tidak memiliki seragam ia mengenakan pakaian
yang sedikit berbeda dari prajurit lainnya. Ia mengenakan celana ketat dari
kulit dan sepatu boots yang biasa dipakai para pasukan, ia mengenakan atasan
yang feminim dengan rambut terikat rapi.
Ia
telah mengetuk dan memeriksa ruangan Rivaille namun tidak ada siapapun
didalamnya. Karena takut akan melakukan kesalahan yang sama dengan kemarin ia
memutuskan untuk menunggu didepan pintu ruangan sambil membaca buku, kali ini
bukan buku panduan memanah yang dibacanya melainkan buku panduan memainkan
biola.
“Kau tertarik pada biola kadet?”
Rivaille muncul dan sedang mengamati Rhein dari atas anak tangga, menuruni
tangga ia berjalan melewati Rhein dan masuk kedalam ruangan. Rhein mengikuti
dibelakangnya, dengan terburu-buru ia melepas kacamatanya.
“Kau datang pagi sekali kadet,
sepertinya kau sudah tidak sabar untuk menemuiku,”
“Hmm, anda benar Kapten,” jawab Rhein.
Ia hanya ingin membalas candaan Rivaille yang agak sedikit menyindirnya. Namun
ia juga merasa sangat senang saat Rivaille terdiam beberapa detik setelah
mendengar jawabannya. “Apa yang ingin anda bicarakan Kapten?”
“Duduklah,” pinta Rivaille sembari
menunjuk sofa dimana kemarin ia tertidur pulas sambil memeluk Kaptennya.
“Emm, Kapten.. mengenai kejadian
kemarin..”
“Hmm?”
“Aku ingin minta maaf,”
Rivaille menatap Rhein dengan tangan
terlipat didada. Ia menyunggingkan senyuman liciknya. “Tidak masalah, aku cukup
menikmati aksimu,” jawabnya santai. Entah apa yang sudah dilakukannya kemarin
pada Rivaille selagi tidur. Semoga saja bukan hal yang memalukan.
Rhein duduk disofa itu sementara Rivaille
bangkit dari kursinya dan berjalan mengitari meja, ia menyandarkan dirinya pada
pinggiran meja. Rhein kehilangan keberanian menatap mata Rivaille.
“Aku ingin bertanya dan kuharap kau
menjawabnya jujur,”
“Hmm..
sepertinya ini pembicaraan yang sangat pribadi..” seru Rhein tanpa memandang
Rivaille. Sementara lelaki itu terus mengamatinya.
“Aku
akan langsung bertanya ke inti permasalahan.. sebenarnya apa yang telah kau
curi di pesta malam itu?”
Akhirnya Rhein mengalihkan
perhatiannya dari kaki Rivaille ia menatap wajah lelaki itu. “Kupikir kau sudah
lupa, aku menyangka akan mendengar pertanyaan ini sehari setelah kepindahanku
ke resimenmu tapi karena kau tak bereaksi kupikir kau tidak tertarik untuk
mengetahuinya,”
“Mh,
jawab saja pertanyaanku kadet?”
“Aku
setara denganmu Kapten..”
“Kau
berada dalam resimenku, KADET,”
Keheningan
menyelimuti keduanya dan Rhein menatap Rivaille dengan ekspresi sangat tenang. “Bila
kukatakan apa jaminan untukku?”
“Sekarang kau meminta jaminan?
Bukankah sudah jelas sekarang kau berada disarang siapa?”
“Aku tidak akan mempermasalahkan jika
kau memutuskan untuk membunuhku karena kau tidak percaya padaku, itu adalah
keputusanmu Kapten..” jawaban Rhein membuat Rivaille terkesima. “Mungkin kau
telah mengetahui informasi bahwa aku seorang mata-mata dan informan, jika
kukatakan rahasiaku malam itu pada orang lain apakah akan ada jaminan orang itu
akan membantuku merahasiakannya atau justru akan mengkhianatiku? ”
“Pertama yang harus kau tahu aku
memang berniat akan mengeksekusimu tapi tidak secepat yang kau inginkan. Kedua,
aku akan memberimu pilihan.. kau bisa mempercayaiku atau tidak sama sekali,”
namun sebenarnya Rivaille sama sekali kaget saat mengetahui bahwa Rhein adalah
seorang informan. Ia pun segera menyadari kenapa gadis ini lebih memilih
bekerja seorang diri dibandingkan bersama tim.
“Anda tidak akan berhenti sebelum
mendapatkan jawabannya, bukankah begitu?”
“Sepertinya kau sudah sangat mengerti
situasi disini, jika kau memberiku kepercayaanmu aku akan membalas lebih dari
yang kau duga,” balas Rivaille mencoba mendominasi.
Rhein menatap Rivaille sejenak
pandangan mata mereka saling beradu. “Malam itu aku hanya mengambil secarik
kertas,” serunya tenang, ia berusaha melihat reaksi lain di wajah Rivaille
namun seperti biasa tak ada apa pun yang berubah.
“Benarkah?”
“Aku tidak mencuri, lagi pula aku hanya
menyalin informasi yang kutemukan malam itu dan isinya mengenai garis besar skema
pembangunan benteng penahan Titan,”
“Hmm, untuk apa mencuri informasi itu?
Bukannya hal itu tidak perlu dipermasalahkan lagi? Hampir semua pasukan sudah
mengetahui bahwa semua dinding ini terisi oleh Titan, kurasa tak ada gunanya
kau mencuri skema itu, Hanji telah meneliti hingga kesumbernya dan hanya dengan
melakukan penelusuran melalui gereja yang ada didalam Trost mereka akan
memberitahukan informasi yang ada, bahkan kami telah memiliki sebuah nama yang
dapat menguak misteri dinding titan itu,”
“Secara garis besar teori anda benar
tapi hal itu juga tidak mudah untuk dilakukan, bukan? Permasalahan sebenarnya tidak
hanya terkait pada para Titan itu tapi masih ada rahasia lain yang sedang disembunyikan
oleh pemerintah dan kurasa anda sudah mengetahuinya, ini tidak hanya
berhubungan dengan Titan saja Kapten, tapi masih banyak hal lain yang belum
anda ketahui. Semua informasi penting ini mudah ku dapatkan jika aku berada dalam
dinding Rose. Aku telah mempertaruhkan nyawaku untuk mendapatkan informasi ini
dan sekarang aku hampir menjadi buronan sebelum identitasku resmi terbongkar, jadi
sebelum semua informasi ini jelas dan terkumpul aku harus melakukan sedikit
pergerakan rahasia. Berakhir dikastil ini bersama tim anda adalah satu-satunya
pilihanku, aku hanya mengikuti keinginan Pixis dan Zackley. Jika punya pilihan
lain aku lebih suka menyelesaikannya sendiri dengan cepat tanpa melibatkan
siapa pun.. termasuk anda..” Rhein meghentikan kata-katanya sejenak sebelum
melanjutkannya lagi. “Aku hanya meminta sedikit waktu berada disini sampai semua
ini berakhir lalu setelah itu aku akan pergi dengan tenang dari kehidupan
kalian, jaminan yang dapat kuberikan pada kalian hanya janjiku untuk tidak
mengorek informasi apapun yang ada dalam scout legiun dan aku akan
mempertaruhkan nyawaku untuk membantu tim ini selama aku berada disini,”
Rivaille menatap Rhein sejenak. “Kau
masih belum memberiku jawaban yang kuinginkan...”
“Informasi yang kumiliki belum
sepenuhnya lengkap dan dapat membahayakan pihak yang tidak terlibat, masih
banyak puzzle lain yang harus kutemukan untuk membuat analisis sempurna dengan
bukti yang lebih relevan. Memberitahu anda informasi mentah ini sama saja
dengan melibatkan dan membahayakan nyawa anda dan tim, maaf saja tapi aku
benar-benar tidak bisa melakukannya kapten.. lagipula informasi ini
membahayakan nyawaku, aku pasti akan memberitahu anda informasi ini tapi tidak
sekarang, beri aku sedikit waktu lagi..”
“Kau tidak perlu mengkhawatirkan
nyawaku dan scouting legiun, kami bahkan lebih baik dan lebih kuat dibandingkan
semua prajurit garrison dan military corps. Informasi ‘mentah’ yang tadi kau
katakan tidak akan membunuh kami dengan mudah..”
Rhein tersenyum tenang, ia menatap Rivaille
sembari menarik napas dalam-dalam. Rivaille membalas tatapannya dalam diam,
menunggu. “Bukankah kita berdua memiliki masing-masing pilihan, kapten? Dan
kurasa aku sudah menentukan pilihanku,” jawabnya sembari tersenyum.
Rivaille membalas tatapan Rhein hingga
akhirnya dia berpaling. “Kau benar-benar gadis keras kepala.... ada satu hal
lagi yang ingin kuketahui..” serunya sembari menatap keluar jendela ia
menghentikan sejenak kalimatnya sebelum kembali berpaling menatap Rhein.
“Katakan padaku yang sebenarnya tentang dirimu..”
Rhein tersenyum mendengar pertanyaan
Rivaille, namun lelaki itu tahu senyuman itu bukanlah senyuman manis biasa tapi
senyuman yang membuat sesuatu diantara mereka terlihat seperti tidak mudah
untuk dicapai. “Bukankah sudah jelas..? Aku putri komandan Dot Pixis,”
jawabnya.
Rivaille terdiam mendengar jawaban
Rhein, dia tahu ini tak akan mudah untuk dilakukan. “Dan dia membiarkanmu
melakukan tugas berbahaya ini..?”
“Ayahku sangat mengenalku Kapten, dia
tahu pasti apa yang ku inginkan dan lagipula... hanya aku yang bisa melakukan pekerjaan
sekotor ini,”
“Meskipun hal itu membahayakan nyawa
putrinya sendiri? Apa dia tak sadar bahwa dia telah mengantar nyawa putrinya
sendiri kedepan pintu neraka?”
“Hmm, Ayahku sangat mudah mengantarkan
nyawa orang lain ke depan pintu neraka, hal itu tidak ada bedanya denganku kan,
dia juga bisa mengorbankan nyawa keluarganya untuk mencapai kemenangan umat
manusia. Tak ada seorang pun yang ingin melempar dirinya sendiri kedepan pintu
neraka Kapten, para pasukan ini tidak punya pilihan lain yang lebih baik,”
Rhein menghentikan sejenak kata-katanya lalu melanjutkannya. “Hidup adalah
mimpi untuk bijaksana Kapten, permainan untuk orang yang bodoh, komedi untuk
orang kaya, dan tragedi bagi orang miskin. Apa anda butuh penyangkalan lainnya?"
Rivaille menatap dingin Rhein. “Aku
mengerti...” gumam Rivaille, sejenak ia kembali mengingat Minazuki yang telah
tewas saat melakukan tugas dibawah perintah Pixis. Rivaille masih menatap Rhein
dengan tatapan dinginnya ia tidak segera menjawab pernyataan Rhein. Dan
kata-kata terakhirnya itu sangat berarti. Jelas sekali gadis ini terlalu sulit
dan rumit untuk di dekati. Dan ia sangat membencinya.
“Hhh..
dasar kucing sial, aku akan segera menghentikan omong kosong ini,” seru
Rivaille ia berjalan kesudut ruangan dan mengangkat setumpuk berkas terikat
tali, ia menaruh tumpukan kertas acak adut itu didekat mejanya. “Ini tugas barumu,”
serunya. Rhein melihat tumpukan kertas itu dengan dahi berkerut. “Kau pilah
semua berkas ini sesuaikan urutannya, kelompokkan masalahnya, dan salin dalam
buku itu,”
“Se-sebanyak ini?” tanya Rhein tak
percaya.
“Dengan kemampuanmu sebagai seorang
informan dan hobimu yang suka membaca dan menulis aku yakin hal ini sangat
mudah dilakukan. Aku ingin segera mendapatkan hasil secepatnya, lebih baik kau
segera mengerjakan semua sampah ini sementara aku pergi ke kota. Gunakan
kantorku untuk kenyamananmu ketika mengerjakannya, kadet,”
Rhein tahu ini tidak akan mudah dia
tahu Rivaille akan memberinya hukuman ,tapi menulis sebanyak ini.. Rhein hanya
bisa menghela napas panjang. “Baik Kapten,” balasnya.
Rivaille
menyeringai dan ia beranjak untuk mengambil jaket dan jubahnya lalu beranjak
menuju pintu. Sebelum menutup pintu dibelakangnya ia menatap Rhein. “Oi..”
panggilnya, Rhein pun memberikan perhatian padanya. “Kurasa kau bisa
memanggilku dengan namaku saja,” serunya sebelum menutup pintu.
Rhein
menatap Rivaille sejenak ia berusaha mencerna kata-kata lelaki itu.
“Baiklah.... Rivaille,”
*
* *
0 comments:
Post a Comment