Wednesday 6 January 2016

Chapter 1 - Professor's Secret (Deutsch Class)

BY Unknown IN No comments


#Warning! Cerita ini berisi konten yang sedikit berbahaya untuk usia under 18yo (:p)

Cast : Levi Ackerman x Reader, Genre : Romance

Professor Secret (Deutsch Class) Ch.1

Kau tak pernah menyadari bahwa imajinasimu akan jauh berbeda dari kenyataannya. Hingga akhirnya suatu hari kau sadar bahwa kau telah terjebak dalam sebuah kelas bersama dengan orang yang kau benci tapi juga sangat kau sukai. Pertemuan pertamamu dengan Levi
terjadi tepat disebuah pertokoan, saat kau sadar dompetmu hilang dan kau harus membayar belanjaanmu. Levi yang sedang berdiri tepat dibelakangmu menawarkan bantuannya untuk membayar belanjaan itu. Lalu peristiwa kedua terjadi, saat kau sedang diganggu oleh sekelompok orang dan Levi kebetulan lewat kemudian menolongmu... lagi.

Kau sudah mencari tahu tentang malaikat penolongmu ini dan kebetulan ia adalah seorang dosen bahasa Jerman di Universitas Trostarian Rose tempat kau berkuliah saat ini. Karena kau sangat ingin lebih mengenalnya akhirnya kau pun memutuskan untuk mengambil mata kuliah bahasa Jerman pada semester depan agar bisa mengikuti kelas Profesor Levi Ackerman.

“(your/name), how to express your feelings to other person in Deutsch?”

Kau tak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu dari profesor bahasa Jermanmu. Ditambah lagi karena pengalamanmu akan percintaan tidaklah sebagus teman-temanmu membuatmu tidak tahu harus berkata apa untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dengan ragu dan penuh kekhawatiran kau hanya bisa menjawabnya dengan gelengan kepala. “Hmm.. I.. don’t know sir,” bisikmu.

Pria berumur 27 tahun dengan wajah tanpa ekspresi dan bertubuh pendek tak lebih dan tak kurang dari 160 sentimeter itu kembali melayangkan tatapan mematikannya padamu. Kau tahu bahwa itu adalah tanda yang sangat buruk. Levi Ackerman tak suka dengan mahasiswa yang bodoh, meskipun nilai akademismu dalam mata kuliah yang lain sangatlah bagus tapi entah kenapa nilai bahasa Jermanmu adalah yang paling buruk.

“What the hell are you talking about? You really don’t know how?” gumam Levi pelan. tepat didepan seluruh kelas ia menggunakan kata-kata yang tak seharusnya dipakai oleh seorang guru bahkan profesor mana pun didunia ini.

“I’m sorry sir.. but I really don’t know about that.. shit, gumammu pelan. Kau hanya bisa membisikkan kata ‘shit’ dengan sangat pelan karena tidak ingin Levi mendengarnya dan sebenarnya kau tidak begitu perduli dengan hal semacam percintaan.

Levi mendecakkan lidahnya malas. “Tch, are you fucking kidding me.. sudah dilevel setinggi ini dan kau bahkan tidak bisa memberiku satu saja jawaban berguna, kau pikir kau masih berada di sekolah dasar? Apa perlu aku yang mengajarimu cara mengungkapkannya?” gumam Levi.  Ia mendudukkan pantatnya di atas meja dosen sambil menyilangkan tangannya didada.  Kata-katanya tadi sungguh membuatmu malu luar biasa karena ia mengatakannya tepat didepan seluruh mahasiswa lain yang ada didalam kelas.

“S-sorry, sir..” gumammu lagi sedikit merasa menyesal namun kau sangat ingin meninju Levi. Sangat ingin.

Suara bel berdering nyaring menandakan usainya mata kuliah siang itu. Tak ada yang berani bersuara meskipun kau tau teman-temanmu sangat ingin berteriak lega. Levi masih memicingkan matanya padamu sebelum akhirnya ia mendesah pelan.

“Okay, kita lanjutkan lagi minggu depan.. kuharap kalian mengerjakan tugas yang sudah kuberikan, kita akan membahasnya pada pertemuan selanjutnya,” gumam Levi. “Semuanya boleh bubar..”

Hiruk pikuk mahasiswa yang ingin segera meninggalkan kelas terdengar riuh. Kau sedikit merasa lega namun masih merasa kesal saat mengingat kata-kata Levi. Dengan cepat kau bereskan buku-bukumu agar bisa segera pergi dari kelas Levi.

“(your/name), apa setelah ini kau senggang? Kami akan pergi karaoke dan nanti malam kita akan kumpul di Avenue, apa kau mau gabung?” tanya seorang pria kekar berambut pirang. Kau mengenalnya dengan panggilan Reiner, disebelahnya berdiri seorang pria ssangat tinggi berambut hitam bernama Bertholt. Sebenarnya kau sudah cukup kenal dekat dengan mereka berdua.

Kau senang sekali mendengar ajakan ini dan memang sedang menanti adanya pesta bersama teman-temanmu. “Yeah, of course I..”

“(your/name),”

Kau tidak melanjutkan kalimatmu karena mendengar seseorang memanggil namamu dan melihat Levi sedang berjalan perlahan menuju kearah mejamu dengan sebuah buku bahasa Jerman ditangannya. Ia menatapmu dengan tatapan dingin tanpa ekspresinya.

“Yes, sir?”

“Kami akan menunggumu diluar, okay?” seru Reiner lalu segera mengajak Bertholt agar segera beranjak pergi meninggalkan kau dan Levi.

“I wanna tell you..” bisiknya sambil memberi tatapan tajam.

“O-okay...”

“Sekarang sudah tengah semester dan nilaimu berada dibawah rata-rata. Kupikir kau harus mengambil pelajaran tambahan, kalau kau ingin perubahan lebih baik pada nilai bahasa Jermanmu... aku akan menunggumu dikantorku sore ini,” serunya to the point, tanpa menunggu persetujuanmu lagi ia berjalan meninggalkanmu. Kau memalingkan pandanganmu dan menatap punggung Levi yang semakin menjauh dengan tatapan kesal dan bersumpah dalam hati bahwa kau tak akan datang kekantornya.


*** Levi’s office, 03.15 pm ***

Kau sudah berdiri selama lima menit didepan pintu kantor Levi, bahkan kau berjalan mondar mandir karena gugup saat ingin masuk kedalam kantornya. Beberapa kali kau memutuskan untuk membuka pintu kantor itu tapi niatmu selalu setengah-setengah. Hingga kau merasa kaget luar biasa saat pintu itu terbuka dan kau bisa melihat dengan jelas ekspresi dingin dosenmu kini sedang menyambutmu.

“Sampai kapan kau akan mondar-mandir didepan pintu kantorku? Ayo masuk,” gumam Levi.

“Tapi... darimana anda tahu kalau...”

 “Masuk saja dan duduklah..” potongnya.

 “Apa anda memata-mataiku... sir?” kau tak sadar mengucapkan kata-kata itu dan menyangka bahwa Levi mungkin akan melemparkan tatapan mematikannya dan menyambutmu dengan kata-kata yang tak senonoh.

Namun Levi justru berjalan menuju meja kerjanya dan kau akhirnya memutuskan untuk masuk kedalam kantor itu dan menutup pintunya. Levi berbalik dan duduk diatas meja kerjanya, menatapmu. “Sebenarnya.. aku sedikit memperhatikanmu,” balas Levi.

Tentu saja kau tak menyangka Levi akan mengatakan hal sesensitif itu. Ada perasaan khawatir namun entah kenapa kau juga merasa senang. Kau memutuskan untuk duduk di kursi yang ada didepan meja Levi. “Oh, thank you sir.. Jadi, apa yang harus kulakukan untuk memperbaiki nilaiku?” tanyamu.

Levi tidak langsung menjawabnya, hanya menatapmu sejenak lalu membungkukkan tubuhnya sedikit kearahmu. “Apa saja yang bisa kau lakukan?” tanyanya. Oh shit. Rutukmu dalam hati, kau tahu kemana arah pertanyaan itu tapi kau masih tidak yakin dengan kesimpulanmu sendiri.

“What do you mean.. sir?” kau bergumam tak jelas, lebih tepatnya itu adalah sebuah bisikan.

Levi semakin mendekatkan wajahnya padamu dan mengurungmu dengan kedua lengannya. Lalu berbisik pelan ditelingamu. “I mean... this!” Lembaran kertas itu berkelebat tepat berada didepan hidungmu. Levi menunjukkan beberapa kertas ujian dan semuanya atas namamu, tentunya dengan nilai yang sangat jelek dan tidak masuk akal. “Aku tak pernah lihat mahasiswa dengan nilai seburuk ini, apa cara mengajarku sangat jelek?” protesnya.

“No, sir! You are the best professor I’ve ever known.. but I just..”

“.. just a stupid idiot little brat?” sambungnya kalem. Meskipun hal itu terdengar cukup menyakitkan tapi kau tahu bahwa Levi memang benar. Kau tak sanggup menjawabnya dan memutuskan untuk diam mendengarkan omelannya.

Tapi Levi tak melanjutkan kata-kata kasarnya. Suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. “Mulai saat ini, kau harus datang setiap hari ke kantorku karena kita akan mulai pelajaran tambahan untukmu. Kita mulai dari pukul 03.20 sampai selesai, sekarang keluarkan buku catatanmu.. kita akan mulai belajar dari dasar lagi,” gumamnya lalu beranjak menuju rak lemari dan mengeluarkan beberapa buku dan meletakkannya di atas sofa.

Kau tak mengerti kenapa dosenmu, Levi, sangat ingin membantumu. Menurutmu dia bukanlah tipe pria yang akan membantu dengan segan, tapi ketika melihat perkataan dan sikapnya yang saling berbenturan saat ini, tak bisa dipungkiri bahwa kau menjadi penasaran pada sosok Levi Ackerman.

****

Kau sangat menyukai bahasa Jerman tapi kesulitan dalam menghapalkan kosa kata dan tata cara bahasanya. Kau bahkan harus benar-benar berkonsentrasi keras hanya untuk mengerjakan sepuluh soal mudah yang diberikan oleh Levi. Ia menyuruhmu untuk belajar lagi dari awal, mulai dari mengucapkan kata salam hingga cara menyebut huruf dalam bahasa Jerman. Dia juga tak segan memarahimu jika kau melakukan kesalahan dan terus menyuruhmu untuk mengulang semua catatan yang telah kau tulis. Hari itu, sama seperti lima hari sebelumnya kau telah berada dalam ruangan yang sama dengan guru privat bahasa Jermanmu.

“Good morning..” gumam Levi.

“Guten morgen..” balasmu. Hari ini kau disuruh untuk mentranslate semua kata yang diucapkan oleh Levi kedalam bahasa Jerman.

“Good evening.." ucapnya lagi.

“Guten abend..” jawabmu.

“How are you..?” bisik Levi.

“Danke, es geht so! (Not so bad, thanks)..”

“Tch.. what the fuck was that?” decak Levi, ia memukul pelan kepalamu dengan buku yang dipegangnya. Karena terbawa suasana kau jadi mengatakan terjemahan yang salah.

“Ah, S-sorry! I mean.. Wie geht’s..? (How are you..?)” ulangmu lagi, panik, sambil mengelus-elus kepalamu. Levi menarik napas dalam-dalam. Ia memberimu tatapan tajam mematikan andalannya. Sudah hampir seminggu kau datang ke kantor Levi untuk belajar, namun saat melihat perkembanganmu yang sangat lamban wajar saja kalau Levi membencimu dan kehabisan kesabaran.

“Istirahat lima menit,” gumam Levi pelan. Kau cukup merasa bingung melihat perubahan reaksinya barusan yang tadinya tampak seolah akan menerkammu namun tiba-tiba melembut. “Selagi istirahat baca lagi catatanmu, jangan lupa bawa buku ini pulang agar kau bisa mempelajarinya, dumbass,” tambahnya.

Kau sudah cukup terbiasa mendengar kata-kata tak senonohnya ketika menyebutmu sebagai  “dumbass”, atau “stupid, idiot, little brat,”. Kau sudah tidak mempermasalahkannya karena setelah mengatakan semua itu Levi akan menuangkan secangkir teh hangat untukmu dan menyajikannya untukmu dengan gaya yang elegan.

“Sorry sir, aku terbawa suasana..” jelasmu saat Levi menyodorkan cangkir teh padamu dengan cara yang sangat aneh. Ia tidak memegang tungkai cangkir melainkan bibir cangkir. Sekilas kau berpikir kalau itu tidak sopan namun tampaknya kharisma Levi telah membuatmu melupakan norma kesopanan.

“Es geht so (Not so bad),” gumamnya lalu duduk dimeja kerjanya sambil meminum teh bagiannya. “Jawabanmu benar, penempatannya juga tepat, tapi.. kau tidak fokus pada pelajaranmu,”

“Masalah utamaku memang itu, aku lumayan sulit untuk berkonsentrasi.. tapi aku akan lebih berusaha lagi..”

“Poin penting dalam belajar bahasa asing adalah pengulangan yang harus dilakukan dari waktu ke waktu, setiap hari, setiap jam, kalau bisa setiap menit.. apalagi dengan kasus sepertimu ini,” tambahnya sembari melirikmu dari balik cangkir tehnya saat ia menyeruput isinya. Kau berusaha merenungkan kesalahanmu dan memikirkan kenapa kau begitu sulit mengingat pelajaran yang telah disampaikan Levi padamu. “Sebenarnya kau butuh satu dorongan..” sambung Levi, ia meletakkan cangkir tehnya pada tatakan gelas yang ada diatas meja kerjanya.

“Dorongan..? What do you mean, sir?” kau lemparkan pandangan penuh rasa ingin tahu pada Levi.

“Actually, I have another way.. to make you understand and if you agree with the situation I will tell you how it’s gonna work, but if you refuse... I don’t mind. It's all up to you,” gumam Levi.

Sebenarnya kau sudah merasa cukup putus asa dengan kondisi otakmu yang masih tidak mau bekerja dengan maksimal, kau tahu pasti kalau kau sangat membutuhkan dorongan itu. Meskipun begitu kau masih merasakan kekhawatiran mengenai apa yang dimaksud Levi dengan “sebuah dorongan”. Tapi kau ingin semua ini cepat berakhir, kau harus segera mahir dalam pelajaran ini. Harus.

“Okay, I’ll do it!” Kau memberinya jawaban penuh rasa gugup, bisa kau rasakan bahwa kau ingin menelan kembali kata-kata yang telah kau lontarkan barusan karena tiba-tiba saja kau menyesal telah mengatakannya.

“Good decision... kita akhiri pelajaran hari ini dan temui aku tiga hari lagi, akan kupikirkan bagaimana caranya..” gumam Levi, ia kembali mengangkat cangkir tehnya dengan posisi yang aneh.

“Kupikir anda sudah tahu...”

“Caranya..? Maaf, tapi aku sendiri belum memikirkannya.. akan kuberitahu saat kita bertemu lagi minggu depan,” gumamnya santai sambil menyeruput tetes terakhir tehnya.

****

Lagi-lagi kau melewatkan pertemuan dengan teman-temanmu karena kau harus mengikuti les privat  bersama Levi. Kau tidak memberitahu mereka kalau sudah seminggu ini kau melewatkan waktu dengan dosen yang dianggap paling killer di Universitas Trostarian Rose hanya untuk belajar dasar-dasar bahasa Jerman. Tapi karena hari ini Levi mengakhiri lesnya lebih awal akhirnya kau bisa mampir ke suatu bar tempat teman-temanmu sedang berkumpul saat ini. Kau putuskan untuk mengirimi mereka pesan singkat yang mengatakan bahwa kau sedang dalam perjalanan menuju bar.

“Shit,” bisikmu saat kau mengaduk isi tasmu untuk mencari handphone milikmu. Kau medapatkan ponselmu namun kau tidak menemukannya.. buku setebal tiga sentimeter yang tadi dipinjamkan Levi padamu. Kau harus membawa buku itu pulang karena Levi pasti akan membantaimu tiga hari lagi jika dia tahu kau melupakan buku tersebut.

Kau tidak ingin dibantai sedemikian rupa dan tak ingin ia menganggapmu makhluk paling bodoh didunia. Meskipun jam ditanganmu telah menunjuk pukul enam lewat tiga puluh menit dan kau telah berjalan sampai didepan gerbang kampusmu, kau putuskan untuk kembali mengambil buku itu dan mengingat hari sudah semakin gelap, kau berharap kalau Levi setidaknya masih berada diruangannya.

 Perlahan kau ketuk pintu kantornya ternyata tak ada jawaban, kau terus mengulang ketukan itu sampai tiga kali ternyata masih tak ada jawaban dari dalam. Tampaknya Levi sudah pergi, kau sedikit kecewa namun kau juga berharap agar ia lupa mengunci pintu kantornya.

 Klek!

Bisa kau rasakan jantungmu berdebar kencang saat pintu yang kau coba buka berhasil terbuka, tampaknya tuhan sedang berada dipihakmu dan sepenuhnya mendukung aksimu kali ini. Perlahan kau dorong pintu itu agar terbuka lebar, bisa kau lihat lampu dalam kantor Levi menyala dan jendelanya sedikit terbuka. Kau tak menyangka sama sekali bahwa ternyata dosenmu ini cukup bodoh karena lupa menutup jendela dan mematikan lampu kantornya.

Kau yakinkan dirimu bahwa aman untuk masuk diam-diam kedalam kantor Levi dan melayangkan pandangan keseluruh ruangan yang tampak sepi dan kosong. Yeah, tak ada seorang pun dalam kantor Levi kecuali dirimu, kau bisa melihat buku tebal yang dipinjamkan Levi padamu masih tergeletak ditempatnya tadi. Untunglah Levi pergi tanpa mengecek ulang ruangannya.

Segera kau ambil buku itu dan cepat-cepat memasukkannya kedalam tasmu, lalu beranjak menuju jendela yang terbuka. Meskipun ruang kantor ini ada dilantai dua, setidaknya kau cukup khawatir akan ada binatang yang masuk dan mengacaukan ruangan dosenmu. Kau tak sepenuhnya membenci Levi, setidaknya ruangannya adalah yang ternyaman dibanding ruangan dosen lainnya. Menutupkan jendela bukanlah masalah besar untukmu.

Blam!

Suara berisik pintu terbuka dan menutup dibelakangmu seketika membuatmu panik, kau berbalik cepat untuk melihat situasi dan melihat sosok mencurigakan dengan penutup wajah dan penutup kepala kini sedang menatapmu kejam, ditangannya ada sebuah kain dan sebotol obat bius.

“What are you doing in this room..?” gumam pria misterius dari balik penutup wajahnya.

“Who are you? What are you doing in here?” kau bergumam panik dan mulai bicara tak jelas, matamu sibuk mencari-cari alat yang bisa digunakan untuk memukul. “Sebaiknya kau segera pergi dari sini sebelum aku berteriak dan melaporkanmu kepolisi,”

“Wow.. aku takut sekali,” balas pria itu tenang. Ia berjalan mendekatimu dan tanpa pikir panjang kau membongkar laci Levi dan menemukan sebuah staples berukuran sedang. “Hey, jangan bilang kau akan menggunakannya sebagai senjata?” tentu saja tebakan pria misterius itu tepat.

Kau terus mengarahkan staples itu pada si pria misterius dan berusaha menjaga jarak sejauh mungkin darinya sementara kau berusaha mencapai pintu yang tertutup itu. Tapi percuma pria itu terus bergerak mendekatimu, tanpa kau sadari staples yang tadinya ada ditanganmu kini telah terlempar dan tepat mengenai kepala si pria misterius.

“What the fuck was that?!!” raungnya sambil berjongkok kesakitan dilantai. Melihat kesempatan itu kau pun bergerak cepat menuju pintu dan berusaha membukanya. Tapi dentuman keras kembali terdengar pintu menutup lagi dan kau berteriak keras.

Pria itu menangkup bibirmu dengan tangannya. “Stop (your/name), stop it! Calm down!” gumam Levi, ia membuka penutup wajahnya dan tudung kepalanya. Kau bisa melihat darah mengalir dari luka bekas lemparan stapler yang tadi mengenainya.

“Sir? Is it you?” pekikmu tak percaya. “You bleeding!” gumammu panik.

Levi menyentuh lukanya dan darah membekas di jari-jarinya. “I’m okay.. don’t worry,”

“No! You’re not. Anda harus segera diobati, dimana peralatan P3Knya?”

Levi menunjuk salah satu lemari dan kau segera menuju lemari itu untuk mengeluarkan kotak P3K. Kau benar-benar merasa sangat bersalah karena telah melempar kepala dosenmu dengan sebuah staples hingga menyebabkan luka berdarah, tapi disisi lain kau sedikit merasa lega bahwa orang yang kau lempar tadi adalah dosenmu sendiri, Levi Ackerman.

Levi melepaskan penyamarannya, peralatan yang tadi tercecer dilantai ia letakkan kembali diatas meja. Kau bisa melihat dengan jelas bahwa yang kau kira botol obat bius tadi ternyata hanya bahan penyemprot untuk membersihkan peralatan rumah tangga dan sebuah kain lap biasa.

Saat kau berbalik untuk mengobati Levi kau justru mendapatkan pemandangan yang berbeda dari biasanya. Seperti biasa Levi kembali duduk bersandar pada meja kerjanya, mengamati pekerjaanmu tanpa banyak bicara. Namun kau tak pernah melihatnya dengan gaya sesantai itu, lengan bajunya terlipat setengah dan tiga kancing teratas kemejanya terbuka, kau bisa melihat sebuah dasi abu-abu yang tadinya tergulung rapi dalam laci meja Levi kini telah terhambur keluar karena usahamu mencari senjata tadi.

Yang sedikit membuatmu gugup adalah kau bisa melihat otot dada Levi dengan sangat jelas. Kau sama sekali tak menyangkanya, dan situasi ini menjadi sedikit awkward. “Apa kau sudah siap mengobatiku?” Levi bergumam dengan tangan terlipat didada. Menunggu.

Kau mendekati Levi dan mencoba mengobatinya, menempelkan kain yang telah dibasahi oleh alkohol ke luka dikepala Levi. Pria itu sedikit meringis. “I’m so sorry...” perasaan bersalah kembali mengalirimu.

“Tch, berhentilah meminta maaf..” balasnya. Kau bisa melihat bahwa Levi sama sekali tidak menaruh dendam padamu, pria itu tampak santai meskipun kepalanya telah kau lukai.

“Sorry, sir... I mean! Okay!” ulangmu panik, kau tak pernah membayangkan berada dalam situasi ini dan tentu saja kau panik.

Levi hanya menatapmu diam dengan tatapan dinginnya. “What are you doing in my room?” lanjutnya lagi saat kau telah selesai membersihkan lukanya dan bersiap untuk menempelkan plester. Kau tidak ingin dia tahu bahwa kau lupa mengambil buku yang tertinggal tapi kau juga tak tahu kata-kata apa yang akan kau pakai sebagai alasan. “Apa bukunya sudah kau ambil?” tanyanya lagi.

“Ya, sudah.. sir,” gumammu sambil menempelkan plester diluka tersebut. Kau tahu tak ada gunanya mencari alasan lain karena Levi telah mengetahuinya dengan sangat jelas. “Done!”

“Thank you,”

“I’m sorry sir.. Aku kembali untuk mengambil buku yang tertinggal, kupikir anda sudah pulang dan lupa mengunci pintu, mematikan lampu, dan menutup jendela. Aku tak bermaksud untuk mengacau..”

“Okay, whatever you say..” potong Levi.

Kau kembali mengamati ruangan itu dan melihat peralatan bersih-bersih yang tergeletak diatas meja. “Apa anda akan membersihkan sendiri ruangan ini? Ternyata anda...”

“Apa aku tak boleh mengerjakannya sendiri?”

“No! Bukan itu maksudku...”

Levi menarikmu agar mendekat padanya. Jantungmu seolah akan copot dari tempatnya karena tiba-tiba saja wajahmu hanya berjarak lima sentimeter dari wajah dosenmu. “Kau tahu.. tak seorang pun pernah melihatku seperti ini,” bisik Levi.

“I-I promise you, sir! Aku akan tutup mulut dan tak akan membicarakannya dengan siapapun dikampus ini,” gumammu panik dan berusaha untuk melepaskan diri dari lengan Levi yang kini melingkar dipinggangmu.

Ia justru memicingkan matanya dan mengerutkan dahi tanda tak suka. “Hmm..?”

“Maksudku.. aku tak akan membicarakan tentang ini pada siapapun, dimanapun aku berada,” lanjutmu semakin panik dan detak jantungmu kini semakin tak terkontrol. “Bisakah anda melepaskan pegangan anda?” Levi menjauhkan lengannya dari pinggangmu hal ini membuatmu merasa lega luar biasa. “Aku pergi sekarang sir, maaf merepotkan anda,”

Dengan cepat kau raih tasmu yang tergeletak diatas meja sofa lalu beranjak menuju pintu keluar. Berharap segera pergi dari ruangan itu secepat mungkin. Pintu terbuka dan kembali menutup dengan suara dentuman yang cukup keras. Entah apalagi yang akan terjadi kau tak sanggup membayangkannya.

Kau bisa merasakannya, saat tubuh Levi menempel dipunggungmu sementara kedua tangannya mengurungmu saat ia menahan pintu agar tetap tertutup. “Sir?” gumammu panik.

“Kau pikir bisa pergi sebelum aku mengijinkanmu pergi?” bisik Levi tepat ditelingamu. Kau tahu saat ini kau sudah merasa sangat ketakutan, yang terlintas dalam kepalamu adalah Levi Ackerman mungkin seorang psiko berbahaya.

“But..”

“Kau melemparku dengan staples hingga kepalaku bocor, kau seenaknya masuk kedalam kantorku dan mengacak-acak kantorku, yang paling buruk adalah kau melihatku dalam kondisi seperti ini. Aku berpikir untuk memberimu sebuah hukuman..”

Kau berpikir keras apa mungkin dosenmu akan membunuhmu hanya karena kau melakukan tindakan barusan yang ia sebutkan tadi, untuk manusia normal kau akan mengangap kalau itu bukanlah masalah besar. Kalau dosenmu adalah psiko, kau pasti tahu jawaban apa yang dapat kau simpulkan.

Sudah diputuskan kau tidak ingin mati dan jalan satu-satunya adalah kabur sebelum kau dibunuh. Kau berbalik dengan usaha keras untuk menendang dan memukul dosenmu tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Levi menangkap tangan kananmu dan menekan bahumu kedinding hingga kau menjatuhkan tasmu kelantai. Dengan cepat ia menempelkan bibirnya kebibirmu dengan usaha agar kau tidak berteriak. Semakin kau berontak, semakin ia menekanmu ketembok dingin itu dan Levi berusaha mendesakkan lidahnya kedalam bibirmu, kau tak menyukai rasanya. Kau membenci cara paksa ini tapi, entah kenapa tubuhmu berkata lain dan hanya mengikuti alur yang ditunjukkan Levi padamu.

Setelah beberapa menit mendesakmu dengan serangan ciuman itu akhirnya Levi menjauhkan bibirnya darimu. Ia menatapmu dengan sorot mata yang lembut namun kau malah jadi membencinya.  Sebuah tamparan keras mendarat tepat diwajah Levi dan menimbulkan bekas berwarna kemarahan dipipinya. Dia tak mengelak namun juga tidak marah, ia hanya memberimu tatapan kematiannya yang biasa dan membukakan pintu kantornya untukmu.

“Jangan lupa, datanglah kesini tiga hari lagi kita akan lanjutkan pelajaran tambahanmu..” gumamnya.

Kau membenci Levi, marah, dan kesal. Tapi kau tak bisa berkata-kata lagi dan akhirnya pergi begitu saja meninggalkannya dalam kantor yang berantakan. Berjalan dengan langkah panjang dan penuh perasaan dongkol, kau berharap suatu saat dapat membunuh Levi karena ia telah mengambil ciuman pertamamu dengan cara paksa.

Kau bersumpah! Tak akan pernah kembali lagi ke kantor Levi apapun yang terjadi bahkan kau berencana untuk tidak melanjutkan pelajaran tambahan bahasa Jermanmu! Kau sudah tak perduli lagi, karena kau benar-benar marah padanya.

“Oh maan..” langkahmu terhenti saat kau teringat sesuatu yang terlupakan dan telah berada didekat gerbang kampus ketika mengingatnya. “I forgot my bag..”

****

0 comments:

Post a Comment