Tuesday 21 July 2015

Shingeki No Kyojin : Chapter 8 [Bunga Liar / Wild Flower]

BY Unknown IN No comments



Shingeki No Kyojin Special : Levi’s  Romantic Love Story
“Wild Flower”


Cast     : Levi Ackerman x Rhein Forester
Genre  : Romance, Action, Mature
              
Chapter 8
Mystery

“Rivaille, apa hari ini kau mengunjunginya lagi,” pekik Hanji dari jendela kastil di lantai dua. Rivaille menarik tali kekang kudanya dan berbalik menghadap Hanji. “Baiklah, jangan lupa kita harus ke kota hari ini,” seru Hanji kembali mengingatkan padahal Rivaille sama sekali belum mengatakan apapun.

Rivaille beranjak pergi, ia memacu cepat kudanya meninggalkan kastil. Seorang kadet mendekati Hanji dengan sapu ditangannya. “Hanji-san, Kapten ingin mengunjungi siapa? Aku melihatnya sedang memetik bunga mawar dikebun belakang tadi pagi,”

“Hmm.. dia pergi menemui kekasihnya,” jawab Hanji sekenanya lalu tersenyum.

“Haaahh?!! Kapten punya kekasih??” pekik kadet baru survey corps itu. Ia berlari dari ruangan dan memberitahukan teman-temannya.

“Uups, sepertinya anak itu salah paham. Semoga dia tidak mengatakan apapun pada Rivaille, aku tak ingin melihat wajahnya lebam lagi,” seru Hanji santai.

Rivaille menghentikan kudanya didekat sebuah pohon besar dan ia menambatkan kuda itu, kemudian melanjutkan perjalanannya melalui sebuah jalan setapak kecil. Sekitar lima menit ia berjalan hingga akhirnya menghentikan langkahnya didepan sebuah batu nisan. Ia mencium sekuntum bunga mawar putih yang dibawanya sebelum meletakkan bunganya didepan nisan itu dan sekuntum lagi bunga mawar kuning ia letakkan pada batu nisan yang ada disebelahnya.

“Kau tahu Mina... sudah setahun berlalu,” gumamnya pelan. “Rasanya masih sama..” Rivaille tak melanjutkan lagi kalimatnya, ia tak bisa mengungkapkan apa yang dirasakannya secara langsung. Rivaille memandangi nisan itu, ya.. biasanya seorang prajurit yang gugur akan dibakar namun mereka membuat pengecualian untuk Minazuki dan Kristina Burnhild.

“Hari ini sangat cerah.. kuharap kau bisa melihatnya bersamaku..”

* * *

          Rivaille dan Hanji muncul di kota dua jam kemudian, mereka berdua menuju kantor pertahanan survey corps untuk menemui Erwin Smith. Ada sesuatu yang sangat ingin Erwin bicarakan pada Rivaille dan disinilah ia berada, Rivaille duduk santai diatas sofa dengan gaya elegan khasnya. Sementara Hanji pergi ke kamp penelitian Titan.

          Erwin menyerahkan beberapa file berbentuk berkas kepada Rivaille. Lelaki itu mulai membaca cepat bagian atas file.

          “Rhein Forester?” serunya dengan dahi berkerut.

          “Ya, coba kau baca dulu berkasnya setelah itu akan kujelaskan padamu,”

          Rhein Forester, umur 21 tahun, ciri-ciri fisik berambut panjang kekuningan (blonde), berkulit pucat, tinggi 158 sentimeter dengan berat badan 45 kilogram.

“Hmm... benar-benar kecil,” gumam Rivaille, lalu kembali melanjutkan bacaannya.

Hobinya membaca dan menulis, senjata yang dikuasai 3DM, belati, senapan dan panah, peringkatnya setara Kapten namun ia bekerja secara independen dan tidak memiliki tim khusus, keluarga yang dimiliki hanya seorang ayah yaitu Dot Pixis. Ia memilih untuk memakai nama lama almarhum ibunya daripada menggunakan nama ayahnya.
         
“Kenapa ini bisa ada padamu?” tanyanya tanpa menghabiskan bacaannya.

          “Pixis menyerahkannya padaku,”

          “Apa yang sedang ia rencanakan?”

          “Entahlah.. tapi gadis ini muncul sebulan yang lalu di wilayah Shiganshina, ia tidak tergabung dalam scout manapun, dan bekerja secara diam-diam, ia tidak akan menampakkan dirinya dalam kerusuhan namun selalu menyelesaikan tugasnya seperti bayangan. Aku cukup tertarik dengannya, bisa kau lihat dia menguasai empat barang itu sekaligus dan mampu menggunakan semuanya dengan baik dalam pertarungan,”

          Rivaille telah melihat aksinya. Sejujurnya saat itu ia merasa ‘sedikit’ terpesona. “Lalu?”

          “Dia membutuhkan tempat bersembunyi,”

          “Oh..”

          “Aku ingin menempatkannya dalam scouting legion dibawah kendalimu,”

          “Aku menolaknya!” seru Rivaille tenang namun ada nada tinggi dalam suaranya. “Gadis ini terlalu berbahaya dia sangat liar, licik, manipulatif, terlalu tenang, terlalu menggoda dan cukup misterius. Jika berada dalam resimenku dia hanya akan membuat kekacauan untuk anggota lainnya,”

          Erwin memandang Rivaille dengan dahi berkerut. “Apa kalian pernah bertemu sebelumnya?” tanyanya bingung. “Aku tidak ingin kau membawa masalah pribadimu dengannya dalam urusan ini,”

          “Jangan salah paham, Erwin..”

          “Terserah apapun pendapatmu Rivaille, jujur saja aku sangat ingin mengetahui tentang gadis ini lebih jauh lagi. Akan lebih mudah mengumpulkan informasi tentangnya ketika ia berada dikastilmu,”

          “Tidak, aku menolaknya,”

* * *

          Kastil, tengah hari...

          Sebuah kereta kuda berhenti dihalaman depan kastil survey corps Rivaille turun dari kudanya dan menambatkannya disalah satu pohon terdekat, pintu kereta itu terbuka dan seseorang turun dari dalamnya. Gadis berambut kuning keemasan itu menaruh tas memanahnya diatas bahunya dan memandang sekeliling kastil dengan terpesona, meskipun wajahnya seolah tampak tak tertarik tapi sebenarnya ia cukup merasa excited dalam hatinya. Pada akhirnya penolakan Rivaille tak berarti sama sekali di mata Erwin.

          “Kastil yang bagus, Kapten,” pujinya.

          “Ikuti aku,” titah Rivaille. Sebelum mengikuti Rivaille, gadis itu mengoceh sebentar pada kusir kereta kudanya. Ia meminta kusir itu menurunkan bawaannya dan memasukkannya kedalam kastil. Beberapa kadet melihat pemandangan baru itu dengan perasaan senang.
         
          Rivaille mengumpulkan semua orang dan memperkenalkan mereka secara khusus pada Rhein. Setelah itu ia menunjukkan tur kecil kastil itu dengan langsung membawanya ke kamar kosong dilantai dua.

          “Ini kamarmu,” seru Rivaille ketika mereka berada dalam sebuah ruangan. Di depan kamarmu ada kamar Armin, Mikasa, Eren, Sasha, Jean, DLL, mereka sedang tidak ditempat tapi kau akan segera mengenal mereka,”

          “Kamar ini cukup bagus dan.. bersih,” komentar Rhein sembari menyentuh kasurnya.

          “Aku harap kau tidak menimbulkan masalah dalam resimenku, aku akan mengawasimu secara pribadi,” seru Rivaille beranjak kepintu. “Kalau kau sudah selesai dengan omong kosong sampahmu didalam sini, segera lah berbaur bersama yang lain,”

          “Hmm.. Kapten,” Rivaille menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Rhein. “Kamar anda dimana?”

          “Hmm.. tepat disebelah kamar ini, kuharap kau tidak membuat kegaduhan dengan suara yang aneh,”

          Rhein tersenyum penuh arti. “Baiklah, Kapten,” jawabnya. Entah kenapa hal itu membuat Rivaille sebal. Ia menutup pintu dibelakangnya dan berjalan menuruni tangga, seorang kadet berjalan menghampirinya.

          “Kapten Rivaille.. apakah gadis itu kekasih anda?”

          Rivaille memicingkan matanya dan dahinya semakin berkerut membuat kadet itu berlari ketakutan.
* * *

Seminggu berlalu sejak Rhein bergabung dalam scout Rivaille, ia menerima perlakuan yang sangat baik dari teman-teman barunya namun tampaknya Rivaille masih belum mempercayainya.

          Tiba-tiba saja pintu dapur menjeblak teruka dan Sasha menyerbu masuk dari pintu dapur sambil membawa sebuah kotak kayu besar dengan susah payah. Membuat Rhein yang saat itu tengah membaca buku panduan memanah terkejut melihatnya. Ia menaruh buku dan kacamatnya diatas meja lalu berlari mendekati Sasha.

          “Wow, apa yang kau bawa Sasha? Ini berat sekali,” berdua mereka mengangkat kotak kentang itu ketengah ruangan.

          “Kita akan pesta malam ini,” seru Sasha girang. Ia segera membuka isi kotak itu untuk ditunjukkan pada Rhein.

          “Kentang? Sebanyak ini?”

          “Kapten mengomeliku karena aku ketahuan mencuri daging dari gudang persediaan, dan sebagai hukumannya dia menyuruhku mengupas kentang ini sendiriaaaann,” pekik Sasha hendak menangis. “Tapi karena ini untuk pesta, aku agak merasa lega,”

          Rhein merasa simpati pada Sasha tapi dia juga kagum karena gadis itu sangat berani mencuri dari gedung penyimpanan. “Ayo, kita bersihkan dari sekarang” ajak Rhein ia mengambil pisau dan wadah.

          “Tapi kalau Kapten tahu kau membantuku dia akan menghukummu juga, soalnya tugas ini harus aku yang mengerjakan,”

          “Sudah jangan khawatir, kita akan menyelesaikannya sebelum dia kembali.. lagi pula apa salahnya membantumu,”

          Sasha memeluk Rhein senang. “Aaahh, kau memang dewi penyelamatku Rheiiinn!”

          “Ini pisaumu dan wadahnya, buang kulitnya kedalam sini saja jadi kotorannya tidak menyebar kemana mana,” jelas Rhein memberikan arahan pada Sasha.

          Sasha merasa cepat akrab dengan Rhein karena mereka memiliki hobby yang sama yaitu memanah. Mereka juga dengan mudah membicarakan hal lain selain memanah. Rhein terlihat sangat tenang ia juga lebih suka mendengarkan Sasha bicara.

          “Kau mengingatkanku pada temanku dulu,” celetuk Rhein.

          “He? Dulu? Apa sekarang kalian sudah tidak berteman lagi?”

          “Hmmm, kami masih berteman hanya saja sudah tidak bisa bertemu lagi, oh ya dia juga sangat suka memanah sama sepertimu orangnya ceria dan dapat diandalkan,”

          “Hmm.. Apa temanmu seorang laki-laki? Kau terlihat sangat merindukannya,”

          “Hahaha, begitulah..”

          “Rhein.. kau pasti sudah punya pacar kan? Ayo jujur saja.. Gadis menarik sepertimu tak mungkin tidak punya pacar,” desak Sasha.

          “Hmm, sejujurnya aku sedang tidak tertarik untuk menjalin hubungan, aku akan sangat kesulitan jika punya hubungan serius apalagi ketika kita harus melakukan ekspedisi dan melawan Titan,”

          “Kenapa kau tidak menjadi anggota pasukan militer saja?”

          “Hmm, kenapa kau menyarankan military corps?”

“Ah, maksudku.. bukankah akan lebih aman jika menjadi pasukan militer daripada jadi pasukan pengintai? Kau bisa menjalin hubungan tanpa harus membahayakan nyawamu,”

“Apa aku terlihat selemah itu, Sasha?” tanyanya sambil tersenyum, namun Sasha tak menjawabnya hanya menelengkan kepalanya. “Sejujurnya aku tidak suka terkurung ditempat sekecil itu, didalam dinding Rose. Lagi pula.. aku lebih suka berada disini bersama kalian,”

          Sasha tersenyum mendengar jawaban Rhein. “Hei Rhein, seandainya disuruh memilih seorang pria dalam scouting legion ini. Siapa yang menurutmu akan kau pilih?”

          “Hmm.. mungkin aku akan memilih si pendek. Bagaimana menurutmu, bukankah dia pria yang sangat menarik?”

          “Kapten Rivaille? Err.. Apa kau yakin..? Dia kan.. kau tahukan Kapten kita itu bagaimana? Ku harap matamu baik-baik saja,”

          “Hahaha, aku bercanda kok. Jangan dianggap serius. Tentu saja aku akan pilih Eren. Tapi kurasa aku akan bermasalah dengan Mikasa, tapi.. menurutku Kapten kita orang yang sangat baik dia sangat memperhatikan pasukannya meskipun caranya sedikit kasar,”

          Seseorang menyeruak masuk dari pintu dapur membuat perhatian keduanya teralihkan. “Apa yang sedang kalian lakukan kadet,” suara Rivaille membuat Sasha dan Rhein terlonjak kaget. Rivaille meletakkan sekantung daging diatas meja. “Sepertinya kau punya banyak waktu luang Rhein, setelah selesai membantu Sasha pergilah keruanganku, sendiri!”

          “Baik Kapten,”

Rhein menatap Sasha yang terlihat panik. “Maafkan aku Rhein,” bisiknya panik.

          “Tak apa, tenang saja Sasha..” serunya menenangkan Sasha sembari tersenyum.
         
          Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Rhein segera menemui Rivaille di kantornya. Perlahan ia mengetuk pintu namun tak ada jawaban ia pun membuka pintu ruangan itu namun ternyata Rivaille tidak ada didalamnya. Ia masuk kedalam ruangan dan memutuskan untuk menunggu sambil membaca buku yang dipegangnya.
         
          Angin sepoi-sepoi yang berhembus dari jendela disebelahnya membuat Rhein merasa sangat mengantuk entah sudah berapa lama dia duduk menunggu tapi Rivaille masih tidak muncul juga. Rasa kantuk membuatnya jatuh tertidur dalam posisi duduk.

          Rivaille baru saja menyelesaikan pekerjaannya dihalaman, ia masuk kedalam ruang kerja dan langsung membuka jaketnya, menggantungnya dengan sangat rapi ditempat gantungan baju. Ia menyisir rambutnya kebelakang dengan jari-jarinya dan melipat setengah lengan kemejanya kemudian melepaskan tiga kancing bajunya, tubuhnya sudah basah oleh keringat. Ia memutuskan hendak mandi saat menyadari ada orang lain dalam ruangannya.

          Rhein sedang tertidur nyenyak dengan kacamata masih melekat diwajahnya. Buku memanahnya terjatuh kelantai. Rivaille memungut buku itu dan menaruhnya diatas meja kerja, ia menatap Rhein sambil membuka bajunya dan membiarkan gadis itu tetap tertidur sementara ia pergi mandi.

          Entah sudah berapa lama berlalu, tapi Rhein merasa sangat nyaman ia benar-benar menikmati tidurnya yang nyenyak. Apalagi aroma segar yang sedang dihirupnya saat ini membuatnya sangat betah untuk menutup mata lebih lama lagi. Ia pun semakin tenggelam dalam rasa nyaman bersama bantalnya yang hangat.

          Ia teringat harus menemui Rivaille dikantornya, dia telah menunggu pria itu sangat lama namun pria itu tak kunjung muncul, mengingatnya membuat Rhein merasa kesal ia lebih suka menghabiskan waktunya untuk tidur lebih lama lagi. Ia pun semakin mengeratkan pelukan pada bantal yang sedang ditidurinya.

          Rhein merasa tangannya sedang memegang sesuatu yang tidak empuk dan tidak nyaman. Ia meraba-raba bantal empuknya yang memiliki banyak gelombang dan mulai membuka mata perlahan. Kacamata yang ia pakai menyakiti wajahnya. Ia melihat tangannya sedang memegangi bagian perut seseorang. Rhein mengangkat wajahnya dan berusaha melihat dengan jelas sosok orang yang duduk tenang disebelahnya, ia sedang membaca sebuah buku panduan memanah.
         
          “Apa tidurmu nyenyak kadet?” sapa suara yang sangat dikenalnya itu. Rhein melepas pelukannya dari tubuh Rivaille, ia sangat kaget dan panik kepalanya juga pusing.

          Rhein bisa melihat wajah dingin Rivaille sedang mengamatinya. Ia benar-benar lupa kalau sudah ketiduran dan merasa sangat malu.

          “Bagaimana rasa kasur barumu kadet?” tanya Rivaille, ia masih duduk dengan elegan sambil membaca buku panduan memanah milik Rhein.

          “Eh? He.. Nyaman sekali Kapten,” jawab Rhein polos. Tubuh Rivaille sedikit tersentak namun ekpsresinya tidak berubah. Rhein pikir Rivaille sungguh menanyakan kasur baru yang ada dikamarnya.

          “Aku tak menyangka ternyata kau sangat suka tidur diatas tubuhku kadet,” seru Riaville. Ia menutup buku yang sedang dibacanya lalu melihat ekspresi panik di wajah Rhein. “Besok pagi kembalilah kesini, aku akan memberimu pekerjaan khusus,” ia menyerahkan buku panduan memanah itu pada Rhein dan bangkit berdiri.

          Tanpa perlu disuruh dua kali Rhein segera memperbaiki sikapnya dan memberi salute. “Siap! Kapten!” ia segera keluar dari ruangan itu sebelum Rivaille berubah pikiran.

          Keesokannya Rhein terbangun pagi-pagi sekali bahkan langit masih gelap gulita, ia membawa busurnya ke lapangan dan mulai melakukan beberapa olah tubuh ringan sebelum berlatih memanah. Ia hendak berlatih sebentar sebelum menemui Rivaille nanti pagi.
Ia sama sekali tidak bisa tidur nyenyak tadi malam, karena pikirannya terus saja membayangkan Rivaille dan ia masih mengingat betapa nyaman tubuh Kaptennya itu. Rhein mengatur papan sasaran dengan perasaan frustrasi, yang membuatnya semakin frustrasi adalah ia lupa meminta maaf pada Rivaille. Ia kembali merasa wajahnya mulai memanas karena malu.

          Rhein sangat menguasai tehnik menembak dengan pistol bom yang telah dirancang khusus untuknya. Namun ia masih belum bisa menguasai tehnik memanah dengan baik, sudah setahun ia belajar tapi ia merasa kemampuannya masih belum meningkat. Pistol bom yang dimilikinya dirancang khusus oleh seorang pembuat senjata kepercayaan Pixis, bisa dibilang baru dia seorang yang menguasai dan memiliki pistol jenis itu. Tapi ia tidak bisa terus menggunakan pistol, ia sangat ingin menggunakan busurnya untuk melawan Titan.

          “Kau sedang apa tuan putri?” suara Jean mengagetkan Rhein hingga ia melepas anak panahnya yang ternyata melesat tepat mengenai pusat sasaran. “Woah.. kau hebat juga, apa kau sudah lama melatihnya?” pekik Jean takjub.

          “Begitulah, tapi aku belum cukup bisa menguasai alat ini,”

          “Kau ingin menggunakan itu untuk melawan Titan?”

          “Begitulah,”

          “Sebaiknya kau melatih gerakan manuver three dimensional saja, cukup menyilet tengkuk Titan mereka akan langsung mati,”

          “Yah, kau benar.. tapi tidak selamanya kita bisa mengandalkan pisau. Aku ingin menggunakan busur ini untuk strategi pengalih perhatian disaat terdesak,”

          “Menjadi umpan?”

          Rhein terkekeh. “Entahlah, apapun namanya tapi yang jelas aku tidak ingin jadi makanan Titan dan mati..”

          “Kau berani sekali, tidak akan ada yang mau menjadi umpan.. kau tahu.. kebanyakan dari mereka semua tewas sia-sia,”

          “Benar, makanya kita membutuhkan pengalih perhatian yang baru,”

          “Kalau boleh tahu, kenapa kau memutuskan untuk pindah ke dalam pasukan pengintai, bukankah dulunya kau berada dalam pasukan penjaga?”

          Rhein kembali mengambil anak panahnya dan membidiknya kearah papan sasaran. “Aku mendapat hukuman dari Komandan scout garrison, kau tahu kan Kapten di pasukan pengintai sangat pandai mengajarkan kedisiplinan, karena Komandan Pixis tidak tega menghukumku makanya aku dikirim kemari,” anak panah itu lepas dan melesat jauh menancap tepat disebelah anak panah yang sebelumnya.

          “Jawabanmu sangat tidak masuk akal,” celetukan Jean membuat Rhein terkekeh lagi ia kembali mengambil anak panahnya dan membidik. “Tapi Kapten muda kami memang yang terbaik dalam hal disiplin, dia benar-benar.. sangat.. mengerikan dan sangat hebat,” Rhein melepas anak panahnya dan sekali lagi ia melesat jauh mengenai papan sasaran tepat ditengah dua anak panah sebelumnya. Namun Jean sama sekali tak memperhatikan.

          “Jean, kau ingin minum teh?” tanya Rhein, ia membereskan busur dan anak panahnya memasukkan semuanya kedalam tas besarnya. Jean termangu menatap gadis itu. Rhein menyantolkan tasnya kebahu dan menarik tangan Jean. “Ayo masuk disini dingin sekali,”

          “Rhein.. apa kau yakin keputusanmu pindah kesini karena dihukum kurasa kau sedang mengincar seseorang,” seru Jean dengan wajah merona merah.

          Rhein tertawa mendengar penuturannya. “Tidak ada yang seperti itu, Jean,”
         
          Rhein menghabiskan waktunya di dapur bersama Jean hingga menjelang subuh, sambil mengobrol tentang Titan ia membersihkan dapur dan membuatkan sarapan untuk semua orang. Terdengar suara obrolan beberapa orang dari arah pintu dapur keduanya pun mengalihkan pandangan kearah pintu, Hanji muncul diikuti Margo dan Rivaille dari pakaian yang mereka kenakan sepertinya mereka baru saja kembali dari perjalanan jauh.

          “Apa yang kalian lakukan di sini, anak-anak nakal? Melakukan kencan di pagi buta disaat yang lain sedang tidur?” suara Rivaille dan tatapan mautnya membuat keduanya membeku ditempat masing-masing.

          “Hai Rhein, kau sedang apa berada didapur berduaan dengan Jean?” sapa Hanji. Ia terlihat ceria seperti biasanya. Ketiganya duduk di kursi masing-masing, Rivaille memilih duduk disebelah Jean, dia bisa dengan leluasa menatap Rhein yang sedang mengobrol dengan Hanji.

          “Kami hanya mengobrol santai dan sedikit berkencan. Kau mau teh?” tanya Rhein. Kata-kata Rhein membuat Jean mendongakkan kepalanya dan matanya menatap tajam wajah Rhein yang tersenyum mengobrol dengan Hanji.

          “Apa kau sedang memasak? Aku mencium aroma yang enak,” tanya Hanji balik.

          Rhein tersenyum. “Aku sedang memanggang roti, sebentar lagi akan matang. Tunggu sebentar lagi ya.. akan kutuangkan teh untukmu,”

          “Aah, terima kasih kau tahu saja kalau aku lapar,”

          “Kapten Rivaille, Margo kalian mau minum teh?” tawarnya sembari menuangkan teh untuk Hanji.

          “Aku ingin secangkir,” jawab Margo.

          “Kuharap rasanya tidak buruk kadet,” jawab Rivaille menatapnya dengan tatapan dingin.

          “Anda klasik sekali Kapten, sebentar akan kubuatkan,” Rivaille tidak membalas pernyataan Rhein. Ia memilih untuk berbicara dengan Margo dan Jean. Rhein membuatkan secangkir teh untuk Rivaille. “Kalian habis melakukan apa Hanji? Kenapa sepagi ini baru berada di kastil?”

          “Aku sedang melakukan penelitian pada Titan yang kami tangkap kemarin, jadi kami pergi mengunjungi kamp soalnya kekuatan Titan melemah saat malam hari,”

          “Bagaimana perkembangannya? Apa Jason baik-baik saja?” tanya Rhein sembari menghidangkan secangkir kopi untuk Margo dan secangkir teh untuk Rivaille.

          Rhein mengeluarkan roti-roti yang telah selesai dipanggangnya sementara Hanji masih sibuk bercerita tentang Titan bernama Jason. Ia menghidangkan roti yang baru selesai di panggangnya, menaruh beberapa roti untuk Hanji diatas sebuah keranjang makanan yang terbuat dari rotan dan menaruh beberapa roti di keranjang lain kemudian menghidangkannya keatas meja makan. Ia dapat melihat teh Rivaille masih belum tersentuh sedikitpun.    

          Hari hampir pagi saat Hanji memutuskan untuk tidur dikursi meja makan. ketiga pria lainnya masih sibuk mengobrol membahas beberapa rancangan strategi baru. Rhein mengambil sebuah selimut dari tempat penyimpanan dan menyelimutkannya keatas tubuh Hanji. Ia membawa tas berisi busurnya dan pergi meninggalkan para lelaki.

“Forester..” Langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara Rivaille memanggil namanya. “Dua jam setelah selesai merapikan diri pergilah keruanganku,” titahnya.

          “Oh.. baik Kapten,”

          Rhein merasa jantungnya akan copot ketika ia mendengar suara Rivaille memanggilnya. Atmosfir yang dirasakannya ketika mereka berdua bertemu dipesta dan ketika berada dikastil benar-benar sangat berbeda. Ia bisa merasakan aura Rivaille yang sangat mendominasi.

          Matahari sudah muncul saat para prajurit terbangun dan kaget ketika mendapati dapur telah bersih dan sarapan telah tersedia untuk mereka. Tak ada yang tahu siapa yang melakukan itu, bahkan Jean tutup mulut karena Rhein memintanya untuk merahasiakannya.

          Rhein keluar dari kamarnya, ia telah bersih, rapi dan segar. Karena tidak memiliki seragam ia mengenakan pakaian yang sedikit berbeda dari prajurit lainnya. Ia mengenakan celana ketat dari kulit dan sepatu boots yang biasa dipakai para pasukan, ia mengenakan atasan yang feminim dengan rambut terikat rapi.

Ia telah mengetuk dan memeriksa ruangan Rivaille namun tidak ada siapapun didalamnya. Karena takut akan melakukan kesalahan yang sama dengan kemarin ia memutuskan untuk menunggu didepan pintu ruangan sambil membaca buku, kali ini bukan buku panduan memanah yang dibacanya melainkan buku panduan memainkan biola.

          “Kau tertarik pada biola kadet?” Rivaille muncul dan sedang mengamati Rhein dari atas anak tangga, menuruni tangga ia berjalan melewati Rhein dan masuk kedalam ruangan. Rhein mengikuti dibelakangnya, dengan terburu-buru ia melepas kacamatanya.

          “Kau datang pagi sekali kadet, sepertinya kau sudah tidak sabar untuk menemuiku,”

          “Hmm, anda benar Kapten,” jawab Rhein. Ia hanya ingin membalas candaan Rivaille yang agak sedikit menyindirnya. Namun ia juga merasa sangat senang saat Rivaille terdiam beberapa detik setelah mendengar jawabannya. “Apa yang ingin anda bicarakan Kapten?”

          “Duduklah,” pinta Rivaille sembari menunjuk sofa dimana kemarin ia tertidur pulas sambil memeluk Kaptennya.

          “Emm, Kapten.. mengenai kejadian kemarin..”

          “Hmm?”

          “Aku ingin minta maaf,”

          Rivaille menatap Rhein dengan tangan terlipat didada. Ia menyunggingkan senyuman liciknya. “Tidak masalah, aku cukup menikmati aksimu,” jawabnya santai. Entah apa yang sudah dilakukannya kemarin pada Rivaille selagi tidur. Semoga saja bukan hal yang memalukan.
         
          Rhein duduk disofa itu sementara Rivaille bangkit dari kursinya dan berjalan mengitari meja, ia menyandarkan dirinya pada pinggiran meja. Rhein kehilangan keberanian menatap mata Rivaille.

          “Aku ingin bertanya dan kuharap kau menjawabnya jujur,”

“Hmm.. sepertinya ini pembicaraan yang sangat pribadi..” seru Rhein tanpa memandang Rivaille. Sementara lelaki itu terus mengamatinya.

“Aku akan langsung bertanya ke inti permasalahan.. sebenarnya apa yang telah kau curi di pesta malam itu?”

          Akhirnya Rhein mengalihkan perhatiannya dari kaki Rivaille ia menatap wajah lelaki itu. “Kupikir kau sudah lupa, aku menyangka akan mendengar pertanyaan ini sehari setelah kepindahanku ke resimenmu tapi karena kau tak bereaksi kupikir kau tidak tertarik untuk mengetahuinya,”

“Mh, jawab saja pertanyaanku kadet?”

“Aku setara denganmu Kapten..”

“Kau berada dalam resimenku, KADET,”

Keheningan menyelimuti keduanya dan Rhein menatap Rivaille dengan ekspresi sangat tenang. “Bila kukatakan apa jaminan untukku?”

          “Sekarang kau meminta jaminan? Bukankah sudah jelas sekarang kau berada disarang siapa?”

          “Aku tidak akan mempermasalahkan jika kau memutuskan untuk membunuhku karena kau tidak percaya padaku, itu adalah keputusanmu Kapten..” jawaban Rhein membuat Rivaille terkesima. “Mungkin kau telah mengetahui informasi bahwa aku seorang mata-mata dan informan, jika kukatakan rahasiaku malam itu pada orang lain apakah akan ada jaminan orang itu akan membantuku merahasiakannya atau justru akan mengkhianatiku? ”

          “Pertama yang harus kau tahu aku memang berniat akan mengeksekusimu tapi tidak secepat yang kau inginkan. Kedua, aku akan memberimu pilihan.. kau bisa mempercayaiku atau tidak sama sekali,” namun sebenarnya Rivaille sama sekali kaget saat mengetahui bahwa Rhein adalah seorang informan. Ia pun segera menyadari kenapa gadis ini lebih memilih bekerja seorang diri dibandingkan bersama tim.

          “Anda tidak akan berhenti sebelum mendapatkan jawabannya, bukankah begitu?”

          “Sepertinya kau sudah sangat mengerti situasi disini, jika kau memberiku kepercayaanmu aku akan membalas lebih dari yang kau duga,” balas Rivaille mencoba mendominasi.

          Rhein menatap Rivaille sejenak pandangan mata mereka saling beradu. “Malam itu aku hanya mengambil secarik kertas,” serunya tenang, ia berusaha melihat reaksi lain di wajah Rivaille namun seperti biasa tak ada apa pun yang berubah.

          “Benarkah?”

          “Aku tidak mencuri, lagi pula aku hanya menyalin informasi yang kutemukan malam itu dan isinya mengenai garis besar skema pembangunan benteng penahan Titan,”

          “Hmm, untuk apa mencuri informasi itu? Bukannya hal itu tidak perlu dipermasalahkan lagi? Hampir semua pasukan sudah mengetahui bahwa semua dinding ini terisi oleh Titan, kurasa tak ada gunanya kau mencuri skema itu, Hanji telah meneliti hingga kesumbernya dan hanya dengan melakukan penelusuran melalui gereja yang ada didalam Trost mereka akan memberitahukan informasi yang ada, bahkan kami telah memiliki sebuah nama yang dapat menguak misteri dinding titan itu,”

          “Secara garis besar teori anda benar tapi hal itu juga tidak mudah untuk dilakukan, bukan? Permasalahan sebenarnya tidak hanya terkait pada para Titan itu tapi masih ada rahasia lain yang sedang disembunyikan oleh pemerintah dan kurasa anda sudah mengetahuinya, ini tidak hanya berhubungan dengan Titan saja Kapten, tapi masih banyak hal lain yang belum anda ketahui. Semua informasi penting ini mudah ku dapatkan jika aku berada dalam dinding Rose. Aku telah mempertaruhkan nyawaku untuk mendapatkan informasi ini dan sekarang aku hampir menjadi buronan sebelum identitasku resmi terbongkar, jadi sebelum semua informasi ini jelas dan terkumpul aku harus melakukan sedikit pergerakan rahasia. Berakhir dikastil ini bersama tim anda adalah satu-satunya pilihanku, aku hanya mengikuti keinginan Pixis dan Zackley. Jika punya pilihan lain aku lebih suka menyelesaikannya sendiri dengan cepat tanpa melibatkan siapa pun.. termasuk anda..” Rhein meghentikan kata-katanya sejenak sebelum melanjutkannya lagi. “Aku hanya meminta sedikit waktu berada disini sampai semua ini berakhir lalu setelah itu aku akan pergi dengan tenang dari kehidupan kalian, jaminan yang dapat kuberikan pada kalian hanya janjiku untuk tidak mengorek informasi apapun yang ada dalam scout legiun dan aku akan mempertaruhkan nyawaku untuk membantu tim ini selama aku berada disini,”

          Rivaille menatap Rhein sejenak. “Kau masih belum memberiku jawaban yang kuinginkan...”

          “Informasi yang kumiliki belum sepenuhnya lengkap dan dapat membahayakan pihak yang tidak terlibat, masih banyak puzzle lain yang harus kutemukan untuk membuat analisis sempurna dengan bukti yang lebih relevan. Memberitahu anda informasi mentah ini sama saja dengan melibatkan dan membahayakan nyawa anda dan tim, maaf saja tapi aku benar-benar tidak bisa melakukannya kapten.. lagipula informasi ini membahayakan nyawaku, aku pasti akan memberitahu anda informasi ini tapi tidak sekarang, beri aku sedikit waktu lagi..”

          “Kau tidak perlu mengkhawatirkan nyawaku dan scouting legiun, kami bahkan lebih baik dan lebih kuat dibandingkan semua prajurit garrison dan military corps. Informasi ‘mentah’ yang tadi kau katakan tidak akan membunuh kami dengan mudah..”

          Rhein tersenyum tenang, ia menatap Rivaille sembari menarik napas dalam-dalam. Rivaille membalas tatapannya dalam diam, menunggu. “Bukankah kita berdua memiliki masing-masing pilihan, kapten? Dan kurasa aku sudah menentukan pilihanku,” jawabnya sembari tersenyum.

          Rivaille membalas tatapan Rhein hingga akhirnya dia berpaling. “Kau benar-benar gadis keras kepala.... ada satu hal lagi yang ingin kuketahui..” serunya sembari menatap keluar jendela ia menghentikan sejenak kalimatnya sebelum kembali berpaling menatap Rhein. “Katakan padaku yang sebenarnya tentang dirimu..”

          Rhein tersenyum mendengar pertanyaan Rivaille, namun lelaki itu tahu senyuman itu bukanlah senyuman manis biasa tapi senyuman yang membuat sesuatu diantara mereka terlihat seperti tidak mudah untuk dicapai. “Bukankah sudah jelas..? Aku putri komandan Dot Pixis,” jawabnya.
         
          Rivaille terdiam mendengar jawaban Rhein, dia tahu ini tak akan mudah untuk dilakukan. “Dan dia membiarkanmu melakukan tugas berbahaya ini..?”

          “Ayahku sangat mengenalku Kapten, dia tahu pasti apa yang ku inginkan dan lagipula... hanya aku yang bisa melakukan pekerjaan sekotor ini,”

          “Meskipun hal itu membahayakan nyawa putrinya sendiri? Apa dia tak sadar bahwa dia telah mengantar nyawa putrinya sendiri kedepan pintu neraka?”

          “Hmm, Ayahku sangat mudah mengantarkan nyawa orang lain ke depan pintu neraka, hal itu tidak ada bedanya denganku kan, dia juga bisa mengorbankan nyawa keluarganya untuk mencapai kemenangan umat manusia. Tak ada seorang pun yang ingin melempar dirinya sendiri kedepan pintu neraka Kapten, para pasukan ini tidak punya pilihan lain yang lebih baik,” Rhein menghentikan sejenak kata-katanya lalu melanjutkannya. “Hidup adalah mimpi untuk bijaksana Kapten, permainan untuk orang yang bodoh, komedi untuk orang kaya, dan tragedi bagi orang miskin. Apa anda butuh penyangkalan lainnya?"

          Rivaille menatap dingin Rhein. “Aku mengerti...” gumam Rivaille, sejenak ia kembali mengingat Minazuki yang telah tewas saat melakukan tugas dibawah perintah Pixis. Rivaille masih menatap Rhein dengan tatapan dinginnya ia tidak segera menjawab pernyataan Rhein. Dan kata-kata terakhirnya itu sangat berarti. Jelas sekali gadis ini terlalu sulit dan rumit untuk di dekati. Dan ia sangat membencinya.

“Hhh.. dasar kucing sial, aku akan segera menghentikan omong kosong ini,” seru Rivaille ia berjalan kesudut ruangan dan mengangkat setumpuk berkas terikat tali, ia menaruh tumpukan kertas acak adut itu didekat mejanya. “Ini tugas barumu,” serunya. Rhein melihat tumpukan kertas itu dengan dahi berkerut. “Kau pilah semua berkas ini sesuaikan urutannya, kelompokkan masalahnya, dan salin dalam buku itu,”

          “Se-sebanyak ini?” tanya Rhein tak percaya.

          “Dengan kemampuanmu sebagai seorang informan dan hobimu yang suka membaca dan menulis aku yakin hal ini sangat mudah dilakukan. Aku ingin segera mendapatkan hasil secepatnya, lebih baik kau segera mengerjakan semua sampah ini sementara aku pergi ke kota. Gunakan kantorku untuk kenyamananmu ketika mengerjakannya, kadet,”

          Rhein tahu ini tidak akan mudah dia tahu Rivaille akan memberinya hukuman ,tapi menulis sebanyak ini.. Rhein hanya bisa menghela napas panjang. “Baik Kapten,” balasnya.

Rivaille menyeringai dan ia beranjak untuk mengambil jaket dan jubahnya lalu beranjak menuju pintu. Sebelum menutup pintu dibelakangnya ia menatap Rhein. “Oi..” panggilnya, Rhein pun memberikan perhatian padanya. “Kurasa kau bisa memanggilku dengan namaku saja,” serunya sebelum menutup pintu.

Rhein menatap Rivaille sejenak ia berusaha mencerna kata-kata lelaki itu. “Baiklah.... Rivaille,”

* * *

0 comments:

Post a Comment