Friday 18 September 2015

Modern AoT : Chapter 4 [SECRET LESSON WITH MY BOSS]

BY Unknown IN No comments




SECRET LESSON WITH MY BOSS

Cast    : Levi Ackerman x Reader (In my case : Lucy Alsei)
Genre  : Romance, Mature
Song   : One Directions (Drag me down cover) by Tyler Ward & Chris CollinsOne Direction - Drag Me Down by Tyler Ward & Chris Collins Acoustic Cover

CHAPTER 4

So here i am.. tempat yang sangat kusukai namun hari ini menjadi tempat yang sangat tidak ingin kudatangi.

“Hhhh...” aku hanya bisa mendesah dengan tatapan kosong saat menatap pintu besi itu.

          “Hei Horse dung.. what are you doing?”

          Suara itu.. Jean. Ia berdiri tepat di sebelahku, menatapku yang masih terbengong-bengong dengan pandangan bingung.

          “Ha?” kepalaku penuh dengan berbagai macam pikiran, membuatku tak bisa mencerna pertanyaan Jean barusan.

          “Kau tinggal memencet tombol ini kan?” Jean memencet tombol lift dan pintu besi itu pun terbuka ia pun segera masuk ke dalamnya lalu menatapku lagi sambil mendelikkan mata. “Horse dung.. apa kau akan jadi penjaga pintu lift dan berdiri disitu seharian? Come in!” serunya sembari menarik tanganku agar segera masuk kedalam lift lalu dengan segera memencet tombol 15, pintu besi pun kembali menutup. Kami berdua terdiam menunggu lift sampai di lantai 15 tempat kami bekerja.

          “(y/n)/Lucy.. are you okay?” tanya Jean setelah beberapa detik kami terdiam.

          Aku menatapnya dan tersenyum paksa. “Yeah, I feel good.. oh ya Jean.. can you stop called me ‘horse dung’?” jawabku sambil mendelik padanya.

          “No I can’t.. but you can talk to my hand horse dung...” jawab Jean sambil tersenyum jahil ia meletakkan tangan kanannya di wajahku yang langsung kutepis cepat. “Kenapa dengan wajahmu itu, hah? Sepertinya ada seseorang yang melempar kotoran kuda dan... bukk!! Tepat mengenai wajahmu,” serunya lagi sambil memperagakan gerakan melempar kotoran kearah wajahku.

          “You can talk to my hand jerk and please stop doing that thing,” jawabku cuek sambil mengangkat tangan kananku namun tidak menempelkannya di wajah si horse face.
         
          Jean terkekeh pelan sambil melirikku. Entah kenapa aku merasa kesal melihatnya.. yah, aku tahu sih dia hanya bercanda. “I knew it...” serunya tertahan menatapku dengan senyuman jahil sambil menggigit pelan bibir bawahnya. Aku hanya bisa menghela napas malas dan tak ingin menanggapinya. Shit! Kenapa lift ini lama sekali sih?

Jean mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik pelan. “Apa kau masih terbayang ciuman lidah malam itu?”

Hah?! Jangan-jangan... dia melihatnya?? Aku dan Levi...?? Apa dia sedang membahas game kemarin?

“Tampaknya ciuman itu sangat  spesial..” sambung Jean lagi.

Ku telan ludahku dengan susah payah, dari semua orang yang ada di muka bumi ini kenapa justru Jean?? Jean si mulut besar!! Ku harap yang dia maksud bukan si shorty Levi.

          “Itu cuma ciuman Jean.. apa kau tidak pernah melakukannya?”

          Ting! Jegrek!!

          Pintu lift menjeblak terbuka dan dengan seketika semua mata menyambut kami. Aku bahkan bisa melihat ‘orang itu’ sedang menatap kami, sialnya.. Jean berdiri sangat dekat denganku.

          Jean keluar dari dalam lift sambil terkekeh. Rasanya aku ingin bolos kerja saja. “Come on!” serunya sambil menarik lenganku agar segera keluar dari lift. Kami berdua berjalan beriringan menuju kearah meja masing-masing. Aku bisa melihat bos kami.. Levi, sedang berbicara dengan Petra. Saat ku lihat wajah Petra yang tampak bahagia entah kenapa aku merasa bete, tak lama kemudian Levi masuk lagi ke dalam ruangannya.

          “Hai (y/n)/Lucy!” sapa Petra dengan senyuman lebar. Aku pun membalasnya dengan senyuman lebar, lalu kami berdua mulai berbincang sebentar sebelum memulai rutinitas kerja yang padat.

          “Bagaimana weekendmu?” tanya Petra.

          Aku teringat pada Levi yang menginap di apartemenku kemarin. “Umm.. biasa saja, sama seperti biasa.. mencuci, menyetrika, bersih-bersih... tak ada yang spesial,” jawabku kaku.

          “Apa kau baik-baik saja?” tanya Petra dengan tampang khawatir.

          “Apa maksudmu? Tentu saja.. memangnya aku kenapa?”

          “Ah.. nggak, syukurlah kalau memang tak apa-apa.. semua orang masih membicarakan game minggu kemarin, sebaiknya kau jangan dekat-dekat Mikasa dulu, saat ini dia masih sensitif,”

          “Yeah.. aku sudah bisa mengiranya.. tapi, terima kasih sudah mengingatkan. Baru saja aku akan menghampiri dia.. menanyakan masalah pekerjaan,”

          Pintu lift kembali menjeblak terbuka dan aku pun kembali ke mejaku. Terdengar suara riuh Jean yang menyebalkan memenuhi ruangan. Semoga saja Levi meneriakinya.

          “Hai (y/n)/Lucy,” sapa sebuah suara yang ku kenal. Ternyata Eren, aku tersenyum manis dan membalas sapaannya. Aneh sekali kenapa pagi-pagi begini dia sudah menyapaku, padahal sebelumnya dia tidak pernah melakukannya. Tak lama kemudian Armin muncul dan mendatangi mejaku untuk menyapa.

          “Ini untukmu..” seru Armin sambil meletakkan sebuah gelas di atas mejaku. Saat menghirup aromanya aku kembali tersenyum senang.

          “Latte?” tanyaku senang, Armin hanya mengangguk dengan wajah tersipu lalu beranjak pergi. “Thanks Armin! Kau tahu saja kesukaanku,”

          Armin berbalik memandangku dan berjalan mundur sambil membalas kata-kataku. “It’s okay, I’m glad you like it (y/n)/Lucy!” dan ia pun dengan sukses jatuh tersandung tempat sampah yang ada di dekat meja Mikasa. “I’m okay!” pekiknya sambil berusaha berdiri saat melihatku berdiri dari kursiku.

          Mendapat segelas Latte panas di pagi hari yang tak kusukai sedikit membuatku merasa tenang. Setidaknya Armin dan Latte adalah dua hal baik untukku pagi ini.

          “So.. aku ingin tahu bagaimana rasanya?” Reiner muncul dan memberiku beberapa berkas yang ia pegang.

          Aku menatapnya bingung dan mengambil berkas yang ia tujukan padaku. “What do you mean? You wanna try this?” ku sodorkan gelas Latte-ku kepada Reiner agar dia bisa mencobanya.  “Armin bought me a Latte and  it taste pretty good..” sambungku lagi sambil memeriksa berkas.

          “I’m not talking about your addicted coffee..”

          “So..?”

          “Armin dan Eren benar-benar beruntung..”

          Aku menatapnya dengan tatapan tak percaya dan tersenyum kecil. “ Oh.. jadi kau ingin membahas soal ciuman kemarin? Sebaiknya lupakan saja Reiner.. aku banyak pekerjaan jadi kau bisa kembali bersantai di kursimu sekarang,” balasku.

          “Too cold..”

          I don’t want to deal with it again.. so, you better forget about the games.. okay? I’m done,”

          “They said that you have a..” tapi Reiner tidak melanjutkan kata-katanya ia terdiam menatapku.

          “What? What are they talking about?”

          “Tck.. just forget it.. aku tahu kau tidak tertarik,” balasnya lalu beranjak dari mejaku. Reiner memang menyebalkan. Ia sukses membuatku merasa penasaran. Tapi aku tak akan terkecoh dengan kata-katanya barusan.

          Pintu di belakangku terbuka dan Levi keluar dengan beberapa berkas baru di tangannya. Ia berjalan pelan kearahku namun matanya masih sibuk membaca berkas.

          “Sortir berkas ini dan buat laporannya, kirim filenya ke e-mailku..” serunya sembari meletakkan tumpukan berkas itu di mejaku lalu beranjak masuk kedalam ruangannya lagi. Ia bahkan tak sedikitpun menatapku.

          Sebenarnya aku sangat ingin tahu bagaimana reaksinya setelah kejadian kemarin, tapi tampaknya dia sudah melupakannya karena sikapnya tampak sangat santai dan biasa saja.

          “(y/n)/Lucy do you have a time?” sapa Eren yang kini telah berdiri di dekat mejaku.

          “Time for what? I have too many bulshit on my desk and they are waiting to be solved, you better make it fast..”

          “I just wanna ask you something..”

          “Okay..”

          “Apa malam ini kau bebas?”

          “Ya, aku ada waktu bebas sekitar dua jam sebelum kembali kerumah. Ada apa?”

          Eren menyodorkan dua tiket nonton bioskop padaku. “Apa ini?”

          “Ini tiket bioskop, apa kau tidak tahu?” jawab Eren. Aku merasa bodoh karena kurang jelas mengungkapkan maksudku yang sebenarnya.
          “Aku tahu ini tiket bioskop, tapi kenapa kau memberiku ini? Tiketnya Cuma ada dua saja?”

          “Ya, aku hanya punya dua tiket saja. Ayo kita pergi nonton, filmnya sangat bagus..”

          “Umm.. kupikir bukan ide bagus kalau kau mengajakku.. harusnya kau mengajak Mikasa. Maaf tapi aku tak bisa pergi bersamamu, kau ajak saja Jean kalau Mikasa juga tidak bisa pergi,” tolakku lalu mulai melanjutkan kegiatanku lagi. Levi memberiku begitu banyak pekerjaan hari ini, bahkan yang tadi di serahkan Reiner belum sempat kuselesaikan dan kini Eren datang menggangguku.

          “No way! Kau tahu kalau itu mustahil kan? Ayolaahh.. aku sengaja memilih film dengan genre yang kau sukai.. action detective,” paksa Eren.

          Aku hanya bisa menghela napas menjawab ajakan Eren.

          “(y/n)/Lucy kau tahu kafe kopi yang baru buka di ujung jalan? Mereka menyajikan jenis kopi yang baru..”
         
          Armin tiba-tiba muncul dan menyodorkan sebuah brosur padaku. “Brosur apa ini?”

          “Kau sangat suka menulis blog kan? Tempat itu sangat bagus dan ada perpustakaan cukup lengkap didalamnya, orang-orang bisa berselancar internet dan membaca buku sambil bersantai dan minum varian kopi baru..” Ku baca brosur itu sementara Armin menjelaskan. “Kalau mau kita bisa pergi setelah pulang kantor nanti..”

          “Whoa, whoa, whoa... what do you mean?” potong Eren. “Kau mau mengajaknya pergi? Kau tidak lihat aku yang lebih dulu mengajaknya?”

          “Aku hanya menawarkannya tempat baru ini, kalau dia suka kami akan pergi.. apa kau keberatan?” tanya Armin dengan wajah serius.

          “Tentu saja! Aku yang lebih dulu berada disini dan mengajaknya..”

          Oh man.. sepertinya aku paham situasi saat ini.. aku bisa melihat Mikasa sedang mendelik menatap kami bertiga dari mejanya yang jauh diseberang sana.

          “Guys... maaf tapi aku tak bisa menerima ajakan kalian.. aku baru ingat ada hal lain yang harus ku lakukan malam ini,”

          “Bulshit.. kau cuma mau menghindar dan bilang akan melaundry pakaianmu lagi sama seperti biasanya..” balas Eren.

          “Ya benar.. kau tidak boleh terus menghindar..”

          “Aku tidak menghindari apapun, aku... harus bertemu seseorang malam ini.. makanya aku tak bisa menerima ajakan kalian,” Eren dan Armin terdiam menatapku ada raut kecewa tersirat di wajah mereka.

          “Kau bohong.. kau bahkan tidak punya pacar..” cecar Eren.

          “Kau tidak perlu berbohong kalau memang ingin menolak kami..”

          “Hei, kenapa jadi serius? Kita bisa pergi lain kali bersama yang lain kan?”

          Pintu di belakangku kembali terbuka dan Levi keluar dari ruangannya berjalan santai lalu menegur kami bertiga. “Apa kalian sedang bersantai, little shitty brat?” tanyanya.

          “No sir, ada beberapa berkas yang sedang kami tanyakan pada (y/n)/Lucy..” jawab Eren kaku.

          “Lalu.. apa kalian sudah mendapat jawabannya?”

          “S-sudah sir!”

          Eren dan Armin kembali kemeja mereka masing-masing dengan perasaan kecewa. Aku pun bisa dengan lega kembali melanjutkan pekerjaanku.

          “Oi brat, aku akan keluar untuk suatu urusan.. ini berkas baru aku ingin kau menyelesaikannya hari ini juga,” Levi menaruh beberapa berkas baru lagi di atas mejaku. “Sepertinya aku akan lama, tapi jangan lupa menyortir berkas-berkas ini. Lakukan serapi mungkin dan cek ulang, aku tidak ingin menerima hasil yang setengah-setengah..”

          “Baik, sir..”
         
          Sepeninggal Levi, aku segera berjalan menuju dapur menghindari Eren dan Armin tapi tak kusangka kalau Jean akan mengikutiku.

          “Mereka berdua sangat gigih ya,” tegur Jean saat aku sedang menyeduh teh untuk diriku sendiri.

          “Yeah.. dan ini semua salahmu..” protesku.

          Jean terkekeh pelan lalu mengambil gelas dan membuat kopi. “Sepertinya mereka berdua benar-benar terpikat dengan pesonamu..”

          “Oh, shut up Jean.. aku tak ingin membahas game konyolmu itu lagi,”

          “Apa kau sudah dengar komentar mereka tentang ciuman kemarin?”

          “Aku tidak ingin tahu,”

          “Eren bilang ciumanmu seperti racun..”

          “Oh man.. dia pikir aku siapa? Poison ivy? Dia terlalu banyak nonton Batman.. untung saja dia tidak keracunan ciuman” jawabku setengah bercanda.

          “Apa kau tidak lihat aksinya tadi saat mendekatimu? Tentu saja dia sedang keracunan..”

          Aku terkekeh pelan. “Tampaknya kau mendapat tontonan yang menarik Jean..”

          “Armin bilang bibirmu sangat lembut dan rasanya semanis gula..”

          “Armin sangat  cute.. aku merasa seperti sepotong Pancake..”

          Jean tertawa tertahan. “Sebenarnya.. banyak yang ingin mendapat kesempatan itu.. tapi sayangnya dua anak itu yang lebih beruntung.. oh ya aku ingin bertanya satu hal tentang permainan minggu kemarin..”

          “Kenapa kalian suka sekali membahas game konyolmu itu sih?”

          “Ah, aku cuma ingin tahu.. saat kau melakukan Game french kiss kemarin apa kau melakukannya dengan sungguh-sunguh?”

          “Hmm, aku memang mencium mereka tapi tidak se-spesifik yang seharusnya sih, hehehehehe”

          “Shit! Mereka membohongiku! Mereka berdua bilang kau mencium menggunakan lidah, aku tahu kau tak akan melakukannya,” geram Jean. “Sebaiknya kau segera meminum tehmu dan segera lanjutkan pekerjaan.. aku akan membuat perhitungan dengan mereka berdua,”
         
          Jean berjalan meninggalkanku dan aku pun kembali teringat tumpukan berkas yang ada di meja. Oh man.. sepertinya hari ini aku akan lembur sampai malam.

* * *

          Akhirnya Eren dan Armin menyerah mengajakku keluar. Tak kusangka sebuah permainan dapat merubah seseorang yang tadinya selalu bersikap biasa sekarang justru bersikap tidak biasa. Berkas yang banyak ini berhasil membantuku menolak ajakan mereka, tapi tetap saja aku harus kerja lembur malam ini. Semuanya sudah pergi saat pintu lift terbuka dan Levi muncul kembali dengan tampang mengkhawatirkan, tampaknya ia sangat bete.

          “Tampaknya kau sedang lembur, brat..” sapanya saat melihatku masih berada di mejaku.

          “Ehm ya, tapi sebentar lagi pekerjaanku selesai sir..”

          Tak kusangka melihat wajah tanpa ekspresinya yang dingin membuatku merasa sedikit tenang.

          “Cepat selesaikan pekerjaanmu agar kau bisa segera pulang atau.. kau bisa menundanya besok saja,” serunya lagi lalu beranjak menuju ruangannya.

          “It’s okay.. sebentar lagi selesai kok..”

          Levi menatapku. “Pulanglah dan tinggalkan pekerjaan itu..” serunya lagi lalu membuka kenop pintu ruangannya.

          “Ah, apa kau baik-baik saja.. Levi?”

          Tak kusangka aku akan menyebut namanya.. tapi.. kurasa tak apa-apa karena dia memang selalu menyuruhku begitu saat kami sedang berdua.

          Ia berhenti dan berbalik menatapku sejenak. “I got a lot of shit today and yes I’m fine..”

          “You want some tea?”

          “I’ll be waiting in my room.. jangan terlalu lama,”

          God, kenapa aku malah jadi berdebar mendengar kata-katanya. Tapi yang terpenting tampaknya ia sedang merasa tidak baik, teh kesukaannya pasti bisa membangkitkan jiwanya yang sedang merasa kehausan. Sepertinya urusan yang sedang ia kerjakan berjalan tidak begitu baik.

          Ku ketuk pelan pintu ruangannya dengan tangan memegang nampan berisi cangkir teh hangat.

          “Come in,” suara dingin itu menyambutku dan aku pun masuk kedalam ruangannya.

          “Silakan diminum,”

          Ku letakkan cangkir teh itu dihadapannya namun ia hanya menatap cangkir itu dalam diam. Aku ingin tahu apa yang terjadi dengannya, setidaknya dia bisa menceritakan masalahnya padaku meskipun aku tahu tak ada gunanya karena belum tentu aku bisa memberinya sebuah ide yang bagus.

          “Aku akan membiarkanmu istirahat,” gumamku dan beranjak menuju pintu.

          “Sit down,”

          “Hm?”

          Asseyez-vous une minute, je veux voir votre visage[1]

          Aku tersenyum mendengar kata-katanya barusan. “Levi.. aku nggak ngerti arti kata-katamu, tapi.. bukankah itu bahasa Prancis?” tanyaku sambil mengikuti permintaan awalnya yang menyuruhku untuk duduk.

          “Shit.. pourquoi avez-vous un beau sourire?[2]

          Aku kembali tersenyum bingung mendengar kata-kata keduanya. Aku tahu itu bahasa Prancis dan dia sangat mahir karena lahir dan besar di sana. Tapi tetap saja aku tak mengerti.

          “Kita bisa mencoba berbincang dengan bahasa yang lebih ku pahami, aku tahu kau sangat mahir bahasa Prancis.. tapi..”

          “Tck.. Vous êtes vraiment très jolie,”[3] lanjutnya lagi tanpa menghiraukan permintaanku.

          Aku merasa bodoh luar biasa, harusnya aku paham bahwa dia saat ini sedang bete dan ingin melontarkan kata-kata yang sebaiknya tidak ingin kudengar. Makian seperti biasa, dia sedang kesal dan ingin meluapkan amarahnya meskipun ekspresinya selalu datar.

          “Tck.. apa kau sama sekali tidak mengerti?” tanyanya dengan suara pelan menekan. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan mengitari meja, ia melonggarkan dasi abu-abu itu dan melepas tiga kancing baju teratasnya. Lalu melipat rapi dasi yang telah ia lepas dan menaruhnya di atas meja.

          Ia pun duduk di atas meja di depanku, menatapku dengan tangan terlipat didada. Aku tak bisa membalas tatapannya. Entah kenapa saat ini lantai terlihat jauh lebih menarik daripada sosok Levi.

          “Aku sedang bertanya tentang pekerjaanmu, brat.. dan kau sama sekali tidak paham?”

          “Oh.. kau ingin melihat berkas tadi siang? Tenang saja aku sudah menyortir dan merapikan isinya, akan ku ambilkan untukmu kalau kau ingin melihatnya..”

          “Tak perlu.. par rapport à cette merde, je préfère vous voir,[4]

          “Apa urusanmu tidak berjalan baik? Kalau ada yang ingin kau katakan aku akan mendengarkan,” tanyaku berusaha memahami keadaannya, tapi entah kenapa aku terdengar kepo.

          “Urusanku tidak begitu penting.. kau benar-benar tidak bisa bahasa Prancis tapi bisa-bisanya kau bekerja untukku..”

          Aku hanya bisa terbengong ria mendengar kata-katanya. “K-kalau begitu aku akan belajar.. aku hanya belum ada waktu luang untuk pergi ketempat kursus,”

          Levi menghela napas mendengar penuturanku. “Sekarang dengarkan kata-kataku lalu cobalah untuk melafalkannya dengan baik..”

          “Tampaknya aku akan mendapat kursus gratis hari ini..”

          Levi terdiam sejenak dan ia terlihat sedang berpikir.

          “Hmmm.. Je Lucy Alsei cette époque, je travaillais comme secrétaire de la division de trois..”[5] gumam Levi menatapku.

          Je Lucy Alsei cette.. e-époque.. je travaillais comme.. secrétaire de la division de trois,” ulangku. Aku hanya bisa menghela napas dan mencoba mengikuti pelafalan yang ia ucapkan.

Je ne parle pas faite thé français mais très savoureux,”[6] gumamnya lagi dengan wajah super serius.

Je ne parle pas faite.. thé français mais.. très savoureux, errr... apa pengucapanku sudah benar?”

          Je endors souvent tout en regardant un film avec mes amis mais je suis un travailleur acharné parce que ce mon patron m'a aime,”[7] gumamnya lagi sambil mengetuk-ngetuk sepatunya kelantai.

          Je endors.. souvent tout.. en regardant un film.. avec mes amis mais.. je suis un travailleur.. acharné parce que ce.. mon patron m'a aime,”

          Je avait une belle lèvres minces, de sorte que mon patron était bouleversé quand je baisais Eren et Armin,”[8] kini Levi kembali menatapku dengan tatapan dinginnya.

          Je avait une belle lèv.. levres minces..  de sorte que mon.. patron était bouleversé.. quand je baisais Eren et Armin. Apa kita sedang menggosipkan Eren dan Armin?”

                Je suis stupide parce qu'ils ne savent pas si mon patron a été pranking,”[9]

          “Hmm.. Je suis stupide parce.. qu'ils ne savent pas si mon patron.. a été pranking,”

                Levi terkekeh pelan lalu ekspresinya kembali dingin. Sayangnya aku tak bisa melihat ekspresinya barusan karena saat menatapnya senyuman itu sudah lenyap. “Bien entendu, ce cours est pas libre et je vais payer mon patron,”[10]

          “Kenapa kau tertawa? Apa aku salah melafalkan?”

          “Tck, dengarkan baik-baik.. ayo ulangi.. Bien entendu, ce cours est pas libre et je vais payer mon patron,” ulangnya lagi.

          Bien entendu..  ce cours est pas libre et je vais payer mon patron,”

          Levi kembali terdiam dan memikirkan sesuatu.

          “Apa kita sudah selesai?”

          Ia mengangguk pelan. “Apa kau sudah siap membayarku?”

          Aku hanya bisa mengerutkan dahi dan tersenyum tak percaya. “Are you playing with me, sir..?”

          “Barusan kau bilang akan membayarku,”

          Harusnya aku bisa lebih cepat menyadarinya, dia tak mungkin membicarakan soal pekerjaan saat berbahasa Prancis. “Oh, jadi kalimat yang terakhir tadi.. ku pikir ini gratis..”

          “Di dunia ini tak ada yang gratis stupid brat..” jawabnya diplomatis.

          “Okay, I will pay you, but.. I dont have much money..”

          “Kau bisa bayar dengan cara lain..”

          Cara lain? Apa maksudnya? Apa dia sedang berbicara tentang sesuatu yang seharusnya tak diungkapkan? Shit! Kenapa aku memikirkannya. “Are you serious?”

          Levi berdiri dan berjalan mengitari kursiku lalu berhenti tepat di depanku, ia membungkuk hingga wajah kami berdekatan. Wangi tubuhnya yang segar meskipun sudah seharian bekerja menguar didekat hidungku.

          “Of course... I’m just messing with you, aku tahu kau tak akan sanggup membayar guru privat sepertiku,”

          Shit! Lagi-lagi dia mengerjaiku, ku pikir dia akan menciumku dengan tiba-tiba. Levi menjauhkan wajahnya dan berjalan menuju pintu. Terdengar suara pintu dibuka.

          “Sebaiknya kau pulang sekarang, sudah jam segini aku tak ingin menahanmu lebih lama lagi meskipun aku ingin,”

          Aku pun bangkit dari kursi dan memandangnya. Pintu ruangannya sudah terbuka setengah dan ia berdiri di dekat pintu itu menungguku pergi dari ruangannya. Oh.. sekarang dia mengusirku agar segera pergi.

          “Baiklah.. aku akan pergi”, balasku mengingat tujuan pertamaku tadi hanya ingin menjadi teman curhatnya tapi justru gagal total karena tampaknya dia sedang mengerjaiku. Segera pergi dari kantornya secepat mungkin adalah pilihan paling baik.  

          Tapi dengan jarak sedekat ini aku bisa melihat wajah tampannya yang sebenarnya tampak lelah. “Sebaiknya kau juga segera pulang dan istirahat.. Terima kasih untuk kursusnya sir..” ujarku berjalan keluar pintu.

          “Oi stupid brat..”

          Aku berbalik dan menatapnya, ia menggerakkan jarinya sebagai isyarat agar aku kembali mendekat.


          Masih sibuk bertanya-tanya dalam hati kenapa Levi memanggilku tangannya justru lebih dulu meraih kepalaku sebelum bibir dinginnya menerpa bibirku. Bibirnya bergerak perlahan.. it’s really soft.. feels like I can’t resist his lips for the rest of my life. Ini sangat berbeda dengan deep kiss ketika dia sedang mabuk.

          Perlahan ia menjauhkan bibirnya dari bibirku. Aku hanya bisa menatapnya diam tanpa suara. “Shit, Eren et Armin embrssent vraiment.. aussi doux que le sucre et horse comme un poison,[11]

“Apa artinya sir?”

Ia menatapku diam selama beberapa detik sebelum menjawab pertanyaanku. “Artinya cuci kakimu sebelum tidur. Sekarang pulanglah, sisanya kita lanjutkan lagi besok,”

* * *

Thanks for your time! :)) I hope you like it and enjoy it




Note :

[1] “Duduklah sebentar, aku ingin melihat wajahmu”
[2] “Sial, kenapa kau punya senyuman yang indah?”
[3] “Tck.. Kau benar-benar cantik,”
[4] “Dibandingkan omong kosong itu, aku lebih suka melihatmu”
[5]Aku (y/n)/Lucy Alsei, saat ini bekerja sebagai sekretaris divisi tiga,”
[6] “Aku tak bisa bahasa prancis tetapi teh buatanku sangat enak,”
[7] “Aku sering tertidur saat menonton film bersama teman-temanku tapi aku adalah seorang pekerja keras karena itulah bosku menyukaiku,”
[8] “Aku punya bibir tipis yang indah, makanya bosku merasa kesal saat aku mencium Eren dan Armin,”
[9] “Aku bodoh karena tidak tahu kalau bosku sedang mengerjaiku,”
[10] “Tentu saja kursus ini tidak gratis dan aku akan membayar bosku,”
[11]Eren dan Armin benar ciumanmu semanis gula dan mematikan bagai racun,”

0 comments:

Post a Comment