Chapter
8
It is not a date, right?
Cast : Aomine Daiki x Reader
Genre : Romance, Mature, Drama
Language : Bahasa Indonesia, Japanese,
English
Kuroko no Basket Fanfic
“Daiki-kun? Kau mau kemana?”
gumamku saat melihat penampilan Aomine ketika ia menemuiku di ruang loker
sepatu. Ia berjalan santai melewatiku dan menaruh sepatu yang dipegangnya
kelantai.
“Aku mau ke Shibuya,”
gumamnya sambil menukar sepatu khusus dalam ruangan yang dipakainya dengan
sepatu luar ruangan.
“Hah? No! You can’t!”
protesku. Ia menatapku sejenak lalu menyentil dahiku pelan. “Ittai!!” ringisku sambil mengelus
bekas sentilannya yang terasa sakit.
“Apanya yang gak bisa? Let’s go!” gumamnya cuek lalu beranjak menuju pintu depan tanpa menghiraukan penolakanku.
“Daiki-kun! Kau nggak
boleh bolos sekolah!”
Ia
berbalik dan menatapku dengan ekspresi sebal. “Kau masih nggak paham posisimu ya?” gumamnya dengan tatapan
kematian itu. “Aku ini majikanmu,”
Ia
berjalan mendahuluiku lagi, mau nggak mau aku harus mengikutinya. Lagipula aku
tak paham maksudnya barusan, apa sih hubungan antara ‘bolos’ dan ‘majikan’?
“Ayo cepat! Kalau jalanmu
lambat nanti busnya keburu pergi,” gumamnya lagi sambil
menatap layar ponselnya. Rupanya ia sedang melihat jam.
Aku
tahu tak akan bisa memaksanya untuk tak membolos. Apalagi dia sudah sangat
berniat seperti ini. “Hhh, hanya kali
ini saja oke? Lain kali kau akan kuseret kembali kedalam kelasmu?” ancamku.
Meskipun aku suka padanya tapi ia tak boleh bersikap seenaknya saat bersamaku.
Ia
menoleh padaku dengan ekspresi mengejek. “Umh,
coba saja kalau kau bisa, aku yakin bisa menyeretmu balik ketempat yang lebih
mengasikkan daripada ruang kelas.. UKS yang kosong kedengaran cukup asyik kan
senpai?”
Percuma!
Nihil! Dia memang mesum sejati! “Hhh..
terserah kau saja, padahal kupikir kau khawatir padaku makanya mengikutiku
seperti ini,” gumamku asal tebak.
“Iie, (tidak),” jawabnya. “Mana mungkin aku khawatir.. aku cuma sedang ingin jalan-jalan,” balasnya
cuek, lalu memasukkan ponselnya kedalam kantung bajunya.
Aku
terkekeh pelan ketika melihat reaksinya yang sangat dingin. “Iya-iya, aku paham kok.. Aku cuma asal
bicara,” ralatku sambil berusaha mensejajarkan langkah kami berdua.
Setelah
sepuluh menit berjalan kaki akhirnya kami sampai di halte bus dan saat itu bus
yang akan kami naiki telah tiba, jadi kami tak perlu menunggu lama dan langsung
menaikinya. Aomine memilih duduk dibangku paling belakang, kuputuskan untuk
mengikutinya dan duduk dekat jendela agak jauh darinya.
Saat
itu Aomine terlihat sangat tenang dan tidak banyak bicara. Kuputuskan untuk
masuk dalam duniaku sendiri, kukeluarkan ponselku dan earphone, aku perlu musik
untuk menghiburku.
“Kau lagi dengerin apa?”
gumamnya tepat ditelingaku sambil menatapku ingin tahu saat melihatku sedang
santai mendengarkan musik. Tanpa kusadari ternyata ia telah duduk tepat
disebelahku, ia telah memperkecil jarak diantara kami berdua.
Kulepas
salah satu earphone dan menawarkannya pada Aomine. “Mau ikutan dengerin?” tanyaku. Tanpa banyak komentar lagi ia
langsung menempelkan earphone itu ketelinganya lalu mulai mendengarkan musik
yang sedang mengalun.
“Ah, aku tahu lagu ini..”
gumamnya. “Melodinya enak didengar dan
liriknya mudah dihapal..” lanjutnya sambil mulai bersenandung pelan
mengikuti irama musik.
“Tak kusangka selera
musikmu lumayan juga..” candaku.
“Ah, harusnya aku yang
bilang gitu kan,” gumamnya lagi lalu menguap. “Aku ngantuk banget nih,”
“Sudah kubilang kan?
Seharusnya kau nggak ikut denganku..”
“Urusai (berisik)... jangan ikutan cerewet kayak Satsuki,”
gumamnya sebal.
Kutarik
napasku dalam-dalam lalu mendesah pelan. “Hhh...
Wakatta.. (aku mengerti)”
gumamku dengan perasaan dongkol lalu kembali melempar pandanganku keluar bus.
Momoi
ya? Ya, ya, ya.. aku tahu kok, kau nggak perlu menyebut Momoi terus menerus
seperti itu aku sudah mengerti kau suka padanya.
Kurasakan
pundakku tertimpa sesuatu dan kulihat Aomine telah tertidur, tanpa ia sadari
lengannya justru bersandar pada lenganku namun kepalanya terkulai tanpa
penopang. Kalau begini terus selama beberapa menit, bisa-bisa lehernya akan
sakit.
“Gomeen..”
bisikku pelan sambil memperbaiki posisi tubuhku agar kepalaku bisa menopang
kepala Aomine. Oh sial.. sekarang wajahnya justru dekat sekali denganku.
Kulihat ekspresi terkejut beberapa orang ketika melihat kami berdua, aku tahu
mereka merasa tak nyaman tapi... biarlah hanya untuk kali ini saja, aku cuma
ingin membantu Aomine tidak lebih.
Aomine
bergerak dalam tidurnya, tampaknya ia sedang mencari posisi nyaman untuk tidur.
Aroma cologne dan shamponya tercampur diudara dan mendominasi penciumanku.
Tanpa disadarinya, ia menyentuh tanganku lalu perlahan menggenggamnya.
Damn!
Kuharap ia benar-benar tertidur, jika tidak... ia akan mendengar suara detak
jantungku yang saat ini sedang berdebar keras.
****
Tiga
puluh menit kemudian kami telah sampai di shibuya, Aomine menguap lagi dan
berjalan malas disampingku. Sepertinya ia benar-benar tidak menyadari kejadian
dalam bus tadi. Ya! Kuharap ia tidak mengingatnya.
Siang
itu jalanan Shibuya penuh sesak dengan manusia yang berlalu lalang, entah
mereka ingin berbelanja atau hanya sekedar jalan-jalan, yang pasti kerumunan
orang yang berlalu lalang itu memenuhi jalan jalan kota.
“Aku akan ke toko
perlengkapan pesta, kalau kau ingin jalan-jalan pergilah. Setelah selesai
belanja aku akan menunggumu disekitar air mancur,”
gumamku sambil berjalan meninggalkan Aomine.
“Chotto! (tunggu!)” gumamnya sambil menarik bajuku.
“Na-nani? (apa?)” pekikku gusar. Ia tampak santai dan
tidak memerlukan banyak kekuatan ketika menyeretku agar mengikutinya.
“Siapa yang bilang kau
boleh memberiku perintah, kemana pun kau pergi aku akan ikut begitu juga
sebaliknya,” gumamnya sambil melepaskan pegangannya
dibajuku lalu menatap sekeliling.
“Haahh?! Bukannya itu
justru merepotkan? Lebih baik kita berpencar supaya cepat selesai!”
protesku tapi Aomine tampak cuek dan ia terlihat sedang memikirkan sesuatu.
“Ah, aku ingin makan es
krim.. sebaiknya kita pergi beli es krim dulu sebelum mencari bahan-bahan yang
kau perlukan,” gumamnya lagi lalu beranjak mendahuluiku
sambil menarik lengan bajuku.
Aku
tahu ini tak akan mudah, dia tak akan membiarkanku mencari barang-barang yang
kubutuhkan dalam damai. Tapi akhirnya ku putuskan untuk mengikuti langkahnya
sambil melihat toko-toko yang ada dikiri dan kananku.
Didepanku
Aomine berjalan santai, ia tampak sangat tinggi, punggungnya bidang dan terlihat
sangat nyaman seperti punggung pria dewasa. Geezz.. kenapa aku malah memikirkan
hal itu disaat seperti ini bodohnya!! Harusnya aku tidak memperhatikannya
terus-terusan, jika tidak ia akan menyadarinya.
“Oi,”
panggilnya. Aku pun mempercepat langkahku dan mendekatinya.
“Nani?”
“Lihat itu..”
serunya, jari telunjuknya mengarah ke salah satu tempat yang terlihat cukup
menarik.
“Ka-kafe kucing?”
gumamku tak percaya. Tanpa menunggu persetujuannya aku pun berjalan mendekati
Kafe itu dan mengamati kucing-kucing lucu yang sedang bermain dari jendela
kacanya. Tanpa kusadari Aomine telah berdiri disampingku.
“Mau mampir sebentar?”
tawarnya.
Ya-yang
benar saja.. “Shiranai!” tolakku. “Kita harus segera mendapatkan es krim
untukmu lalu pergi belanja barang-barang keperluanku,” jelasku. Tapi dalam
hati kecilku, aku ingin sekali saja masuk kesana dengannya. Hanya saja meskipun
aku sangat ingin, prioritas utamaku bukanlah hal itu.
“Tch.. bersenang-senanglah
sedikit, cewek kaku,” gumamnya lalu menarikku agar mengikutinya
masuk kedalam kafe itu.
A-apa
yang sedang kulakukan sih? Ini bukan kencan, bodoh!! Meskipun dalam hatiku aku
selalu mengatakan hal itu tapi tetap saja menikmati milkshake coklat dalam kafe
kucing ternyata tidak terlalu buruk.
Lagipula
aku jadi bisa melihat sisi lain Aomine, tak kusangka ia suka binatang. Ia
terlihat sangat menikmati waktu bermain bersama kucing-kucing itu. Hoi-hoi~
yang benar saja, dilihat dari sisi manapun nggak akan ada orang yang yakin kalau
dia adalah penyuka binatang apalagi dengan ekspresi wajah dan postur tubuhnya
yang besar itu. Ia terlihat seperti orang lain saja.
Kami
menghabiskan waktu selama dua puluh menit dalam tempat itu dan ia kembali
menyeretku ketempat lainnya. Kulihat penjuaal es krim disalah satu sisi jalan.
Akhirnya.. kami harus segera belanja kalau ingin segera santai. “Daiki-kun.. disana ada es krim..”
pekikku namun tubuhku justru tertarik kearah lainnya.
Aomine
menggandeng lenganku dan kulihat didepanku ada sebuah jalan yang tampak ramai. “Hei.. kudengar love hotel disini
bagus-bagus lho.. mau mampir sebentar untuk mencoba salah satunya?” serunya
sambil menunjuk kesalah satu jalan khusus dengan banyak palang bertuliskan ‘love hotel’.
“Daiki-kun!!”
pekikku panik.
Ia
tersenyum iseng dan menarik tanganku lagi agar mengikuti langkahnya menjauhi
lorong itu. “Aku cuma bercanda, ayo kita
beli es krim,” serunya. Cih! Ia benar-benar jahil. Tak kusangka ujian
sebagai maid pribadinya akan berbahaya seperti ini.
Akhirnya
Aomine mendapatkan es krimnya dan kami mulai berjalan lagi menyusuri jalan
padat itu. Ia menunjuk beberapa toko tempat ia selalu membeli perlengkapan
basketnya dan tempat minum kopi favoritnya, ia juga menyebut nama teman-teman
semasa SMPnya selain Kise dan juga menyebut nama Momoi beberapa kali.
Akan
sangat ajaib kalau tiba-tiba saja bertemu mereka semua disini.
“Dai-kun!!”
Aku
dan Aomine menoleh kearah suara yang sudah kami kenal itu. Gadis berambut pink
itu berlari kearah kami. “Kau sedang apa
disini? Membolos ya?!” pekiknya pada Aomine.
“Hah.. kau lagi, Chigaimasu!”
gumam Aomine santai sambil memakan es krimnya. “Kau sendiri sedang apa disini? Bukannya kau harus pergi kepertemuan
untuk membicarakan persiapan turnamen?” gumam Aomine.
“Pertemuannya sudah
selesai kebetulan aku ada janji dengan Testu-kun, makanya kami kesini.. Ah!
(y/n) senpai? Go-gomen..” gumamnya kalap saat melihat kearahku.
“Apa orang ini mengganggumu lagi?”
tanyanya panik.
Ya!
Dia sangat menggangguku, kumohon tolong aku Momo-chaan. “Tidak kok, ia sedang membantuku mencari perlengkapan untuk bunkasai,”
gumamku sambil tersenyum cerah. Baka!
“Oh.. kupikir Dai-kun
memaksa senpai pergi kencan,” gumamnya tanpa basa-basi.
Kata-katanya cukup nyelekit juga.
“Aomine! Satsuki!,”
seseorang berambut biru dan berambut merah datang menghampiri kami. Momoi
tampak senang dan menghampiri cowok berambut biru lalu menggandengnya mesra.
“Hei, kau mau pergi kencan
dengan Tetsu ya?” gumam Aomine pada Momoi. “Kau ini selalu saja mendatangi Tetsu
setiap ada kesempatan,”
“Tentu saja! Karena kami
jarang bertemu, begitu ada waktu luang aku mengajaknya kencan,”
“Kalau begitu terus kau
akan membuatnya kerepotan kan?” gumamnya lagi dengan nada
suara terdengar sebal.
“Momoi bilang dia perlu
bantuan untuk membeli perlengkapan bunkasai tim basket, karena kami sedang
senggang jadi kami membantunya,” gumam cowok berambut
biru, Kuroko tetsuya.
“Geezz.. kau tidak perlu
bilang yang sebenarnya kan, Tetsu-kun,” protes Momoi.
“Seharusnya kau membantu
dia kan? Kudengar kau bahkan menolak ikutan bunkasai,”
protes cowok berambut merah, postur tubuhnya dan ekspresi wajahnya mirip
Aomine. Mereka berdua terlihat seperti yakuza.
“Nggak mungkin aku mau
ikutankan? Dia tidak memberitahuku kalau mau pergi belanja..”
“Tch, kau pasti cuma
beralasan saja kan?”
Akhirnya..
Aomine, cowok berambut merah dan Momoi kembali berdebat tentang hal kecil.
Sungguh merepotkan.
Ah,
jadi begini.. Aomine menyukai Satsuki Momoi, tapi Momoi terjebak diantara dua
pria yang ia sukai karena ia begitu perhatian pada Aomine tapi juga jatuh cinta
pada cowok berambut biru? Saat ini hanya itu yang bisa kusimpulkan, kurasa...
Aomine memang benar-benar menyukai Momoi.
“Hei namamu siapa?”
gumam pria berambut merah. “Aku Kagami
Taiga,” ia menyodorkan tangannya padaku. Tak kusangka ia cukup friendly dan
tidak seperti orang jepang kebanyakan.
“(input your complete
name),” gumamku dengan senyuman cerah, moment ini cukup
menyenangkan karena akhirnya aku bisa mengenal satu persatu teman-teman Aomine.
Kusodorkan tanganku untuk menjabat tangannya.
Sebuah
sentakan mengenai tanganku. Aku dan Kagami menoleh kearah yang sama dan kulihat
ekspresi tegang diwajah Aomine. Ia baru saja menepis tanganku agar tidak
menjabat tangan Kagami.
“Kau ini.. ngapain sih?”
gumam Kagami.
“Gomen,”
balas Aomine tegang lalu bersikap sedikit kikuk. “Tanganku kepleset,”
“Cewek ini pacarmu ya? Apa
kalian sedang kencan?” gumam Kagami sambil melirikkan
matanya pada Momoi yang sedang memperhatikan Aomine.
“Eh? Apa kau benar pacar
Aomine?” gumam Kuroko padaku ia tampak tak percaya.
Aku
hanya bisa terkekeh lalu menggelengkan kepala. “Bukan, bukan, aku hanya senpainya kok. Ia bermaksud membantuku untuk
acara bunkasai, kami tak punya hubungan khusus kok,”
“Sou desu ka... tadinya
kupikir Aomine tidak akan bisa dekat dengan cewek selain Momoi. Rasanya sedikit
lega bisa melihat ia berteman dengan gadis lainnya,”
jelas Kuroko.
Aomine
membuang stik es krim yang telah habis es-nya dengan ekspresi sebal. “Sudah nggak usah membahas tentangku lagi,
sebaiknya kita segera mencari barang-barang untuk bunkasai..” ajak Aomine.
“Sebentar! Kise-kun bilang
dia juga akan kemari,” cegah Momoi.
Ternyata
Kise juga ke Shibuya, tak kusangka akan bertemu dengannya disini. Tak lama
kemudian Kise pun muncul, dibelakangnya ada dua orang yang tidak kukenal juga
mengikutinya. Seorang pria berkacamata dan berambut hijau dan seorang pria
berambut hitam dan tampak lucu.
“Kise-kun! Kau lama!”
gumam Momoi.
“Gomen-g0men!”
serunya ceria. “Tadi aku nggak sengaja
ketemu Midorimacchi dan Takacchi jadi sekalian barengan...” Kise terdiam
dan menatapku. “(Y/N) cchi?”
“Ki-Kise-kun..
konnichiwa..”
****
Aomine
dan Momoi kembali berbincang santai saat kami semua bersama-sama berjalan
menuju toko yang sama. Momoi sedang menggandeng Kuroko dan disebelah nya Kagami
berjalan santai, keempatnya mengobrol santai.
Aku
berjalan tepat dibelakang Aomine dan disebelahku ada Kise yang sedang asyik
mengobrol dengan Takao dan Midorima.
“Tak kusangka kau akan
pergi belanja hari ini (Y/N) cchi, kalau tahu kau akan pergi aku akan
menjemputmu disekolah,” gumamnya padaku.
“Kau nggak perlu
repot-repot! Apa Kise-kun mau belanja untuk keperluan bunkasai juga?”
“Iya, aku harus menyicil
beberapa barang sebelum nanti kerepotan mengurusnya.. aku senang sekali bisa
ketemu denganmu disini, kita bisa memilih beberapa barang bersama-sama,”
“Hei-hei Midori-chan...
sepertinya Kise-chan sedang menggoda senpai,” Bisik Takao pada
Midorima, tapi suaranya bahkan tidak terdengar seperti bisikan. “Senpai kau harus hati-hati sama Kise-chan,
dia ini orangnya cukup berbahaya..” tukasnya.
“Jangan bicara begitu
padanya, Takacchi! Nanti dikira beneran,” protes Kise.
“Ah, senpai.. kau memang
harus hati-hati,” tambah Midorima.
“Bisa dibilang dia agak
mirip hidung belang,” gumam Takao.
“Urusai na~”
ringis Kise namun ia tersenyum sambil
menggaruk kepalanya yang nggak gatal. “Jangan
bilang yang nggak-nggak sama calon pacarku,”
“Hah?! Calon pacar?! Oi, kau
serius mau pacaran dengan Kise?” pekik Kagami tak percaya,
ia menatapku seolah meminta jawaban yang lebih meyakinkan.
Aku
hanya bisa tersenyum, aku tak tahu ingin menjawab apa. Aku harus bersikap
tenang dan biasa karena saat ini mereka sedang bercanda.
“Ini pertama kalinya
kudengar Kise bilang ingin pacaran, biasanya dia akan menolak cewek-cewek yang
menyatakan cinta padanya,” gumam Kuroko tenang. “Jadi kurasa ia sangat serius dengan (Y/N)
senpai,” lanjutnya lagi.
“Kau benar juga, Kise kan
nggak pernah mau pacaran.. katanya fans lebih penting daripada pacar,”
tambah Momoi.
“Momocchi, kata-katamu
sama sekali tak membantuku tahu,” gumam Kise santai.
“Berarti kali ini Kise
sudah memikirkannya dengan serius ya,” tambah Midorima sambil
memperbaiki letak kacamatanya. “Pasti
dia benar-benar menyukaimu, senpai,”
****
This is bad..
Tak
kusangka hubunganku dan Kise akan menjadi perdebatan mengasyikkan bagi keenam
orang itu hanya Aomine yang tampak tenang dan tidak banyak berkomentar, ia ikut
menimpali kata-kata yang lainnya tapi ia tetap tampak tak peduli padaku.
Kami
pun berpencar dalam toko perlengkapan dan masing-masing memilih barang-barang
yang akan cocok dipakai untuk acara bunkasai. Lagi-lagi kulihat Aomine dan Momoi
sedang berdebat pelan tentang aksesoris yang mereka pilih. Aku tahu! Aku nggak
boleh merasa cemburu!
“(Y/N) cchi!”
panggil Kise aku pun menoleh padanya. Saat itu ia menaruh sesuatu dikepalaku
lalu menarikku kedepan cermin besar yang ada ditoko. Kulihat benda yang ada
dikepalaku itu ternyata sebuah topi berbentuk kepala kucing.
“Kawai,”
gumamku sambil tersenyum lebar saat melihat ekspresi kucing grumpy cat itu.
“Cute,”
ulang Kise. Kulihat ia sedang menatapku sembari tersenyum dari belakangku. Aku tahu
arti tatapannya. Gosh! Kenapa ia tampak sangat tampan dan gentleman disaat
seperti ini.
Ia
beranjak lalu kembali mendekatiku dan meletakkan sebuah rambut palsu warna
warni dikepalanya lalu mengeluarkan ponselnya. “Ayo foto,” ajaknya.
Entah
kenapa aku menyetujui hal ini. Aku tak bisa berhenti tersenyum dan Kise pun
mengabadikan momen lucu itu. Kise tampak sangat senang, dia memang selalu
berusaha jujur mengungkapkan perasaannya padaku. Setidaknya dia nggak
mempermainkanku.
“Kau itu mirip kucing..”
gumamnya padaku, sambil mengamati foto diponselnya. Kulihat ia tersenyum.
“Maksudmu, ekspresiku
mirip seperti ini?” gumamku sambil menunjuk topi grumpy cat
yang sedang kupakai. Ia mengalihkan tatapannya padaku dan bereaksi cepat.
“No,no,no,no.. you have a beautiful
smile and when you smile I feel like... I could die... umm.. I mean your
attitude similiar with cat, sorry..”
“My attitude? Kise.. I
don’t understand..”
“Terkadang kau bersikap
rebel tapi kemudian bersikap manis hal itu membuatmu terlihat mirip dengan
kucing..”
“Oh.. I got it..”
Kulepaskan
topi itu dari kepalaku dan menyodorkannya pada Kise. Karena rambutku jadi
berantakan secara refleks ia merapikan rambutku dengan tangannya lalu menyambut
topi yang kusodorkan padanya.
“Kise sini! Aku ketemu
barang bagus, coba kau lihat!” panggil Takao. “(Y/N) senpai aku pinjam calon pacarmu
sebentar ya,” tambahnya lagi sambil menarik lengan Kise.
“Ah, kau ini mengganggu
saja!” pekik Kise.
“Kalau kau pedekate terus
kapan belanjanya, baka!” sembur Takao.
Aku
hanya bisa terkekeh mendengarnya dan merasa sangat berterima kasih pada Takao,
setidaknya aku jadi bisa berkelit ke lorong peralatan lainnya dan bisa fokus
mencari barang-barang yang kubutuhkan.
Tanpa
adanya gangguan dari Kise dan Aomine aku bisa menemukan beberapa barang yang
bagus, keranjangku sudah penuh setengahnya dengan berbagai macam pita hiasan.
Tapi aku masih harus menemukan beberapa barang lainnya.
Kulihat
disalah satu rak teratas, ada barang yang sedang kucari. Kucoba untuk meraih
bungkusan itu namun percuma tanganku nggak cukup panjang untuk menggapainya.
Tapi kalau aku melompat, mungkin aku bisa meraihnya. Kuletakkan tasku kedalam
keranjang belanjaan dan menaruhnya dilantai.
“Yosh! Kalau lompat pasti
bisa sampai,” gumamku sambil melipat lengan bajuku. “Lagian kenapa ditaruhnya dirak paling
tinggi sih,” protesku pada diri sendiri lalu mulai melompat-lompat kecil
berusaha menggapai bungkusan itu.
“Hoo~ jadi kau sembunyi
disini huh?”
Suara
yang sangat kukenal itu mengagetkanku. Kulihat Aomine sedang berjalan
mendekatiku. “Daiki-kun? Aku membutuhkan
hiasan itu, bisa tolong kau ambilkan?”
“Eeh~ Apa kau sedang
menyuruh majikanmu?” gumamnya dengan intonasi suara
malas-malasan.
“Daiki-kun, please kali
ini saja,, oke? Kita harus cepat mengumpulkan semua belanjaan,”
pintaku. Aku sedikit merasa kesal padanya karena membuatku merasa sulit ketika
sedang merasa selelah ini.
Namun
ia tak bergerak dan hanya diam memperhatikanku. Oke, jadi dia memutuskan untuk
nggak membantuku. Aku nggak mungkin minta tolong Kise.. entah kenapa aku jadi
ngerasa nggak enak kalau memintanya. “Baiklah..
kalau memang itu jawaban anda, Goshujin-sama,” ledekku lalu berbalik dan
mulai melompat lagi.
Nggak
kusangka dia akan sedingin ini, tapi apa boleh buat. Karena aku sedang bertepuk
sebelah tangan jadi sebaiknya aku tak perlu terlalu merepotkannya. “Kau ini pendek sekali sih,” gumamnya.
“Geezz.. nanti saja
menghinanya aku sedang fokus dengan tugasku tahu!”
geramku sebal.
“Kenapa tidak minta
bantuan sama calon pacarmu?”
Aku
berbalik dan menatapnya. Aku merasa kesal tapi aku tak ingin marah karena
pancingan kecil seperti itu.
“Jangan ikut-ikutan yang
lain deh,” gumamku dongkol. “Kau
tahu kan itu nggak mungkin,” aku berbalik lagi dan mulai melompat lagi
sepertinya aku memang harus minta bantuan orang lain.
“Apa maksudmu nggak mungkin..?”
Kutarik
napasku dalam-dalam lalu mencoba menenangkan diri. Aku mencoba mengembalikan
kesabaran yang sempat buyar. “Kau
benar.. aku harus memanggil seseorang untuk membantuku,” gumamku pasrah.
Aku
ingin beranjak memanggil seseorang yang bisa membantuku dilorong itu tapi
tangan Aomine menahanku. Ia mengurungku dengan tubuhnya.
“Geezz.. cuma dibegitukan
saja kau langsung marah, aku cuma bercanda tahu..”
gumamnya pelan. Kata-katanya membuatku merasa sebal, bagaimana dia bisa membuat
kegalauanku jadi sebuah candaan? Tapi entah kenapa meskipun saat ini aku merasa
kesal padanya aku juga merasa deg-degan nggak karuan.
“Nggak lucu, baka!”
Ia
menekan bahuku dan tubuhku tersandar pada rak yang ada dibelakangku.
Ekspresinya tampak sangat serius. “You
better don’t smile in front of other guys..” bisiknya. Kutelan liurku
dengan susah payah. Apa maksudnya?
“What are you talking
about?” geramku lagi sambil
mendorong tubuhnya agar menjauh dariku. Tapi ia tak bergerak.
“I mean..
” gumamnya, seraya mendekatkan wajahnya padaku.
****
0 comments:
Post a Comment