Sunday 11 October 2015

Modern AoT : Chapter 6 [SECRET LESSON WITH MY BOSS]

BY Unknown IN No comments



SECRET LESSON WITH MY BOSS

Cast    : Levi Ackerman x Reader (In my case : Lucy Alsei)
Genre  : Romance, Mature
 
CHAPTER 6

“Kau tahu kan.. kau tidak perlu melakukan hal ini?”

“Stop joking around.. shitty brat,”

“Aku bisa berangkat kekantor naik bus, kau tidak perlu menjemputku.. kau lihat? Aku baik-baik saja,”

“Ya, aku tahu..”

“Lalu?”

“Aku perlu sedikit olahraga, makanya kuputuskan untuk menjemputmu..”

“Kita naik mobilmu kan? Bukan naik sepeda..”

“Tck... jangan mengeluh terus, shitty brat,”

“Okay.. kita harus membuat kesepakatan,”

“Kesepakatan apa lagi?”

“Aku akan masuk kedalam kantor lima menit lebih dulu, setelah itu baru kau boleh menyusul..”

Levi mengerutkan dahinya dan menatapku. “Are you stupid idiot? Untuk apa aku harus melakukannya?”

“Stop called me idiot, berjanjilah kau akan mengikuti rencana ini?”

“Tck.. okay.. whatever you want..”

* * *

Aku sedang menunggu pintu lift terbuka saat melihat Jean, Ymir dan Christa muncul dari pintu lobby. Begitu jarak kami sudah dekat Jean menyapaku seperti biasanya. “Hai kotoran kud.. auh!! F**k (*_*), kenapa kau meninjuku??”

          “Tutup mulut baumu itu horse face,”  gumamku setelah meninju perut Jean. “Lagi pula tinjuku barusan tidak terlalu keras,”

          Ymir terkekeh keras sampai ia harus memegangi perutnya. “Akhirnya kau membuat horse face menangis, sangat mengagumkan (y/n)/Lucy,” puji Ymir.

          “Tck, berhentilah memuji kepala batu ini. Kau akan membuat telinganya mengembang seharian,” gumam Jean sembari mengelus perutnya.

          “Sebaiknya jangan berkelahi di depan lift,” gumam Christa yang sedang dirangkul Ymir. “Kalian akan mengganggu orang lain,”

          “Kau tidak suka kupanggil seperti itu tapi kau sendiri selalu memanggilku horse face,” gumam Jean dengan bibir mengerucut.

          “Siapa yang duluan mulai, huh?”

          “Kau masih saja dingin seperti biasanya, dasar cewek menyebalkan..” guman Jean sambil menarik beberapa helai rambutku.

“Apa katamu?!” Tindakannya membuatku kembali memukul tubuhnya lagi. Tiba-tiba saja pintu lobby membuka dengan otomatis dan mataku refleks menangkap sosok Levi yang kini berjalan kearah kami.

          Kedatangannya tentu saja membuat kami semua terdiam kaku. Tapi sepertinya ia tak terganggu dengan reaksi kami, hanya melempar tatapan dingin dan menyapa seperti biasa. Meskipun terlihat tenang aku yakin tadi dia pasti melihatku sedang memukuli Jean. Aku merasa ekspresinya terlihat tidak baik. Tck.. aku lupa, apa pun yang kulakukan dan dengan siapapun itu, semuanya tak ada hubungannya dengan Levi.

          Pintu lift terbuka dan kami semua masuk kedalam lift itu. Ymir dan Christa berdiri berdampingan dengan Jean sementara aku.. entah kenapa harus berada disebelah Levi, penumpang lift yang lain pun mulai membanjiri bagian depan kami yang masih kosong. Levi tampak sangat tenang, bersikap seolah-olah pertemuan kami tak pernah terjadi. Dia memang seorang aktor yang bagus, atau mungkin memang itu adalah sikap alamiahnya? Lift kembali bergerak naik.

          “Hei.. kemarin kau kemana? Kenapa tidak masuk kantor?” tanya Jean sambil berbisik ditelingaku dari belakang punggungku.

          “It’s not your bussiness..” gumamku pelan.

          “Tck.. Apa kau bolos? Kemarin kekasihmu mencarimu lho..”

          “Haah?? Maksudmu siapa?”

          Jean terkekeh pelan sebelum menjawabku. “Maksudku Reiner..”

          “Tck.. biarkan saja si mesum itu..”

          “Apa kemarin kau sakit?” tanya Jean sambil iseng menarik rambutku.

          “Jean!” tegurku sambil berbisik keras. “Stop it!!” suara bisikanku yang keras membuat Levi menoleh menatap kami berdua. Aku mencoba tersenyum manis karena tampaknya mood Levi sedang tidak baik.

          “Apa kalian baik-baik saja? Kenapa bisikanmu keras sekali brat?” tanya Levi menatapku.

          Jean terdiam dan berdiri tegak dibelakangku pura-pura mengetik sms di ponselnya. Dasar horse face sialan.. ia dengan sukses menjebakku.

          “Nothing, kami baik-baik saja.. sir,”

          “Tck...”

          Pintu lift terhenti dan menjeblak terbuka tepat di lantai 15, Levi langsung keluar dari dalam lift dan berjalan cepat menuju kantornya. Melihat punggungnya yang terus menjauh dari tatapanku membuatku merasa.. kehilangan? Haaah!! Apa yang kupikirkan? Kami berdua tidak berada dalam situasi yang bagus untuk berhubungan.. dia juga sudah mengatakannya dengan sangat jelas kemarin. Aku tak boleh jatuh cinta padanya, hh.. sok sekali bukankah dia terlalu percaya diri dengan kata-katanya itu? Mana mungkin aku jatuh cinta padanya.. tapi entahlah.. kupikir aku mulai menyukai bosku.

Ya.. tampaknya aku memang mulai menyukai Levi. Shit!

          “Hei, kau lihat apa (y/n)/Lucy? Kenapa bengong?” tegur Petra, kata-katanya kembali menyadarkanku. “Apa kau sedang mengamati Mr. Ackerman?”

          “Hah?? Tentu saja tidak, jangan bicara macam-macam.. bagaimana kalau ada yang dengar?” kilahku lalu berjalan menuju mejaku diikuti Petra.

          “Kemarin kau kemana? Apa kau cuti?” tanya Petra.

          “Hmm, kemarin aku ke lokas.. ah ke rumah sakit,”

          “Hah?! Apa kau sakit?” Petra kembali mengerutkan dahinya.

          “Ya.. hanya melakukan medical check up, maaf tidak mengabarimu..”

          “Oh, syukurlah kalau kau baik-baik saja.. anyway, aku ingin memberitahumu sesuatu..”

          “Tentang apa?”

          “Tapi jangan marah ya..”

          “Tentu saja tidak.. ada apa? Apa kau dan Sasha menghabiskan jatah kueku lagi?” tanyaku setengah bercanda.

          Petra hendak mengatakan sesuatu namun Jean dengan sukses menginterupsinya dengan keributan lain. Jean terpekik senang lalu membawa laptopnya ke mejaku. Kulihat Petra memasang wajah khawatir sementara yang lain terkikik penuh kemisteriusan. Apa ada sesuatu yang tidak ku ketahui?

          “Shitty horse, aku sudah mendapatkan calon kekasih untukmu..” pekik Jean dengan wajah penuh senyuman.

          “Hah?? Apa.. aku nggak ngerti maksudmu Jean?” tanyaku bingung lalu menatap Petra yang masih memasang senyuman tertahan.

          Jean meletakkan laptopnya didepanku, lalu ia dan Petra ikut berdiri didekatku mencoba melihat layar. Di layar laptop itu ada situs perjodohan, aku tak ingat pernah mengikuti situs beginian. Tapi entah kenapa akun yang tak ku kenal itu berhasil mendapat beberapa colekan.

          Aku menatap Petra dan Jean bergantian. “Shit.. siapa yang membuat akun dengan profilku?”

          “Coba tebak?” gumam Jean.

          “Pasti ini ulahmu lagi kan?” tuduhku.

          “Reiner..” jawab Eren yang tiba-tiba saja muncul dan ikut melongok melihat layar laptop. “Sepertinya kau sudah mendapat banyak colekan dari beberapa pria, coba kita lihat profil mereka,” pinta Eren.

          Aku hanya bisa menggelengkan kepala tak percaya. Tapi aku juga sedikit penasaran dengan pria-pria yang mencolekku lewat akun ini. Jadi kami pun berkumpul untuk melihat profil mereka.

          “No way!!” gumam Eren dan Jean bersamaan.

          “Bukankah itu Reiner?” gumam Petra dengan dahi berkerut namun ia juga hendak tertawa ketika melihat profil Reiner.

          “Sepertinya dia belum menyerah denganmu sejak pesta kita yang terakhir,” seru Ymir yang tiba-tiba saja sudah ikut nimbrung.

          “Hei lihat, itu kan Armin?” celetuk Christa sambil menunjuk akun lainnya.

          Seketika saja semuanya mulai terkikik menahan tawa.

          “Sepertinya dia juga belum menyerah,” gumamku tak percaya lalu lanjut melihat yang lainnya. Dahiku kembali berkerut menatap Eren dan Jean bergantian ketika mataku berhasil menangkap kenyataan lainnya. “Kalian berdua juga?” gumamku tak percaya.

          Jean tertawa lebar, sementara Eren menatapnya dengan dahi berkerut. “Apa kalian berencana membuat game lainnya? Akun ini terlihat seperti sedang mempermainkanku,” gumamku lagi mulai bete.

          “Lihat.. ada pria yang tidak memakai foto.. profilnya lengkap dan tampaknya dia bukan dari perusahaan kita..”

          “Hei, coba lihat yang ini cukup tampan dan sepertinya dia dari divisi satu..” seru Petra.

          “Apa yang kalian lakukan?” Seketika saja kami semua menoleh kebelakang dan ternyata Levi sudah berdiri diambang pintu menatap kami dengan wajah ingin tahu. “Kenapa wajah kalian seperti itu?” tanyanya lagi lalu berjalan kearah kami.

          Semuanya kaku dan tak lama kemudian Petra mulai angkat bicara. “Kami sedang membantu (y/n)/Lucy, sir..”

          Ku senggol lengan Petra, ia pun menatapku bingung. Perlahan Levi berjalan mendekati kami sambil mengerutkan dahinya curiga. “Jangan menatapku seperti hantu begitu.. aku hanya ingin melihat pekerjaan kalian, jadi santai saja..” gumamnya pelan.

          Aku hendak mematikan laptop itu namun Jean leih dulu mengamankannya dan memperlihatkannya pada bos kami. Levi menatap layar laptop tanpa ekspresi sedikit pun. Lalu ia kembali menegakkan badannya santai.

          “Apa semua pria ini ingin mengajak dia berkencan?” gumam Levi, telunjuknya mengarah tepat padaku.

          “Sepertinya sih begitu sir,” gumam Jean.

          “Ku lihat nama yang ku kenal juga tercantum dalam daftar itu..”

          “Yeah, sepertinya mereka ingin mencoba peruntungan lainnya..” celetuk Ymir.

          Levi mengalihkan tatapannya padaku dan terdiam sejenak. “Semoga kau tidak mangacaukan kencanmu, stupid brat,” gumamnya lalu beranjak menjauhi kami berjalan menuju dapur. Teman-temanku kembali terkikik menahan tawa melihat reaksiku. “Cepat selesaikan permainan kalian dan kembali bekerja..” celetuk Levi dan seketika saja semuanya terdiam.

          Bahkan dia tak bereaksi melihat akun perjodohan ini?? Tadinya aku ingin mengabaikan akun ini, tapi tampaknya aku memang harus mencoba melakukannya.. tak ada salahnya mencoba sedikit kan..

          “Bagaimana dengan pria ini?” tanyaku dan semuanya kembali melihat layar.

          “Iya, dia tampan dan tinggi.. sebaiknya kau harus mencobanya,” Petra setuju diikuti Christa yang mengangguk-anggukan kepalanya.

          “Sepertinya (y/n)/Lucy mengabaikan kalian semua teman-teman..” ledek Ymir.

          “Setidaknya dia tidak memilih si bodoh Eren..” seru Jean.

          “Tck.. kalau dia memilihmu, kencannya pasti akan berantakan horse face,”

          “Stop memanggilku seperti itu, Yeager!!”

          “Oh kau ingin berkelahi? Sini kalau berani!” tantang Eren.

          “Tck, sudah hentikan..” gumamku pelan. “Aku tak akan memilih Eren karena Mikasa akan membunuhku, begitu juga denganmu Jean.. aku tak akan memilihmu karena kau sebenarnya suka Mikasa,” Ymir dan Petra tertawa keras sementara Christa terkekeh geli menahan tawa.

          “Tck.. permainan ini jadi nggak seru lagi..” gumam Jean. “Pakai saja laptopku kalau kau ingin chatting, aku akan kembali ke mejaku sebelum bos kita kembali dari dapur,” seru Jean lalu beranjak pergi diikuti yang lainnya. Tinggal Petra seorang yang masih berada didekatku.

          “Aku akan mencoba chatting dengan dia..” tunjukku kesalah satu akun profil. “Dia sedang online dan kembali mencolekku..”

          “Kau memang harus mencobanya, bagaimana kalau hari ini kau ajak dia bertemu di pesta antar divisi..” tawar Petra.

          “Pesta antar divisi?”

          “Ah, ya kau belum tahu ya.. malam ini ada pesta antar divisi, semua orang dari divisi satu, dua, dan tiga akan datang..” jelasnya.

          “Terlalu banyak orang.. kau tahu kan aku nggak suka tempat ramai..?”

          “Tenang saja kan ada kami, kita bisa mencari sudut ternyaman untukmu..”

          “Sepertinya ini bukan ide bagus..”

* * *

          Namanya Farlan, dia bekerja dibagian keuangan divisi satu, pekerjaannya sangat menjanjikan. Dia tampan, tinggi, enak diajak ngobrol dan lucu. “Sepertinya obrolan kalian berdua seru sekali,” celetuk Mikasa ketika melihatku tersenyum cerah ceria sepanjang hari. Tanganku masih sibuk membalas chatting Farlan.

          Aku tersenyum lebar dan menatap Mikasa. “Ada apa?” tanyaku dengan senyuman manis.

          “Hmm.. ini, dia ingin kau mengantar ini ke bagian percetakan,” seru Mikasa sambil meletakkan beberapa kertas tebal diatas mejaku.

          “Bukankah ini tugas Reiner?”

          “Aku tahu.. tapi dia ingin kau yang mengantarnya, bagaimana? Apa kau keberatan? Kalau tidak bisa aku akan..”

          “Ya! Aku bisa.. aku akan mengantarnya nanti,” potongku.

          “Sebaiknya kau berangkat sekarang,”

          “Sekarang?”

          “Hmm..”

          “Ahhh... okay, aku akan pergi sekarang,” gumamku malas-malasan. Mikasa berlalu menuju mejanya, sebelum pergi segera kubalas pesan Farlan agar dia tidak kebingungan menunggu balasan chattingku. “Aku pergi sebentar untuk melaksanakan tugas negara,” tulisku di ruang obrolan dan Farlan berkata dia akan menungguku kembali dari misi rahasia ini. Chatting yang terdengar cukup gila.

          Perlu lima belas menit bagiku untuk pergi mengantar kertas-kertas ini ke lantai sembilan, saat kembali ke lantai lima belas dengan perasaan capek. Levi telah menunggu didekat kursiku. “Ada apa, sir?”

          “Take this,” gumamnya pelan sambil menyerahkan setumpuk tebal pekerjaan yang telah ia selesaikan. “Stempel semua lalu bagikan ini pada semua staf dan sebagian kirim ke lantai tiga belas, setelah itu periksa jadwal meetingku untuk seminggu kedepan, catat hari apa saja aku bebas dari meeting dan jangan lupa susun ulang jadwal ku untuk pergi ke lokasi syuting. Hanji melakukan beberapa perubahan, tolong kau cek dan sesuaikan dan..” sejenak Levi berhenti dan menatapku yang masih terbengong-bengong. “aku ingin kau selesaikan semuanya hari ini juga, secepatnya..” gumamnya lalu berbalik menuju ruangannya lagi. Sebelum masuk ia kembali menoleh padaku. “Oh ya, aku ingin secangkir teh Earl Grey hangat dengan dua blok gula, aduk perlahan sebanyak lima kali, kau bisa membuat teh itu terlebih dulu,” gumamnya lalu menutup pintu ruangannya.
         
          Hah?!.. apa dia sedang mencoba untuk membunuhku? Bahkan aku tak sempat menarik napas saat mendengarnya bicara. Dengan perasaan lelah segera ku letakkan tumpukan berkas yang ada ditanganku lalu mengecek laptop Jean. Layarnya gelap dan... apa laptop ini mati? Ku tekan tombol ‘hidup’ tapi tampaknya laptop ini baru saja dimatikan dan chattingku dan Farlan terhapus. Okay, sepertinya aku memang harus fokus pada pekerjaanku saja dan semoga Farlan tetap memutuskan untuk menemuiku di pesta nanti malam karena aku memutuskan untuk pergi ke pesta itu.

          Aku sedang sibuk mencari teh Earl Grey Levi di dalam lemari dapur saat Petra masuk untuk mengambil segelas air putih dingin. “Kau mencari apa?” tegurnya saat melihatku berjongkok diatas lututku memeriksa lemari bagian bawah.

          “Ah, aku mencari Earl Grey Tea.. apa kau melihatnya? Seingatku teh itu ku letakkan di lemari bagian atas, tapi aku tak bisa menemukannya disana,” gumamku.

          “Mungkin habis, kau tahu kan.. kadang Eren dan Annie juga suka minum teh..”

          Aku kembali berdiri dan memeriksa ulang bagian atas lemari. “Seharusnya mereka tidak menyentuh teh itu.. karena teh itu lebih penting dari nyawa mereka berdua,”

          “Hei coba lihat ini..” gumam Petra sambil menarikku kedekatnya. Jari telunjuknya mengarah kedalam bak sampah.

          “No way...” gumamku dengan mata terbelalak dengan cepat kuraih kotak itu. Yang benar saja itu adalah kotak Earl Grey Tea terakhir milik Levi. Kenapa bisa habis secepat ini. “Tck.. ahh...... aku lupa membeli cadangannya...” gumamku pada Petra.

          “Teh lain?”

          Ku bongkar lagi rak lemari teratas dan mengeluarkan kotak Black Tea Levi. “Seharusnya tadi kau lihat wajahnya saat minta Earl Grey Tea, dia memicingkan matanya seperti ini, kau tahu... itu sangat menakutkan,” gumamku sambil mencontohkan ekspresi Levi dan menunjuk mataku dengan gaya yang lucu. Hal itu membuat Petra terkekeh pelan. “Jangan tertawa.. aku masih harus membuat Black tea ini untuknya,” gumamku lagi sambil menuang air panas ke cangkir Levi dan memasukkan dua blok gula ke dalamnya. Namun sepertinya kepanikanku adalah tontonan menarik untuk Petra.

          “Hei, bagaimana cowok barumu?”

          “Hmmm, dia menarik dan sangat terlatih..”

          “Apa maksdumu dengan terlatih?”

          “Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja.. menurutku dia pandai merayu dan mahir membuat wanita menyukainya, dia bukan tipe yang cocok untukku,” gumamku sembari beranjak pergi membawa cangkir levi. Petra mengikutiku.

          “Whatever.. terserah apa pendapatmu, yang pasti kau harus datang ke pesta malam ini dan temui dia, oke? Aku tak ingin kau mangkir dan tidak datang ke pesta itu,” gumamnya lagi menepuk bahuku lalu beranjak pergi menuju mejanya.  Petra benar, sudah saatnya untuk menjadi manusia normal.

          Kuketuk pintu ruangan Levi dan terdengar suaranya mempersilakanku masuk. Aku pun masuk dan mendapatinya sedang sibuk di kursi kerjanya ia sedang memeriksa ponselnya.

          “Ini teh anda, sir,” tegurku lalu menaruh cangkir tehnya di atas meja yang ada didepannya. “Silakan diminum,”

          “Wait,” aku hendak beranjak pergi saat Levi menarik tanganku dan menggenggamnya kuat. Dengan tangan satunya ia meraih cangkir dan membaui teh itu dengan hidungnya tak lama dahinya berkerut. Ia terdiam menatapku. “Bukankah sudah jelas kukatakan aku ingin Earl Grey?” tanyanya seolah ingin memastikan apa aku terlalu bodoh membedakan Black Tea dan Earl Grey Tea.

          “Benar sekali, kita kehabisan Earl Grey Tea dan aku tak punya cadangannya.. jadi aku membuatkanmu Black Tea, karena hanya teh itu yang ada,”

          Ia menatapku sejenak lalu meletakkan lagi cangkir itu ketatakannya, mengubah posisi kursinya menghadap kearahku tanpa melepaskan pegangannya ditanganku.

          “What?” gumamku. Tapi ia tak menjawabku lalu mulai melepas kacamatanya dan melonggarkan dasinya. “Kalau tak ada yang ingin kau katakan aku akan melanjutkan pekerjaanku, karena aku belum memeriksa jadwal dan menstempel banyak kertas lalu..”

          “I need your help..” serunya.

          Aku terdiam dan.. “Okay.. what can I do for you?”

          Levi bangkit dari duduknya. “Sit down..” serunya sambil melepas tanganku dan menaruh kedua tangannya sendiri kedalam kantung celananya. Mempersilakanku duduk dikursinya.

          “Sir, apa aku harus duduk di kursi anda untuk mengerjakan pekerjaan apapun itu?” Ia tak menjawabku hanya menatapku dan mengangguk pelan. “Bagaimana kalau staf lainnya melihat, bukankah tidak sopan seorang sekretaris duduk di kursi atasannya.”

          “Tck.. stop talking bulshit just do what i say to you, move your ass..” gerutunya dengan wajah berkerut. “Lima menit lagi waktunya makan siang, kupastikan tak akan ada orang yang akan menginterupsi kita,”

          Aku pun duduk dikursinya yang nyaman dan empuk itu. “Yah, kebetulan aku memang sedang  tidak lapar,” gumamku.

          “Tck, kita akan memesan makanan.. kau suka makanan prancis?” tanyanya sambil memeriksa ponselnya.

          “Hah? Tidak, aku hanya.. anda tak perlu memesan makanan prancis,”

          “Apa kau pilih-pilih makanan?”

          “Tidak juga, aku cuma..”

          “Apa kau suka McDonald?”

“Hmm.. Big Mac dan tambahan keju akan terasa enak..” jawabku ragu. “Eh tapi..”

          “Tck.. kenapa para wanita suka sekali makan junk food, sesekali kau harus mencoba makan seafood dan sayuran..” gerutunya sebal lalu mulai menelepon dan memesan makanan. Tak kusangka ia menyimpan nomor McDonald! Karena sekarang ia benar-benar memesan burger dan lain-lainnya. Apa aku sedang berkhayal atau dia semakin jauh dari kesan sempurna yang selama ini kubayangkan?

          “Oke, apa yang harus kulakukan?” tanyaku setelah dia selesai menelepon.

          “Kau lihat kertas diatas meja yang tadi ku corat-coret? Aku ingin kau mengetik laporannya di komputerku,”

          “Baiklah.. apa hanya ini saja?” aku mulai mengamati kertas yang ia maksud.

          “Ya, hanya itu saja..” serunya lalu duduk di pinggiran meja sambil menatapku.

          “Lalu apa yang akan kau lakukan?”

          “Mengamatimu..”

          “Hah?”

          “Maksudku.. aku akan mengamatimu bekerja, karena kau sering melakukan kesalahan jadi aku ingin memastikan pekerjaanmu. Sudah jangan banyak tanya lagi waktu terus berlalu, shitty brat,” serunya sambil mengamati jam tangannya.

          “Hmm.. alasan yang sangat masuk akal..” gumamku meledeknya lalu mulai berbalik menatap layar komputer yang ada disebelah kiriku. Mulai memasukkan data-data itu dengan serius.

          “Jadi kau akan berkencan dengan pria dari divisi satu itu?”

          “Entahlah.. mungkin,”

          “Apa kau yakin kencan kalian akan sukses? Bukankah kau tidak tertarik dengan sebuah hubungan?”

“Aku memikirkan kata-katamu kemarin, kau bilang aku harus melupakan masa lalu.. meskipun aku tak tahu masa lalu mana yang harus kulupakan,”

          “Alasan bodoh apa itu?” gumam Levi pelan.

          “Stop interogated me! Setidaknya aku ingin mencobanya, tuan ‘tidak ingin menjalin hubungan khusus’,”

          “Shit.. hear those shit made me wanna clean up your dirty mouth, brat..”

          “You shouldn’t do that, even though you’re a crazy f**king clean freak,” sindirku.

          “Little brat.. do you really want me to do this ‘kind of thing’ to you?”

          Mendengar kata-katanya barusan membuatku diam dan kembali fokus melanjutkan pekerjaanku. Kami kembali terdiam sejenak sebelum ia kembali melancarkan serangan protes.

          “Hei.. apa yang kau tulis? Kenapa neracanya seperti itu..” tegurnya, kini ia beralih mendekati kursiku dan mencondongkan tubuhnya didekatku. Kami selalu sedekat ini tapi aku bahkan tak bisa menebak isi hatinya.

          “Ah.. sorry, wait a minute i will fix them..”
         
“Yang benar saja, apa kau tidak serius ingin membantu? Cobalah untuk fokus mengerjakannya dengan benar..” gerutunya lagi sambil menyilangkan tangan didada mengomeliku dengan tatapan sinisnya.

          “Seandainya aku bisa mendapat sedikit ketenangan lalu kau bisa berhenti jadi detektif dan menginterogasiku, aku yakin akan bisa sangat fokus..” balasku sambil memperbaiki pekerjaanku.

          Ponsel Levi berdering dan ia mengamati layarnya sejenak. “Tck.. jangan banyak berkilah, segera perbaiki neracanya, laporan itu harus selesai hari ini..” serunya lalu beralih menuju pintu ruangan saat sebuah pesan masuk keponselnya.

          Tak lama kemudian ia kembali muncul dengan kantung berlogo McDonald ditangannya. “Ini tumpukan lemak yang kau inginkan..” gumamnya sembari menaruh bungkusan itu diatas meja kerjanya.

          “Hmm.. kelihatan sangat lezat, aku sangat suka tumpukan lemak..” balasku tanpa mengalihkan pandangan dari komputer.

          “Tck..” decaknya pelan. “Big Mac ekstra keju kan?” tanyanya sambil membongkar isi bungkusan McDonald.

          “Hmmm, ya..”

          “Ini..” Levi menyerahkan sebuah burger yang bungkusannya telah terbuka padaku lalu kembali duduk dipinggiran meja didekatku dengan soda ditangannya. Ku ambil burger itu dan terheran-heran sejenak.

          “Ah.. thanks, sebenarnya kau tidak perlu membukanya sekarang karena aku akan memakannya nanti..”

          “Makan saja tumpukan lemak itu sekarang, aku tak ingin ada mayat mati kelaparan dalam kantorku,” gerutunya sambil mencomot kentang yang ada dalam bungkusan.

          “Hmm.. kupikir kau suka mayat kering?”

          “Ku pikir kau mulai ngaco.. stop talking bulshit brat, just eat!” gumamnya dengan nada suara yang santai. Aku pun menghentikan sejenak kegiatanku dan mulai menggigit Big Mac ekstra keju dengan perasaan khidmat. “Kenapa kau suka makan tumpukan berlemak ini?”

          “Ini sudah kedua kalinya kau bertanya pertanyaan yang sama, Ackerman.. apa kau tidak bosan menanyakannya?” gumamku dengan mulut penuh.

          “Aku mengulangnya karena kau belum memberiku jawaban,”

          Kugigit burgerku sambil menatap Levi. “Jangan bercanda.. bukankah rasanya sangat enak, apa kau tak pernah memakannya..?” gumamku sambil mengunyah burger. Levi terdiam sejenak menatapku. Kulihat ia sedang meminum soda bagiannya lalu perlahan ia menggelengkan kepalanya. “NO WAY!!! Are you serious?? You never eat this little piece of heaven??” pekikku tak percaya.

          “Tck.. little piece of heaven? Whatever you say.. I won’t ever eat this shit,”
         
          Aku hanya bisa tertawa melihat ekspresi dinginnya sambil memakan burgerku lagi. “I never imagine it.. kau tidak pernah memakan ini? Apa kau manusia purba?” gumamku sambil terkekeh pelan.

          “Berhenti tertawa sebelum kau tersedak, tck.. f**k yang benar saja kenapa makanmu belepotan seperti anak kecil..”

          “Hei Levi..”

          “Mh?”

          “You wanna try this?”

          “Should I ?”

          “Aku tak akan keberatan..” kusodorkan burger yang ada ditanganku padanya. Ia hanya menatap diam burger itu lalu menatapku lagi.

          Akhirnya ia menyerah dan memutuskan untuk mencoba burger itu. Detik berikutnya saat kusadari Levi justru mencium bibirku. Burger ditanganku tak disentuhnya sama sekali. Ada rasa soda dibibirnya dan ia mengecup bagian bibirku yang ada mayonaise-nya. Ciuman itu berlangsung sekitar lima detik dengan sensasi yang tak bisa kugambarkan. Lembut dan beraroma mint khas Levi.

          “Hmm.. you right... it’s delicious,” gumamnya pelan lalu menjauhkan dirinya dariku. “Ternyata McDonald tahu bagaimana cara membuat burger yang enak..”

          Aku menatapnya sejenak lalu bangkit dari kursiku. “Kenapa kau menciumku?” tanyaku tanpa sempat memikirkan kata-kata yang baru kulontarkan tadi?

          “Kenapa kau bertanya? Bukankah kau bilang ciuman kita tak ada artinya? Aku menciummu karena aku ingin, tak ada alasan lain,” gumamnya lagi. Aku hanya bisa mengangguk perlahan mendengar kata-katanya. Lalu beranjak pergi tapi ia menahanku lagi. “Where are you going?”

          “Aku.. akan melanjutkan pekerjaan ini dimejaku saja, masih banyak yang harus kukerjakan..”

          “Are you mad?”

          “No I’m not.. I mean.. sebaiknya kau jangan melakukannya lagi.. sir,”

          “Why?” tanyanya dengan tampang serius. “Jangan bilang karena aku selalu menciummu kau jadi.. wait..” ia terdiam sejenak dan mengerutkan dahinya dengan tatapan (dingin) tak percaya.  “Do you have a crush on me?” lanjutnya.

          Dengan susah payah kutelan air liurku dan berusaha menjawab pertanyaan Levi. “Thank you for this lunch..it’s really delicious,” jawabku lalu beranjak pergi tapi ia menarik tanganku dan menahanku lagi.

          “Hei don’t run away, tell me.. do you have a crush on me?”

          Kutatap wajah Levi untuk sesaat bingung apa kau harus mengatakan yang sejujurnya atau tidak. “Maybe I... of course I’m not,” balasku berusaha tersenyum. “Oh man.. this room feels really hot I need some fresh air.. sorry,”

          Levi menatapku selama semenit penuh lalu melepas pegangannya ditanganku. “I need your real answer.. brat?”

          “I don’t know, Levi..”

* * *  

0 comments:

Post a Comment