Sunday 28 February 2016

[My Dilemma] Chapter 8 - It is not a date, right? (Aomine Daiki x Reader)

BY Unknown IN No comments



Chapter 8
It is not a date, right?

Cast : Aomine Daiki x Reader
Genre : Romance, Mature, Drama
Language : Bahasa Indonesia, Japanese, English
Kuroko no Basket Fanfic

“Daiki-kun? Kau mau kemana?” gumamku saat melihat penampilan Aomine ketika ia menemuiku di ruang loker sepatu. Ia berjalan santai melewatiku dan menaruh sepatu yang dipegangnya kelantai.

“Aku mau ke Shibuya,” gumamnya sambil menukar sepatu khusus dalam ruangan yang dipakainya dengan sepatu luar ruangan.

“Hah? No! You can’t!” protesku. Ia menatapku sejenak lalu menyentil dahiku pelan. “Ittai!!” ringisku sambil mengelus bekas sentilannya yang terasa sakit.

“Apanya yang gak bisa? Let’s go!” gumamnya cuek lalu beranjak menuju pintu depan tanpa menghiraukan penolakanku.

“Daiki-kun! Kau nggak boleh bolos sekolah!”

Ia berbalik dan menatapku dengan ekspresi sebal. “Kau masih nggak paham posisimu ya?” gumamnya dengan tatapan kematian itu. “Aku ini majikanmu,”

Ia berjalan mendahuluiku lagi, mau nggak mau aku harus mengikutinya. Lagipula aku tak paham maksudnya barusan, apa sih hubungan antara ‘bolos’ dan ‘majikan’?

“Ayo cepat! Kalau jalanmu lambat nanti busnya keburu pergi,” gumamnya lagi sambil menatap layar ponselnya. Rupanya ia sedang melihat jam.

Aku tahu tak akan bisa memaksanya untuk tak membolos. Apalagi dia sudah sangat berniat seperti ini. “Hhh, hanya kali ini saja oke? Lain kali kau akan kuseret kembali kedalam kelasmu?” ancamku. Meskipun aku suka padanya tapi ia tak boleh bersikap seenaknya saat bersamaku.

Ia menoleh padaku dengan ekspresi mengejek. “Umh, coba saja kalau kau bisa, aku yakin bisa menyeretmu balik ketempat yang lebih mengasikkan daripada ruang kelas.. UKS yang kosong kedengaran cukup asyik kan senpai?”

Percuma! Nihil! Dia memang mesum sejati! “Hhh.. terserah kau saja, padahal kupikir kau khawatir padaku makanya mengikutiku seperti ini,” gumamku asal tebak.

“Iie, (tidak), jawabnya. “Mana mungkin aku khawatir.. aku cuma sedang ingin jalan-jalan,” balasnya cuek, lalu memasukkan ponselnya kedalam kantung bajunya.

Aku terkekeh pelan ketika melihat reaksinya yang sangat dingin. “Iya-iya, aku paham kok.. Aku cuma asal bicara,” ralatku sambil berusaha mensejajarkan langkah kami berdua.

Setelah sepuluh menit berjalan kaki akhirnya kami sampai di halte bus dan saat itu bus yang akan kami naiki telah tiba, jadi kami tak perlu menunggu lama dan langsung menaikinya. Aomine memilih duduk dibangku paling belakang, kuputuskan untuk mengikutinya dan duduk dekat jendela agak jauh darinya.

Saat itu Aomine terlihat sangat tenang dan tidak banyak bicara. Kuputuskan untuk masuk dalam duniaku sendiri, kukeluarkan ponselku dan earphone, aku perlu musik untuk menghiburku.

“Kau lagi dengerin apa?” gumamnya tepat ditelingaku sambil menatapku ingin tahu saat melihatku sedang santai mendengarkan musik. Tanpa kusadari ternyata ia telah duduk tepat disebelahku, ia telah memperkecil jarak diantara kami berdua.

Kulepas salah satu earphone dan menawarkannya pada Aomine. “Mau ikutan dengerin?” tanyaku. Tanpa banyak komentar lagi ia langsung menempelkan earphone itu ketelinganya lalu mulai mendengarkan musik yang sedang mengalun.

“Ah, aku tahu lagu ini..” gumamnya. “Melodinya enak didengar dan liriknya mudah dihapal..” lanjutnya sambil mulai bersenandung pelan mengikuti irama musik.

“Tak kusangka selera musikmu lumayan juga..” candaku.

“Ah, harusnya aku yang bilang gitu kan,” gumamnya lagi lalu menguap. “Aku ngantuk banget nih,”

“Sudah kubilang kan? Seharusnya kau nggak ikut denganku..”

“Urusai (berisik)... jangan ikutan cerewet kayak Satsuki,” gumamnya sebal.

Kutarik napasku dalam-dalam lalu mendesah pelan. “Hhh... Wakatta.. (aku mengerti) gumamku dengan perasaan dongkol lalu kembali melempar pandanganku keluar bus.

Momoi ya? Ya, ya, ya.. aku tahu kok, kau nggak perlu menyebut Momoi terus menerus seperti itu aku sudah mengerti kau suka padanya.

Kurasakan pundakku tertimpa sesuatu dan kulihat Aomine telah tertidur, tanpa ia sadari lengannya justru bersandar pada lenganku namun kepalanya terkulai tanpa penopang. Kalau begini terus selama beberapa menit, bisa-bisa lehernya akan sakit.

“Gomeen..” bisikku pelan sambil memperbaiki posisi tubuhku agar kepalaku bisa menopang kepala Aomine. Oh sial.. sekarang wajahnya justru dekat sekali denganku. Kulihat ekspresi terkejut beberapa orang ketika melihat kami berdua, aku tahu mereka merasa tak nyaman tapi... biarlah hanya untuk kali ini saja, aku cuma ingin membantu Aomine tidak lebih.

Aomine bergerak dalam tidurnya, tampaknya ia sedang mencari posisi nyaman untuk tidur. Aroma cologne dan shamponya tercampur diudara dan mendominasi penciumanku. Tanpa disadarinya, ia menyentuh tanganku lalu perlahan menggenggamnya.

Damn! Kuharap ia benar-benar tertidur, jika tidak... ia akan mendengar suara detak jantungku yang saat ini sedang berdebar keras.

****

Tiga puluh menit kemudian kami telah sampai di shibuya, Aomine menguap lagi dan berjalan malas disampingku. Sepertinya ia benar-benar tidak menyadari kejadian dalam bus tadi. Ya! Kuharap ia tidak mengingatnya.

Siang itu jalanan Shibuya penuh sesak dengan manusia yang berlalu lalang, entah mereka ingin berbelanja atau hanya sekedar jalan-jalan, yang pasti kerumunan orang yang berlalu lalang itu memenuhi jalan jalan kota.

“Aku akan ke toko perlengkapan pesta, kalau kau ingin jalan-jalan pergilah. Setelah selesai belanja aku akan menunggumu disekitar air mancur,” gumamku sambil berjalan meninggalkan Aomine.

“Chotto! (tunggu!) gumamnya sambil menarik bajuku.

“Na-nani? (apa?) pekikku gusar. Ia tampak santai dan tidak memerlukan banyak kekuatan ketika menyeretku agar mengikutinya.

“Siapa yang bilang kau boleh memberiku perintah, kemana pun kau pergi aku akan ikut begitu juga sebaliknya,” gumamnya sambil melepaskan pegangannya dibajuku lalu menatap sekeliling.

“Haahh?! Bukannya itu justru merepotkan? Lebih baik kita berpencar supaya cepat selesai!” protesku tapi Aomine tampak cuek dan ia terlihat sedang memikirkan sesuatu.

“Ah, aku ingin makan es krim.. sebaiknya kita pergi beli es krim dulu sebelum mencari bahan-bahan yang kau perlukan,” gumamnya lagi lalu beranjak mendahuluiku sambil menarik lengan bajuku.

Aku tahu ini tak akan mudah, dia tak akan membiarkanku mencari barang-barang yang kubutuhkan dalam damai. Tapi akhirnya ku putuskan untuk mengikuti langkahnya sambil melihat toko-toko yang ada dikiri dan kananku.

Didepanku Aomine berjalan santai, ia tampak sangat tinggi, punggungnya bidang dan terlihat sangat nyaman seperti punggung pria dewasa. Geezz.. kenapa aku malah memikirkan hal itu disaat seperti ini bodohnya!! Harusnya aku tidak memperhatikannya terus-terusan, jika tidak ia akan menyadarinya.

“Oi,” panggilnya. Aku pun mempercepat langkahku dan mendekatinya.

“Nani?”

“Lihat itu..” serunya, jari telunjuknya mengarah ke salah satu tempat yang terlihat cukup menarik.

“Ka-kafe kucing?” gumamku tak percaya. Tanpa menunggu persetujuannya aku pun berjalan mendekati Kafe itu dan mengamati kucing-kucing lucu yang sedang bermain dari jendela kacanya. Tanpa kusadari Aomine telah berdiri disampingku.

“Mau mampir sebentar?” tawarnya.

Ya-yang benar saja.. “Shiranai!” tolakku. “Kita harus segera mendapatkan es krim untukmu lalu pergi belanja barang-barang keperluanku,” jelasku. Tapi dalam hati kecilku, aku ingin sekali saja masuk kesana dengannya. Hanya saja meskipun aku sangat ingin, prioritas utamaku bukanlah hal itu.

“Tch.. bersenang-senanglah sedikit, cewek kaku,” gumamnya lalu menarikku agar mengikutinya masuk kedalam kafe itu.

A-apa yang sedang kulakukan sih? Ini bukan kencan, bodoh!! Meskipun dalam hatiku aku selalu mengatakan hal itu tapi tetap saja menikmati milkshake coklat dalam kafe kucing ternyata tidak terlalu buruk.

Lagipula aku jadi bisa melihat sisi lain Aomine, tak kusangka ia suka binatang. Ia terlihat sangat menikmati waktu bermain bersama kucing-kucing itu. Hoi-hoi~ yang benar saja, dilihat dari sisi manapun nggak akan ada orang yang yakin kalau dia adalah penyuka binatang apalagi dengan ekspresi wajah dan postur tubuhnya yang besar itu. Ia terlihat seperti orang lain saja.

Kami menghabiskan waktu selama dua puluh menit dalam tempat itu dan ia kembali menyeretku ketempat lainnya. Kulihat penjuaal es krim disalah satu sisi jalan. Akhirnya.. kami harus segera belanja kalau ingin segera santai. “Daiki-kun.. disana ada es krim..” pekikku namun tubuhku justru tertarik kearah lainnya.

Aomine menggandeng lenganku dan kulihat didepanku ada sebuah jalan yang tampak ramai. “Hei.. kudengar love hotel disini bagus-bagus lho.. mau mampir sebentar untuk mencoba salah satunya?” serunya sambil menunjuk kesalah satu jalan khusus dengan banyak palang bertuliskan ‘love hotel’.

“Daiki-kun!!” pekikku panik.

Ia tersenyum iseng dan menarik tanganku lagi agar mengikuti langkahnya menjauhi lorong itu. “Aku cuma bercanda, ayo kita beli es krim,” serunya. Cih! Ia benar-benar jahil. Tak kusangka ujian sebagai maid pribadinya akan berbahaya seperti ini.

Akhirnya Aomine mendapatkan es krimnya dan kami mulai berjalan lagi menyusuri jalan padat itu. Ia menunjuk beberapa toko tempat ia selalu membeli perlengkapan basketnya dan tempat minum kopi favoritnya, ia juga menyebut nama teman-teman semasa SMPnya selain Kise dan juga menyebut nama Momoi beberapa kali.

Akan sangat ajaib kalau tiba-tiba saja bertemu mereka semua disini.

“Dai-kun!!”

Aku dan Aomine menoleh kearah suara yang sudah kami kenal itu. Gadis berambut pink itu berlari kearah kami. “Kau sedang apa disini? Membolos ya?!” pekiknya pada Aomine.

“Hah.. kau lagi, Chigaimasu!” gumam Aomine santai sambil memakan es krimnya. “Kau sendiri sedang apa disini? Bukannya kau harus pergi kepertemuan untuk membicarakan persiapan turnamen?” gumam Aomine.

“Pertemuannya sudah selesai kebetulan aku ada janji dengan Testu-kun, makanya kami kesini.. Ah! (y/n) senpai? Go-gomen..” gumamnya kalap saat melihat kearahku. “Apa orang ini mengganggumu lagi?” tanyanya panik.

Ya! Dia sangat menggangguku, kumohon tolong aku Momo-chaan. “Tidak kok, ia sedang membantuku mencari perlengkapan untuk bunkasai,” gumamku sambil tersenyum cerah. Baka!

“Oh.. kupikir Dai-kun memaksa senpai pergi kencan,” gumamnya tanpa basa-basi. Kata-katanya cukup nyelekit juga.

“Aomine! Satsuki!,” seseorang berambut biru dan berambut merah datang menghampiri kami. Momoi tampak senang dan menghampiri cowok berambut biru lalu menggandengnya mesra.

“Hei, kau mau pergi kencan dengan Tetsu ya?” gumam Aomine pada Momoi. “Kau ini selalu saja mendatangi Tetsu setiap ada kesempatan,”

“Tentu saja! Karena kami jarang bertemu, begitu ada waktu luang aku mengajaknya kencan,”

“Kalau begitu terus kau akan membuatnya kerepotan kan?” gumamnya lagi dengan nada suara terdengar sebal.

“Momoi bilang dia perlu bantuan untuk membeli perlengkapan bunkasai tim basket, karena kami sedang senggang jadi kami membantunya,” gumam cowok berambut biru, Kuroko tetsuya.

“Geezz.. kau tidak perlu bilang yang sebenarnya kan, Tetsu-kun,” protes Momoi.

“Seharusnya kau membantu dia kan? Kudengar kau bahkan menolak ikutan bunkasai,” protes cowok berambut merah, postur tubuhnya dan ekspresi wajahnya mirip Aomine. Mereka berdua terlihat seperti yakuza.

“Nggak mungkin aku mau ikutankan? Dia tidak memberitahuku kalau mau pergi belanja..”

“Tch, kau pasti cuma beralasan saja kan?”

Akhirnya.. Aomine, cowok berambut merah dan Momoi kembali berdebat tentang hal kecil. Sungguh merepotkan.

Ah, jadi begini.. Aomine menyukai Satsuki Momoi, tapi Momoi terjebak diantara dua pria yang ia sukai karena ia begitu perhatian pada Aomine tapi juga jatuh cinta pada cowok berambut biru? Saat ini hanya itu yang bisa kusimpulkan, kurasa... Aomine memang benar-benar menyukai Momoi.

“Hei namamu siapa?” gumam pria berambut merah. “Aku Kagami Taiga,” ia menyodorkan tangannya padaku. Tak kusangka ia cukup friendly dan tidak seperti orang jepang kebanyakan.

“(input your complete name),” gumamku dengan senyuman cerah, moment ini cukup menyenangkan karena akhirnya aku bisa mengenal satu persatu teman-teman Aomine. Kusodorkan tanganku untuk menjabat tangannya.

Sebuah sentakan mengenai tanganku. Aku dan Kagami menoleh kearah yang sama dan kulihat ekspresi tegang diwajah Aomine. Ia baru saja menepis tanganku agar tidak menjabat tangan Kagami.

“Kau ini.. ngapain sih?” gumam Kagami.

“Gomen,” balas Aomine tegang lalu bersikap sedikit kikuk. “Tanganku kepleset,”

“Cewek ini pacarmu ya? Apa kalian sedang kencan?” gumam Kagami sambil melirikkan matanya pada Momoi yang sedang memperhatikan Aomine.

“Eh? Apa kau benar pacar Aomine?” gumam Kuroko padaku ia tampak tak percaya.

Aku hanya bisa terkekeh lalu menggelengkan kepala. “Bukan, bukan, aku hanya senpainya kok. Ia bermaksud membantuku untuk acara bunkasai, kami tak punya hubungan khusus kok,”

“Sou desu ka... tadinya kupikir Aomine tidak akan bisa dekat dengan cewek selain Momoi. Rasanya sedikit lega bisa melihat ia berteman dengan gadis lainnya,” jelas Kuroko.

Aomine membuang stik es krim yang telah habis es-nya dengan ekspresi sebal. “Sudah nggak usah membahas tentangku lagi, sebaiknya kita segera mencari barang-barang untuk bunkasai..” ajak Aomine.

“Sebentar! Kise-kun bilang dia juga akan kemari,” cegah Momoi.

Ternyata Kise juga ke Shibuya, tak kusangka akan bertemu dengannya disini. Tak lama kemudian Kise pun muncul, dibelakangnya ada dua orang yang tidak kukenal juga mengikutinya. Seorang pria berkacamata dan berambut hijau dan seorang pria berambut hitam dan tampak lucu.

“Kise-kun! Kau lama!” gumam Momoi.

“Gomen-g0men!” serunya ceria. “Tadi aku nggak sengaja ketemu Midorimacchi dan Takacchi jadi sekalian barengan...” Kise terdiam dan menatapku. “(Y/N) cchi?”

“Ki-Kise-kun.. konnichiwa..”

****

Aomine dan Momoi kembali berbincang santai saat kami semua bersama-sama berjalan menuju toko yang sama. Momoi sedang menggandeng Kuroko dan disebelah nya Kagami berjalan santai, keempatnya mengobrol santai.

Aku berjalan tepat dibelakang Aomine dan disebelahku ada Kise yang sedang asyik mengobrol dengan Takao dan Midorima.

“Tak kusangka kau akan pergi belanja hari ini (Y/N) cchi, kalau tahu kau akan pergi aku akan menjemputmu disekolah,” gumamnya padaku.

“Kau nggak perlu repot-repot! Apa Kise-kun mau belanja untuk keperluan bunkasai juga?”

“Iya, aku harus menyicil beberapa barang sebelum nanti kerepotan mengurusnya.. aku senang sekali bisa ketemu denganmu disini, kita bisa memilih beberapa barang bersama-sama,”

“Hei-hei Midori-chan... sepertinya Kise-chan sedang menggoda senpai,” Bisik Takao pada Midorima, tapi suaranya bahkan tidak terdengar seperti bisikan. “Senpai kau harus hati-hati sama Kise-chan, dia ini orangnya cukup berbahaya..” tukasnya.

“Jangan bicara begitu padanya, Takacchi! Nanti dikira beneran,” protes Kise.

“Ah, senpai.. kau memang harus hati-hati,” tambah Midorima.

“Bisa dibilang dia agak mirip hidung belang,” gumam Takao.

“Urusai na~” ringis Kise namun ia tersenyum  sambil menggaruk kepalanya yang nggak gatal. “Jangan bilang yang nggak-nggak sama calon pacarku,”

“Hah?! Calon pacar?! Oi, kau serius mau pacaran dengan Kise?” pekik Kagami tak percaya, ia menatapku seolah meminta jawaban yang lebih meyakinkan.

Aku hanya bisa tersenyum, aku tak tahu ingin menjawab apa. Aku harus bersikap tenang dan biasa karena saat ini mereka sedang bercanda.

“Ini pertama kalinya kudengar Kise bilang ingin pacaran, biasanya dia akan menolak cewek-cewek yang menyatakan cinta padanya,” gumam Kuroko tenang. “Jadi kurasa ia sangat serius dengan (Y/N) senpai,” lanjutnya lagi.

“Kau benar juga, Kise kan nggak pernah mau pacaran.. katanya fans lebih penting daripada pacar,” tambah Momoi.

“Momocchi, kata-katamu sama sekali tak membantuku tahu,” gumam Kise santai.

“Berarti kali ini Kise sudah memikirkannya dengan serius ya,” tambah Midorima sambil memperbaiki letak kacamatanya. “Pasti dia benar-benar menyukaimu, senpai,”

****

This is bad..

Tak kusangka hubunganku dan Kise akan menjadi perdebatan mengasyikkan bagi keenam orang itu hanya Aomine yang tampak tenang dan tidak banyak berkomentar, ia ikut menimpali kata-kata yang lainnya tapi ia tetap tampak tak peduli padaku.

Kami pun berpencar dalam toko perlengkapan dan masing-masing memilih barang-barang yang akan cocok dipakai untuk acara bunkasai. Lagi-lagi kulihat Aomine dan Momoi sedang berdebat pelan tentang aksesoris yang mereka pilih. Aku tahu! Aku nggak boleh merasa cemburu!

“(Y/N) cchi!” panggil Kise aku pun menoleh padanya. Saat itu ia menaruh sesuatu dikepalaku lalu menarikku kedepan cermin besar yang ada ditoko. Kulihat benda yang ada dikepalaku itu ternyata sebuah topi berbentuk kepala kucing.

“Kawai,” gumamku sambil tersenyum lebar saat melihat ekspresi kucing grumpy cat itu.

“Cute,” ulang Kise. Kulihat ia sedang menatapku sembari tersenyum dari belakangku. Aku tahu arti tatapannya. Gosh! Kenapa ia tampak sangat tampan dan gentleman disaat seperti ini.

Ia beranjak lalu kembali mendekatiku dan meletakkan sebuah rambut palsu warna warni dikepalanya lalu mengeluarkan ponselnya. “Ayo foto,” ajaknya.

Entah kenapa aku menyetujui hal ini. Aku tak bisa berhenti tersenyum dan Kise pun mengabadikan momen lucu itu. Kise tampak sangat senang, dia memang selalu berusaha jujur mengungkapkan perasaannya padaku. Setidaknya dia nggak mempermainkanku.

“Kau itu mirip kucing..” gumamnya padaku, sambil mengamati foto diponselnya. Kulihat ia tersenyum.

“Maksudmu, ekspresiku mirip seperti ini?” gumamku sambil menunjuk topi grumpy cat yang sedang kupakai. Ia mengalihkan tatapannya padaku dan bereaksi cepat.

“No,no,no,no.. you have a beautiful smile and when you smile I feel like... I could die... umm.. I mean your attitude similiar with cat, sorry..”

“My attitude? Kise.. I don’t understand..”

“Terkadang kau bersikap rebel tapi kemudian bersikap manis hal itu membuatmu terlihat mirip dengan kucing..”

“Oh.. I got it..”

Kulepaskan topi itu dari kepalaku dan menyodorkannya pada Kise. Karena rambutku jadi berantakan secara refleks ia merapikan rambutku dengan tangannya lalu menyambut topi yang kusodorkan padanya.

“Kise sini! Aku ketemu barang bagus, coba kau lihat!” panggil Takao. “(Y/N) senpai aku pinjam calon pacarmu sebentar ya,” tambahnya lagi sambil menarik lengan Kise.

“Ah, kau ini mengganggu saja!” pekik Kise.

“Kalau kau pedekate terus kapan belanjanya, baka!” sembur Takao.

Aku hanya bisa terkekeh mendengarnya dan merasa sangat berterima kasih pada Takao, setidaknya aku jadi bisa berkelit ke lorong peralatan lainnya dan bisa fokus mencari barang-barang yang kubutuhkan.

Tanpa adanya gangguan dari Kise dan Aomine aku bisa menemukan beberapa barang yang bagus, keranjangku sudah penuh setengahnya dengan berbagai macam pita hiasan. Tapi aku masih harus menemukan beberapa barang lainnya.

Kulihat disalah satu rak teratas, ada barang yang sedang kucari. Kucoba untuk meraih bungkusan itu namun percuma tanganku nggak cukup panjang untuk menggapainya. Tapi kalau aku melompat, mungkin aku bisa meraihnya. Kuletakkan tasku kedalam keranjang belanjaan dan menaruhnya dilantai.

“Yosh! Kalau lompat pasti bisa sampai,” gumamku sambil melipat lengan bajuku. “Lagian kenapa ditaruhnya dirak paling tinggi sih,” protesku pada diri sendiri lalu mulai melompat-lompat kecil berusaha menggapai bungkusan itu.

“Hoo~ jadi kau sembunyi disini huh?”

Suara yang sangat kukenal itu mengagetkanku. Kulihat Aomine sedang berjalan mendekatiku. “Daiki-kun? Aku membutuhkan hiasan itu, bisa tolong kau ambilkan?”

“Eeh~ Apa kau sedang menyuruh majikanmu?” gumamnya dengan intonasi suara malas-malasan.

“Daiki-kun, please kali ini saja,, oke? Kita harus cepat mengumpulkan semua belanjaan,” pintaku. Aku sedikit merasa kesal padanya karena membuatku merasa sulit ketika sedang merasa selelah ini.

Namun ia tak bergerak dan hanya diam memperhatikanku. Oke, jadi dia memutuskan untuk nggak membantuku. Aku nggak mungkin minta tolong Kise.. entah kenapa aku jadi ngerasa nggak enak kalau memintanya. “Baiklah.. kalau memang itu jawaban anda, Goshujin-sama,” ledekku lalu berbalik dan mulai melompat lagi.

Nggak kusangka dia akan sedingin ini, tapi apa boleh buat. Karena aku sedang bertepuk sebelah tangan jadi sebaiknya aku tak perlu terlalu merepotkannya. “Kau ini pendek sekali sih,” gumamnya.

“Geezz.. nanti saja menghinanya aku sedang fokus dengan tugasku tahu!” geramku sebal.

“Kenapa tidak minta bantuan sama calon pacarmu?”

Aku berbalik dan menatapnya. Aku merasa kesal tapi aku tak ingin marah karena pancingan kecil seperti itu.

“Jangan ikut-ikutan yang lain deh,” gumamku dongkol. “Kau tahu kan itu nggak mungkin,” aku berbalik lagi dan mulai melompat lagi sepertinya aku memang harus minta bantuan orang lain.

“Apa maksudmu nggak mungkin..?”

Kutarik napasku dalam-dalam lalu mencoba menenangkan diri. Aku mencoba mengembalikan kesabaran yang sempat buyar. “Kau benar.. aku harus memanggil seseorang untuk membantuku,” gumamku pasrah.

Aku ingin beranjak memanggil seseorang yang bisa membantuku dilorong itu tapi tangan Aomine menahanku. Ia mengurungku dengan tubuhnya.

“Geezz.. cuma dibegitukan saja kau langsung marah, aku cuma bercanda tahu..” gumamnya pelan. Kata-katanya membuatku merasa sebal, bagaimana dia bisa membuat kegalauanku jadi sebuah candaan? Tapi entah kenapa meskipun saat ini aku merasa kesal padanya aku juga merasa deg-degan nggak karuan.

“Nggak lucu, baka!”

Ia menekan bahuku dan tubuhku tersandar pada rak yang ada dibelakangku. Ekspresinya tampak sangat serius. “You better don’t smile in front of other guys..” bisiknya. Kutelan liurku dengan susah payah. Apa maksudnya?

“What are you talking about?” geramku lagi sambil mendorong tubuhnya agar menjauh dariku. Tapi ia tak bergerak.

“I mean.. ” gumamnya, seraya mendekatkan wajahnya padaku.

****
Previous Chapter                              Next Chapter 


0 comments:

Post a Comment