Saturday 31 October 2015

Modern AoT : Chapter 8 [SECRET LESSON WITH MY BOSS]

BY Unknown IN 4 comments



SECRET LESSON WITH MY BOSS

Cast    : Levi Ackerman x Reader (In my case : Lucy Alsei)
Genre  : Romance, Mature

Chapter 8
Aku tak bisa tidur nyenyak semalam. Tentu saja karena semalam aku terus memikirkan jawaban apa yang akan kuberikan pada Levi hari ini. Aku tidur larut malam dan bangun pagi sekali. Bahkan aku bisa berangkat kekantor dengan santai sambil mengantri untuk membeli kopi tanpa harus merasa khawatir akan ketinggalan bis.

Tapi ternyata..


“Aku sedang tak enak badan, jadi hari ini tolong kau batalkan semua rapat..” Levi berbicara dengan suara serak-serak basah dari seberang telepon.

“You okay?”

“Yeah I’m okay.. don’t worry,” bisa kudengar suara seraknya semakin menjadi dan tampaknya ia benar-benar tidak sehat.

“Apanya yang baik-baik saja? Pasti karena kejadian kemarin..suaramu jadi serak begitu,”

“Jangan khawatir, sexy morning voice.. aku baik-baik saja,” jawabnya lagi.

Entah kenapa ia sangat suka memanggilku dengan sebutan itu, tnetu saja setelah panggilan favoritnya yang lain ‘little shitty brat’. “Berhentilah menyebutku seperti itu.. aku akan mengatur ulang semua jadwalmu dan sebaiknya kau beristirahat saja untuk beberapa hari..”

“Oh ya.. setelah ini kau harus ke apartemenku, aku ingin kau membelikan beberapa obat,”
“Hmm..”

“Apa maksud ‘Hmm mu barusan’?”

“Baiklah.. aku akan membawakanmu obat kebetulan ada beberapa file yang harus kau tanda tangani,”

“Jangan terlambat..”
serunya lalu menutup telepon itu.

Keapartemennya?! Baru beberapa menit yang lalu aku sedikit merasa lega karena tak harus bertemu dengannya hari ini dan sekarang aku justru harus pergi ke apartemennya?

* * *

Aku baru saja selesai mengatur ulang jadwal rapat Levi dan sedang mempersiapkan beberapa berkas yang perlu ditanda tanganinya saat Petra muncul di mejaku.

“(y/n)?Lucy.. bagaimana kencanmu semalam? Ayo ceritakan!” interogasinya.

“Hmm.. tak ada yang spesial,” jawabku ragu. Tapi tampaknya Petra tak percaya dengan jawabanku karena dia mengerutkan dahinya. “Ya.. semalam aku bertemu Farlan dan kami banyak bercerita..”
“So.. apa kalian akan bertemu lagi?”
“Entahlah.. aku tak tahu..” aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat kejadian semalam yang cukup heroik.

Petra menatapku dengan ekspresi prihatin. Pasti dia berpikir kalau kencanku semalam gagal. Ya, dia memang benar.. kurasa kencanku semalam gagal total dan itu juga tak lepas dari bantuan bos kami.. Levi Ackerman yang telah meninju hidung Farlan hingga bengkok. “Hmm.. it’s okay just take it easy.. dia pasti akan menghubungimu lagi, aku yakin..” serunya berusaha menyemangatiku.

“Aku nggak apa-apa kok..” balasku tersenyum sambil mengemas semua barang-barangku.

Petra masih mengamatiku ingin tahu. “Where are you going? Kenapa berkemas?”

“Barusan Mr. Ackerman menelepon dan dia bilang hari ini tidak bisa bekerja, jadi aku harus membereskan beberapa kekacauan yang ia tinggalkan..”

“Oh.. baiklah, apa kau perlu bantuanku?”

“Tidak, aku bisa mengatasinya.. ah ini saja! Tolong kau serahkan ini pada Jean,”
ku sodorkan beberapa berkas dan roll film pada Petra. “Dia harus menginput foto dalam roll ini, deadlinenya besok, tolong kau beritahu dia.. aku akan pergi sekarang,”

“Baiklah, aku akan memberitahunya.. kau yakin ingin pergi sekarang? Kita bisa makan siang bersama sebelum kau pergi..”

“Maaf aku harus cepat..”
kuletakkan tasku dibahu dan beranjak pergi. “Jangan lupa untuk memberitahu Jean ya?”

“Tenang saja aku akan memberitahunya..”


Segera ku tinggalkan ruang lantai 15 dan menuju lift menekan tombol turun ke lobby. 10 menit sebelum jam makan siang aku telah meninggalkan kantor dan berjalan kaki melewati beberapa gedung perkantoran lainnya hinggga akhirnya sampai disebuah toko obat, seharusnya aku bisa membelikan obat yang lebih baik.. tapi aku tak punya resep dokter, dan si apoteker tak mau memberiku obat yang ku butuhkan. Akhirnya aku hanya bisa membeli beberapa vitamin dan obat flu ringan yang dijual untuk umum.

Saat sampai di apartemen Levi, seorang satpam menahanku dan saat ku bilang ingin bertemu Levi ia langsung tersenyum lebar dengan tampang yang sangat ramah.

“Anda Ms. Alsei..?” tanyanya dan aku megangguk mengiyakan. Tapi bagaimana satpam ini tahu namaku? “Silakan masuk nona, semalam Mr. Ackerman sudah berpesan agar aku mengijinkan anda masuk gedung ini,” serunya sembari menuntunku menuju lift dan ia bahkan memencetkan tombol itu untukku.

Oh begitu.. setidaknya pertanyaanku barusan sudah terjawab.

“Silakan, kamar Mr. Ackerman ada dilantai 15 nomor 1506,” serunya dengan senyuman ramah masih menghiasi wajahnya.

“Terima kasih,” gumamku sembari tersenyum. Pintu lift menutup dan lift itu bergerak membawaku kelantai 15 gedung apartemen besar ini.

Pintu lift menjeblak terbuka saat aku sampai di lantai 15. Dengan perasaan gugup aku pun memperbaiki baju kerja yang ku kenakan hari ini. Aku mengenakan kemeja biru laut yang simple, dengan rok selutut berwarna kuning pastel. Apa aku terlihat terlalu berlebihan? Oh! Kuharap tidak!

Ku peluk erat amplop coklat besar berisi berkas itu di dadaku sambil memeriksa nomor-nomor yang tertera di pintu kamar hingga akhirnya aku berdiri tepat di depan pintu kamar apartemen nomor 1506.

Sekali lagi kuperbaiki letak rambutku dan merapikan ulang bajuku sebelum memutuskan untuk memencet tombol bel, kutarik napas dalam-dalam dan tanganku tanganku belum menyentuh tombol bel namun pintu itu terbuka dan wajah tanpa ekspresi milik Levi muncul di balik pintu itu.

“Levi?”

Hari ini dia terlihat sangat casual dengan sweater abu-abu dan celana jeans biru dongker. Ada yang berbeda dengan tatanan rambutnya.. sangat berbeda dengan penampilannya ketika bekerja tapi tak kusangka dia akan serapi ini meskipun sedang berada di rumah.

“Tak kusangka kau akan datang tepat waktu..” gumamnya sembari melihat jam tangannya. Wajahnya terlihat pucat. “Come in..”

“.. bagaimana kau tahu aku yang datang? Aku belum menekan bel?”

“Cuma insting..”

“Hmm that’s weird, your face look so pale..”
gumamku sambil mengamati wajahnya yang terlihat sangat pucat.

Ia hanya mengawasiku dari sudut matanya yang berwarna abu-abu itu. Dengan suara berat dan serak ia menjawabku. “Bukankah sudah kukatakan aku sedang tak enak badan?” Tak kusangka ia juga punya suara serak yang cukup bagus.

Aku kembali tersadar sepenuhnya saat mata abu-abu itu kembali menatapku tajam. “Oh ya.. tadi aku mampir ke toko obat dan membelikanmu beberapa vitamin.. ini ambillah,” ku sodorkan bungkusan obat itu padanya. “Maaf, aku tak bisa mendapat obat yang seharusnya karena aku tak punya resep dokter..”
Ia meraih obat itu sekaligus menggenggam tanganku. “Masuklah kedalam.. sangat tidak sopan membiarkan tamu berdiri diluar,” pintanya dengan suara serak.

“Mm.. Aku kemari hanya untuk mengantarkan obat dan file yang harus kau tanda tangani..”

“Aku ingin mendengar jawaban dari pertanyaanku yang kemarin, masuklah sebentar..”
pintanya. Aku terdiam sejenak, berpikir apa aku harus masuk kedalam atau tidak. “Kenapa? Apa kau perlu bantuanku untuk membawamu masuk kesini?” Levi bergerak kearahku.

“No.. aku bisa sendiri,” dengan panik segera ku tolak tawarannya dan menarik tanganku dari pegangannya.

“Kau yakin? Aku bisa menggendongmu kalau kau masih bingung ingin masuk atau tidak..”

“Baiklah, baiklah, aku akan masuk.. kau tak perlu melakukan apapun untuk membantuku masuk kedalam,”

“Tck.. just come in..”
geramnya.

Ia mempersilakanku masuk ke dalam apartemennya yang besar dan terlihat sangat simple dan minimalis. Dengan sedikit dekorasi, sebuah kursi dan meja kerja dari kaca yang menghadap kearah dinding kaca yang menghadap ke sebuah jembatan besar dan sungai yang dikelilingi gedung-gedung besar lainnya. Lalu di sudut lain ada sebuah sofa bergaya modern minimalis berwarna abu-abu dengan sebuah televisi besar tertempel didindingnya. Ada beberapa pot tanaman dan rak buku yang tertata rapi. Secara keeluruhan ruangan itu didominasi oleh warna abu-abu, putih dan hitam.

“You have a nice apartment.. it’s a big place, look! You can see down there is a beautiful river and a bridge.. it’s so beautiful.. kau sangat beruntung bisa menikmati pemandangan ini setiap hari,”

“Kau suka pemandangannya?”

Aku mengangguk mengiyakan tanpa melepas pandanganku dari dinding kaca itu. “Tapi tempat ini sangat besar untuk ditinggali satu orang saja,” gumamku sambil mengamati ruangan apartemennya yang luas, tampak sangat bersih dan rapi.

“Jangan khawatir.. aku ditemani oleh Isabela,” celetuknya.

Kupalingkan wajahku padanya dengan dahi berkerut. “Isabela? Is she your girlfriend?”

Meow!
Tepat saat ku pikir aku telah melakukan kesalahan besar dengan masuk ke dalam apartemen Levi kucing berwajah marah itu muncul dari pintu lainnya dan ia berjalan dengan angkuh kearah kami.

“Aku tak mungkin pacaran dengan Isabela.. shitty brat, kau pikir dia seorang wanita?”

“A cat?”


Ku hampiri kucing berwajah tak ramah itu, dari sekian banyak jenis binatang. Tak kusangka dia akan memelihara seekor kucing jenis grumpy cat. “Be careful, dia suka mencakar orang yang tidak dikenalnya..”

“Oww.. you’re so cute!!”
dengan cuek kusentuh kucing itu dan menggendongnya. Dan.. dia tidak mencakarku? “Wow, dia manis sekali..”

“Kenapa dia tidak mencakarmu?”

“Mungkin dia suka padaku..”
jawabku sekenanya.

“Nonsense..” Levi beranjak menuju meja kacanya dan bersandar dengan tangan terlipat di dada.

“Kenapa kau memberinya nama seperti nama perempuan?”

“Hmm, why? Bukankah dia betina?”

“What? Jadi kau tidak tahu? Look! His not a girl, look at this!”
ku angkat tubuh Isabela dan menunjukkannya pada Levi.

“Tck.. okay you can stop showing his ‘private thing’ to me,” keluh Levi sambil merebut Isabela dari tanganku dan melepaskannya kembali agar bergerak bebas di lantai. “Apa kau lapar?”

“Hmm, tidak juga.. kau tak perlu repot-repot.. karena aku hanya mampir sebentar saja,”

Levi menatapku sejenak tanpa ekspresi. “I have a fresh tiramisu cake.. kau harus mencobanya,” gumamnya dengan cuek lalu berjalan menuju dapur minimalisnya yang juga sangat bersih dan rapi.

“Okay.. it sounds interesting, kurasa aku akan duduk sebentar..”

“Kau bisa cuci tangan disana..”
pintanya sambil membuka kulkas dan mengeluarkan sebuah tiramisu cake yang masih utuh. Kucuci tanganku disebuah wastafel yang terlihat mewah dan duduk disalah satu kursi makan sambil menunggu ia memotongkan kue itu untukku.

Ia kembali mendekatiku dan menyodoriku sepiring cake dan segelas air putih. Lalu duduk di kursi yang ada disebelahku.

“Makanlah..” pintanya sambil mengamati reaksiku.

Aku pun mulai memakan kue itu dan rasanya sangat berbeda dari cake yang biasa kubeli. “Dimana kau membeli cake ini?” gumamku sembari memakan cake itu.

“Kenapa ? Apa kau tidak suka rasanya?”
“Kau harus mencobanya.. It’s really delicious!!”
“Apa kau menyukainya?” aku mengangguk. “Baguslah karena aku baru membuatnya tadi pagi,”
Ku tatap wajah tanpa ekspresi itu yang kini balas menatapku. “No way! I can’t believe you..”
“Why?”

“You... and this cake.. it’s a weird combination,”
jawabku dengan perasaan tak percaya.

“Kau selalu meragukan kemampuanku. Apa aku tak boleh membuat sebuah tiramisu cake?”

Aku terkekeh pelan, pernyataanku barusan memang terdengar terlalu meremehkan kemampuan Levi mengingat masakan yang ia buat rasanya juga sangat enak. “No! I mean.. you’re a man dan mereka biasanya tak terlalu perduli dengan hal sepele seperti membuat cake.. but yeah..you’re different, of course you can do these kind of thing sir.. I’m sorry if I..”

Kecupan kilat itu mendarat di bibirku membuatku terdiam dan terhenyak beberapa saat. “It’s a punishment.. karena telah meragukanku,” gumamnya dingin. Sejenak kami terdiam sebelum suara bel yang berbunyi itu membuat Levi kembali mendecakkan lidahnya dan terlihat bete. “Tunggu disini..” gumamnya.

Levi beranjak menuju pintu dan menjawab interkom. “Hai Shorty!!!” terdengar suara teriakan lewat interkom itu. Suara itu.. bukankah mirip suara Hanji?

“What’s going on?” tanya Levi membalas sapaan itu.

“Apa maksudmu? Tentu saja kami kemari untuk menjengukmu!! Ayo buka pintunya, shorty!!” pekik Hanji.

Levi menatapku sejenak karena aku berjalan menghampirinya. “Apa aku harus sembunyi?”

“Kenapa?”

“Karena mereka akan berpikir yang tidak-tidak..”

“Sebenarnya kau tak perlu melakukannya.. tapi kalau kau tetap memaksa kau bisa sembunyi di dalam kamarku.. bagaimana?”


* * *

“Menurutmu siapa yang membunuh kedua orang itu?”

“Ku pikir yang melakukannya adalah adik laki-laki wanita itu, dia terlihat seperti orang baik tapi ekspresinya sangat aneh. Menurutku dia terlalu baik, makanya banyak orang yang akan tertipu dengan tingkah lakunya.. dan tidak menyadari bahwa dialah pembunuh sebenarnya,”

“Apa dia akan mengincar pria bertubuh besar yang telah menggoda kakaknya itu?”

“Umm.. sepertinya dia akan me-..”

“Tck.. bisakah kalian menghentikan kegiatan menganalisis film ini dan membiarkan kengerian ini menyelubungi kita?”
celetukan Marco membuat Hanji terdiam.

“Marco saat menonton film thrill seperti ini kita harus bisa menganalisis filmnya,”

“Film itu untuk dinikmati, bukan untuk dianalisis,”
gumam Marco.

Hanji dan Marco mulai berdebat panjang lebar sementara Levi hanya menatap mereka dengan tangan bersilang di dada, ada beberapa teman lainnya seperti Mike dan Erwin yang meramaikan suasana hari itu.

Aku sedang berada di dapur minimalis Levi berdua dengan mantan bosku Erwin yang sedang sibuk membongkar lemari penyimpanan Levi. Kulihat ia mengeluarkan beberapa botol minuman beralkohol.

“Kalian berencana untuk mabuk lagi?” protesku. “Bukankah Levi sedang sakit? Dan seharusnya kau tidak mabuk lagi mengingat gips itu belum terlepas dari lehermu,”
Erwin membuka tutup botol itu dan menuangnya sedikit ke dalam gelas. “Tenang saja, dia tidak akan mau meminum minuman ini.. ternyata kau ini cerewet juga ya,” serunya sambil menggoyang-goyang pelan gelas itu sebelum meminumnya.

“Kenapa Levi tidak mau meminumnya? Dia bahkan menyimpan semua ini dalam raknya,”

Erwin terkekeh ia meletakkan gelasnya di atas meja dan menuang sedikit anggur itu ke dalam gelasnya lagi. “Semua minuman beralkohol yang ada dalam lemari penyimpanan ini adalah milikku.. Apa kau suka wine?” tanya Erwin.

Sebenarnya aku bukan seorang peminum minuman beralkohol tapi aku bisa meminum anggur tanpa alkohol. “Akan lebih baik jika kau punya anggur tanpa alkohol..”

Erwin tersenyum dan bergerak mendekati rak botol minuman Levi. Ia memperhatikan beberapa persediaan botol yang ada didalamnya. “Ah, ini dia...” ia menemukan sebuah botol berisi anggur putih tanpa alkohol dan mengeluarkannya dari lemari penyimpanan. “Aneh sekali di jaman seperti sekarang masih ada orang seperti kalian berdua, aku benar-benar takjub,”

“Hmm.. apa maksudmu?”

“Levi juga tidak suka dan tidak bisa minum-minuman beralkohol,”

“No way, yang benar saja?”
aku sungguh tak percaya dengan pernyataan yang baru saja dikatakan Erwin mengingat Levi pernah meminum minuman beralkohol tepat di depanku. “Kenapa dia tidak bisa minum alkohol?”

“Pertama karena Levi dibesarkan dalam kondisi yang tak bisa kuceritakan padamu karena hal ini menyangkut kehidupan pribadinya, ia merasa bahwa alkohol selalu memberi dampak yang sangat buruk pada kehidupan orang-orang yang dikenalnya. Ia pun akhirnya tidak pernah suka alkohol dan jadi sangat terobsesi pada..”


“Teh hitam?” potongku.

“Ya.. yang kedua, dia sangat suka teh karena teh mencerminkan sesuatu yang klasik, elegan dan menurutnya teh sangat sesuai dengan image-nya. Teh hitam jadi minuman favoritnya karena minuman itu baik untuk kesehatan dan bisa meningkatkan daya intelejensi, daya ingat, memberinya tingkat fokus yang maksimal dan kekuatan berlebih,”

“Umm... sepertinya aku mulai paham..”
gumamku pelan.

Namun Erwin tertawa melihat wajah bingungku. “Dan yang ketiga, ini juga menjadi salah satu alasan penting kenapa dia menolak alkohol...”

“Apa itu..?” tanyaku penasaran sambil terus mengamati Erwin yang serius menceritakan kisah Levi.

“Jika dia mabuk.. dia akan mencium siapa pun yang ada di dekatnya..” bisik Erwin. Aku menangkup mulutku merasa takjub sambil membisikkan kata “oh my god” berkali-kali seolah Erwin baru saju membunuh seekor anak penguin tepat di depan mataku.

“Siapapun?” ulangku. Erwin tersenyum penuh arti melihat ekspresiku. Siapapun? Artinya selain mencium wanita dia juga akan mencium laki-laki, gitu kan maksudnya? SHIT!! Yang benar saja?!!

“Yeah siapa pun termasuk laki-laki. Apa kau pernah menjadi korbannya?” tebak Erwin.

“Tidak!! Tentu saja tidak!” kilahku sambil menggeleng keras.

“Hahaha, kau terlihat sangat panik..”

“Tenang saja aku tak pernah menjadi korbannya..”
gumamku keras sambil membantu Erwin menata gelas wine.

“By the way.. Hanji pernah menjadi korban Levi..”

“What??!”
meskipun begitu tapi aku merasa.. Oh my god!! Ternyata Levi pernah melakukannya dengan Hanji?!

“Korban apa yang kalian maksud? Apa kalian sedang membicarakanku?” aku kembali tersentak kaget saat Levi muncul dan menginterupsi obrolan kami berdua. Erwin tertawa melihat reaksi kagetku. “Aku ingin membuat sesuatu yang bisa kita makan.. apa kau mau membantuku?” tanyanya padaku.

“Hmm, ya.. tentu saja..”

“Baiklah, (y/n)/Lucy kau bantu Levi sementara aku akan membawa ini ke ruang tamu.”
Seru Erwin meninggalkan diriku berdua dengan Levi.

“Apa yang kalian bicarakan?” tanya Levi. Ia mengambil celemek putih bersih miliknya dan mengenakannya.

“Tidak ada,” balasku sambil mengamatinya. Ia menyerahkan celemek lainnya padaku.

“Liar..” gumamnya sambil membongkar isi lemari pendingin. Ia mengeluarkan beberapa sayuran dan menaruhnya di meja bar lalu kembali mencari bahan lainnya.

“Tck.. it’s not your bussiness.. Hmm, kau ingin memasak apa?”

Ia menyodorkan sterofoam berisi telur padaku yang meraihnya dengan panik. “French omelet..” gumamnya datar. Lalu mulai menyiapkan mangkuk dan peralatan lainnya.

Ku ambil mangkuk yang ia sodorkan dan mulai memecahkan beberapa telur. “I never heard about it before.. but it sounds delicious..”
“Tolong pecahkan saja telur-telur itu dengan benar, aku sudah sangat lapar dan capek..”

Prang!!

Mangkuk tempat menaruh telur itu tak sengaja tersenggol oleh tanganku dan jatuh ke lantai. Bercak telur-telur itu mengotori lantai dan pecahan kaca tersebar disegala arah, kakiku dan celana panjang Levi terkena terpaan bercak telur. Ia menatapku dingin tak berbicara sedikitpun hanya diam menatapku.

“What you think your doing, huh?” gumam Levi dengan dahi berkerut.

Dengan panik ku letakkan telur lain yang masih kupegang dan berjongkok hendak membersihkan. “I.. S-sorry.. aku tak sengaja menumpahkannya.. Levi sorry, akan segera ku bersihkan..”

“You don’t need,” gumamnya sambil menjauhkan tanganku dari pecahan kaca itu. “Pecahkan saja telur yang baru, aku akan bereskan yang sudah tumpah,” serunya lalu mulai membereskan kotoran dan pecahan kaca di lantai.

Ku ambil mangkuk baru dan memecahkan telur yang baru. “Levi..”

“It’s okay..”
jawabnya sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Hal itu membuatku semakin tak enak hati.

“I’m so sorry..”
Levi menghela napas panjang dan kembali bergumam. “Don’t worry, I will give you some punishment after cleaning this stupid shit,”

“Punishment?! What do you mean?” Hukuman? Apa lagi yang akan ia lakukan padaku? Ku harap bukan membersihkan toiletnya atau lembur seminggu di kantor.

“Don’t force me.. aku harus membereskan ini terlebih dahulu,”

Clang!

Sial! Sendok pengaduk itu terjatuh di lantai, aku pun berjongkok untuk mengambilnya dan ternyata Levi sedang mengamatiku dengan tatapan dinginnya. “I..” Tanpa menungguku menyelesaikan kalimatku Levi menyentuh kepalaku dengan tangannya yang bersih dan dengan cepat ia meletakkan bibirnya dibibirku. “Sepertinya kau tak bisa menunggu hukumanmu lebih lama lagi..” gumamnya lalu menghujamiku lagi dengan ciumannya rasanya sedikit lebih kasar dibanding sebelumnya.

“Shorty??” terdengar suara Hanji di dekat bar. Karena tubuh kami berdua terhalang meja bar jadi Hanji tak bisa melihat kami. Perlahan Levi menjauhkan bibirnya dari bibirku lalu ia memberiku tanda agar tetap diam hingga Hanji pergi sementara ia bangkit dan mengangkat kain pel yang dipegangnya.

“Ada apa mata empat?”

“Kau perlu bantuan?”
suara Hanji terdengar semakin mendekati kami.

“Tidak perlu, kau tunggu saja sambil menonton film..”

“Mana (y/n)/Lucy? Tadi Erwin bilang dia membantumu memasak..”

“Mm... dia sedang.. ke toilet..”
jawab Levi ragu, aku hanya bisa menelan air liur susah payah dan berusaha agar tetap diam.

“Oh, baiklah.. yakin nih kau tidak ingin dibantu?”

“Aku sangat menolak bantuanmu, mata empat. Kembalilah ke sofa empukmu!”

“Huh! Kau ini.. Baiklah! Tolong buat makanan yang bisa dimakan ya! Shorty!”
seru Hanji dan suaranya terdengar menjauh dari dapur.

Setelah Hanji benar-benar menghilang dari dapur Levi kembali menatapku yang masih berjongkok dengan sendok dan mangkuk telur ditangan. “Apa kau masih ingin dihukum, shitty brat?” aku menatapnya sambil menggeleng pelan. “Jangan bilang kau menahan napasmu dari tadi, huh?” aku hanya bisa mengangguk pelan mendengar kata-katanya. “Tck.. kalau begitu kau butuh bantuan pernapasan,”
* * *

Tak hanya di kantor tapi juga di rumah bosku. Saat ini aku masih mengerjakan pekerjaan kantor Levi ketika teman-temannya memutuskan untuk pulang karena hari sudah beranjak malam. Hanji masih merecokiku saat melihat tumpukan pekerjaan yang kukerjakan itu dan ia langsung mengomeli Levi.

“Shorty! Are you serious? Berikanlah dia waktu istirahat, kau tak bisa membuatnya bekerja  terus seperti itu.. apa kau gila? Kau menyuruhnya ke apartememu hanya untuk mengerjakan semua ini?”

“Tak apa Hanji, sebentar lagi selesai kok,”
gumamku. Dalam hati memncoba untuk bersabar menyelesaikan pekerjaan yang tak ada habisnya. Padahal pekerjaan ini cukup membuatku muak.

“Kau selalu bersikap lembek terhadap bosmu makanya dia selalu menyiksamu dengan banyak pekerjaan yang seharusnya dikerjakan sendiri olehnya,”

“Apa maksudmu kacamata?”
gumam Levi. “Sebaiknya cepat kau susul yang lain mereka sudah menunggumu,” paksa Levi sambil menarik lengan Hanji.

“Aku bisa menunggunya sampai selesai dan mengantarnya pulang..” tawar Hanji, ia terdiam beberapa saat ketika menatap raut wajah Levi yang datar. “Oh okay, sepertinya aku tak bisa menunggumu (y/n)/Lucy ada hal lain yang harus kulakukan.. sangat penting,” gumamnya lagi tiba-tiba berubah pikiran.

“Tak apa, kau tak perlu repot menungguku..” jawabku penuh kekecewaan.

“Sorry shorty, tapi aku harus menolong teman yeah dia ada sedikit masalah dengan kekasihnya.. jadi.. selamat berjuang (y/n)/Lucy!” pekik Hanji memelukku sebentar lalu beranjak pergi. Levi mengikutinya dan terdengar perbincangan singkat yang samar diantara mereka berdua. Tak lama kemudian Levi kembali muncul dan menghampiriku, ia langsung menutup Laptop itu lalu menarik tanganku dan memaksaku mengikutinya. Mendorongku kearah dinding kaca transparan hingga tubuhku harus terhimpit diantara tubuhnya dan jendela kaca transparan itu. Tanpa basa basi ia langsung menghujamiku dengan ciuman yang lebih kasar daripada ciuman-ciumannya yang sebelumnya.

Ia menjauhkan tautan bibirnya dari bibirku dan mendorong tubuhnya dariku, aku hanya membalasnya dengan tatapan tajam.

“Jadi ini ya alasan sebenarnya  kau ingin mengajakku ngedate?” gumamku pelan.

Levi mengerutkan dahinya dan menggeleng pelan. “You wrong! Ini bukan seperti yang kau pikirkan,” bisiknya.

“Oh jadi kau tak bermaksud begitu. Tapi kenapa hanya ‘ini’ maksud yang terlihat olehku,”

“Tck..” Levi mengusap rambutnya dan menyisirnya kearah belakang dengan jari-jarinya. “Kenapa kau masih tak mengerti..? Apa kau pura-pura bodoh? Ku pikir aku memang tak bisa menahannya lebih lama lagi, dan kurasa aku harus segera mengeluarkannya denganmu.. shit! Melihatmu membuatku merasa lebih bersemangat dibanding sebelumnya. Kau selalu menghabiskan kesabaranku,” gumamnya tampak depresi.

“Whoa, whoa, what do you mean? Kau pikir aku wanita seperti itu? Shit.. you totally a dumbass, jerk!” protesku kesal sambil mendorong tubuhnya agar menjauh dariku. Tapi ia masih bertahan. “Let me go! Clean freak! ”

Aku berusaha berontak dan menjauh darinya, ia melepaskanku dan ku pikir aku telah bebas saat telah berhasil berjalan menjauhinya. Tapi Levi menggendongku diatas bahunya dan membaringkanku diatas meja kerjanya ia menahan kedua tanganku dangan tangannya yang bebas. Untung saja meja itu terbuat dari kaca anti pecah.. kalau tidak.. you know what I mean? (kurasa kita bisa menggantinya dengan meja lain yang lebih kuat, tapi aku terlalu malas naik ke page diatas dan mengganti kata satu per satu :)

“Just let me go! Clean freak! Kau tahu kan aku gak mau bermain-main denganmu!”
Ia berbisik lembut di telingaku. “Do you have a crush on me?”

“What the hell you’re doing? You hurt..” Aku menatapnya dan ekspresinya kini berubah, sangat berbeda dari ekspresinya yang biasa.

“Tell me? Do you have a crush on me?” Ia menatapku dengan tatapan yang lebih lembut. Aku hanya bisa menghela napas mencoba untuk menangkan diri agar tidak panik.

“You know.. you’re playing with fire,” gumamku saat merasa lebih tenang.

“Sorry.. I never meant it, aku tak ingin mempermainkan api,” gumamnya lirih sembari mengecup lembut jari-jariku.

“You are totally crazy clean freak,”

“Hmm..”
Levi mengalihkan kecupannya ke bahuku.

“You’re always love doing these crazy stupid things to me..”

“Hmm..”

“Kau Mr. Perfect yang selalu memberiku banyak pekerjaan dan membuatku lembur dikantor sampai malam, dengan tujuan agar kau bisa berbuat mesum padaku kan..”

“Huh?? Seems like you really want me to punish you harder than usual..huh?”
bisiknya sambil menatapku.

“You jerk..”

“Yeah you right..”
bisiknya lembut dan tangannya masih terus menekan tanganku keatas meja. “Please tell me..”

“I don’t know.. I need you to tell me about this feeling, cause if I said it.. maybe you will think it is only a game.. and you already know that I don’t wanna play a game..”

“(y/n)/Lucy... I need you...”
bisiknya lembut didekat telingaku. Membuatku bisa mendengar dengan jelas suara tarikan napasnya yang lembut dan hangat hembusan napasnya yang menerpa kulitku.

Jantungku terus berpacu keras. Suara Levi bagaikan kafein yang membuatku terjaga hingga larut malam. Kata-katanya terus terngiang dan membuatku tak bisa tidur. “I don’t know.. maybe I..” kutarik napas dalam-dalam mencoba menenangkan jantungku. “Maybe I like you.. sir,” bisikku lirih.

“You say what? I can’t hear your tiny voice, little brat!” bisikan lembut itu kembali menghantui telingaku dan bibir Levi kini telah menjelajah bagian pundak hingga leherku. Bisa kurasakan jutaan kupu-kupu beterbangan dalam perutku. Aku ingin ini cepat berakhir karena jika tidak.. mungkin aku akan terbunuh sebelum mengetahui apa yang akan terjadi dengan kami berdua nantinya.

“Seems like.. I like you sir,” bisikku tertahan “And yes.. maybe I have a crush on you,”

“Are you sure?”
balas Levi lagi. Oh shit, bisakah kau berhenti bertanya?

“That’s what I think, so.. can you let me go? Aku harus kembali keapartemenku,” jawabku. Ku harap ia segera melepaskanku agar aku bisa menenangkan diri dan segera pergi dari apartemennya. Kurasa ia Cuma ingin mendengar bahwa aku juga ternyata jatuh cinta padanya sama seperti wanita lainnya. Mungkin dia memang ingin bermain-main denganku dan rasanya sungguh menyakitkan ketika memikirkannya.

Levi menatapku dengan tatapannya yang penuh kelembutan lalu perlahan ia kembali mencium bibirku dengan french kiss yang membuat hatiku tergetar. “Please don’t go, sepertinya aku terlalu sakit untuk mengantarmu pulang. Malam ini kau harus merawatku, little shitty brat!” bisiknya, bisa kulihat segaris senyuman terukir di wajahnya yang tampan. Ku rasa aku sedang bermimpi. Ini benar-benar gila.

“That’s a bad idea sir..”

“Yeah you right.. I think table is not a right place, we can move into my bedroom”

“That’s not what I mean..” balasku dengan dahi berkerut menatapnya. Levi menjauh dariku dan menarikku hingga tubuhku kembali terduduk. Ia menatapku sambil memperbaiki letak rambutku yang sedikit berantakan.

“Shut up! Give me my medicine. Get in my bed and kiss me. No talking. Just f**king kiss me,” bisiknya.

* * *

4 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Replies
    1. Sabar yaa :)) sekarang sedang dalam proses bikin, masih memikirkan scene2 yang bagus. Ditunggu yaa :))

      Delete