Shingeki No Kyojin Special
: Levi’s Romantic Love Story
“Wild Flower”
Genre : Romance, Action, Mature
Song : Gentleman by Daniela Andrade
Chapter 11
Taste Like Sugar
Hari
semakin larut dan lampu sebuah kamar di kastil Rivaille masih menyala terang,
Rhein masih sibuk berkutat dengan teorinya, buku, kertas, dan sample yang
tersebar di lantai dan di atas ranjangnya. Kamarnya sangat berantakan namun
tidak ada debu dan sampah yang bertebaran dalam ruangan itu meskipun isinya
sangat berantakan.
Ia
menggeliat dan meregangkan tubuh mungilnya yang lelah lalu berdiri dari
kursinya saat mendengar derap kuda memasuki pekarangan kastil. Ia bisa melihat
Rivaille dan timnya baru kembali dari perburuan mereka melalui jendela kamarnya
yang menghadap gerbang kastil.
Ia
kembali menatap sekeliling ruangannya yang berantakan, beberapa menit yang lalu
ia baru saja membongkar peralatan manuvernya dan memeriksa pistol khusus
miliknya, busur dan belatinya juga tergeletak rapi diatas meja lainnya.
Biasanya ketika bosan ia akan menghentikan kegiatannya sejenak dan mengambil
biolanya lalu mulai belajar memainkannya lagi, namun ia merasa bukan hal yang
baik jika ia memainkan biola semalam ini dan memutuskan untuk menghabiskan
wakunya dengan memandang keluar jendela sambil melamun.
Terdengar
ketukan pelan dipintunya, seperti biasa Hanji akan muncul untuk berdiskusi
dengannya mengenai beberapa hal dan mereka berdua akan saling berargumen
sebelum akhirnya saling bertukar beberapa analisis, meskipun memiliki
kepribadian berbeda tapi mereka berdua bisa cocok satu sama lain.
“Masuk
saja,” serunya dengan mata masih menatap keluar jendela. Terdengar derit pintu
yang terbuka lalu menutup lagi, langkah Hanji terhenti didekat pintu.
“Apa-apaan
ini?! Apa yang terjadi dengan kamarmu, kadet?” suara dalam dan menekan itu
mengagetkan Rhein, ia berbalik dan mendapati Rivaille tengah menatap sekeliling
kamarnya yang berantakan pria itu langsung memberinya tatapan kematian. “Ayo! Kita
harus segera membereskan kandang kuda ini,’ ujarnya lagi.
“Tidak
perlu! Jangan! Kau tidak perlu melakukan itu, aku bisa melakukannya sendiri..”
seru Rhein gelagapan, dengan panik ia merapikan ranjangnya dan memindahkan
sample-sample yang tadinya terdiam santai diatas kasurnya memasukkannya kembali
kedalam peti kayu. “Kau bisa duduk disini,” serunya lagi sembari menepuk-nepuk
kasurnya.
Dengan
perasaan frustasi Rivaille beranjak dan duduk diranjang yang telah bersih dan
rapi. “Kenapa kau kemari? Harusnya kau beristirahat saja kan, kau bisa sakit
kalau setiap hari hanya tidur empat jam saja..” gerutu Rhein.
Rivaille
menghela napas dengan tatapan dingin menghiasi wajahnya. “Kau mengajariku
tentang istirahat tapi sudah selarut ini kau masih belum tertidur?”
“Hhh, aku
harus menyelesaikan beberapa hal dan kupikir kau Hanji.. biasanya dia suka
kemari dan kami akan mengobrol panjang lebar, tak kusangka justru kau yang
muncul,” jawab Rhein ia kembali duduk di kursinya dan menatap pekerjaannya yang
tergeletak diatas meja.
“Apa
yang kalian bicarakan?”
“Hmm,
masalah wanita..” jawab Rhein berbohong. Sebenarnya ia suka membantu Hanji
membuat sebuah kesimpulan dari rapat yang tim Rivaille lakukan dan membantu
membuat strategi baru yang akan disinkronisasikan dengan strategi Armin.
“Ternyata
Hanji seorang wanita..” gumam Rivaille pelan, ia memungut salah satu kertas
yang tergeletak dilantai dan membaca isi kertas yang penuh tulisan acak kadut
itu. Tak ada satupun kata yang dimengertinya. Mungkin karena alasan itulah
Rhein tidak melarangnya melihat kertas-kertas itu. Rhein kembali membuka-buka
bukunya dan membaca teori-teori yang ada.
“Kenapa
kau mencariku selarut ini?” celetuknya setelah terdiam beberapa menit.
“Aku
ingin melihat wajah jelekmu, kadet..” jawab Rivaille. Jawabannya membuat Rhein
tersenyum namun ia berusaha menyembunyikan ekspresinya dari Rivaille. Pria itu
bangkit dari kasur dan berjalan keseberang ruangan menuju meja yang penuh
peralatan manuver milik Rhein. “Bagaimana caranya kau menggunakan pistolmu ini?
Kenapa pistol ini berbeda dengan pistol lainnya,” serunya sembari mememeriksa
pistol bom milik Rhein.
“Itu
pistol khusus yang sudah dimodifikasi menyatu dengan manuver milikku dan hanya
ada satu yang seperti itu..”
“Hanya
kau yang bisa memakainya?”
Rhein
mengangguk mengiyakan.
“Bagaimana
menggunakannya sekaligus dengan manuver 3D mu? Kau tak bisa begitu saja memakai
ini dan menggantinya dengan cepat diudara sementara kau harus cepat menarik
pisau 3DM,”
“Apa kau
sangat ingin mengetahuinya? Kau bisa melatih tehnik itu caranya sangat mudah
kau harus memasuki pintu neraka terlebih dahulu,”
“Berlebihan,”
Rhein
mengambil pistolnya dari tangan Rivaille dan ia mulai merangkai pistol itu
dengan pisau manuver 3D-nya. Ternyata pistol itu juga memiliki alat penarik
yang sama dengan alat penarik pisau manuver 3D. Ia merangkai kedua alat itu dengan
sangat cepat dan menambahkan adegan terakhir untuk aksinya, memutar pistol itu
ditangan lalu mengarahkan pegangannya pada Rivaille.
“Kau
cukup berbakat merangkai mainan ini..” gumam Rivaille, Rhein hanya
menyunggingkan senyuman dibibirnya saat Rivaille mengambil pistol itu dari
tangannya.
“Hahaha,
kalau kau ingin lebih memahami bagaimana cara kerjanya aku bisa mengajarimu
saat kita punya waktu luang..
“Tawaran yang bagus dan aku sangat
tertarik, aku akan memberitahumu kapan tepatnya kita bisa berlatih dengan
tenang.. suasana tegang saat ini sangat tidak mendukung pelatihan seperti ini,”
“Baiklah.. terserah kau saja..”
“Ku harap kita bisa segera berlatih,
aku tak sabar menerima pelatihan khusus darimu..” gumam Rivaille dengan suara
datar dan wajah tanpa ekspresi, ia menatap Rhein dengan tatapan dinginnya lalu
meletakkan pistol yang ia pegang ketempatnya semula.
Rhein tersenyum membalas tatapan
Rivaille sambil menganggukkan kepalanya perlahan. Ia merasa sangat malu dan
tersipu mendengar penuturan Rivaille yang menurutnya terdengar romantis dan
unik karena Rivaille mengatakannya dengan wajah tanpa ekpresi.
“Hmmm.. aku juga ingin tahu bagaimana
metode belajarmu, Kapten Ackerman,”
“Aku yakin kau akan terpesona dengan
keahlianku.. aku punya beberapa tehnik spesial,” balas Rivaille, ia
menyandarkan tubuhnya pada tembok yang dingin dan masih terus menghujam Rhein
dengan tatapan mautnya. Membuat gadis itu semakin jengah.
”Hmmm.. oke, ku harap nanti kau tak
lupa menunjukkannya padaku..” jawab Rhein, sejenak ia menatap Rivaille yang
kini memandanginya dengan tangan terlipat di dada. “Saat ini polisi militer
juga sedang mengembangkan alternatif senjata baru ini,” gumamnya mengalihkan
pembicaraan sembari menatap kertas yang ada di mejanya.
“Apa
maksudmu?” selidik Rivaille, informasi ini benar-benar baru baginya.
Rhein membongkar
lacinya dan mengeluarkan beberapa kertas dokumen lalu menyerahkannya pada
Rivaille. Kali ini dia bisa membaca tulisan yang ada dikertas itu.
“Apa
ini? Jenis senjata manuver 3D baru, mereka menggunakan pistol bukannya pisau? Apa
senjata ini sama dengan milikmu?”
“Rancangannya
hampir serupa dengan pistol modifikasi milikku tapi penggunaan dan fungsinya
sangat berbeda. Pistolku dapat digunakan untuk memecah bagian tubuh Titan dan
menghancurkan tubuh manusia tapi pistol manuver milik polisi militer khusus
digunakan untuk pertarungan jarak jauh melawan manusia,”
“Kenapa
mereka membuat senjata ini... sejauh apa kau tahu perkembangannya dan apa yang
memutuskanmu untuk memberitahuku?”
Rhein
terdiam sejenak menatap wajah dingin Rivaile. “Aku memberitahumu karena aku
ingin kau dan tim lebih berhati-hati, itu saja..”
“Kau
belum menjawabku.. Apa sudah lama kau mengetahui ini?”
“Sebenarnya
aku baru saja memperoleh informasinya, aku meminta temanku untuk melakukan
sedikit penyelidikan khusus dalam divisi kepolisian militer pusat, apa kau
pernah dengar bahwa dalam struktur polisi militer ada pembagian khusus untuk
tingkatan pasukannya?”
“Hmm,
ya.. aku pernah dengar tentang polisi militer pusat dan reguler.. tapi bukankah
itu hal yang biasa? Berita bahwa mereka membentuk tim khusus itu hanya rumor,
aku tidak pernah melihat pergerakan yang mencurigakan selain kebiasaan lama
mereka yang suka bersenang-senang dan mabuk-mabukan”
“Rumor
tidak sepenuhnya berita bohong, kalian perlu mewaspadai polisi militer pusat
karena cara kerja mereka berbeda dari polisi militer biasa, aku masih belum
bisa menyimpulkan secara pasti alat baru itu akan digunakan untuk apa. Tapi
setelah membaca pergerakan timmu beberapa hari ini, aku mengambil kesimpulan sementara
bahwa alat itu akan digunakan untuk tujuan tidak baik. Bisa jadi kalianlah yang
akan jadi target,”
“Kenapa
kau berpikir begitu?”
“Pertempuran
baru-baru ini membuat rencana dan pergerakan kita berubah total dan hal itu
cukup ekstrim apalagi setelah kesimpulan tentang konspirasi yang dijalankan oleh
pemerintah mencuat kepermukaan.. pergerakan kalian pasti sangat mengganggu
pemerintah dan tentu saja hal ini sudah melenceng dari tujuan kita yang sebenarnya..
harusnya kita hanya membunuh Titan, Rivaille. Aku benar-benar menyadari kudeta
ini sangat berbahaya, keyakinanmu dan Irvin akan membawa hasil yang sangat
bagus bagi tim.. tapi kita akan menanggung konsekuensi yang sangat besar dari
berbagai arah, kemudian menghadapi masa-masa sulit yang tak akan pernah kau
bayangkan sebelumnya.. banyak prajurit akan mati sia-sia dan.. kemungkinan
untuk pembubaran pasukan khusus milikmu ini.. tapi ini hanya intuisiku, kau
boleh tidak mempercayainya tapi aku ingin kalian tetap berhati-hati ketika
bergerak,” jelas Rhein sembari menyentuh lehernya dan melakukan sedikit gerakan
yang menyebabkan bunyi krak kecil terdengar dari lehernya.
“Kau
tidak pernah ikut rapat tapi tahu semua informasi ini,”
Rhein
tersenyum iseng sambil memainkan alat tulis ditangannya. “Aku tak perlu ikut
rapat untuk mengetahui semua detailnya, Rivaille.. sebenarnya aku tak
sepenuhnya jujur padamu saat berkata aku tidak akan menggali informasi tentang
kalian, maafkan aku,”
Rivaille
mengangguk-angguk pelan. “Hmm, harusnya aku bisa menduga hal itu.. lalu..
bagaimana dengan teman penyelidik yang kau maksud itu.. apakah dia Luke?”
“Hmmm...
mungkiiin..”
“Oi
kadet.. apa kau sadar dia sangat menyukaimu?”
“Hmm yaa..”
jawab Rhein ragu sesaat ada jeda sebelum dia melanjutkan kalimatnya lagi. “Sebenarnya
dia sudah sering memintaku untuk menikahinya dan memaksaku berhenti dari
pekerjaan ini, memastikan aku menjadi ibu dari anak-anaknya dan hidup aman di
dalam dinding Rose, itu adalah impiannya..”
“Kenapa
kau menolaknya, kadet? Kurasa dia orang yang bisa diandalkan untuk menjagamu,”
Rhein menatap langit dari jendelanya
dengan ekspresi melamun, Rivaille menatapnya ingin tahu. “Kalau tidak ku
tolak.. aku tak akan mungkin berada disini dan melakukan perbincangan tengah
malam berdua denganmu Tuan Ackerman..”
“Tck.. kau benar..”
“Kenapa kau membenci Luke?”
“Aku tidak pernah membencinya,” gumam
Rivaille ia menatap wajah Rhein yang terliha lelah dan masih menunggu lanjutan
jawabannya. “Mh, baiklah aku tahu ini omong kosong.. harusnya aku tidak
menanyakan pertanyaan itu, tapi.. bukankah dalam situasi saat ini kita akan sangat
sulit bertemu dengan seseorang yang berharga dan spesial. Setidaknya jika
menemukannya kau harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk bersama-sama, karena
kita tidak tahu kapan akan mati kan.. jika orang berharga itu muncul dan
memberimu kebahagiaan, sebaiknya jangan pernah lepaskan dia,”
“...”
Ada
kesedihan dalam sorot mata Rivaille, kata-kata yang ia ucapkan bukan untuk
menasehati Rhein namun untuk dirinya sendiri. Sosok Mina kembali muncul dalam
ingatannya yang samar, dia tak pernah menyadari bahwa kepergian Mina akan membuatnya
merasa menyesal seumur hidupnya.
“Apa kau
sudah menemukan orang itu kapten..?” gumam Rhein.
Rivaille
tak menjawab pertanyaan itu ia menaruh berkas yang maih dipegangnya ditempatnya
lagi dan beranjak hati-hati agar tidak menginjak kertas yang berserakan
dilantai. “Oi.. apa kau mau menemaniku minum secangkir teh? Sebenarnya.. Ini
bukan permintaan, tapi perintah!” seru Rivaille, ia telah berdiri didekat pintu
kamar Rhein menunggu gadis itu mengiyakan ajakannya.
Rhein
menatapnya dengan tatapan lelah lalu tersenyum, ia berjalan mendekati Rivaille
dan pria itu membukakan pintu untuknya. “Kau benar-benar menyebalkan Rivaille..”
serunya dengan wajah penuh senyuman. “I hate you..”
Keduanya
beranjak menuju dapur, ruangan itu sangat sepi hanya ada mereka berdua dan
sepertinya semua orang telah tertidur. Rivaille sibuk mencari-cari teh dilemari
suplai sementara Rhein memasak air panas. “Kau duduk saja, biar aku yang
mengerjakannya,” pinta Rivaille sewot.
“Terima
kasih, aku tahu kau juga lelah.. bagaimana kalau kita membagi pekerjaan ini
agar terasa lebih mudah, tuan menyebalkan?” seru Rhein. Rivaille menemukan
tehnya dan berjalan mendekati Rhein, tatapan matanya tak berubah masih sedingin
biasanya dan tanpa ekspresi.
Rivaille
memasukkan beberapa daun teh dalam air yang telah mendidih itu lalu mematikan
apinya setelah dirasa cukup matang. Ia menyaring daun teh itu seperti seorang
profesional, Rhein mengamatinya seksama dengan ekspresi agak melamun.
Rivaille
menaruh dua blok gula kedalam cangkir teh untuk Rhein lalu mengaduknya
perlahan. Ia membawa dua cangkir berisi teh itu dan menaruhnya di atas meja
makan. Rhein mengekorinya dan duduk dikursi yang ada di sebelah Rivaille.
Rivaille merapatkan jarak diantara kursi mereka.
“Minumlah,”
titah Rivaille, ia menunggu Rhein meminum teh buatannya sebelum meminum tehnya
sendiri. Ia terus mengamati gadis itu hingga Rhein meneguk tegukan pertamanya.
“Hmm,
aku malu mengakui ini tapi teh buatanmu lebih enak daripada buatanku..” keluh
Rhein.
“Tapi
aku lebih suka teh buatanmu,” balas Rivaille sambil meminum tehnya sendiri,
kata-katanya membuat Rhein melirik perlahan dan menatapnya dari sudut matanya.
“Apa aku memang menyebalkan?” celetuknya lagi.
“Hmm?”
“Kau
bilang aku menyebalkan dan juga membenciku.. apa aku memang seburuk itu, kadet?”
tanya Rivaille matanya menerawang menatap cangkirnya.
Rhein
menatap Rivaille sambil tersenyum ia menopang kepalanya dengan tangannya yang
tersampir diatas meja. “Ya.. kau memang orang yang sangat buruk, menyebalkan
dan aku membencimu, kapten..”
Rivaille
menoleh perlahan menatap Rhein yang tersenyum memandangnya. Ia menghela napas
panjang dengan wajah tanpa ekspresi. “Seharusnya kau tidak tersenyum ketika
mengatakannya..”
“Kenapa?”
“Kau
membuatku tidak yakin dengan kata-katamu, mungkin kau membenciku tapi aku tidak
akan mengubah keputusanku.. aku tak peduli kau membenciku, karena membuatmu
berada disisiku adalah hal yang kuanggap benar untuk kulakukan dalam hidupku,”
jawab Rivaille dengan intonasi dingin dan kembali meminum tehnya.
Sebuah
kecupan kilat mendarat dipipi Rivaille membuat wajahnya mulai merona merah.
“Kau memang menyebalkan Rivaille.. sikap memaksamu sangat menyebalkan..” bisik
Rhein. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Rivaille dan menempelkan bibirnya
dibibir Rivaille, Rhein menutup matanya dan merasakan tiap inci dari lekuk
bibir Rivaille yang hangat, ia membuka bibirnya dan melumat lembut bibir
Rivaille. Rivaille meletakkan tangannya diatas punggung kursi Rhein dan
menyentuh bahunya, lalu mulai membalas kecupan gadis itu. Aroma mint dari tubuh
Rivaille kembali menyelubunginya.
Rivaille
mendorong lidahnya masuk kedalam mulut Rhein. Sementara Rhein dapat merasakan
lidah mereka menari dan saling bertautan satu sama lain hal itu membuat
perasaan keduanya bahagia. Ciuman itu semakin memanas dan semakin intense
hingga membuat keduanya sulit untuk bernapas. Rivaille memutuskan untuk
menghentikan ciuman mereka dan menjauhkan bibirnya dari bibir Rhein.
Wajah Rhein
terlihat lebih cerah karena rona merah dipipinya, rasa lelah kini telah hilang
dari tubuhnya, baginya ciuman Rivaille seperti sebuah obat penghilang rasa
sakit. Ia tersenyum menatap wajah tanpa ekpresi Rivaille. “Apa kau sudah paham
arti dari kata ‘aku membencimu’ tuan menyebalkan?” seru Rhein.
Rivaille
mengernyitkan dahinya. “Mh.. sepertinya kau harus mengulang penjelasanmu
barusan, kadet..” bisik Rivaille ditelinga Rhein. Membuat Rhein berusaha
mengontrol tawanya yang akan meledak.
Terdengar
suara langkah menuruni tangga, Rhein menatap pintu dengan wajah panik sementara
Rivaille telah bangkit dari kursinya dan menarik cepat lengan Rhein. Jean
muncul dari pintu dapur sambil menguap lebar, ia menatap dua cangkir teh yang
tergeletak diatas meja.
“Tck,
siapa yang meminum ini tapi tidak membereskannya.. merepotkan saja,” gerutunya
sambil mengangkat dua cangkir itu dan membuang isinya lalu mencuci
cangkir-cangkir itu dan meletakkannya dengan rapi di rak piring. Ia meminum
segelas air putih lalu menguap lagi dan berjalan perlahan keluar dari dapur
terdengar langkah kaki menaiki tangga hingga akhirnya suara langkah itu
samar-samar menghilang di anak tangga teratas.
“Tck,
muka kuda sialan itu.. bisa-bisanya dia membuang teh buatanku,” gerutu Rivaille
sebal.
“Hahaha,
kau bisa menghukumnya besok pagi kapten. Sepertinya Jean sudah pergi, kita
sudah bisa keluar sekarang..” ajak Rhein, namun Rivaille menutup lagi pintu
lemari suplai itu. “Ada apa?” tanya Rhein bingung.
“Apa kau
ingat bahwa aku berjanji akan memberimu penjelasan tentang sebuah permainan
khusus?”
“Hmmm.. yaa..”
jawab Rhein ragu.
“Aku
ingin menjelaskannya sekarang,” seru Rivaille dengan wajah serius tanpa ekspresi.
“Mh, ten~tu..
tapi ini kan lemari suplai, apa tidak lebih baik jika kita duduk dikursi makan
supaya kau bisa menjelaskannya dengan lebih mudah?”
“Sebenarnya
ini tempat yang sangat sempurna untuk menjelaskannya..” gumam Rivaille sambil
mengelus tengkuknya dengan wajah merona. Hal yang tidak pernah ia perlihatkan
pada orang lain selain di depan Minazuki dan kini Rhein. “Tapi kalau kau keberatan
mungkin kita memang harus menghentikan ini..” seru Rivaille raut wajahnya
menjadi muram, terlihat murung dan kecewa. Ia melepaskan pelukannya ditubuh
Rhein dan mendorong kenop pintu lemari suplai agar terbuka, namun langkahnya
terhenti ketika ia merasa sesuatu menarik bajunya.
Rhein
tidak bergerak seinci pun ia menundukkan wajahnya sementara tangan kanannya
menarik baju Rivaille. Pria itu menatap Rhein lagi-lagi dengan wajah tanpa
ekspresinya dan dengan cepat ia menarik kembali kenop pintu agar lemari itu
tertutup sempurna. “Sepertinya aku menjatuhkan sesuatu di dalam sini, kadet kau
harus membantuku mencarinya hingga ketemu,” seru Rivaille.
“Hmmm.. sepertinya
kau menjatuhkan barang yang sangat penting Kapten..” balas Rhein. “Sebenarnya..
sementara mencarinya kau bisa sambil menjelaskan padaku tentang permainan yang
kau bilang tadi,”
“Kadet, apa
kau pernah dengar tentang permainan tujuh menit menuju surga?” tanya Rivaille,
ia merapatkan tubuhnya dan tangannya menyentuh pipi Rhein.
“Hmm..
seperti apa permainannya..?”
“Tck,
kau memang idiot.. sepertinya aku harus mengajarimu secepatnya agar kau bisa
lebih cepat mengerti. Ini perintah! Kau tidak boleh berisik jika tidak ingin orang
lain memergoki kita..”
“Hmm,
apa aku punya pilihan lain?”
“Shut
up, brat,”
*
* *
It's Ok... :')
0 comments:
Post a Comment