Monday 25 January 2016

[My Dilemma] Chapter 1 - You're not my type (Aomine Daiki x Reader)

BY Unknown IN No comments



Cast       : Aomine Daiki (Kuroko no Basuke) x Reader
Genre   : Romance, Drama
Language : Bahasa Indonesia

Chapter 1

You’re Not My Type! (Aomine Daiki x Reader)


“Daiki kun!!”

“Hmmh??”

“Ayo kita pacaran!!” pintaku sambil menunduk dan menyerahkan sepucuk surat padanya.

Angin bertiup sepoi-sepoi diatas atap gedung sekolah yang sepi itu, aku tahu kalau dia sering menghabiskan waktu untuk tidur siang disana. Makanya kuberanikan diriku untuk datang keatap menemuinya dan menembaknya.

Kini ia tengah menatapku dengan tatapannya yang tajam. Aku bisa merasa kuping dan wajahku mulai memanas. Aku malu.

“Nggak mau,” jawabnya dingin lalu menguap lagi dan menyilangkan kedua tangannya dibelakang kepala lalu bersandar pada pagar besi dibelakangnya.

Kutengadahkan wajahku dan menatapnya. Aku tahu akan gagal tapi aku sudah memberanikan diriku sejauh ini untuk menembaknya, setidaknya aku tidak menyesal.

“Kenapa kau tidak mau pacaran denganku?” tanyaku berani, padahal sebenarnya jantungku mau melompat dari tempatnya. Bisa-bisanya aku berani mencoba bicara santai dengannya.

“Hmm? Bukannya sudah jelas..?”

“Eh..?”

“Dadamu rata, bokongmu juga rata, bodymu bahkan seperti papan penggilasan... kau sama sekali tidak seksi... (y/n) san!” jawabnya ketus. Aku tahu Aomine Daiki suka cewek berisi tapi mau gimana lagi dong, tubuhku memang tidak masuk dalam kategori tipe cewek favoritnya.

Aku hanya bisa tersenyum mendengar kata-katanya. Yah mau gimana lagi, tubuhku memang tidak seksi. Ia menatapku diam, mungkin dalam hatinya ia berpikir kenapa aku justru tersenyum saat ia mengataiku papan penggilasan.

Kukeluarkan sebotol minuman ion dingin dari tasku dan aku pun berjalan mendekatinya lalu membungkuk dan meletakkan botol minuman ion itu disampingnya. “Ini untukmu.. Momoi chan menitipkannya padaku, katanya kau ingin minum,” gumamku, bohong, minuman ini bukan titipan Momoi-chan.

Ia melemparkan tatapannya pada botol itu namun tetap bersikap cuek. “Hm,” gumamnya.

Kulihat jam tanganku dan kembali terlonjak kaget. “Ah, sudah waktunya!” gumamku lalu beranjak pergi. “Terima kasih untuk waktumu, aku pergi dulu Daiki kun!” gumamku sambil berlari meninggalkannya.

Ia hanya membalasnya dengan decakan lidah lalu kembali menutup matanya, melanjutkan tidurnya.

 Aku hampir menuruni anak tangga pertama saat akhirnya memutuskan untuk kembali menemui Aomine. “Daiki kun!” panggilku. Ia membuka matanya dan menatapku dingin. “Apa aku masih boleh menemuimu?” tanyaku serius.

Ia terlihat bimbang, lalu mendenguskan napasnya. “Sebaiknya senpai jangan menemuiku..”

“Ah! Besok aku akan menembakmu lagi.. bersiaplah!” pekikku tersenyum lalu berbalik dan berlari menuruni tangga.

Aku bisa melihatnya.. ekspresi kaget yang muncul diwajahnya sebelum aku pergi.

****

Arghh!!!

Bisa-bisanya aku melakukan itu??? Kenapa aku malah semakin nekat ingin menembaknya??? Padahal ia sudah jelas-jelas menolakku kan???

Baka!!!

Aku tak habis pikir kenapa aku bisa punya keberanian sebanyak itu untuk menembak adik kelasku?? Parahnya dia menolakku dan aku.. tetap memaksa untuk menembaknya!!!

“(y/n)!! Kau sedang apa?? Sudah waktunya nih!!”

Terdengar seseorang memanggil namaku. Minami, dia adalah salah satu sahabatku yang tergabung dalam klub lari.

“Iya-iya aku datang... sebentar,” segera kuikat rambut panjangku dengan gaya low ponytail lalu beranjak mengikuti Minami ke lapangan tempat arena lintasan lari kami.

“Semuanya ambil posisi siap untuk pemanasan!” terdengar suara pelatih berkumandang dan kami semua langsung bersiap mengikuti instruksi.

Aku, Minami, dan anggota klub lari lainnya mulai berlari santai mengelilingi lintasan setelah selesai melakukan pemanasan. Cuaca sore itu lumayan cerah namun tidak panas, dan disalah satu atap bangunan itu aku bisa melihat punggung Aomine Daiki, adik kelasku masih tersandar pada pagar atap.

Aku dan Aomine Daiki berbeda satu tahun, ia masih kelas dua dan aku sudah kelas tiga. Pertama kali melihatnya saat digerbang sekolah. Aku tak sengaja menabraknya dan jatuh terjerembab saat berlari terburu-buru melewati gerbang sebelum terlambat masuk untuk mengikuti pelajaran pertama.

Saat itu ia terlihat sangat menakutkan dan kupikir ia akan memukulku.

“Are you okay?”

Aku melihatnya berjongkok didepanku dan tatapan wajahnya sangat dingin. Ku bilang kalau aku baik-baik saja dan mencoba untuk berdiri tapi kakiku justru terasa sakit tampaknya kakiku terkilir. Aku hanya bisa meringis menahan sakitnya dan tak ingin dia mengetahui kalau kakiku terkilir.

Ia berjalan santai meninggalkanku yang masih berdiri dan berusaha mencoba untuk menahan sakit saat ku gerakkan kakiku untuk berjalan normal. Shit! Seharusnya aku tidak berlari secepat itu dan membabi buta seperti itu, tampaknya  aku tak akan bisa mengikuti jadwal lari seperti biasa.

“Sini tasmu!”

Suara Aomine kembali merasuk telingaku. “Eh?” aku hanya bisa menatapnya bengong.

Ia mendesah pelan lalu merampas tasku. “Mau sampai kapan kau berdiri disini, huh?” gumamnya. Tanpa sempat kusadari lagi tubuhku seolah melayang dan akan jatuh, namun lengan kuat dan kekar itu melingkar kuat ditubuhku. Ia menggendongku dengan gaya bridal style!!

“K-kau mau apa?!” pekikku panik.

“Shh! Jangan berisik, aku akan mengantarmu ke UKS,” gumamnya.

“T-tapi aku baik-baik saja, turunkan aku!”

“Sudah diam jangan berisik! Kalau nggak cepat diobati kakimu bisa tambah parah, idiot!”

Aomine membawaku ke UKS dan meninggalkanku disana untuk diobati. Saat itu aku tak pernah tahu namanya dan selalu kepikiran sama sosok Aomine. Sampai akhirnya Minami mengajakku untuk nonton liga basket antar sekolah.

Dilapangan basket itu aku melihat Aomine beraksi dan dia... keren banget! Sosoknya benar-benar berbeda dari saat pertama kali kami bertemu. Sejak kejadian digerbang itu aku terus memikirkan dia dan jadi suka sekali padanya.

“(y/n), bagaimana rencanamu menembak Daiki-kun?” tegur Minami saat kami melakukan putaran kedua.

“Aku sudah melakukannya, kok..”

“Eeeh!!?? Trus gimana???” pekik Minami penasaran.

“Ditolak-mentah-mentah~” jawabku hopeless.

“Bukankah sudah kukatakan sebelumnya? Dia itu lebih mirip berandalan ketimbang superhero seperti yang kau ceritakan, tapi kau masih saja nekat..”

“Aku tahu sih.. tapi gimana dong?” ringisku. “Aku benar-benar suka padanya,”

“Yah mau bagaimana lagi... sepertinya dia memang tidak tertarik dengan cewek papan penggilasan. Harusnya kau bisa berpikir jernih kan?! Dia cowok mesum yang suka cewek berbody bagus, untung saja dia menolakmu.. bagaimana kalau dia melakukan ini dan itu padamu?”

“Hmm.. bagaimana ya??”

“Heii!!! Sadar!!” pekik Minami lagi ia memukul punggungku keras.

“Itttaaaaiii!!!!” pekikku sambil meringis. “Gomen-gomen... Minami bersikaplah sedikit lembut pada sahabatmu ini~~ aku kan sedang sedih~~”

“Hmmm... jadi apa rencanamu selanjutnya?”

“Sudah jelaskan..” Aku kembali tersenyum saat memikirkan rencana itu dalam kepalaku lagi. Aku pun berlari mendahului Minami lalu berbalik dan menatapnya. “... besok aku akan menembaknya lagi!”

“Haa~~”

“Minami!! (y/n)!!! Lari yang benar atau push up 100 kali!!!” pekik pelatih.

****

Setelah penolakan pertama itu, hari-hari terus berlalu dengan kemalangan dan penolakan yang sama. Aku berusaha menepati janjiku untuk datang ke atap seperti sebelumnya. Namun kadang aku tak bisa menemukan sosok Aomine sedang tertidur disana, dimana pun.. ia tidak ada.

Ini sudah hampir dua seminggu berlalu!! Dari dua minggu, sudah lima kali ia menolak dan setiap kali aku keatap ia sering tak ada. Hari ini pun sama seperti sebelumnya dia juga tak ada diatap, padahal aku sudah memperhitungkan waktunya dan datang lebih awal dari sebelumnya.

Aomine sepertinya memang benar-benar membenci senpai yang ngotot mengajaknya pacaran.

Sepertiku??

Dengan perasaan sedikit kecewa aku bersandar pada pagar pembatas atap dan akhirnya terduduk lelah. Panas. Aku bahkan sengaja membolos pelajaran akhir agar bisa pergi keatap.

Sebenarnya aku sudah menyerah saat ketiga kalinya menembak dan dia menolak, setelah itu aku tak ingin memaksa Aomine lagi. Aku datang hanya untuk menyapanya dan mengobrol sebentar dengannya sebelum pergi training camp selama tiga hari. Huaaaammhhh!! Bahkan rasa putus asa membuatku mengantuk ditempat seperti ini? Benar-benar ironis.

Aku pun mulai mengantuk dan akhirnya tertidur pulas diatas atap itu. Tanpa sedikit pun menyadari bahwa sejak tadi seseorang sedang mengamatiku dari atas atap ruang penyimpanan yang paling tinggi.

Pintu menuju tangga turun kembali terbuka dan dua orang laki-laki keluar dari pintu sambil berceloteh ria. Tampaknya mereka juga sedang membolos.

Salah seorang pria dengan rambut blonde melihat sosokku yang sedang tertidur. Aku sama sekali tak menyangkanya. Dengan penuh semangat ia memberi tahukan temannya dan mereka pun berjalan pelan menuju kearahku.

“Tch... bukannya dia (y/n) ? Sedang apa dia disini?”

“Sudah jelaskan? Dia sedang membolos dan tidur sendirian ditempat seperti ini,”

“Tapi.. bukankah dia terkenal sebagai murid paling disiplin?”

“Jja.. murid paling disiplin pun juga bisa saja membolos, ah! Bagaimana kalau kita sedikit bersenang-senang dengannya?” ajak si rambut blonde.

Temannya tersenyum dan mengangguk mengiyakan, dengan semangat keduanya beranjak untuk menyentuhku.

“Hoi~”

Kedua lelaki itu terkejut dan langsung memandang kearah suara yang menegur mereka.

“Aomine? Tch.. sedang apa kau disini?” gumam si blonde gusar.

“Kalian sedang apa?” tanyanya sambil beranjak turun dari atap gudang penyimpanan.

“It’s not your bussiness.. kami hanya ingin menyapa teman seangkatan kami, sebaiknya kau segera pergi dan kami akan melupakan pertemuan kita..”

“Jauhkan tanganmu dari cewek menyebalkan itu..” pintanya lagi.

“Haah??”

“Memangnya apa perdulimu?” si rambut hitam tertawa getir.

“Karena aku yang pertama kali ada disini jadi dia milikku,”

“Haahh?? Seriously??”

“Oi, jangan mentang-mentang kau anggota tim basket inti kau bersikap seenaknya pada senpaimu~~” si blonde berjalan mendekati Aomine dan langkahnya terhenti, tiba-tiba saja wajahnya berubah pucat saat ia menatap wajah dingin Aomine.

“Kalau senpai berani menyentuh atau mengganggunya lagi... kupastikan kalian nggak akan bisa menyentuh apapun selama sisa hidup kalian,” gumamnya sambil memicingkan matanya dan ia siap memukul.

Kedua lelaki itu menelan liur mereka susah payah dan akhirnya memutuskan untuk pergi meningalkan kami sambil berdecak kesal.

Aku tak tahu sudah berapa lama tertidur disana, tapi aroma sejuk itu tercium lembut didekatku. Perlahan kubuka mataku dan entah sejak kapan aku tertidur sambil bersandar pada bahu seseorang.

Jantungku seakan ingin melompat keluar dari tempatnya saat kulihat sosok Aomine duduk disebelahku. Ternyata sejak tadi aku meniduri bahunya.

“Se-sedang apa kau disini????” pekikku panik.

“Tch... liurmu mengotori sweaterku senpai..” gumamnya dingin sambil menatapku licik.

Kuperiksa bibirku tapi tak ada apapun disana dan sweater Aomine tidak kotor karena liurku. “Pembohong.. aku nggak ngiler kok..” gumamku sebal sambil memeriksa bibirku lagi. “Hhh.. maaf sepertinya aku ketiduran, ternyata tempat ini enak juga dijadikan tempat tidur siang,”

“Kenapa kau bolos jam pelajaran?” tanyanya ingin tahu.

Kuregangkan otot-ototku sambil memijit pelan leherku yang sedikit kaku. “Sudah jelaskan?”

“Hmmm...?”

“Aku ingin menemuimu,” jawabku santai lalu tersenyum riang. Aku senang sekali bisa melihatnya dan berbicara dengannya sesantai ini. Mungkin aku bisa santai karena aku sudah menyerah untuk menembaknya.

“Kau ingin menembakku lagi ya?”

Kugelengkan kepalaku cepat lalu menyandarkan punggungku pada pagar pembatas. “Nggak kok... aku cuma ingin menemuimu saja, aku nggak akan menembakmu lagi..”

“Oh.. jadi senpai sudah menyerah?”

“Yeah mungkin juga,” aku tersenyum menatapnya. Entah kenapa aku merasa senang sekali bisa berbicara sedekat ini dengannya. “Aku tak mau kau membenciku, jadi... hmmm... lima kali ditolak oleh pria yang sama bukankah itu suatu rekor?”

Aomine hanya diam dan menatapku. Suasana ini terasa awkward dan membuatku jengah. Kami terdiam sesaat dan bisa kudengar suara langkah kaki dari tangga yang menuju pintu atap. Reaksiku sangat lambat dan tanpa bisa kusadari lagi, Aomine Daiki menarik tanganku cepat. Dalam sekejap saja kami sudah berada dalam lemari penyimpanan alat-alat kebersihan.

“Dai - kuun!!!”

Suara yang memanggilnya barusan adalah suara wanita.

“Daiki-kun siapa gadis itu?”

“Shh, jangan berisik..” bisik Aomine. Saat kusadari lagi, entah kenapa aku sudah berada dalam pelukan Aomine, lemari penyimpanan itu terlihat sesak dan ia memelukku cukup erat hingga bisa kurasakan otot-otot kerasnya disekujur tubuhku.

“Dai-kuun!!! Sudah waktunya latihan!! Are..?? Kemana perginya?” gumam Momoi-chan.

“Dai-kun, kau memelukku terlalu erat.. sesak!” bisikku lagi.

“Tch... tempatnya sempit, idiot,”

“Lagipula kenapa sembunyi bukankah gadis itu Momoi-chan? Kau harus pergi latihan basket kan?” bisikku lagi sambil berusaha berontak dan keluar dari pelukannya.

“DAI - KUUUNN!!”

“Umph...”

Suara teriakan Momoi terdengar tepat dari dekat lemari penyimpanan. Jantungku seakan mau copot saat Aomine memelukku semakin erat dan ia menempelkan bibirnya kebibirku. Kami berciuman.

Aku tak bisa bernapas dengan benar dan lemari itu mulai terasa panas. Sensasi panik yang kurasakan saat mendengar suara Momoi-chan dari luar lemari membuatku ingin pingsan saja. Aku ingin berbicara dan menghentikan Aomine tapi ia terus mengecup bibirku dan melumatnya kasar. Aku tak bisa berontak lagi karena ia telah mengunci gerakanku. Perlahan aku pun mulai tenang dan membiarkan tubuhku lemas dalam pelukan Aomine.

“DAI - KUUNN???”

Aku tak tahu sejak kapan bibirku mengikuti irama bibir Aomine. Ciuman itu begitu intens dan perlahan ia mulai meyusupkan lidahnya kedalam mulutku dan entah kenapa aku mulai membalas ciumannya.

Entah sudah berapa menit berlalu tapi Momoi-chan tampaknya sudah menyerah mencari Aomine yang tak kelihatan batang hidungnya di atas atap. Aku tak mendengar suara teriakannya lagi. Aomine menjauhkan bibirnya dariku dan berpindah keleherku. Akupun refleks mengalungkan kedua tanganku keleher Aomine.

Aku tak tahu kenapa bisa jadi seperti ini dengannya dan berada dalam lemari penyimpanan dengan dia menciumiku. Aomine berhenti menghisap kulit leherku dan tampaknya ia berhasil meninggalkan bekas lebam berwarna ungu kemerahan dileherku.

Ia menatapku yang sedang berusaha mengambil napas banyak-banyak.

“Kenapa kau mencium senpaimu?” bisikku.

“Karena kau berisik sekali, kalau kau terus berontak kita bisa ketahuankan?” gumamnya sambil tersenyum licik.

“Ah, benar juga... sepertinya sudah aman, tampaknya Momoi-chan sudah pergi, sebaiknya kita keluar sebelum aku terbunuh didalam sini,”

Aomine menciumku dengan alasan yang sangat jelas. Ia tak mungkin menyukaiku. Yah.. mungkin Minami memang benar, dia tak mungkin menerima perasaanku. Tapi aku tak menyesali ciuman barusan.

“(y/n),” gumam Aomine. Entah kenapa tiba-tiba saja aku merasa sebal.

“Kau harus memanggilku dengan sebutan senpai lho... tidak boleh hanya menyebut nama saja kan?” protesku.

“Jadi kau tidak suka kalau kupanggil dengan namamu saja?” tanyanya dengan wajah serius.

“B-bukan begitu sih... Ngomong-ngomong mau sampai kapan kau memeluk papan penggilasan seerat ini? Bukankah kau harus pergi latihan...?”

“Aku lebih suka kepanasan didalam lemari ini dan melatih sesuatu yang lebih menyenangkan bersama senpai..” gumamnya sambil tersenyum licik.

Jika saja lemari itu ada cahayanya, Aomine pasti bisa melihatnya dengan jelas. Wajahku yang sudah semerah tomat.

“Kau mempermainkanku lagi ya?”

Ia melonggarkan pelukannya ditubuhku. “Hmm? What do you mean?”

Perlahan kudorong pintu lemari itu terbuka dan hawa sejuk semilir angin yang berhembus langsung menerpa kulitku yang berkeringat dan kepanasan. “Aku akan merahasiakan kejadian ini... jadi kau tidak perlu khawatir,” aku pun keluar dari lemari itu dan berjalan santai sambil meregangkan otot tubuhku.

“Bukankah kau yang harusnya khawatir?” gumam Aomine, ia juga beranjak keluar dari dalam lemari dan mengikuti langkahku.

“Khawatir kenapa?”

Ia berjalan mendekatiku dan tangan besarnya beranjak keleherku lalu ia mulai memperbaiki letak dasi dan kerah kemejaku.

“Kalau kau tidak menyembunyikannya dengan benar, tanda yang kuberikan ditubuhmu tadi akan terlihat oleh semua orang kan?”

“K-Kau~~” gumamku sebal. Tapi ia tersenyum lebar dan mengecup bibirku cepat lalu beranjak pergi berjalan menuju pintu masuk kedalam gedung sekolah.

Aku hanya bisa mengamati punggung lebarnya yang beranjak pergi menjauh dariku. Langkahnya terhenti dipintu dan ia berbalik menatapku. “Ayo cepat! Bukankah sebentar lagi kau harus latihan lari? Kalau bengong terus kau bisa dimarahi pelatih lagi kan?” gumamnya.

“Ah!” kulihat lagi jamku, benar saja sepuluh menit lagi aku harus latihan. “Hampir saja telat... kau juga harus pergi latihan basket kan?” ternyata dia tahu kalau aku ikut klub lari.

“Hmmm...”

“Semangat ya!” gumamku tersenyum sambil menepuk punggungnya lalu berjalan mendahuluinya menuruni tangga. Ia mengikuti langkahku.

“Kalau latihan larinya sudah selesai jangan pulang dulu ya..”

“Hmm? Kenapa?”

“Kita pulang bareng,”

Pulang bareng????

Tak kusangka akan mendengar kalimat itu dari bibirnya. Haruskah aku melompat saat ini juga dan berguling menuruni tangga seperti bola?? Calm down, calm down, aku adalah senpai jadi bersikaplah yang sepantasnya.

“Menunggu di gimnasium atau gerbang sekolah?” tanyaku.

“Dimana saja boleh..” gumamnya cuek. “Ah, lain kali jangan sampai tertidur diatap lagi, bagaimana kalau ada orang berbahaya yang menyerangmu dan melakukan hal ini dan itu padamu?” protesnya lagi.

Orang berbahaya? Apa dia membicarakan dirinya sendiri?

“Huh?? Bukannya ‘orang berbahaya’ yang kau maksud itu dirimu sendiri ya?”

“Haahh??” Daiki mengerutkan dahinya kaget.

Wajahmu merah lho..” godaku lagi.

“Tch... Shut up, shorty!”

****
Thank you for coming! I hope you like it :)

Continue to Chapter 2



0 comments:

Post a Comment