SECRET
LESSON WITH MY BOSS
Cast : Levi
Ackerman x Reader (In my case : Lucy Alsei)
Genre : Romance,
Mature
CHAPTER 6
“Kau tahu kan.. kau tidak perlu
melakukan hal ini?”
“Stop joking around.. shitty brat,”
“Aku bisa berangkat kekantor naik bus,
kau tidak perlu menjemputku.. kau lihat? Aku baik-baik saja,”
“Ya, aku tahu..”
“Lalu?”
“Aku perlu sedikit olahraga, makanya
kuputuskan untuk menjemputmu..”
“Tck... jangan mengeluh terus, shitty
brat,”
“Okay.. kita harus membuat kesepakatan,”
“Kesepakatan apa lagi?”
“Aku akan masuk kedalam kantor lima
menit lebih dulu, setelah itu baru kau boleh menyusul..”
Levi mengerutkan dahinya dan
menatapku. “Are you stupid idiot? Untuk apa aku harus melakukannya?”
“Stop called me idiot, berjanjilah kau
akan mengikuti rencana ini?”
“Tck.. okay.. whatever you want..”
*
* *
Aku sedang menunggu pintu lift terbuka
saat melihat Jean, Ymir dan Christa muncul dari pintu lobby. Begitu jarak kami
sudah dekat Jean menyapaku seperti biasanya. “Hai kotoran kud.. auh!! F**k
(*_*), kenapa kau meninjuku??”
“Tutup
mulut baumu itu horse face,” gumamku
setelah meninju perut Jean. “Lagi pula tinjuku barusan tidak terlalu keras,”
Ymir
terkekeh keras sampai ia harus memegangi perutnya. “Akhirnya kau membuat horse
face menangis, sangat mengagumkan (y/n)/Lucy,” puji Ymir.
“Tck,
berhentilah memuji kepala batu ini. Kau akan membuat telinganya mengembang
seharian,” gumam Jean sembari mengelus perutnya.
“Sebaiknya
jangan berkelahi di depan lift,” gumam Christa yang sedang dirangkul Ymir.
“Kalian akan mengganggu orang lain,”
“Kau
tidak suka kupanggil seperti itu tapi kau sendiri selalu memanggilku horse
face,” gumam Jean dengan bibir mengerucut.
“Siapa
yang duluan mulai, huh?”
“Kau
masih saja dingin seperti biasanya, dasar cewek menyebalkan..” guman Jean
sambil menarik beberapa helai rambutku.
“Apa katamu?!” Tindakannya membuatku
kembali memukul tubuhnya lagi. Tiba-tiba saja pintu lobby membuka dengan
otomatis dan mataku refleks menangkap sosok Levi yang kini berjalan kearah
kami.
Kedatangannya
tentu saja membuat kami semua terdiam kaku. Tapi sepertinya ia tak terganggu
dengan reaksi kami, hanya melempar tatapan dingin dan menyapa seperti biasa. Meskipun
terlihat tenang aku yakin tadi dia pasti melihatku sedang memukuli Jean. Aku
merasa ekspresinya terlihat tidak baik. Tck.. aku lupa, apa pun yang kulakukan
dan dengan siapapun itu, semuanya tak ada hubungannya dengan Levi.
Pintu
lift terbuka dan kami semua masuk kedalam lift itu. Ymir dan Christa berdiri
berdampingan dengan Jean sementara aku.. entah kenapa harus berada disebelah
Levi, penumpang lift yang lain pun mulai membanjiri bagian depan kami yang
masih kosong. Levi tampak sangat tenang, bersikap seolah-olah pertemuan kami
tak pernah terjadi. Dia memang seorang aktor yang bagus, atau mungkin memang
itu adalah sikap alamiahnya? Lift kembali bergerak naik.
“Hei..
kemarin kau kemana? Kenapa tidak masuk kantor?” tanya Jean sambil berbisik
ditelingaku dari belakang punggungku.
“It’s
not your bussiness..” gumamku pelan.
“Tck..
Apa kau bolos? Kemarin kekasihmu mencarimu lho..”
“Haah??
Maksudmu siapa?”
Jean
terkekeh pelan sebelum menjawabku. “Maksudku Reiner..”
“Tck..
biarkan saja si mesum itu..”
“Apa
kemarin kau sakit?” tanya Jean sambil iseng menarik rambutku.
“Jean!”
tegurku sambil berbisik keras. “Stop it!!” suara bisikanku yang keras membuat
Levi menoleh menatap kami berdua. Aku mencoba tersenyum manis karena tampaknya
mood Levi sedang tidak baik.
“Apa
kalian baik-baik saja? Kenapa bisikanmu keras sekali brat?” tanya Levi
menatapku.
Jean
terdiam dan berdiri tegak dibelakangku pura-pura mengetik sms di ponselnya.
Dasar horse face sialan.. ia dengan sukses menjebakku.
“Nothing,
kami baik-baik saja.. sir,”
“Tck...”
Pintu
lift terhenti dan menjeblak terbuka tepat di lantai 15, Levi langsung keluar
dari dalam lift dan berjalan cepat menuju kantornya. Melihat punggungnya yang
terus menjauh dari tatapanku membuatku merasa.. kehilangan? Haaah!! Apa yang
kupikirkan? Kami berdua tidak berada dalam situasi yang bagus untuk berhubungan..
dia juga sudah mengatakannya dengan sangat jelas kemarin. Aku tak boleh jatuh
cinta padanya, hh.. sok sekali bukankah dia terlalu percaya diri dengan
kata-katanya itu? Mana mungkin aku jatuh cinta padanya.. tapi entahlah.. kupikir
aku mulai menyukai bosku.
Ya.. tampaknya aku memang mulai
menyukai Levi. Shit!
“Hei,
kau lihat apa (y/n)/Lucy? Kenapa bengong?” tegur Petra, kata-katanya kembali
menyadarkanku. “Apa kau sedang mengamati Mr. Ackerman?”
“Hah??
Tentu saja tidak, jangan bicara macam-macam.. bagaimana kalau ada yang dengar?”
kilahku lalu berjalan menuju mejaku diikuti Petra.
“Kemarin
kau kemana? Apa kau cuti?” tanya Petra.
“Hmm,
kemarin aku ke lokas.. ah ke rumah sakit,”
“Hah?!
Apa kau sakit?” Petra kembali mengerutkan dahinya.
“Ya..
hanya melakukan medical check up, maaf tidak mengabarimu..”
“Oh,
syukurlah kalau kau baik-baik saja.. anyway, aku ingin memberitahumu sesuatu..”
“Tentang
apa?”
“Tapi
jangan marah ya..”
“Tentu saja
tidak.. ada apa? Apa kau dan Sasha menghabiskan jatah kueku lagi?” tanyaku
setengah bercanda.
Petra
hendak mengatakan sesuatu namun Jean dengan sukses menginterupsinya dengan
keributan lain. Jean terpekik senang lalu membawa laptopnya ke mejaku. Kulihat
Petra memasang wajah khawatir sementara yang lain terkikik penuh kemisteriusan.
Apa ada sesuatu yang tidak ku ketahui?
“Shitty
horse, aku sudah mendapatkan calon kekasih untukmu..” pekik Jean dengan wajah
penuh senyuman.
“Hah??
Apa.. aku nggak ngerti maksudmu Jean?” tanyaku bingung lalu menatap Petra yang
masih memasang senyuman tertahan.
Jean
meletakkan laptopnya didepanku, lalu ia dan Petra ikut berdiri didekatku
mencoba melihat layar. Di layar laptop itu ada situs perjodohan, aku tak ingat pernah
mengikuti situs beginian. Tapi entah kenapa akun yang tak ku kenal itu berhasil
mendapat beberapa colekan.
Aku
menatap Petra dan Jean bergantian. “Shit.. siapa yang membuat akun dengan
profilku?”
“Coba
tebak?” gumam Jean.
“Pasti
ini ulahmu lagi kan?” tuduhku.
“Reiner..”
jawab Eren yang tiba-tiba saja muncul dan ikut melongok melihat layar laptop.
“Sepertinya kau sudah mendapat banyak colekan dari beberapa pria, coba kita lihat
profil mereka,” pinta Eren.
Aku
hanya bisa menggelengkan kepala tak percaya. Tapi aku juga sedikit penasaran
dengan pria-pria yang mencolekku lewat akun ini. Jadi kami pun berkumpul untuk
melihat profil mereka.
“No
way!!” gumam Eren dan Jean bersamaan.
“Bukankah
itu Reiner?” gumam Petra dengan dahi berkerut namun ia juga hendak tertawa
ketika melihat profil Reiner.
“Sepertinya
dia belum menyerah denganmu sejak pesta kita yang terakhir,” seru Ymir yang
tiba-tiba saja sudah ikut nimbrung.
“Hei
lihat, itu kan Armin?” celetuk Christa sambil menunjuk akun lainnya.
Seketika
saja semuanya mulai terkikik menahan tawa.
“Sepertinya
dia juga belum menyerah,” gumamku tak percaya lalu lanjut melihat yang lainnya.
Dahiku kembali berkerut menatap Eren dan Jean bergantian ketika mataku berhasil
menangkap kenyataan lainnya. “Kalian berdua juga?” gumamku tak percaya.
Jean
tertawa lebar, sementara Eren menatapnya dengan dahi berkerut. “Apa kalian
berencana membuat game lainnya? Akun ini terlihat seperti sedang
mempermainkanku,” gumamku lagi mulai bete.
“Lihat..
ada pria yang tidak memakai foto.. profilnya lengkap dan tampaknya dia bukan
dari perusahaan kita..”
“Hei,
coba lihat yang ini cukup tampan dan sepertinya dia dari divisi satu..” seru
Petra.
“Apa
yang kalian lakukan?” Seketika saja kami semua menoleh kebelakang dan ternyata
Levi sudah berdiri diambang pintu menatap kami dengan wajah ingin tahu. “Kenapa
wajah kalian seperti itu?” tanyanya lagi lalu berjalan kearah kami.
Semuanya
kaku dan tak lama kemudian Petra mulai angkat bicara. “Kami sedang membantu
(y/n)/Lucy, sir..”
Ku
senggol lengan Petra, ia pun menatapku bingung. Perlahan Levi berjalan
mendekati kami sambil mengerutkan dahinya curiga. “Jangan menatapku seperti
hantu begitu.. aku hanya ingin melihat pekerjaan kalian, jadi santai saja..”
gumamnya pelan.
Aku
hendak mematikan laptop itu namun Jean leih dulu mengamankannya dan
memperlihatkannya pada bos kami. Levi menatap layar laptop tanpa ekspresi
sedikit pun. Lalu ia kembali menegakkan badannya santai.
“Apa
semua pria ini ingin mengajak dia berkencan?” gumam Levi, telunjuknya mengarah
tepat padaku.
“Sepertinya
sih begitu sir,” gumam Jean.
“Ku
lihat nama yang ku kenal juga tercantum dalam daftar itu..”
“Yeah,
sepertinya mereka ingin mencoba peruntungan lainnya..” celetuk Ymir.
Levi
mengalihkan tatapannya padaku dan terdiam sejenak. “Semoga kau tidak
mangacaukan kencanmu, stupid brat,” gumamnya lalu beranjak menjauhi kami
berjalan menuju dapur. Teman-temanku kembali terkikik menahan tawa melihat
reaksiku. “Cepat selesaikan permainan kalian dan kembali bekerja..” celetuk
Levi dan seketika saja semuanya terdiam.
Bahkan dia
tak bereaksi melihat akun perjodohan ini?? Tadinya aku ingin mengabaikan akun
ini, tapi tampaknya aku memang harus mencoba melakukannya.. tak ada salahnya
mencoba sedikit kan..
“Bagaimana
dengan pria ini?” tanyaku dan semuanya kembali melihat layar.
“Iya,
dia tampan dan tinggi.. sebaiknya kau harus mencobanya,” Petra setuju diikuti
Christa yang mengangguk-anggukan kepalanya.
“Sepertinya
(y/n)/Lucy mengabaikan kalian semua teman-teman..” ledek Ymir.
“Setidaknya
dia tidak memilih si bodoh Eren..” seru Jean.
“Tck..
kalau dia memilihmu, kencannya pasti akan berantakan horse face,”
“Stop
memanggilku seperti itu, Yeager!!”
“Oh kau
ingin berkelahi? Sini kalau berani!” tantang Eren.
“Tck,
sudah hentikan..” gumamku pelan. “Aku tak akan memilih Eren karena Mikasa akan
membunuhku, begitu juga denganmu Jean.. aku tak akan memilihmu karena kau
sebenarnya suka Mikasa,” Ymir dan Petra tertawa keras sementara Christa terkekeh
geli menahan tawa.
“Tck..
permainan ini jadi nggak seru lagi..” gumam Jean. “Pakai saja laptopku kalau
kau ingin chatting, aku akan kembali ke mejaku sebelum bos kita kembali dari
dapur,” seru Jean lalu beranjak pergi diikuti yang lainnya. Tinggal Petra
seorang yang masih berada didekatku.
“Aku
akan mencoba chatting dengan dia..” tunjukku kesalah satu akun profil. “Dia
sedang online dan kembali mencolekku..”
“Kau
memang harus mencobanya, bagaimana kalau hari ini kau ajak dia bertemu di pesta
antar divisi..” tawar Petra.
“Pesta
antar divisi?”
“Ah, ya
kau belum tahu ya.. malam ini ada pesta antar divisi, semua orang dari divisi
satu, dua, dan tiga akan datang..” jelasnya.
“Terlalu
banyak orang.. kau tahu kan aku nggak suka tempat ramai..?”
“Tenang
saja kan ada kami, kita bisa mencari sudut ternyaman untukmu..”
“Sepertinya
ini bukan ide bagus..”
*
* *
Namanya
Farlan, dia bekerja dibagian keuangan divisi satu, pekerjaannya sangat menjanjikan.
Dia tampan, tinggi, enak diajak ngobrol dan lucu. “Sepertinya obrolan kalian
berdua seru sekali,” celetuk Mikasa ketika melihatku tersenyum cerah ceria
sepanjang hari. Tanganku masih sibuk membalas chatting Farlan.
Aku
tersenyum lebar dan menatap Mikasa. “Ada apa?” tanyaku dengan senyuman manis.
“Hmm..
ini, dia ingin kau mengantar ini ke bagian percetakan,” seru Mikasa sambil
meletakkan beberapa kertas tebal diatas mejaku.
“Bukankah
ini tugas Reiner?”
“Aku
tahu.. tapi dia ingin kau yang mengantarnya, bagaimana? Apa kau keberatan?
Kalau tidak bisa aku akan..”
“Ya! Aku
bisa.. aku akan mengantarnya nanti,” potongku.
“Sebaiknya
kau berangkat sekarang,”
“Sekarang?”
“Hmm..”
“Ahhh...
okay, aku akan pergi sekarang,” gumamku malas-malasan. Mikasa berlalu menuju
mejanya, sebelum pergi segera kubalas pesan Farlan agar dia tidak kebingungan
menunggu balasan chattingku. “Aku pergi
sebentar untuk melaksanakan tugas negara,” tulisku di ruang obrolan dan
Farlan berkata dia akan menungguku kembali dari misi rahasia ini. Chatting yang
terdengar cukup gila.
Perlu
lima belas menit bagiku untuk pergi mengantar kertas-kertas ini ke lantai
sembilan, saat kembali ke lantai lima belas dengan perasaan capek. Levi telah
menunggu didekat kursiku. “Ada apa, sir?”
“Take
this,” gumamnya pelan sambil menyerahkan setumpuk tebal pekerjaan yang telah ia
selesaikan. “Stempel semua lalu bagikan ini pada semua staf dan sebagian kirim
ke lantai tiga belas, setelah itu periksa jadwal meetingku untuk seminggu kedepan,
catat hari apa saja aku bebas dari meeting dan jangan lupa susun ulang jadwal
ku untuk pergi ke lokasi syuting. Hanji melakukan beberapa perubahan, tolong
kau cek dan sesuaikan dan..” sejenak Levi berhenti dan menatapku yang masih
terbengong-bengong. “aku ingin kau selesaikan semuanya hari ini juga,
secepatnya..” gumamnya lalu berbalik menuju ruangannya lagi. Sebelum masuk ia
kembali menoleh padaku. “Oh ya, aku ingin secangkir teh Earl Grey hangat dengan
dua blok gula, aduk perlahan sebanyak lima kali, kau bisa membuat teh itu
terlebih dulu,” gumamnya lalu menutup pintu ruangannya.
Hah?!..
apa dia sedang mencoba untuk membunuhku? Bahkan aku tak sempat menarik napas
saat mendengarnya bicara. Dengan perasaan lelah segera ku letakkan tumpukan
berkas yang ada ditanganku lalu mengecek laptop Jean. Layarnya gelap dan... apa
laptop ini mati? Ku tekan tombol ‘hidup’ tapi tampaknya laptop ini baru saja
dimatikan dan chattingku dan Farlan terhapus. Okay, sepertinya aku memang harus
fokus pada pekerjaanku saja dan semoga Farlan tetap memutuskan untuk menemuiku di
pesta nanti malam karena aku memutuskan untuk pergi ke pesta itu.
Aku
sedang sibuk mencari teh Earl Grey Levi di dalam lemari dapur saat Petra masuk untuk
mengambil segelas air putih dingin. “Kau mencari apa?” tegurnya saat melihatku
berjongkok diatas lututku memeriksa lemari bagian bawah.
“Ah, aku
mencari Earl Grey Tea.. apa kau melihatnya? Seingatku teh itu ku letakkan di
lemari bagian atas, tapi aku tak bisa menemukannya disana,” gumamku.
“Mungkin
habis, kau tahu kan.. kadang Eren dan Annie juga suka minum teh..”
Aku
kembali berdiri dan memeriksa ulang bagian atas lemari. “Seharusnya mereka
tidak menyentuh teh itu.. karena teh itu lebih penting dari nyawa mereka
berdua,”
“Hei coba
lihat ini..” gumam Petra sambil menarikku kedekatnya. Jari telunjuknya mengarah
kedalam bak sampah.
“No
way...” gumamku dengan mata terbelalak dengan cepat kuraih kotak itu. Yang
benar saja itu adalah kotak Earl Grey Tea terakhir milik Levi. Kenapa bisa
habis secepat ini. “Tck.. ahh...... aku lupa membeli cadangannya...” gumamku
pada Petra.
“Teh
lain?”
Ku
bongkar lagi rak lemari teratas dan mengeluarkan kotak Black Tea Levi.
“Seharusnya tadi kau lihat wajahnya saat minta Earl Grey Tea, dia memicingkan
matanya seperti ini, kau tahu... itu sangat menakutkan,” gumamku sambil
mencontohkan ekspresi Levi dan menunjuk mataku dengan gaya yang lucu. Hal itu
membuat Petra terkekeh pelan. “Jangan tertawa.. aku masih harus membuat Black
tea ini untuknya,” gumamku lagi sambil menuang air panas ke cangkir Levi dan
memasukkan dua blok gula ke dalamnya. Namun sepertinya kepanikanku adalah
tontonan menarik untuk Petra.
“Hei,
bagaimana cowok barumu?”
“Hmmm,
dia menarik dan sangat terlatih..”
“Apa
maksdumu dengan terlatih?”
“Entahlah,
mungkin hanya perasaanku saja.. menurutku dia pandai merayu dan mahir membuat
wanita menyukainya, dia bukan tipe yang cocok untukku,” gumamku sembari
beranjak pergi membawa cangkir levi. Petra mengikutiku.
“Whatever..
terserah apa pendapatmu, yang pasti kau harus datang ke pesta malam ini dan
temui dia, oke? Aku tak ingin kau mangkir dan tidak datang ke pesta itu,”
gumamnya lagi menepuk bahuku lalu beranjak pergi menuju mejanya. Petra benar, sudah saatnya untuk menjadi
manusia normal.
Kuketuk
pintu ruangan Levi dan terdengar suaranya mempersilakanku masuk. Aku pun masuk
dan mendapatinya sedang sibuk di kursi kerjanya ia sedang memeriksa ponselnya.
“Ini teh
anda, sir,” tegurku lalu menaruh cangkir tehnya di atas meja yang ada didepannya.
“Silakan diminum,”
“Wait,”
aku hendak beranjak pergi saat Levi menarik tanganku dan menggenggamnya kuat.
Dengan tangan satunya ia meraih cangkir dan membaui teh itu dengan hidungnya
tak lama dahinya berkerut. Ia terdiam menatapku. “Bukankah sudah jelas
kukatakan aku ingin Earl Grey?” tanyanya seolah ingin memastikan apa aku
terlalu bodoh membedakan Black Tea dan Earl Grey Tea.
“Benar
sekali, kita kehabisan Earl Grey Tea dan aku tak punya cadangannya.. jadi aku
membuatkanmu Black Tea, karena hanya teh itu yang ada,”
Ia
menatapku sejenak lalu meletakkan lagi cangkir itu ketatakannya, mengubah
posisi kursinya menghadap kearahku tanpa melepaskan pegangannya ditanganku.
“What?”
gumamku. Tapi ia tak menjawabku lalu mulai melepas kacamatanya dan melonggarkan
dasinya. “Kalau tak ada yang ingin kau katakan aku akan melanjutkan
pekerjaanku, karena aku belum memeriksa jadwal dan menstempel banyak kertas
lalu..”
“I need
your help..” serunya.
Aku
terdiam dan.. “Okay.. what can I do for you?”
Levi
bangkit dari duduknya. “Sit down..” serunya sambil melepas tanganku dan menaruh
kedua tangannya sendiri kedalam kantung celananya. Mempersilakanku duduk
dikursinya.
“Sir,
apa aku harus duduk di kursi anda untuk mengerjakan pekerjaan apapun itu?” Ia
tak menjawabku hanya menatapku dan mengangguk pelan. “Bagaimana kalau staf
lainnya melihat, bukankah tidak sopan seorang sekretaris duduk di kursi
atasannya.”
“Tck..
stop talking bulshit just do what i say to you, move your ass..” gerutunya
dengan wajah berkerut. “Lima menit lagi waktunya makan siang, kupastikan tak
akan ada orang yang akan menginterupsi kita,”
Aku pun
duduk dikursinya yang nyaman dan empuk itu. “Yah, kebetulan aku memang sedang tidak lapar,” gumamku.
“Tck,
kita akan memesan makanan.. kau suka makanan prancis?” tanyanya sambil
memeriksa ponselnya.
“Hah?
Tidak, aku hanya.. anda tak perlu memesan makanan prancis,”
“Apa kau
pilih-pilih makanan?”
“Tidak
juga, aku cuma..”
“Apa kau
suka McDonald?”
“Hmm.. Big Mac dan tambahan keju akan
terasa enak..” jawabku ragu. “Eh tapi..”
“Tck..
kenapa para wanita suka sekali makan junk food, sesekali kau harus mencoba
makan seafood dan sayuran..” gerutunya sebal lalu mulai menelepon dan memesan
makanan. Tak kusangka ia menyimpan nomor McDonald! Karena sekarang ia
benar-benar memesan burger dan lain-lainnya. Apa aku sedang berkhayal atau dia
semakin jauh dari kesan sempurna yang selama ini kubayangkan?
“Oke,
apa yang harus kulakukan?” tanyaku setelah dia selesai menelepon.
“Kau
lihat kertas diatas meja yang tadi ku corat-coret? Aku ingin kau mengetik
laporannya di komputerku,”
“Baiklah..
apa hanya ini saja?” aku mulai mengamati kertas yang ia maksud.
“Ya,
hanya itu saja..” serunya lalu duduk di pinggiran meja sambil menatapku.
“Lalu
apa yang akan kau lakukan?”
“Mengamatimu..”
“Hah?”
“Maksudku..
aku akan mengamatimu bekerja, karena kau sering melakukan kesalahan jadi aku
ingin memastikan pekerjaanmu. Sudah jangan banyak tanya lagi waktu terus
berlalu, shitty brat,” serunya sambil mengamati jam tangannya.
“Hmm..
alasan yang sangat masuk akal..” gumamku meledeknya lalu mulai berbalik menatap
layar komputer yang ada disebelah kiriku. Mulai memasukkan data-data itu dengan
serius.
“Jadi
kau akan berkencan dengan pria dari divisi satu itu?”
“Entahlah..
mungkin,”
“Apa kau
yakin kencan kalian akan sukses? Bukankah kau tidak tertarik dengan sebuah
hubungan?”
“Aku memikirkan kata-katamu kemarin,
kau bilang aku harus melupakan masa lalu.. meskipun aku tak tahu masa lalu mana
yang harus kulupakan,”
“Alasan
bodoh apa itu?” gumam Levi pelan.
“Stop
interogated me! Setidaknya aku ingin mencobanya, tuan ‘tidak ingin menjalin
hubungan khusus’,”
“Shit.. hear those shit made me wanna
clean up your dirty mouth,
brat..”
“You
shouldn’t do that, even though you’re a crazy f**king clean freak,” sindirku.
“Little
brat.. do you really want me to do this ‘kind of thing’ to you?”
Mendengar
kata-katanya barusan membuatku diam dan kembali fokus melanjutkan pekerjaanku.
Kami kembali terdiam sejenak sebelum ia kembali melancarkan serangan protes.
“Hei..
apa yang kau tulis? Kenapa neracanya seperti itu..” tegurnya, kini ia beralih
mendekati kursiku dan mencondongkan tubuhnya didekatku. Kami selalu sedekat ini
tapi aku bahkan tak bisa menebak isi hatinya.
“Ah..
sorry, wait a minute i will fix them..”
“Yang benar saja, apa kau tidak serius
ingin membantu? Cobalah untuk fokus mengerjakannya dengan benar..” gerutunya
lagi sambil menyilangkan tangan didada mengomeliku dengan tatapan sinisnya.
“Seandainya
aku bisa mendapat sedikit ketenangan lalu kau bisa berhenti jadi detektif dan
menginterogasiku, aku yakin akan bisa sangat fokus..” balasku sambil
memperbaiki pekerjaanku.
Ponsel
Levi berdering dan ia mengamati layarnya sejenak. “Tck.. jangan banyak
berkilah, segera perbaiki neracanya, laporan itu harus selesai hari ini..”
serunya lalu beralih menuju pintu ruangan saat sebuah pesan masuk keponselnya.
Tak lama
kemudian ia kembali muncul dengan kantung berlogo McDonald ditangannya. “Ini
tumpukan lemak yang kau inginkan..” gumamnya sembari menaruh bungkusan itu
diatas meja kerjanya.
“Hmm..
kelihatan sangat lezat, aku sangat suka tumpukan lemak..” balasku tanpa
mengalihkan pandangan dari komputer.
“Tck..”
decaknya pelan. “Big Mac ekstra keju kan?” tanyanya sambil membongkar isi
bungkusan McDonald.
“Hmmm,
ya..”
“Ini..”
Levi menyerahkan sebuah burger yang bungkusannya telah terbuka padaku lalu
kembali duduk dipinggiran meja didekatku dengan soda ditangannya. Ku ambil
burger itu dan terheran-heran sejenak.
“Ah..
thanks, sebenarnya kau tidak perlu membukanya sekarang karena aku akan
memakannya nanti..”
“Makan saja
tumpukan lemak itu sekarang, aku tak ingin ada mayat mati kelaparan dalam
kantorku,” gerutunya sambil mencomot kentang yang ada dalam bungkusan.
“Hmm..
kupikir kau suka mayat kering?”
“Ku
pikir kau mulai ngaco.. stop talking bulshit brat, just eat!” gumamnya dengan
nada suara yang santai. Aku pun menghentikan sejenak kegiatanku dan mulai
menggigit Big Mac ekstra keju dengan perasaan khidmat. “Kenapa kau suka makan
tumpukan berlemak ini?”
“Ini
sudah kedua kalinya kau bertanya pertanyaan yang sama, Ackerman.. apa kau tidak
bosan menanyakannya?” gumamku dengan mulut penuh.
“Aku
mengulangnya karena kau belum memberiku jawaban,”
Kugigit
burgerku sambil menatap Levi. “Jangan bercanda.. bukankah rasanya sangat enak,
apa kau tak pernah memakannya..?” gumamku sambil mengunyah burger. Levi terdiam
sejenak menatapku. Kulihat ia sedang meminum soda bagiannya lalu perlahan ia
menggelengkan kepalanya. “NO WAY!!! Are you serious?? You never eat this little
piece of heaven??” pekikku tak percaya.
“Tck.. little
piece of heaven? Whatever you say.. I won’t ever eat this shit,”
Aku
hanya bisa tertawa melihat ekspresi dinginnya sambil memakan burgerku lagi. “I
never imagine it.. kau tidak pernah memakan ini? Apa kau manusia purba?”
gumamku sambil terkekeh pelan.
“Berhenti
tertawa sebelum kau tersedak, tck.. f**k yang benar saja kenapa makanmu
belepotan seperti anak kecil..”
“Hei
Levi..”
“Mh?”
“You
wanna try this?”
“Should
I ?”
“Aku tak
akan keberatan..” kusodorkan burger yang ada ditanganku padanya. Ia hanya
menatap diam burger itu lalu menatapku lagi.
Akhirnya
ia menyerah dan memutuskan untuk mencoba burger itu. Detik berikutnya saat
kusadari Levi justru mencium bibirku. Burger ditanganku tak disentuhnya sama
sekali. Ada rasa soda dibibirnya dan ia mengecup bagian bibirku yang ada
mayonaise-nya. Ciuman itu berlangsung sekitar lima detik dengan sensasi yang
tak bisa kugambarkan. Lembut dan beraroma mint khas Levi.
“Hmm.. you
right... it’s delicious,” gumamnya pelan lalu menjauhkan dirinya dariku. “Ternyata
McDonald tahu bagaimana cara membuat burger yang enak..”
Aku
menatapnya sejenak lalu bangkit dari kursiku. “Kenapa kau menciumku?” tanyaku
tanpa sempat memikirkan kata-kata yang baru kulontarkan tadi?
“Kenapa
kau bertanya? Bukankah kau bilang ciuman kita tak ada artinya? Aku menciummu
karena aku ingin, tak ada alasan lain,” gumamnya lagi. Aku hanya bisa
mengangguk perlahan mendengar kata-katanya. Lalu beranjak pergi tapi ia
menahanku lagi. “Where are you going?”
“Aku..
akan melanjutkan pekerjaan ini dimejaku saja, masih banyak yang harus
kukerjakan..”
“Are you
mad?”
“No I’m
not.. I mean.. sebaiknya kau jangan melakukannya lagi.. sir,”
“Why?”
tanyanya dengan tampang serius. “Jangan bilang karena aku selalu menciummu kau
jadi.. wait..” ia terdiam sejenak dan mengerutkan dahinya dengan tatapan
(dingin) tak percaya. “Do you have a
crush on me?” lanjutnya.
Dengan
susah payah kutelan air liurku dan berusaha menjawab pertanyaan Levi. “Thank
you for this lunch..it’s really delicious,” jawabku lalu beranjak pergi tapi ia
menarik tanganku dan menahanku lagi.
“Hei
don’t run away, tell me.. do you have a crush on me?”
Kutatap
wajah Levi untuk sesaat bingung apa kau harus mengatakan yang sejujurnya atau
tidak. “Maybe I... of course I’m not,” balasku berusaha tersenyum. “Oh man..
this room feels really hot I need some fresh air.. sorry,”
Levi
menatapku selama semenit penuh lalu melepas pegangannya ditanganku. “I need
your real answer.. brat?”
“I don’t
know, Levi..”
*
* *
0 comments:
Post a Comment