Cast :
Aomine Daiki (Kuroko no Basuke) x Reader
Genre :
Romance, Drama
Language : Bahasa Indonesia
Language : Bahasa Indonesia
Chapter 1
You’re Not My Type! (Aomine Daiki x
Reader)
“Daiki
kun!!”
“Hmmh??”
“Ayo
kita pacaran!!”
pintaku sambil menunduk dan menyerahkan sepucuk surat padanya.
Angin bertiup
sepoi-sepoi diatas atap gedung sekolah yang sepi itu, aku tahu kalau dia sering
menghabiskan waktu untuk tidur siang disana. Makanya kuberanikan diriku untuk
datang keatap menemuinya dan menembaknya.
Kini ia tengah menatapku
dengan tatapannya yang tajam. Aku bisa merasa kuping dan wajahku mulai memanas.
Aku malu.
“Nggak
mau,” jawabnya
dingin lalu menguap lagi dan menyilangkan kedua tangannya dibelakang kepala
lalu bersandar pada pagar besi dibelakangnya.
Kutengadahkan wajahku
dan menatapnya. Aku tahu akan gagal tapi aku sudah memberanikan diriku sejauh
ini untuk menembaknya, setidaknya aku tidak menyesal.
“Kenapa
kau tidak mau pacaran denganku?”
tanyaku berani, padahal sebenarnya jantungku mau melompat dari tempatnya.
Bisa-bisanya aku berani mencoba bicara santai dengannya.
“Hmm?
Bukannya sudah jelas..?”
“Eh..?”
“Dadamu
rata, bokongmu juga rata, bodymu bahkan seperti papan penggilasan... kau sama
sekali tidak seksi... (y/n) san!”
jawabnya ketus. Aku tahu Aomine Daiki suka cewek berisi tapi mau gimana lagi
dong, tubuhku memang tidak masuk dalam kategori tipe cewek favoritnya.
Aku hanya bisa tersenyum
mendengar kata-katanya. Yah mau gimana lagi, tubuhku memang tidak seksi. Ia
menatapku diam, mungkin dalam hatinya ia berpikir kenapa aku justru tersenyum
saat ia mengataiku papan penggilasan.
Kukeluarkan sebotol
minuman ion dingin dari tasku dan aku pun berjalan mendekatinya lalu membungkuk
dan meletakkan botol minuman ion itu disampingnya. “Ini untukmu.. Momoi chan menitipkannya padaku, katanya kau ingin
minum,” gumamku, bohong, minuman ini bukan titipan Momoi-chan.
Ia melemparkan
tatapannya pada botol itu namun tetap bersikap cuek. “Hm,” gumamnya.
Kulihat jam tanganku dan
kembali terlonjak kaget. “Ah, sudah
waktunya!” gumamku lalu beranjak pergi. “Terima kasih untuk waktumu, aku pergi dulu Daiki kun!” gumamku
sambil berlari meninggalkannya.
Ia hanya membalasnya
dengan decakan lidah lalu kembali menutup matanya, melanjutkan tidurnya.
Aku hampir menuruni anak tangga pertama saat
akhirnya memutuskan untuk kembali menemui Aomine. “Daiki kun!” panggilku. Ia membuka matanya dan menatapku dingin. “Apa aku masih boleh menemuimu?”
tanyaku serius.
Ia terlihat bimbang,
lalu mendenguskan napasnya. “Sebaiknya
senpai jangan menemuiku..”
“Ah!
Besok aku akan menembakmu lagi.. bersiaplah!” pekikku tersenyum lalu berbalik dan berlari menuruni
tangga.
Aku bisa melihatnya..
ekspresi kaget yang muncul diwajahnya sebelum aku pergi.
****
Arghh!!!
Bisa-bisanya aku
melakukan itu??? Kenapa aku malah semakin nekat ingin menembaknya??? Padahal ia
sudah jelas-jelas menolakku kan???
Baka!!!
Aku tak habis pikir
kenapa aku bisa punya keberanian sebanyak itu untuk menembak adik kelasku??
Parahnya dia menolakku dan aku.. tetap memaksa untuk menembaknya!!!
“(y/n)!!
Kau sedang apa?? Sudah waktunya nih!!”
Terdengar seseorang
memanggil namaku. Minami, dia adalah salah satu sahabatku yang tergabung dalam
klub lari.
“Iya-iya
aku datang... sebentar,”
segera kuikat rambut panjangku dengan gaya low ponytail lalu beranjak mengikuti
Minami ke lapangan tempat arena lintasan lari kami.
“Semuanya
ambil posisi siap untuk pemanasan!” terdengar
suara pelatih berkumandang dan kami semua langsung bersiap mengikuti instruksi.
Aku, Minami, dan anggota
klub lari lainnya mulai berlari santai mengelilingi lintasan setelah selesai
melakukan pemanasan. Cuaca sore itu lumayan cerah namun tidak panas, dan
disalah satu atap bangunan itu aku bisa melihat punggung Aomine Daiki, adik
kelasku masih tersandar pada pagar atap.
Aku dan Aomine Daiki
berbeda satu tahun, ia masih kelas dua dan aku sudah kelas tiga. Pertama kali
melihatnya saat digerbang sekolah. Aku tak sengaja menabraknya dan jatuh
terjerembab saat berlari terburu-buru melewati gerbang sebelum terlambat masuk
untuk mengikuti pelajaran pertama.
Saat itu ia terlihat
sangat menakutkan dan kupikir ia akan memukulku.
“Are
you okay?”
Aku melihatnya
berjongkok didepanku dan tatapan wajahnya sangat dingin. Ku bilang kalau aku
baik-baik saja dan mencoba untuk berdiri tapi kakiku justru terasa sakit
tampaknya kakiku terkilir. Aku hanya bisa meringis menahan sakitnya dan tak
ingin dia mengetahui kalau kakiku terkilir.
Ia berjalan santai meninggalkanku
yang masih berdiri dan berusaha mencoba untuk menahan sakit saat ku gerakkan
kakiku untuk berjalan normal. Shit! Seharusnya aku tidak berlari secepat itu
dan membabi buta seperti itu, tampaknya aku tak akan bisa mengikuti jadwal lari
seperti biasa.
“Sini
tasmu!”
Suara Aomine kembali
merasuk telingaku. “Eh?” aku hanya
bisa menatapnya bengong.
Ia mendesah pelan lalu
merampas tasku. “Mau sampai kapan kau
berdiri disini, huh?” gumamnya. Tanpa sempat kusadari lagi tubuhku seolah
melayang dan akan jatuh, namun lengan kuat dan kekar itu melingkar kuat
ditubuhku. Ia menggendongku dengan gaya bridal style!!
“K-kau
mau apa?!” pekikku
panik.
“Shh!
Jangan berisik, aku akan mengantarmu ke UKS,” gumamnya.
“T-tapi
aku baik-baik saja, turunkan aku!”
“Sudah
diam jangan berisik! Kalau nggak cepat diobati kakimu bisa tambah parah,
idiot!”
Aomine membawaku ke UKS
dan meninggalkanku disana untuk diobati. Saat itu aku tak pernah tahu namanya
dan selalu kepikiran sama sosok Aomine. Sampai akhirnya Minami mengajakku untuk
nonton liga basket antar sekolah.
Dilapangan basket itu
aku melihat Aomine beraksi dan dia... keren banget! Sosoknya benar-benar berbeda
dari saat pertama kali kami bertemu. Sejak kejadian digerbang itu aku terus
memikirkan dia dan jadi suka sekali padanya.
“(y/n),
bagaimana rencanamu menembak Daiki-kun?” tegur Minami saat kami melakukan putaran kedua.
“Aku
sudah melakukannya, kok..”
“Eeeh!!??
Trus gimana???” pekik
Minami penasaran.
“Ditolak-mentah-mentah~” jawabku hopeless.
“Bukankah
sudah kukatakan sebelumnya? Dia itu lebih mirip berandalan ketimbang superhero
seperti yang kau ceritakan, tapi kau masih saja nekat..”
“Aku
tahu sih.. tapi gimana dong?” ringisku.
“Aku benar-benar suka padanya,”
“Yah
mau bagaimana lagi... sepertinya dia memang tidak tertarik dengan cewek papan
penggilasan. Harusnya kau bisa berpikir jernih kan?! Dia cowok mesum yang suka
cewek berbody bagus, untung saja dia menolakmu.. bagaimana kalau dia melakukan
ini dan itu padamu?”
“Hmm..
bagaimana ya??”
“Heii!!!
Sadar!!” pekik
Minami lagi ia memukul punggungku keras.
“Itttaaaaiii!!!!” pekikku sambil meringis. “Gomen-gomen... Minami bersikaplah sedikit
lembut pada sahabatmu ini~~ aku kan sedang sedih~~”
“Hmmm...
jadi apa rencanamu selanjutnya?”
“Sudah
jelaskan..” Aku
kembali tersenyum saat memikirkan rencana itu dalam kepalaku lagi. Aku pun
berlari mendahului Minami lalu berbalik dan menatapnya. “... besok aku akan menembaknya lagi!”
“Haa~~”
“Minami!!
(y/n)!!! Lari yang benar atau push up 100 kali!!!” pekik pelatih.
****
Setelah penolakan
pertama itu, hari-hari terus berlalu dengan kemalangan dan penolakan yang sama.
Aku berusaha menepati janjiku untuk datang ke atap seperti sebelumnya. Namun
kadang aku tak bisa menemukan sosok Aomine sedang tertidur disana, dimana pun..
ia tidak ada.
Ini sudah hampir dua
seminggu berlalu!! Dari dua minggu, sudah lima kali ia menolak dan setiap kali
aku keatap ia sering tak ada. Hari ini pun sama seperti sebelumnya dia juga tak
ada diatap, padahal aku sudah memperhitungkan waktunya dan datang lebih awal
dari sebelumnya.
Aomine sepertinya memang
benar-benar membenci senpai yang ngotot mengajaknya pacaran.
Sepertiku??
Dengan perasaan sedikit
kecewa aku bersandar pada pagar pembatas atap dan akhirnya terduduk lelah.
Panas. Aku bahkan sengaja membolos pelajaran akhir agar bisa pergi keatap.
Sebenarnya aku sudah
menyerah saat ketiga kalinya menembak dan dia menolak, setelah itu aku tak
ingin memaksa Aomine lagi. Aku datang hanya untuk menyapanya dan mengobrol
sebentar dengannya sebelum pergi training camp selama tiga hari. Huaaaammhhh!!
Bahkan rasa putus asa membuatku mengantuk ditempat seperti ini? Benar-benar
ironis.
Aku pun mulai mengantuk
dan akhirnya tertidur pulas diatas atap itu. Tanpa sedikit pun menyadari bahwa
sejak tadi seseorang sedang mengamatiku dari atas atap ruang penyimpanan yang
paling tinggi.
Pintu menuju tangga
turun kembali terbuka dan dua orang laki-laki keluar dari pintu sambil
berceloteh ria. Tampaknya mereka juga sedang membolos.
Salah seorang pria
dengan rambut blonde melihat sosokku yang sedang tertidur. Aku sama sekali tak
menyangkanya. Dengan penuh semangat ia memberi tahukan temannya dan mereka pun
berjalan pelan menuju kearahku.
“Tch...
bukannya dia (y/n) ? Sedang apa dia disini?”
“Sudah
jelaskan? Dia sedang membolos dan tidur sendirian ditempat seperti ini,”
“Tapi..
bukankah dia terkenal sebagai murid paling disiplin?”
“Jja..
murid paling disiplin pun juga bisa saja membolos, ah! Bagaimana kalau kita
sedikit bersenang-senang dengannya?”
ajak si rambut blonde.
Temannya tersenyum dan
mengangguk mengiyakan, dengan semangat keduanya beranjak untuk menyentuhku.
“Hoi~”
Kedua lelaki itu
terkejut dan langsung memandang kearah suara yang menegur mereka.
“Aomine?
Tch.. sedang apa kau disini?”
gumam si blonde gusar.
“Kalian sedang apa?”
tanyanya sambil beranjak turun dari atap gudang penyimpanan.
“It’s
not your bussiness.. kami hanya ingin menyapa teman seangkatan kami, sebaiknya
kau segera pergi dan kami akan melupakan pertemuan kita..”
“Jauhkan
tanganmu dari cewek menyebalkan itu..”
pintanya lagi.
“Haah??”
“Memangnya
apa perdulimu?” si
rambut hitam tertawa getir.
“Karena
aku yang pertama kali ada disini jadi dia milikku,”
“Haahh??
Seriously??”
“Oi,
jangan mentang-mentang kau anggota tim basket inti kau bersikap seenaknya pada
senpaimu~~” si
blonde berjalan mendekati Aomine dan langkahnya terhenti, tiba-tiba saja
wajahnya berubah pucat saat ia menatap wajah dingin Aomine.
“Kalau
senpai berani menyentuh atau mengganggunya lagi... kupastikan kalian nggak akan
bisa menyentuh apapun selama sisa hidup kalian,” gumamnya sambil memicingkan matanya
dan ia siap memukul.
Kedua lelaki itu menelan
liur mereka susah payah dan akhirnya memutuskan untuk pergi meningalkan kami sambil berdecak kesal.
Aku tak tahu sudah
berapa lama tertidur disana, tapi aroma sejuk itu tercium lembut didekatku.
Perlahan kubuka mataku dan entah sejak kapan aku tertidur sambil bersandar pada
bahu seseorang.
Jantungku seakan ingin
melompat keluar dari tempatnya saat kulihat sosok Aomine duduk disebelahku.
Ternyata sejak tadi aku meniduri bahunya.
“Se-sedang
apa kau disini????”
pekikku panik.
“Tch...
liurmu mengotori sweaterku senpai..”
gumamnya dingin sambil menatapku licik.
Kuperiksa bibirku tapi
tak ada apapun disana dan sweater Aomine tidak kotor karena liurku. “Pembohong.. aku nggak ngiler kok..”
gumamku sebal sambil memeriksa bibirku lagi. “Hhh.. maaf sepertinya aku ketiduran, ternyata tempat ini enak juga
dijadikan tempat tidur siang,”
“Kenapa
kau bolos jam pelajaran?”
tanyanya ingin tahu.
Kuregangkan otot-ototku
sambil memijit pelan leherku yang sedikit kaku. “Sudah jelaskan?”
“Hmmm...?”
“Aku
ingin menemuimu,”
jawabku santai lalu tersenyum riang. Aku senang sekali bisa melihatnya dan
berbicara dengannya sesantai ini. Mungkin aku bisa santai karena aku sudah
menyerah untuk menembaknya.
“Kau
ingin menembakku lagi ya?”
Kugelengkan kepalaku
cepat lalu menyandarkan punggungku pada pagar pembatas. “Nggak kok... aku cuma ingin menemuimu saja, aku nggak akan menembakmu
lagi..”
“Oh..
jadi senpai sudah menyerah?”
“Yeah
mungkin juga,” aku
tersenyum menatapnya. Entah kenapa aku merasa senang sekali bisa berbicara
sedekat ini dengannya. “Aku tak mau kau
membenciku, jadi... hmmm... lima kali ditolak oleh pria yang sama bukankah itu
suatu rekor?”
Aomine hanya diam dan
menatapku. Suasana ini terasa awkward dan membuatku jengah. Kami terdiam sesaat
dan bisa kudengar suara langkah kaki dari tangga yang menuju pintu atap. Reaksiku
sangat lambat dan tanpa bisa kusadari lagi, Aomine Daiki menarik tanganku
cepat. Dalam sekejap saja kami sudah berada dalam lemari penyimpanan alat-alat
kebersihan.
“Dai - kuun!!!”
Suara yang memanggilnya
barusan adalah suara wanita.
“Daiki-kun
siapa gadis itu?”
“Shh,
jangan berisik..”
bisik Aomine. Saat kusadari lagi, entah kenapa aku sudah berada dalam pelukan Aomine, lemari penyimpanan itu terlihat sesak dan ia memelukku cukup erat hingga bisa kurasakan otot-otot kerasnya
disekujur tubuhku.
“Dai-kuun!!!
Sudah waktunya latihan!! Are..?? Kemana perginya?” gumam Momoi-chan.
“Dai-kun,
kau memelukku terlalu erat.. sesak!”
bisikku lagi.
“Tch...
tempatnya sempit, idiot,”
“Lagipula
kenapa sembunyi bukankah gadis itu Momoi-chan? Kau harus pergi latihan basket
kan?” bisikku lagi
sambil berusaha berontak dan keluar dari pelukannya.
“DAI - KUUUNN!!”
“Umph...”
Suara teriakan Momoi
terdengar tepat dari dekat lemari penyimpanan. Jantungku seakan mau copot saat Aomine
memelukku semakin erat dan ia menempelkan bibirnya kebibirku. Kami berciuman.
Aku tak bisa bernapas
dengan benar dan lemari itu mulai terasa panas. Sensasi panik yang kurasakan
saat mendengar suara Momoi-chan dari luar lemari membuatku ingin pingsan saja.
Aku ingin berbicara dan menghentikan Aomine tapi ia terus mengecup bibirku dan melumatnya
kasar. Aku tak bisa berontak lagi karena ia telah mengunci gerakanku. Perlahan
aku pun mulai tenang dan membiarkan tubuhku lemas dalam pelukan Aomine.
“DAI - KUUNN???”
Aku tak tahu sejak kapan
bibirku mengikuti irama bibir Aomine. Ciuman itu begitu intens dan perlahan ia
mulai meyusupkan lidahnya kedalam mulutku dan entah kenapa aku mulai membalas
ciumannya.
Entah sudah berapa menit
berlalu tapi Momoi-chan tampaknya sudah menyerah mencari Aomine yang tak kelihatan
batang hidungnya di atas atap. Aku tak mendengar suara teriakannya lagi. Aomine
menjauhkan bibirnya dariku dan berpindah keleherku. Akupun refleks mengalungkan
kedua tanganku keleher Aomine.
Aku tak tahu kenapa bisa
jadi seperti ini dengannya dan berada dalam lemari penyimpanan dengan dia
menciumiku. Aomine berhenti menghisap kulit leherku dan tampaknya ia berhasil
meninggalkan bekas lebam berwarna ungu kemerahan dileherku.
Ia menatapku yang sedang
berusaha mengambil napas banyak-banyak.
“Kenapa
kau mencium senpaimu?” bisikku.
“Karena
kau berisik sekali, kalau kau terus berontak kita bisa ketahuankan?” gumamnya sambil tersenyum licik.
“Ah,
benar juga... sepertinya sudah aman, tampaknya Momoi-chan sudah pergi,
sebaiknya kita keluar sebelum aku terbunuh didalam sini,”
Aomine menciumku dengan
alasan yang sangat jelas. Ia tak mungkin menyukaiku. Yah.. mungkin Minami
memang benar, dia tak mungkin menerima perasaanku. Tapi aku tak menyesali
ciuman barusan.
“(y/n),” gumam Aomine. Entah kenapa
tiba-tiba saja aku merasa sebal.
“Kau
harus memanggilku dengan sebutan senpai lho... tidak boleh hanya menyebut nama
saja kan?”
protesku.
“Jadi
kau tidak suka kalau kupanggil dengan namamu saja?” tanyanya dengan wajah serius.
“B-bukan
begitu sih... Ngomong-ngomong mau sampai kapan kau memeluk papan penggilasan seerat
ini? Bukankah kau harus pergi latihan...?”
“Aku
lebih suka kepanasan didalam lemari ini dan melatih sesuatu yang lebih
menyenangkan bersama senpai..”
gumamnya sambil tersenyum licik.
Jika saja lemari itu ada
cahayanya, Aomine pasti bisa melihatnya dengan jelas. Wajahku yang sudah
semerah tomat.
“Kau
mempermainkanku lagi ya?”
Ia melonggarkan
pelukannya ditubuhku. “Hmm? What do you
mean?”
Perlahan kudorong pintu
lemari itu terbuka dan hawa sejuk semilir angin yang berhembus langsung menerpa
kulitku yang berkeringat dan kepanasan. “Aku
akan merahasiakan kejadian ini... jadi kau tidak perlu khawatir,” aku pun
keluar dari lemari itu dan berjalan santai sambil meregangkan otot tubuhku.
“Bukankah
kau yang harusnya khawatir?”
gumam Aomine, ia juga beranjak keluar dari dalam lemari dan mengikuti
langkahku.
“Khawatir
kenapa?”
Ia berjalan mendekatiku
dan tangan besarnya beranjak keleherku lalu ia mulai memperbaiki letak dasi dan
kerah kemejaku.
“Kalau
kau tidak menyembunyikannya dengan benar, tanda yang kuberikan ditubuhmu tadi
akan terlihat oleh semua orang kan?”
“K-Kau~~” gumamku sebal. Tapi ia tersenyum
lebar dan mengecup bibirku cepat lalu beranjak pergi berjalan menuju pintu
masuk kedalam gedung sekolah.
Aku hanya bisa mengamati
punggung lebarnya yang beranjak pergi menjauh dariku. Langkahnya terhenti
dipintu dan ia berbalik menatapku. “Ayo
cepat! Bukankah sebentar lagi kau harus latihan lari? Kalau bengong terus kau
bisa dimarahi pelatih lagi kan?” gumamnya.
“Ah!” kulihat lagi jamku, benar saja
sepuluh menit lagi aku harus latihan. “Hampir
saja telat... kau juga harus pergi latihan basket kan?” ternyata dia tahu kalau aku ikut klub lari.
“Hmmm...”
“Semangat
ya!” gumamku
tersenyum sambil menepuk punggungnya lalu berjalan mendahuluinya menuruni
tangga. Ia mengikuti langkahku.
“Kalau
latihan larinya sudah selesai jangan pulang dulu ya..”
“Hmm? Kenapa?”
“Kita
pulang bareng,”
Pulang bareng????
Tak kusangka akan
mendengar kalimat itu dari bibirnya. Haruskah aku melompat saat ini juga dan
berguling menuruni tangga seperti bola?? Calm down, calm down, aku adalah
senpai jadi bersikaplah yang sepantasnya.
“Menunggu
di gimnasium atau gerbang sekolah?”
tanyaku.
“Dimana
saja boleh..”
gumamnya cuek. “Ah, lain kali jangan
sampai tertidur diatap lagi, bagaimana kalau ada orang berbahaya yang menyerangmu
dan melakukan hal ini dan itu padamu?” protesnya lagi.
Orang berbahaya? Apa dia
membicarakan dirinya sendiri?
“Huh??
Bukannya ‘orang berbahaya’ yang kau maksud itu dirimu sendiri ya?”
“Haahh??” Daiki mengerutkan dahinya kaget.
“Wajahmu merah lho..” godaku lagi.
“Tch...
Shut up, shorty!”
0 comments:
Post a Comment