Wednesday 26 August 2015

Shingeki No Kyojin : Chapter 11 [Bunga Liar / Wild Flower]

BY Unknown IN No comments



Shingeki No Kyojin Special : Levi’s  Romantic Love Story
“Wild Flower”

Cast     : Levi Ackerman x Rhein Forester
Genre  : Romance, Action, Mature
Song    : Gentleman by Daniela Andrade
           
Chapter 11
Taste Like Sugar

          Hari semakin larut dan lampu sebuah kamar di kastil Rivaille masih menyala terang, Rhein masih sibuk berkutat dengan teorinya, buku, kertas, dan sample yang tersebar di lantai dan di atas ranjangnya. Kamarnya sangat berantakan namun tidak ada debu dan sampah yang bertebaran dalam ruangan itu meskipun isinya sangat berantakan.

          Ia menggeliat dan meregangkan tubuh mungilnya yang lelah lalu berdiri dari kursinya saat mendengar derap kuda memasuki pekarangan kastil. Ia bisa melihat Rivaille dan timnya baru kembali dari perburuan mereka melalui jendela kamarnya yang menghadap gerbang kastil.

          Ia kembali menatap sekeliling ruangannya yang berantakan, beberapa menit yang lalu ia baru saja membongkar peralatan manuvernya dan memeriksa pistol khusus miliknya, busur dan belatinya juga tergeletak rapi diatas meja lainnya. Biasanya ketika bosan ia akan menghentikan kegiatannya sejenak dan mengambil biolanya lalu mulai belajar memainkannya lagi, namun ia merasa bukan hal yang baik jika ia memainkan biola semalam ini dan memutuskan untuk menghabiskan wakunya dengan memandang keluar jendela sambil melamun.

          Terdengar ketukan pelan dipintunya, seperti biasa Hanji akan muncul untuk berdiskusi dengannya mengenai beberapa hal dan mereka berdua akan saling berargumen sebelum akhirnya saling bertukar beberapa analisis, meskipun memiliki kepribadian berbeda tapi mereka berdua bisa cocok satu sama lain.

          “Masuk saja,” serunya dengan mata masih menatap keluar jendela. Terdengar derit pintu yang terbuka lalu menutup lagi, langkah Hanji terhenti didekat pintu.

          “Apa-apaan ini?! Apa yang terjadi dengan kamarmu, kadet?” suara dalam dan menekan itu mengagetkan Rhein, ia berbalik dan mendapati Rivaille tengah menatap sekeliling kamarnya yang berantakan pria itu langsung memberinya tatapan kematian. “Ayo! Kita harus segera membereskan kandang kuda ini,’ ujarnya lagi.

          “Tidak perlu! Jangan! Kau tidak perlu melakukan itu, aku bisa melakukannya sendiri..” seru Rhein gelagapan, dengan panik ia merapikan ranjangnya dan memindahkan sample-sample yang tadinya terdiam santai diatas kasurnya memasukkannya kembali kedalam peti kayu. “Kau bisa duduk disini,” serunya lagi sembari menepuk-nepuk kasurnya.

          Dengan perasaan frustasi Rivaille beranjak dan duduk diranjang yang telah bersih dan rapi. “Kenapa kau kemari? Harusnya kau beristirahat saja kan, kau bisa sakit kalau setiap hari hanya tidur empat jam saja..” gerutu Rhein.

          Rivaille menghela napas dengan tatapan dingin menghiasi wajahnya. “Kau mengajariku tentang istirahat tapi sudah selarut ini kau masih belum tertidur?”

          “Hhh, aku harus menyelesaikan beberapa hal dan kupikir kau Hanji.. biasanya dia suka kemari dan kami akan mengobrol panjang lebar, tak kusangka justru kau yang muncul,” jawab Rhein ia kembali duduk di kursinya dan menatap pekerjaannya yang tergeletak diatas meja.

          “Apa yang kalian bicarakan?”

          “Hmm, masalah wanita..” jawab Rhein berbohong. Sebenarnya ia suka membantu Hanji membuat sebuah kesimpulan dari rapat yang tim Rivaille lakukan dan membantu membuat strategi baru yang akan disinkronisasikan dengan strategi Armin.

          “Ternyata Hanji seorang wanita..” gumam Rivaille pelan, ia memungut salah satu kertas yang tergeletak dilantai dan membaca isi kertas yang penuh tulisan acak kadut itu. Tak ada satupun kata yang dimengertinya. Mungkin karena alasan itulah Rhein tidak melarangnya melihat kertas-kertas itu. Rhein kembali membuka-buka bukunya dan membaca teori-teori yang ada.

          “Kenapa kau mencariku selarut ini?” celetuknya setelah terdiam beberapa menit.

          “Aku ingin melihat wajah jelekmu, kadet..” jawab Rivaille. Jawabannya membuat Rhein tersenyum namun ia berusaha menyembunyikan ekspresinya dari Rivaille. Pria itu bangkit dari kasur dan berjalan keseberang ruangan menuju meja yang penuh peralatan manuver milik Rhein. “Bagaimana caranya kau menggunakan pistolmu ini? Kenapa pistol ini berbeda dengan pistol lainnya,” serunya sembari mememeriksa pistol bom milik Rhein.

          “Itu pistol khusus yang sudah dimodifikasi menyatu dengan manuver milikku dan hanya ada satu yang seperti itu..”

          “Hanya kau yang bisa memakainya?”

          Rhein mengangguk mengiyakan.

          “Bagaimana menggunakannya sekaligus dengan manuver 3D mu? Kau tak bisa begitu saja memakai ini dan menggantinya dengan cepat diudara sementara kau harus cepat menarik pisau 3DM,”

          “Apa kau sangat ingin mengetahuinya? Kau bisa melatih tehnik itu caranya sangat mudah kau harus memasuki pintu neraka terlebih dahulu,”

          “Berlebihan,”

          Rhein mengambil pistolnya dari tangan Rivaille dan ia mulai merangkai pistol itu dengan pisau manuver 3D-nya. Ternyata pistol itu juga memiliki alat penarik yang sama dengan alat penarik pisau manuver 3D. Ia merangkai kedua alat itu dengan sangat cepat dan menambahkan adegan terakhir untuk aksinya, memutar pistol itu ditangan lalu mengarahkan pegangannya pada Rivaille.

          “Kau cukup berbakat merangkai mainan ini..” gumam Rivaille, Rhein hanya menyunggingkan senyuman dibibirnya saat Rivaille mengambil pistol itu dari tangannya.

          “Hahaha, kalau kau ingin lebih memahami bagaimana cara kerjanya aku bisa mengajarimu saat kita punya waktu luang..

“Tawaran yang bagus dan aku sangat tertarik, aku akan memberitahumu kapan tepatnya kita bisa berlatih dengan tenang.. suasana tegang saat ini sangat tidak mendukung pelatihan seperti ini,”

“Baiklah.. terserah kau saja..”

“Ku harap kita bisa segera berlatih, aku tak sabar menerima pelatihan khusus darimu..” gumam Rivaille dengan suara datar dan wajah tanpa ekspresi, ia menatap Rhein dengan tatapan dinginnya lalu meletakkan pistol yang ia pegang ketempatnya semula.

Rhein tersenyum membalas tatapan Rivaille sambil menganggukkan kepalanya perlahan. Ia merasa sangat malu dan tersipu mendengar penuturan Rivaille yang menurutnya terdengar romantis dan unik karena Rivaille mengatakannya dengan wajah tanpa ekpresi.

“Hmmm.. aku juga ingin tahu bagaimana metode belajarmu, Kapten Ackerman,”

“Aku yakin kau akan terpesona dengan keahlianku.. aku punya beberapa tehnik spesial,” balas Rivaille, ia menyandarkan tubuhnya pada tembok yang dingin dan masih terus menghujam Rhein dengan tatapan mautnya. Membuat gadis itu semakin jengah.

”Hmmm.. oke, ku harap nanti kau tak lupa menunjukkannya padaku..” jawab Rhein, sejenak ia menatap Rivaille yang kini memandanginya dengan tangan terlipat di dada. “Saat ini polisi militer juga sedang mengembangkan alternatif senjata baru ini,” gumamnya mengalihkan pembicaraan sembari menatap kertas yang ada di mejanya.

          “Apa maksudmu?” selidik Rivaille, informasi ini benar-benar baru baginya.

          Rhein membongkar lacinya dan mengeluarkan beberapa kertas dokumen lalu menyerahkannya pada Rivaille. Kali ini dia bisa membaca tulisan yang ada dikertas itu.

          “Apa ini? Jenis senjata manuver 3D baru, mereka menggunakan pistol bukannya pisau? Apa senjata ini sama dengan milikmu?”

          “Rancangannya hampir serupa dengan pistol modifikasi milikku tapi penggunaan dan fungsinya sangat berbeda. Pistolku dapat digunakan untuk memecah bagian tubuh Titan dan menghancurkan tubuh manusia tapi pistol manuver milik polisi militer khusus digunakan untuk pertarungan jarak jauh melawan manusia,”

          “Kenapa mereka membuat senjata ini... sejauh apa kau tahu perkembangannya dan apa yang memutuskanmu untuk memberitahuku?”

          Rhein terdiam sejenak menatap wajah dingin Rivaile. “Aku memberitahumu karena aku ingin kau dan tim lebih berhati-hati, itu saja..”

          “Kau belum menjawabku.. Apa sudah lama kau mengetahui ini?”

          “Sebenarnya aku baru saja memperoleh informasinya, aku meminta temanku untuk melakukan sedikit penyelidikan khusus dalam divisi kepolisian militer pusat, apa kau pernah dengar bahwa dalam struktur polisi militer ada pembagian khusus untuk tingkatan pasukannya?”

          “Hmm, ya.. aku pernah dengar tentang polisi militer pusat dan reguler.. tapi bukankah itu hal yang biasa? Berita bahwa mereka membentuk tim khusus itu hanya rumor, aku tidak pernah melihat pergerakan yang mencurigakan selain kebiasaan lama mereka yang suka bersenang-senang dan mabuk-mabukan”

          “Rumor tidak sepenuhnya berita bohong, kalian perlu mewaspadai polisi militer pusat karena cara kerja mereka berbeda dari polisi militer biasa, aku masih belum bisa menyimpulkan secara pasti alat baru itu akan digunakan untuk apa. Tapi setelah membaca pergerakan timmu beberapa hari ini, aku mengambil kesimpulan sementara bahwa alat itu akan digunakan untuk tujuan tidak baik. Bisa jadi kalianlah yang akan jadi target,”

          “Kenapa kau berpikir begitu?”

          “Pertempuran baru-baru ini membuat rencana dan pergerakan kita berubah total dan hal itu cukup ekstrim apalagi setelah kesimpulan tentang konspirasi yang dijalankan oleh pemerintah mencuat kepermukaan.. pergerakan kalian pasti sangat mengganggu pemerintah dan tentu saja hal ini sudah melenceng dari tujuan kita yang sebenarnya.. harusnya kita hanya membunuh Titan, Rivaille. Aku benar-benar menyadari kudeta ini sangat berbahaya, keyakinanmu dan Irvin akan membawa hasil yang sangat bagus bagi tim.. tapi kita akan menanggung konsekuensi yang sangat besar dari berbagai arah, kemudian menghadapi masa-masa sulit yang tak akan pernah kau bayangkan sebelumnya.. banyak prajurit akan mati sia-sia dan.. kemungkinan untuk pembubaran pasukan khusus milikmu ini.. tapi ini hanya intuisiku, kau boleh tidak mempercayainya tapi aku ingin kalian tetap berhati-hati ketika bergerak,” jelas Rhein sembari menyentuh lehernya dan melakukan sedikit gerakan yang menyebabkan bunyi krak kecil terdengar dari lehernya.

          “Kau tidak pernah ikut rapat tapi tahu semua informasi ini,”

          Rhein tersenyum iseng sambil memainkan alat tulis ditangannya. “Aku tak perlu ikut rapat untuk mengetahui semua detailnya, Rivaille.. sebenarnya aku tak sepenuhnya jujur padamu saat berkata aku tidak akan menggali informasi tentang kalian, maafkan aku,”

          Rivaille mengangguk-angguk pelan. “Hmm, harusnya aku bisa menduga hal itu.. lalu.. bagaimana dengan teman penyelidik yang kau maksud itu.. apakah dia Luke?”

          “Hmmm... mungkiiin..”

          “Oi kadet.. apa kau sadar dia sangat menyukaimu?”

          “Hmm yaa..” jawab Rhein ragu sesaat ada jeda sebelum dia melanjutkan kalimatnya lagi. “Sebenarnya dia sudah sering memintaku untuk menikahinya dan memaksaku berhenti dari pekerjaan ini, memastikan aku menjadi ibu dari anak-anaknya dan hidup aman di dalam dinding Rose, itu adalah impiannya..”

          “Kenapa kau menolaknya, kadet? Kurasa dia orang yang bisa diandalkan untuk menjagamu,”

Rhein menatap langit dari jendelanya dengan ekspresi melamun, Rivaille menatapnya ingin tahu. “Kalau tidak ku tolak.. aku tak akan mungkin berada disini dan melakukan perbincangan tengah malam berdua denganmu Tuan Ackerman..”

“Tck.. kau benar..”

“Kenapa kau membenci Luke?”

“Aku tidak pernah membencinya,” gumam Rivaille ia menatap wajah Rhein yang terliha lelah dan masih menunggu lanjutan jawabannya. “Mh, baiklah aku tahu ini omong kosong.. harusnya aku tidak menanyakan pertanyaan itu, tapi.. bukankah dalam situasi saat ini kita akan sangat sulit bertemu dengan seseorang yang berharga dan spesial. Setidaknya jika menemukannya kau harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk bersama-sama, karena kita tidak tahu kapan akan mati kan.. jika orang berharga itu muncul dan memberimu kebahagiaan, sebaiknya jangan pernah lepaskan dia,”

“...”

          Ada kesedihan dalam sorot mata Rivaille, kata-kata yang ia ucapkan bukan untuk menasehati Rhein namun untuk dirinya sendiri. Sosok Mina kembali muncul dalam ingatannya yang samar, dia tak pernah menyadari bahwa kepergian Mina akan membuatnya merasa menyesal seumur hidupnya.

          “Apa kau sudah menemukan orang itu kapten..?” gumam Rhein.

          Rivaille tak menjawab pertanyaan itu ia menaruh berkas yang maih dipegangnya ditempatnya lagi dan beranjak hati-hati agar tidak menginjak kertas yang berserakan dilantai. “Oi.. apa kau mau menemaniku minum secangkir teh? Sebenarnya.. Ini bukan permintaan, tapi perintah!” seru Rivaille, ia telah berdiri didekat pintu kamar Rhein menunggu gadis itu mengiyakan ajakannya.

          Rhein menatapnya dengan tatapan lelah lalu tersenyum, ia berjalan mendekati Rivaille dan pria itu membukakan pintu untuknya. “Kau benar-benar menyebalkan Rivaille..” serunya dengan wajah penuh senyuman. “I hate you..”

          Keduanya beranjak menuju dapur, ruangan itu sangat sepi hanya ada mereka berdua dan sepertinya semua orang telah tertidur. Rivaille sibuk mencari-cari teh dilemari suplai sementara Rhein memasak air panas. “Kau duduk saja, biar aku yang mengerjakannya,” pinta Rivaille sewot.

          “Terima kasih, aku tahu kau juga lelah.. bagaimana kalau kita membagi pekerjaan ini agar terasa lebih mudah, tuan menyebalkan?” seru Rhein. Rivaille menemukan tehnya dan berjalan mendekati Rhein, tatapan matanya tak berubah masih sedingin biasanya dan tanpa ekspresi.

          Rivaille memasukkan beberapa daun teh dalam air yang telah mendidih itu lalu mematikan apinya setelah dirasa cukup matang. Ia menyaring daun teh itu seperti seorang profesional, Rhein mengamatinya seksama dengan ekspresi agak melamun.

          Rivaille menaruh dua blok gula kedalam cangkir teh untuk Rhein lalu mengaduknya perlahan. Ia membawa dua cangkir berisi teh itu dan menaruhnya di atas meja makan. Rhein mengekorinya dan duduk dikursi yang ada di sebelah Rivaille. Rivaille merapatkan jarak diantara kursi mereka.

          “Minumlah,” titah Rivaille, ia menunggu Rhein meminum teh buatannya sebelum meminum tehnya sendiri. Ia terus mengamati gadis itu hingga Rhein meneguk tegukan pertamanya.

          “Hmm, aku malu mengakui ini tapi teh buatanmu lebih enak daripada buatanku..” keluh Rhein.

          “Tapi aku lebih suka teh buatanmu,” balas Rivaille sambil meminum tehnya sendiri, kata-katanya membuat Rhein melirik perlahan dan menatapnya dari sudut matanya. “Apa aku memang menyebalkan?” celetuknya lagi.

          “Hmm?”

          “Kau bilang aku menyebalkan dan juga membenciku.. apa aku memang seburuk itu, kadet?” tanya Rivaille matanya menerawang menatap cangkirnya.

          Rhein menatap Rivaille sambil tersenyum ia menopang kepalanya dengan tangannya yang tersampir diatas meja. “Ya.. kau memang orang yang sangat buruk, menyebalkan dan aku membencimu, kapten..”

          Rivaille menoleh perlahan menatap Rhein yang tersenyum memandangnya. Ia menghela napas panjang dengan wajah tanpa ekspresi. “Seharusnya kau tidak tersenyum ketika mengatakannya..”

          “Kenapa?”

          “Kau membuatku tidak yakin dengan kata-katamu, mungkin kau membenciku tapi aku tidak akan mengubah keputusanku.. aku tak peduli kau membenciku, karena membuatmu berada disisiku adalah hal yang kuanggap benar untuk kulakukan dalam hidupku,” jawab Rivaille dengan intonasi dingin dan kembali meminum tehnya.

          Sebuah kecupan kilat mendarat dipipi Rivaille membuat wajahnya mulai merona merah. “Kau memang menyebalkan Rivaille.. sikap memaksamu sangat menyebalkan..” bisik Rhein. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Rivaille dan menempelkan bibirnya dibibir Rivaille, Rhein menutup matanya dan merasakan tiap inci dari lekuk bibir Rivaille yang hangat, ia membuka bibirnya dan melumat lembut bibir Rivaille. Rivaille meletakkan tangannya diatas punggung kursi Rhein dan menyentuh bahunya, lalu mulai membalas kecupan gadis itu. Aroma mint dari tubuh Rivaille kembali menyelubunginya.

          Rivaille mendorong lidahnya masuk kedalam mulut Rhein. Sementara Rhein dapat merasakan lidah mereka menari dan saling bertautan satu sama lain hal itu membuat perasaan keduanya bahagia. Ciuman itu semakin memanas dan semakin intense hingga membuat keduanya sulit untuk bernapas. Rivaille memutuskan untuk menghentikan ciuman mereka dan menjauhkan bibirnya dari bibir Rhein.

          Wajah Rhein terlihat lebih cerah karena rona merah dipipinya, rasa lelah kini telah hilang dari tubuhnya, baginya ciuman Rivaille seperti sebuah obat penghilang rasa sakit. Ia tersenyum menatap wajah tanpa ekpresi Rivaille. “Apa kau sudah paham arti dari kata ‘aku membencimu’ tuan menyebalkan?” seru Rhein.

          Rivaille mengernyitkan dahinya. “Mh.. sepertinya kau harus mengulang penjelasanmu barusan, kadet..” bisik Rivaille ditelinga Rhein. Membuat Rhein berusaha mengontrol tawanya yang akan meledak.

          Terdengar suara langkah menuruni tangga, Rhein menatap pintu dengan wajah panik sementara Rivaille telah bangkit dari kursinya dan menarik cepat lengan Rhein. Jean muncul dari pintu dapur sambil menguap lebar, ia menatap dua cangkir teh yang tergeletak diatas meja.

          “Tck, siapa yang meminum ini tapi tidak membereskannya.. merepotkan saja,” gerutunya sambil mengangkat dua cangkir itu dan membuang isinya lalu mencuci cangkir-cangkir itu dan meletakkannya dengan rapi di rak piring. Ia meminum segelas air putih lalu menguap lagi dan berjalan perlahan keluar dari dapur terdengar langkah kaki menaiki tangga hingga akhirnya suara langkah itu samar-samar menghilang di anak tangga teratas.

          “Tck, muka kuda sialan itu.. bisa-bisanya dia membuang teh buatanku,” gerutu Rivaille sebal.

          “Hahaha, kau bisa menghukumnya besok pagi kapten. Sepertinya Jean sudah pergi, kita sudah bisa keluar sekarang..” ajak Rhein, namun Rivaille menutup lagi pintu lemari suplai itu. “Ada apa?” tanya Rhein bingung.

          “Apa kau ingat bahwa aku berjanji akan memberimu penjelasan tentang sebuah permainan khusus?”

          “Hmmm.. yaa..” jawab Rhein ragu.

          “Aku ingin menjelaskannya sekarang,” seru Rivaille dengan wajah serius  tanpa ekspresi.

          “Mh, ten~tu.. tapi ini kan lemari suplai, apa tidak lebih baik jika kita duduk dikursi makan supaya kau bisa menjelaskannya dengan lebih mudah?”

          “Sebenarnya ini tempat yang sangat sempurna untuk menjelaskannya..” gumam Rivaille sambil mengelus tengkuknya dengan wajah merona. Hal yang tidak pernah ia perlihatkan pada orang lain selain di depan Minazuki dan kini Rhein. “Tapi kalau kau keberatan mungkin kita memang harus menghentikan ini..” seru Rivaille raut wajahnya menjadi muram, terlihat murung dan kecewa. Ia melepaskan pelukannya ditubuh Rhein dan mendorong kenop pintu lemari suplai agar terbuka, namun langkahnya terhenti ketika ia merasa sesuatu menarik bajunya.

          Rhein tidak bergerak seinci pun ia menundukkan wajahnya sementara tangan kanannya menarik baju Rivaille. Pria itu menatap Rhein lagi-lagi dengan wajah tanpa ekspresinya dan dengan cepat ia menarik kembali kenop pintu agar lemari itu tertutup sempurna. “Sepertinya aku menjatuhkan sesuatu di dalam sini, kadet kau harus membantuku mencarinya hingga ketemu,” seru Rivaille.

          “Hmmm.. sepertinya kau menjatuhkan barang yang sangat penting Kapten..” balas Rhein. “Sebenarnya.. sementara mencarinya kau bisa sambil menjelaskan padaku tentang permainan yang kau bilang tadi,”

          “Kadet, apa kau pernah dengar tentang permainan tujuh menit menuju surga?” tanya Rivaille, ia merapatkan tubuhnya dan tangannya menyentuh pipi Rhein.

          “Hmm.. seperti apa permainannya..?”

          “Tck, kau memang idiot.. sepertinya aku harus mengajarimu secepatnya agar kau bisa lebih cepat mengerti. Ini perintah! Kau tidak boleh berisik jika tidak ingin orang lain memergoki kita..”

          “Hmm, apa aku punya pilihan lain?”

          “Shut up, brat,”

* * *





It's Ok... :')

0 comments:

Post a Comment