Friday 4 September 2015

Modern AoT : Chapter 2 [SECRET LESSON WITH MY BOSS]

BY Unknown IN No comments



SECRET LESSON WITH MY BOSS

Cast   : Levi Ackerman x Reader (In my case : Lucy Alsei)
Genre : Romance, Mature
 
CHAPTER 2

          Sebulan berlalu sejak pertemuan pertamaku dengan bos baruku. Levi Ackerman seorang pria keturunan Prancis yang kini bekerja di divisiku. Ia dapat dengan mudah dikenali karena tinggi badannya yang dibawah rata-rata pria pada umumnya, dengan rambut sehitam malam dan wajah pucat tanpa ekspresi. Menurutku.. dia lebih cocok bekerja di karnaval rumah hantu dari pada menjadi salah satu bos di sebuah perusahaan besar.

Perusahaan kami memiliki tiga divisi yang berbeda yang secara umum bergerak di bidang industri film, divisi pertama bertugas untuk mengatasi masalah hukum dan mengatur keuangan perusahaan sudah sejak lama aku mendengar gosip bahwa struktur dalam divisi itu sangat buruk dan begitu pula dengan orang-orangnya yang.. mmhh.. yah, lebih baik tak kusebutkan. Kemudian divisi kedua menangani bagian dalam perusahaan, secara khusus mereka membantu divisi satu mengatur perusahaan, bisa dikatakan bahwa divisi ini lumayan bagus dan keberadaan mereka sangat membantu kinerja divisi satu yang buruk. Lalu yang terakhir divisi ku yang sering mengadakan survei lapangan dan secara teknis menyortir naskah-naskah film yang masuk, kami adalah divisi paling penting dalam perusahaan karena dedikasi yang sangat total untuk kemajuan perusahaan.

          Aku beruntung bisa berada dalam divisi ini, bos lamaku Erwin Smith adalah orang yang sangat baik dan sangat ku hormati. Ia bahkan memperbolehkan stafnya untuk memanggilnya dengan namanya saja dan bersikap seolah kami semua adalah temannya. Meskipun sikapnya sangat santai kami tetap memperlakukannya dengan penuh rasa hormat, dia juga tak akan mempermasalahkan cara bicara kami karena baginya kemampuan seseorang adalah hal yang lebih penting dibanding cara berbicara.

          Sikapnya sangat berbeda sekali dengan Levi si grumpy cat.. mmh.. maksudku bos baruku.

          “Sir, ini berkas yang kau minta.. silakan dicek dulu,” Aku menyerahkan berkas yang tadi diminta Levi.

          Levi memperbaiki letak kacamatanya dan menatapku tajam dari balik lensanya, dia selalu melakukan hal itu.. mengambil berkas dari tanganku dan mengamatiku selama sepuluh detik sebelum akhirnya membaca berkas yang sudah kubuat. Sikapnya yang menyebalkan selalu membuatku merasa tidak nyaman. Namun tampaknya dia beranggapan bahwa hal yang dilakukannya padaku sama sekali tidak menggangguku.

          Levi mendesah pelan. “Hhh.. tsk..” decaknya sambil mengernyitkan dahinya, setiap kali dia mengernyitkan dahi entah kenapa aku merasa khawatir. “Kau lihat paragraf dibaris ini?” serunya sembari menyodorkan berkas itu memperlihatkannya padaku. Aku mendekatkan wajahku agar bisa melihat paragraf yang dimaksudnya. “Kau lupa memakai huruf besar di depan kata ini.. sebelum menyerahkan berkas apapun padaku kau harus mengecek ulang semua isinya dan memastikan hal ini tak terulang lagi. Mengerti? Aku tak ingin orang bodoh bekerja dalam divisi ini,”

          “Baik, Sir..”

          “Cek ulang dan perbaiki, setelah itu kirim filenya ke email yang sudah kuberikan padamu, kurasa lima belas menit cukup untuk merivisi isinya,”

          “Hmm ya, Sir,” ujarku sembari mengambil berkas yang ia sodorkan. Lihatkan? Dia selalu merevisi semua berkas dan menolak jika ada satu saja kesalahan kecil, benar-benar merepotkan. Dia juga selalu mengataiku idiot dan berbagai macam kata kasar lainnya, sebenarnya ia bersikap seperti ini tidak cuma padaku saja sih, staf yang lain juga sering kecipratan hal yang sama. Pada awalnya kami merasa kesal dan jengkel, tapi sejak Hanji (sahabat Levi yang juga seorang petinggi perusahaan) menjelaskan pada kami bahwa itu memang sifat alaminya akhirnya kami mulai terbiasa dikatai dan tidak terlalu memperdulikan sikap kasarnya.

          “(your name)/Lucy,” panggilnya lagi sebelum aku membuka pintu kantornya. Entah kenapa setiap kali dia menyebut namaku dengan intonasi itu, jantungku selalu berdebar keras dan aku merasa tidak ingin menatapnya. Namun aku harus berbalik dan melihat wajah tanpa ekspresinya itu kan..? Aku tak punya pilihan lain.

          “Ya, Sir?”

          “Buatkan aku secangkir teh,” serunya, matanya kembali menatap layar komputer dan dia kembali sibuk dengan tugasnya.

          “Lagi?” celetukku, tak sengaja.

          “Hmm?” Levi kembali mendongakkan wajahnya menatapku, seolah berkata ‘apa kau memiliki masalah dengan secangkir teh?’.

          “Baik Sir, akan segera kubuatkan,” jawabku cepat sebelum dia kembali mengataiku idiot dan segera keluar dari dalam kantornya.

          Segera kuperbaiki berkas yang telah direvisinya. Di salah satu meja yang terletak di seberang mejaku terlihat Eren, Armin dan Mikasa tengah mendiskusikan sesuatu, tak lama kemudian Jean beralih dari kursinya dan berjalan mendekati mejaku.

          “Hei, hari ini kau senggang tidak?” tegur Jean. Ia menarik sebuah kursi ke dekatku dan seperti biasa ia akan duduk santai sambil bergosip disela kegiatannya mengerjakan tugas.

          “Hmm, entahlah.. ada apa?”

          “Pulang kerja nanti kami sudah membuat rencana pesta penyambutan bos Levi,”

          Aku terkekeh mendengar jawaban Jean. “Ini sudah lewat sebulan dan kita baru akan mengadakan pesta penyambutan untuk orang itu? Aku yakin dia tidak akan tertarik dengan undangan ini, Jean,”

          “Ah kau belum tau ya? Kami sudah mengajaknya dan dia mau ikut gabung kok,” Eren yang barusan lewat ternyata menguping pembicaraanku dan Jean, ia pun langsung nyeletuk ikut nimbrung.

          “Apa yang kau lakukan disini Jeager (baca: Yeager)? Sana, kembali kemejamu!” usir Jean dengan tampang sebal.

          “Aku tidak berbicara padamu, muka kuda,” balas Eren.
         
“Dia mau ikut?” ulangku, aku tak percaya mendengar kata-kata Eren. Karena menurutku Levi pasti akan menolak ajakan stafnya.

          “Oh ya, lebih tepatnya Mikasa yang mengajaknya ikut..” seru Jean yang kembali sibuk membaca file ditangan kanannya sementara tangan kirinya berada dipunggung kursiku.

          “Bagaimana apa kau akan ikut?” tanya Eren lagi.

          Aku memikirkan cucianku yang sudah menumpuk selama seminggu dan memutuskan untuk tidak ikut dalam acara kali ini. “Hhh.. maaf sepertinya aku tak bisa.. hari ini aku harus lembur dan aku harus..”

          “Kau selalu mengatakan hal yang sama.. kau akan mencuci pakaian lagi, kan?” potong Eren. “Ayolah ikut! Kau tau.. kami hanya bisa mengandalkanmu kalau nanti semua orang mabuk,”

          “Kali ini aku setuju dengan cecunguk ini,” celetuk Jean, kata-katanya membuat Eren jengkel. “Lagi pula bos bilang, dia mau ikut asalkan semua staf ikut pergi.. kurasa kau tidak ingin membuatnya marah kan shitty horse? Aku akan menyiksamu kalau dia sampai menyuruh kita membersihkan toilet tiap hari selama sebulan! Karena aku tidak ingin melakukannya,” ancam Jean.

          “Bulshit! Hal itu tak akan terjadi horse face, dia tak akan mempermasalahkan ketidakhadiran satu atau dua stafnya..”

          “Tck! Apa yang sedang kalian lakukan, little shitty brat?” Suara dalam dan menekan itu langsung menghakimi kami dan membuat semuanya panik. Levi muncul dari balik pintu kantornya dan kali ini dahinya berkerut dalam dengan ekspresi dingin menghiasi wajahnya.

          “Sampai kapan kalian akan mengobrol dan bersantai? Tempat ini adalah kantor bukan pasar, idiot..” serunya lagi sembari menatap kami bertiga. Eren dan Jean meninggalkanku dan ngacir ke meja masing-masing. “(your name)/Lucy,”

          “Ya, Sir?”

          “Apa kau lupa membuatkanku secangkir teh?”

          “Ah, maaf sir.. baru saja aku akan membuatnya.. sebentar,”

          “Tsk..,” decaknya sembari menutup pintu kantornya.

          Segera kubuatkan secangkir teh hitam yang biasa diminumnya, aku tak habis pikir hampir tiap hari dia selalu minum teh padahal tadi baru saja dia menghabiskan cangkir keempatnya. Aku sedikit khawatir dengan kebiasaan Levi yang sering mengonsumsi teh hitam jadi ku putuskan untuk membawakan segelas air putih untuknya. Saat masuk kedalam ruangannya ia terlihat sedang sibuk mengamati layar komputernya.

“Ini teh anda, sir,” kuletakkan cangkir teh dan gelas air putih itu berdampingan disalah satu sudut meja Levi. Ia melirik dan mengernyitkan dahinya saat melihat deretan gelas itu.

          “Aku tidak minta air putih,” serunya sembari terus mengetik.

          “Minum air putih baik untuk kesehatan anda, sir,”

          “Hhhh.. apa kau sedang mencoba mengajariku bagaimana cara hidup sehat, huh?” gumam Levi.

          “Tapi anda perlu meminum ini, sir! Terlalu banyak mengonsumsi teh juga tidak baik untuk tubuh anda lagipula ini adalah cangkir teh anda yang kelima kan? Ginjal anda akan menderita.. minum sedikit air putih tidak akan merugikan anda kan?”

          Ia melirikku dari sudut lensa kacamatanya, dengan wajah tanpa ekspresi dan suasana hening yang ada diantara kami, kini aku telah siap mendengar kata-kata pamungkas yang akan ia lontarkan. “Tsk..” decaknya pelan lalu melepas kacamatanya dan menaruhnya diatas meja. “Kau ini berisik sekali..” gumamnya pelan. Aku melihatnya mengambil gelas air putih itu dan meminum isinya sampai habis hanya dengan sekali teguk.

          “Anda langsung menghabiskannya?” tanyaku tak percaya.

          “Kau menyuruhku meminumnya kan?” tanyanya balik, ia meletakkan gelas itu dan bersandar pada punggung kursinya. Aku mengiyakan kata-katanya dengan gugup namun perasaanku sangat senang karena pertama kalinya aku membuatnya mengikuti permintaanku.

          Ku ambil gelas kosong itu dan berniat untuk permisi pergi karena tak ingin dia menatapku dalam diam seperti biasanya. “Apa kau akan ikut pergi ke pesta bodoh yang diadakan anak-anak itu?”

          “Ha?”

          “Apa pertanyaanku kurang jelas, shitty brat?”

          “Ah, itu..” aku kembali teringat pada kata-kata Jean, membersihkan toilet selama sebulan benar-benar bukan pilihan yang bagus tapi aku sama sekali tak ingin terlibat dengan Levi yang mabuk dan cucianku juga menungguku. “Hmm.. sepertinya aku akan lembur.. jadi.. mungkin aku akan datang setelah pekerjaanku selesai,”

          “Begitu.. baguslah..” ujarnya lagi sembari meraih kacamata dan memakainya lagi. “Oh ya.. bukankah sudah kukatakan padamu untuk memanggilku dengan namaku saja?” serunya sembari menatap layar komputernya dan mulai bekerja lagi.

          “Hmm, tapi anda..”

          “Ku rasa aku sudah pernah memberitahumu namaku kan?” tanyanya lagi sembari menatapku tajam. Sikapnya kembali membuatku gugup. “Apa kau selalu bersikap tegang dan kaku seperti ini? Cobalah untuk sedikit santai, sikapmu itu sangat membosankan dan menggangguku! Ini perintah, kau tidak boleh bersikap seperti ini.. karena jujur saja aku merasa tidak nyaman, kau mengerti?”

          “Baik, sir!”

          “Tck..” decaknya sebal, tatapan matanya masih setajam silet dan ekspresinya masih sepahit kopi dan sedingin es.

          Aku menghela napas dalam sebelum akhirnya berkata.. “Baiklah... Levi..” gumamku pelan.

          “Hmm, terdengar cukup bagus.. kita akan terus membiasakan ini mulai sekarang,”

* * *

          Aku kembali melanjutkan pekerjaanku yang tertunda dan menyetel musik agak keras karena situasi kantor saat itu sangat sepi dan sudah kosong. Suara derit pintu yang terbuka dibelakangku kini menarik perhatianku. Levi muncul dari dalam kantor dan ia menutup pintu kantornya sambil membalas tatapanku. “Kenapa kau masih disini, shitty brat?” tanyanya sembari membuka kancing teratas bajunya lalu menggulung setengah lengan bajunya. Ia berjalan menuju toilet.

          “Sebentar lagi aku akan selesai..” gumamku pelan sembari mengecilkan volume musik yang ku setel, aku lupa kalau bosku ternyata masih ada dalam kantornya. Ku lihat layar monitorku dengan perasaan hampa dan dengan segera melanjutkan kembali pekerjaanku.

          Levi muncul dari arah toilet sambil mengelap tangannya dengan tisu, berjalan pelan menuju kantornya dan menghentikan langkahnya ketika membuang tisu kedalam tempat sampah yang ada di dekat mejaku. “Kau tidak menyusul yang lain?” tanyanya lagi.

          “Hmm.. sebentar lagi setelah aku mengirim file ini ke email anda, oh ya.. apa anda akan datang ke acara mereka?” tanyaku ingin tahu.

          “Entahlah, sebenarnya aku tidak berminat datang ke pesta seperti itu.. mungkin aku akan menelepon mereka dan bilang tidak jadi datang karena urusan mendadak,”

          Ku tatap Levi yang kini telah duduk diatas mejaku sambil membaca sebuah berkas. Ia tak menyadari bahwa kata-katanya membuatku merasa kesal padanya. “Tapi anda sudah janji pada mereka untuk datang ke pesta itu kan? Mereka pasti kecewa kalau anda tidak datang, ah.. seharusnya anda menolak dari awal kalau memang tidak ingin datang ke pesta sederhana seperti itu,” protesku.

          “Tck..” decaknya pelan sambil meletakkan berkas yang dibacanya tadi ketempatnya semula. “Cepat selesaikan pekerjaanmu,” titahnya dengan ekspresi dingin dan berjalan menuju kantornya lagi.
* * *

          Levi keluar dari ruangannya dengan pakaian rapi, jas tersampir di lengan dan tas kulit bermerek tertenteng di tangan satunya. Ia telah melepas kacamata kerjanya dan tampak lebih santai. Ia berjalan pergi melewatiku tanpa mengatakan sepatah kata pun. Aku beranggapan bahwa ia pasti merasa kesal dan tersinggung dengan kata-kataku tadi.

          Pekerjaanku selesai sepuluh menit kemudian dan hanya aku orang yang tersisa dalam kantor. Menyadari bahwa teman-temanku telah ditipu oleh bos kami membuatku merasa kasihan pada mereka karena telah bersusah payah mengatur pesta penyambutan, Levi justru mengabaikan mereka. Dengan perasaan sedikit kesal ku kenakan mantelku dan memasukkan semua barang penting ke dalam tas lalu bergegas menuju lift, ku pencet tombol menuju lobby dengan perasaan sebal.

          Ku pilih jalur jalan di sebelah kanan gedung kantor Trost, perlu berjalan sekitar lima belas menit sebelum sampai di sebuah pub yang telah dipesan teman-temanku. Ku percepat langkah kakiku karena hari telah semakin gelap dan cuaca juga semakin dingin, kini lampu-lampu jalan telah menyala dan menerangi jalanan dengan cahayanya yang remang-remang.

          Sebuah mobil metalik hitam yang ada disebelahku bergerak mengiringi langkahku, dengan perasaan sedikit terganggu ku telengkan kepalaku ke arah mobil dan wajah dingin itu langsung menyambut tatapanku. Aku harus menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya siap mendengar suara Levi.

          “Masuk,” pintanya sambil membukakan pintu dari dalam.

          Kupikir aku harus menolak ajakan ini sebelum akhirnya ku putuskan untuk masuk kedalam mobilnya. “Bukankah seharusnya anda sudah pulang dan berada di rumah?” tebakku. Sementara aku memasang seat belt ia pun kembali menjalankan mobilnya.

          “Mh, seharusnya.. tapi aku berubah pikiran, apa kau tahu dimana tempat mereka mengadakan pesta itu? Aku masih belum mengenal daerah ini,”

          Aku melirik Levi dari sudut mataku dan sedikit tidak percaya dengan pernyataannya barusan. “Hmm.. lurus saja di depan lalu belok di belokan itu,”

          Levi mengikuti arahanku dan kembali fokus mencari tempat yang akan kami tuju. Ku perhatikan isi dalam mobil itu dan cukup merasa terkejut, aroma jeruk yang segar tercium oleh hidungku, tak ada debu dan kotoran yang menempel dalam mobil, bahkan barang-barang yang ada didalamnya tertata sangat rapi. Terlalu rapi untuk ukuran seorang pria pekerja keras seperti Levi.

          Tujuh menit berlalu dalam keheningan hingga akhirnya mobil Levi masuk ke dalam basement parkir sebuah pub, ia memarkir mobilnya dengan sangat rapi dan hati-hati. Kami pun keluar dari mobil. “Kenapa anda berubah pikiran?” tanyaku lagi saat kami berdua berjalan beriringan menuju lift.

          “Sudah ku bilang jangan bersikap formal, aku membencinya..” jawab Levi sambil menggulung lengan bajunya.

          “Ah ya baiklah... aku masih belum terbiasa, hmm.. Levi kenapa kau berubah pikiran?”

          “Aku ingin sedikit bersantai, lagipula aku ingin tahu apa yang anak-anak bodoh itu rencanakan,”

          “Anak-anak?” ulangku sambil memicingkan mata kearahnya dan berusaha menahan senyum, Levi melirikku dengan tatapan tajamnya.

“Tck.. apa kau sedang meledekku?“ decaknya sebal, ia tahu bahwa aku sekarang sedang mengejek tinggi badannya yang hanya 160cm untuk ukuran seorang pria dewasa.

          Kami berdua masuk kedalam lift yang kosong, aku mengirim pesan pendek pada Petra sementara Levi memencet tombol lift menuju lobby. Keheningan menyelimuti kami sementara lift terus bergerak naik, ketika pintu lift terbuka terlihat Petra telah menunggu kedatangan kami.

          “Syukurlah kau datang!” bisik Petra saat kami berjalan menuju tempat bersantai yang sudah dipesan khusus oleh Jean, meja kami ada di dekat bar dan jaraknya juga cukup dekat dengan tempat dansa. “Tapi bos, kenapa kalian berdua bisa datang berbarengan? Apa (y/n)/(Lucy) menumpang mobil anda?” selidiknya. Levi menatap Petra sejenak.

          “K-kebetulan kami bertemu diluar,” jawabku cepat. Levi hanya diam menatap sekelilingnya dan tidak mengoreksi jawabanku.

          “Oohh!” gumam Petra sambil tersenyum jahil ia menyenggol lenganku. Saat melihat kedatangan kami semuanya menyambut gembira, Jean berdiri dari duduknya dan menarikku agar duduk di dekatnya Petra juga memilih untuk duduk di sebelahku dan bos kami, Levi, duduk diantara Eren dan Reiner.

Teman-temanku bergerak menuju lantai dansa dan mulai bergerak mengikuti irama musik. Petra juga mengajakku agar segera mengikutinya turun kelantai dansa, karena masih sedikit lelah kuputuskan untuk menyusulnya nanti saja. Ternyata selain diriku masih ada seorang lagi yang tidak berniat untuk berdansa. Ia sedang menatap kerumunan orang dengan ekspresi dinginnya. “Kau tidak ingin berdansa?” tanyaku, berusaha untuk berbasa basi dengan Levi.

Levi mengalihkan pandangannya padaku dan terdiam sejenak sebelum menjawab.. “Tidak.. aku benci keramaian,”

“Oh, tadinya kupikir karena kau tidak bisa berdansa,”

“Hmph..” sekilas aku merasa melihat senyuman kecil di wajah Levi namun saat benar-benar mengamatinya, ekspresi dingin itu tergambar lebih jelas diwajahnya. “Kau terlalu jauh menyimpulkan segala hal tentangku,”

“Sorry kalau aku salah menafsirkanmu, hm kenapa kau tidak meminum wisky itu?”

“Aku tidak suka minuman seperti ini,” jawabnya dengan ekspresi tegang di wajahnya.

“Oh, sayang sekali disini tidak ada teh kesukaanmu, sepertinya kau cuma bisa minum teh saja tiada hari tanpa teh..”

“Teh lebih baik dari pada mabuk-mabukan, aku tak akan meminum minuman seperti ini,”

Tak ku sangka akan mendengar hal ini dari mulut Levi, tapi.. ku rasa dia berhasil membuatku terpesona dengan sikapnya. “Aku ingin berdansa, apa kau mau ikut?” ajakku.

“Kau saja.. aku akan menunggu disini,”

“Ayolah, aku yakin kau adalah seorang pedansa yang sangat mahir,” godaku.

Ia menatapku untuk beberapa saat sebelum akhirnya menghela napas panjang. “Pergilah bersenang-senang dengan mereka, aku akan menunggumu disini,”

Menunggumu disini? Apa aku salah dengar?

“Hmm, okay.. bersantailah,” Aku meninggalkannya dan berdansa selama sepuluh menit sebelum akhirnya memutuskan untuk berhenti dan duduk di kursi bar, tiba-tiba saja aku merasa tak ingin duduk di dekat Levi.

“Kau ingin minum apa nona?” sapa bartender pub itu. Aku menggeleng keras dan menolaknya. Aku tidak ingin minum-minuman keras di tempat seperti ini, bahkan seumur hidupku aku belum pernah meminumnya. Sepupuku adalah seorang peminum dan setiap kali mabuk dia selalu bersikap diluar kendali, aku tak suka melihatnya tapi meskipun begitu aku selalu bersikap toleran pada teman-temanku yang minum-minuman keras.

“Hai,” sapa seseorang yang tidak ku kenal.

“Oh, hai..” balasku sambil menyunggingkan senyuman ramah.

“Aku Daniel..” ujarnya sembari menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan.

“(y/n)/(Lucy)”

“Tidak ingin berdansa?” tanyanya dengan nada setengah berteriak karena suara musik yang sangat keras menenggelamkan suaranya.

“No.. Aku baru saja selesai berdansa,”

“Oh.. Lucy aku merasa pernah melihatmu disuatu tempat,” serunya sembari merangkul pundakku. Sikapnya membuatku merasa tidak nyaman karena aku sama sekali tidak pernah bertemu orang ini sebelumnya.

“Oh ya? Mungkin kau salah orang, Daniel! Karena ini pertama kalinya aku melihatmu,” balasku sembari menjauhkan tangannya dari pundakku namun ia kembali merangkul pundakku.

“Kau yakin? Karena aku merasa sebaliknya, hei Lucy.. boleh aku minta nomor teleponmu?” tanyanya lagi berusaha menarikku agar merapat dengannya.

“Sorry Daniel, aku harus pergi,” tolakku sembari melepas rangkulannya dan berjalan cepat menuju toilet. Namun Daniel masih mengikutiku dan masih mengajakku bicara, karena tidak menghiraukannya sama sekali ia pun merasa kesal dan menarik lenganku hingga aku berbalik dan menghadap padanya.

“Levi?” gumamku dengan napas terengah karena ketakutan. Wajah penuh ekspresi dingin itu sedang menatapku tajam.

“Hei, bung apa yang kau lakukan pada nona ini?” Daniel yang sudah setengah mabuk akhirnya muncul di hadapan Levi.

Levi merangkulku dan setengah memelukku, aku bisa melihat wajahnya dengan jelas karena tinggi kami berdua hampir sama. “Dia kekasihku, apa kau memiliki masalah dengannya, bung?” jawab Levi dengan intonasi datar.

“Hoo ya?” Daniel terkekeh sembari mencibir Levi. “Lucy.. pria cebol ini mengaku kalau dia kekasihmu, kau yakin ingin bersama si cebol ini?” tanya Daniel sembari menatapku.

“Maaf Daniel, kami harus pergi,” jawabku sembari menarik tubuh Levi agar bergerak dan mengikutiku. Kata-kata Daniel terlalu menusuk dan sangat menyinggung perasaan.

“Tck, kau ini idiot ya? Kenapa malah berkenalan dengan pria tidak jelas semacam itu? Bagaimana kalau aku tidak ada disana?” omelnya sembari melepas rangkulannya ketika kami berjalan ke arah meja kami.

“Makasih sudah menolongku,” ucapku, namun Levi hanya membalasnya dengan decakan lidah dan ia mengambil posisi duduk tepat di sebelahku.

“Kau darimana saja?” tanya Sasha.

“Toilet,” jawabku sambil tersenyum lebar.

“Apa semuanya sudah berkumpul?” pekik Connie. “Ayo kita mulai permainan yang sudah dibuat susah payah oleh Jean,” ternyata Jean telah memesan beberapa botol wisky dan ia juga telah menyiapkan beberapa permainan untuk kami. Ia menyebutnya sebagai permainan untuk mengakrabkan diri.

          “Aku akan menjelaskan permainan ini terlebih dahulu,” ujarnya mulai menjelaskan, ditangannya ada sebuah mangkuk kaca yang berisi kertas kecil yang telah di lipat dan dicampur dengan serbuk sterofoam. Ia menunjukkan wadah itu kepada kami. “Aku telah menulis beberapa hukuman dalam gulungan kertas ini, permainannya juga sangat mudah..” Jean menghentikan penjelasannya dan mengambil sebuah botol minuman yang telah kosong, ia meletakkan botol itu dengan posisi terbaring di atas meja. “..kita akan mendapat giliran masing-masing untuk memutar botol ini, setelah melakukan suit ‘gunting, batu, kertas’ yang kalah harus mengambil kertas yang ada dalam wadah dan menerima hukuman yang tertulis didalamnya, kita akan menunjuk tiga orang penantang pertama dengan memutar botol ini,”

          “Apa hukuman yang sudah kau tulis, Jean?” gumam Ymir dengan sikap dinginnya. Disebelahnya duduk Christa yang sedang fokus mendengarkan Jean.

          “Kalau kukatakan sekarang permainan ini tidak akan menyenangkan lagi,” jawab Jean.

          “Paling-paling kau membuat hukuman yang tidak masuk akal seperti sebelumnya..” gumam Annie. “Aku ingin tahu otakmu itu terbuat dari apa sih sebenarnya,”

          “Shut Up Annie!” geram Jean. “Setidaknya aku menggunakan otakku untuk berusaha menghidupkan suasana pesta ini,”

          “Hmm, yaaahh.. kau memang yang terbaik, Jean..” cibir Reiner.

          “Sebaiknya permainannya kita mulai saja sekarang sebelum bos merasa bosan..” gumam Christa.

          “Oke sebelum mulai kita harus suit gunting, batu, kertas dulu..” tambah Jean sambil mempersiapkan botol yang akan di pakai sebagai penunjuk.

          “Bos, apa anda akan ikut bergabung dalam permainan ini?” tanya petra. Semua orang menatap Levi yang masih terdiam membisu dengan tangan terlipat di dada.

          Ia menghela napas panjang dan memperbaiki duduknya. “Aku ikut...”
* * *

          “Ahahahaha! Seperti biasa dia selalu mendapat sial!” pekik Jean senang.

          “Gimana Chris? Tebakanku benarkan?” pekik Ymir sambil merangkul Christa.

          “Berhentilah menertawakan dia,” gumam Chris.

          “Ayo (y/n)/Lucy cepat ambil kertas yang ada dalam mangkuk kaca itu, pastikan kau tidak mengintip tulisannya,” seru Reiner dengan senyuman lebar menghiasi wajahnya.

          “Sebaiknya kau memilih kertasnya sehati-hati mungkin,” celetuk Annie.

          “Hati-hati? Ini cuma permainan Annie bukan medan perang,” gumam Armin menjawab celetukan Annie.

          “Medan perang? Bocah.. kita hanya sedang bersenang-senang,” gumam Jean. “Ayo shitty horse, ambil kertas pilihanmu..”

          “Calm down Jean..” gumam Petra.

          “Bisa kalian hentikan ocehan itu, dia tampak ketakutan setengah mati..” tambah Mikasa.

          “Apa akan sama seperti tahun lalu?” celetuk Eren sambil tersenyum lebar. "Ku harap dia sedikit berubah,"

          “Tenanglah, aku akan mengambilnya,” jawabku tenang.

          Aku hanya bisa menanggapi komentar semua orang dengan ekspresi tenang, meskipun merasa sedikit kesal dengan Jean karena membuat permainan ini namun tanganku tetap masuk ke dalam mangkuk kaca dan mengaduk pelan isinya. Memilih kertas mana yang akan ku ambil dan ku harap Jean tidak membuat tantangan yang aneh-aneh.

          Di tanganku sudah ada secarik kertas yang masih terlipat rapi, ku serahkan kertas itu pada Jean agar dia bisa membacakannya. Jean membaca tulisan di kertas itu dan ia memekik lagi. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Ia memperlihatkan isi tulisan itu pada semua orang. “Guys!! French kiss untuk dua orang yang beruntung!!!!” pekiknya girang.

          “Oh shit,”

          “Wow!! Kau benar-benar menulis ini Jean?!!” pekik Reiner dan Armin bersamaan.

          “Are you okay?” tanya Petra padaku. Aku melihat ekspresi khawatir di wajahnya.

          “I will kill him,” gumamku.

          “Kalau tidak mau kau bisa..”

          “Ini kan cuma permainan,” Annie bergumam pelan tapi aku bisa mendengarnya diantara riuh bahagia para cowok. “Jangan terlalu dibawa perasaan,” mendengar kata-kata ini darinya seperti mendapat pukulan telak dari sebuah palu raksasa. Harusnya aku yang mengatakan hal itu padanya.

          “Jangan senang dulu,” celetuk Mikasa. “Dia nggak akan mau melakukannya, apa kalian lupa kejadian tahun kemarin?” tambahnya.

          Seketika semuanya kembali terduduk tegang. “Bukankah kau sudah setuju ikut permainan ini, kau harus melakukan tiap tantangan yang di berikan,” gumam Connie.

          “Kau bilang begitu karena kau berharap botol itu memilihmu sebagai pasangan ciuman (y/n)/Lucy kan?” tebak Sasha.

          “Siapa bilang! Aku tidak tertarik dengan hal itu!” pekiknya lagi.

          “Benarkan dugaanku, dia memang mengincar posisi itu,” gumam Sasha pada Reiner yang duduk di sebelahnya.

          “Sejujurnya aku juga menginginkan posisi itu,” tambah Reiner dengan senyum merekah diwajahnya.

          “Oh, dasar mesum,” gumam Sasha.

          Aku nggak akan pernah melakukan hal ini! Bulshit dengan semua cemoohan anak-anak ini, aku akan menolak rencana brutal Jean dan membunuhnya diam-diam besok pagi. Secangkir kopi beracun terdengar cukup menarik untuk menjadi hidangan terakhir dalam hidupnya.

“Sampai kapan kau mau berpikir? Mereka terus mengolokmu,” gumam Levi dengan tampang bosan. “Kau akan melakukannya atau menolaknya?”

“Aku nggak akan melakukannya, Jean memang sinting..” aku hanya bisa tersenyum miris ketika menjawab Levi.

“Sudah kuduga kau memang pengecut,” tambah Levi.

Ku telengkan kepalaku pada Levi dan menatapnya tajam. “Apa maksudmu? Aku memang menolaknya tapi bukan berarti aku pengecut..”

“Oh, begitukah.. katakan saja kau menolaknya supaya kita bisa menyelesaikan permainan bodoh ini,” gumam Levi lagi sambil menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa. “Seharusnya aku memang tidak datang kemari kupikir aku bisa sedikit bersantai malam ini, tapi tampaknya aku hanya buang-buang waktu,”

Entah apa yang Levi pikirkan tapi aku membenci kata-katanya. “Kau benar, aku memang seorang pengecut,” gumamku lalu meraih botol yang ada ditengah meja dan memutarnya, semua orang langsung terdiam melihatku yang sedang sibuk mengigit bibir.

Botol yang berputar itu akhirnya berhenti dan menunjuk Armin. Para cowok bersorak sorai sambil menepuk punggung Armin yang terdiam dengan tampang kaget. Aku berjalan mendekati Armin dan menarik tangannya agar berdiri lalu mencium cepat bibir mungilnya yang dingin. Para pria kecuali Levi, kini terkekeh senang. “Dia tidak bergerak,” ledek Reiner.

“Jangan menggigit bibirnya (y/n)/Lucy!” pekik Jean.

“Apa kau menghisap darahnya sampai habis? Armin benar-benar pucat!” tambah Connie.

Ciuman itu berlangsung selama lima detik dan aku bisa melihat Armin masih berdiri mematung. “Are you okay?” tanyaku bingung sambil menggigit bibir karena khawatir. Armin menatapku dan mengangguk pelan lalu perlahan kembali duduk sementara yang lain kembali terdiam dengan ekspresi tegang.

“Ayo (y/n)/Lucy arahkan botol itu padaku!” seru Reiner. Dasar cowok mesum pshyco.

Jean terlihat sangat tegang saat memperhatikan botol yang kini telah berputar lagi. Connie juga terlihat serius. Botol ini bisa saja berhenti dan menunjuk sosok teman-teman perempuanku, atau... bisa saja botol itu akan mengarah pada Levi yang sedang duduk diam dan tidak bereaksi sama sekali. Ku harap botol itu tidak mengarah padanya.

Botol itu berhenti dan menunjuk... Eren.

Aku bisa melihatnya, Mikasa tampak langsung membeku dan mematung di tempat duduknya. Sementara wajah Eren justru memerah padahal aku belum mendekatinya. Shit, Mikasa akan membunuhku. Entah kenapa aku melihat Jean terpaku ditempat duduknya. Rencana ini benra-benar tak terduga dan sangat menguntungkan Jean. Sebagai sahabatnya mungkin aku bisa memberinya sedikit ruang dan kesempatan untuk mendekati Mikasa. “Apa kau yakin?” tanya Eren saat kami berdua berdiri berhadapan, aku harus mendongak saat menatapnya. Karena tubuhku hanya setinggi 158cm sementara tinggi Eren 170cm.

“Make it fast..” gumamku padanya.

Eren menyentuh daguku dengan jari-jarinya lalu bibirnya dengan cepat menghujam bibirku. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran Eren, tapi aku bisa melihat matanya terpejam saat menciumku dan ciuman itu.. sangat lembut. Apa dia menikmati permainan ini? Ku harap Mikasa tak akan membunuhku karena tampaknya ia telah siap melakukannya.

Sepuluh detik berlalu, Eren menghentikan ciumannya dan tersenyum lembut. Akhirnya permainan itu berakhir, aku nggak akan pernah mau melakukannya lagi. Selamanya. “It’s really good.. sweet lips,” bisik Eren sebelum aku kembali ketempat dudukku.
* * *

          “Tak ku sangka kau akan meminum semua bir itu, bukankah kau bilang tidak mau minum? Tck.. kenapa sekarang kau malah mabuk berat?” Dengan langkah pelan ku bopong tubuh Levi di pundakku. Tak ku sangka dia akan mabuk malam ini. Padahal dia menolak minum wisky tapi kenapa tiba-tiba saja dia jadi meminum semua wisky yang dituang untuknya. Moron.

          “Aku... tidak mabuk... idiot!”

          “Hhhhh... katakan itu pada dirimu sendiri idiot,” gumamku membalasnya. Ku buka pintu mobilnya dan mendudukkan Levi di kursi depan. Ia terlihat sangat mengenaskan dan bau minuman keras itu menguar kuat dari tubuhnya. “Calm down, aku akan pasangkan seat beltmu,” kutarik seat belt itu dan memasangkannya di tubuh Levi.

          “(y/n)/Lucy..” panggilnya.

          “Hmm?” Levi menyentuh kepalaku dan meletakan bibirnya di bibirku. Bau minuman keras memenuhi hidungku saat Levi menciumku, lidahnya menerobos masuk bibirku dengan cepat. Ini adalah deep kiss pertama kami. “Stop it, idiot!” Ku dorong tubuh Levi hingga tubuhnya terhempas di punggung kursi dan melap bibirku dengan perasaan kesal.

          “Lucy are you okay?” sapa Sasha yang baru saja muncul dengan Reiner, Jean dan Connie yang mengikutinya sambil berjalan sempoyongan dan berbicara tak jelas satu sama lain. Mikasa terlihat membantu Eren yang juga sedang mabuk.

          “Yeah... I’m okay,”

          “Supaya tidak terlalu repot antar saja mereka ke rumah Jean lalu kau bisa mengantar bos pulang,”

          “Yeah okay, sounds good..

* * *


0 comments:

Post a Comment