Sunday 4 December 2016

Mystic Messenger : Precious Devil #Part 04 [Jumin Han x Reader]

BY Unknown IN 2 comments



Precious Devil

Karakter        : Jumin Han (Mystic Messenger) x Reader
Genre             : Smut, Mature, Romance
Bahasa           : Indonesia English Mix
Gambar          : Credit to Cheritz

PS : Don’t take it serious, cerita ini mengambil latar diluar negeri jadi mohon kebijaksanaan reader chan. :3

Prev Part 3 <<

Part 4

Perlahan jari-jari Jumin menyentuh kulit wanita itu, ia pun merintih kesakitan  ketika merespon sentuhan Jumin. Dalam hati Jumin merasa jantungnya seolah jatuh dari tempatnya, hasratnya pun telah bangkit.

Wanita itu menatapnya dengan raut wajah penuh permohonan, rintihan kecil keluar dari bibir mungilnya entah mengapa dalam hatinya, Jumin merasa senang namun disisi lain ia juga merasa bersalah. Tatapan dan rintihan erotis itu membuat Jumin menelan liurnya dengan susah payah. Ia pun mendekatkan wajahnya pada wanita itu dan mencium bibir ranumnya.

Terasa manis dan menggairahkan, Jumin tak bisa menahan dirinya lagi karena saat disadarinya ia telah melahap bibir lembut nan manis itu dengan penuh hasrat. Apalagi saat wanita itu mulai membalas ciumannya dan mencengkeram rambutnya, menyentuh kulit nya dengan jari-jari yang panas. Sesuatu dalam perutnya bergejolak hebat.

Pertama kalinya ia merasa seperti ini pada seseorang.

Kimono yang dipakai Jumin melorot sampai pinggangnya, bibir keduanya saling bertautan, pertama kali Jumin benar-benar mencium bibir seorang wanita, ia sering melihatnya dibeberapa film saat sedang bersantai di kondominium pribadinya, atau ketika pesta di luar negeri berlangsung dimana orang asing dengan santainya berciuman didepan umum.

Namun ini pertama kalinya bagi Jumin, ia baru tahu jika rasanya ternyata sememabukkan ini dan ia sangat menyukainya perasaan ini, lidahnya menerobos masuk bibir ranum itu, menjilat, menghisapnya dan ciuman itu diakhiri dengan tarikan napas yang dalam dan menyesakkan dada keduanya.

What the hell was happening?

Jumin gemetar saat menatap wajah wanita bersemu merah yang ada dibawahnya.

“Apa kau sudah merasa lebih baik, huh?” gumam Jumin pelan, entah kenapa ia ingin sekali mengerjainya. Ia tahu tentu saja ciuman adalah awalan yang sangat buruk jika berada dalam kondisi berhasrat seperti ini, jangankan orang yang terkena pengaruh obat bahkan dia yang masih waras saja tak mungkin merasa cukup lalu ingin berhenti.

Jari-jari panas itu kembali menyentuh dada Jumin lalu perlahan bergerak menuju Kimono yang masih menutup sebagian tubuh indahnya.

Jumin tersenyum “Ah... I know you want it...” bisiknya pelan, “...aku akan segera memberikannya padamu... bersabarlah,”. Jumin beranjak diatas kasur memperbaiki posisinya dan dengan rasa percaya diri yang tinggi ia melepas Kimononya dan melemparnya asal, kimono itu jatuh teronggok diatas lantai.

****

“S-sakit!!”

Rasa sakit itu menjalari tubuh bagai disengat listrik bertegangan tinggi. Terasa perih luar biasa namun hangat didalam sana saat Jumin menusuk masuk miliknya. Air mata mengalir dari sudut mata dan isakan itu tak mau berhenti. Wajah Jumin dihiasi rasa kaget luar biasa, ia tahu akan mendapat reaksi seperti ini, namun melihat wanita itu terisak di bawah sana membuat ia jadi merasa setengah hati untuk melanjutkannya.

“A-are you okay?” tanyanya berusaha terdengar tidak panik. Meskipun hasratnya telah sampai diubun-ubun ia memutuskan untuk tidak melanjutkannya, jika ini memang sangat menyakitkan. “Sorry! I’m gonna stop now...”

Genggaman kuat jari-jari mungil dilengan Jumin membuatnya terkesima. Ia menatap nya lagi, menimbang-nimbang karena ragu namun kemudian ia teringat lagi, ini bukan untuk kepuasan pribadinya... wanita ini membutuhkannya.

Tubuh yang panas dan basah oleh keringat yang ada dibawahnya menggeliat tak sabar. Membuat Jumin berusaha setengah mati untuk mengontrol dirinya, jepitan dinding-dinding basah dan panas itu mencengkeram miliknya sampai membuatnya ngilu, ia merasa pusing jika tak segera menggerakkannya.

Tanpa menunggu lama, Jumin kembali melumat bibir basah yang ranum dan manis itu dengan lahap, perlahan ia menggerakkan pinggulnya, menusuk keluar masuk dengan ritme yang lambat, ringan dan terkontrol.

This is bad... rutuknya dalam hati.

“(Name)...hhhh... a-aahh...” gumam Jumin samar berusaha menahan desahannya.

Tak ada sahutan, sebagai balasannya hanya rintihan dan erangan erotis yang menghiasi gendang telinganya. Entah kenapa berciuman sambil menggerakkan pinggulnya membuat Jumin merasa sangat senang. Tubuhnya yang basah oleh keringat dipeluk erat-erat dan desahan itu terdengar jelas ditelinganya membuatnya sangat bergairah.

Ia tak boleh kalah! Pikirnya, bukan dia yang membutuhkan bantuan tapi wanita inilah yang membutuhkannya, ia harus bisa bertahan sampai si wanita merasakan kepuasan yang ia cari sejak tadi.

“A-I wanna...”

Mendengar suara itu adalah pertanda bagi Jumin, ia pun mulai bersemangat memompa pinggulnya dengan ritme yang lebih cepat.

“Come on babe...” rintih Jumin. “Come on... you can do it...”

Ia bisa merasakan bahwa tak hanya dirinya yang sedang bekerja keras, ia merasakan pinggul mungil itu juga mempercepat ritmenya sendiri. Kini ia bisa berkonsentrasi dengan kepuasannya, karena cengkraman kuat dan panas dibawahnya itu sudah tak bisa diajak kompromi. Ia sudah siap meledak, hanya tinggal menunggu saat yang tepat.

“A-aahhh!!!”

Lengkingan kepuasan itu memenuhi ruangan, Jumin menatap pemandangan dibawahnya dengan perasaan lega luar biasa, tanpa ragu ia pun meledakkan dirinya jauh kedalam sana, ia merasakan pijatan ekstrim dibawahnya dan ia pun melenguh puas. Menarik napas dalam-dalam, mencoba mengontrol jantungnya yang berdentum tak karuan.

Jumin tersenyum manis saat melihat raut wajah wanita itu, ia pun mencium keningnya dengan penuh perasaan hangat yang tak pernah ia sadari, bahwa ternyata selama ini ia memiliki perasaan seperti ini.

“(Name)...”

Jumin berpikir bahwa ini telah berakhir, ia tak boleh meminta lebih dari ini meskipun ia merasa masih sanggup melakukannya hingga tiga sampai lima kali. Perlahan ia membaringkan tubuhnya disisi wanita itu.

Namun ternyata... tidak hanya dia yang berpikir bahwa ini belum berakhir. Pengaruh obat yang sangat keras itu tak cukup ditaklukkan hanya dengan sekali permainan saja. Ia menyadarinya saat jari-jarinya mungil itu menyentuhnya dibawah sana dan ia pun kembali mengeras dengan sangat cepat.

****

“Mr. Han...” Jaehee masuk ke dalam ruang kantor Jumin, ada beberapa berkas dalam pelukannya. “... ini berkas-berkas yang harus anda tanda tangani,”

Jumin yang sedang melamun sambil menatap bangunan diluar kaca transfaran itu tidak langsung menoleh pada Jaehee, ditangannya ada segelas wine dan di meja tamu ada sebotol wine yang isinya sudah tinggal setengah.

“Mr. Han? Anda tidak berencana untuk mabuk di siang bolong kan? Setelah ini masih ada beberapa rapat yang harus anda hadiri,” tegur Jaehee lagi. Jumin balik menatapnya dengan tatapan tajam dan dingin lalu setelah itu menyeruput gelas wine yang ada ditangannya.

“Sejak kapan kau jadi cerewet seperti ini asisten Kang?” tegur Jumin lalu menaruh gelasnya diatas meja kecil lainnya dan berjalan santai menuju meja kerjanya.

Jaehee menarik napas dalam-dalam. Ini bukan pertama kalinya ia cerewet hampir setiap saat ia selalu berargumen dengan bosnya, jadi kata-kata itu hanya ibarat angin lalu bagi Jaehee.

“Mr. Han anda sudah melewatkan rapat pagi yang diadakan di perusahaan N dan datang sangat terlambat ke kantor, ini tidak seperti anda yang biasanya tidak suka melewatkan segala sesuatu dan ingin semuanya perfek. Saya bisa memahami jika anda sakit... tapi saya tak percaya anda akan menggunakan alasan ‘aku baru saja menemukan seekor kucing manis yang butuh pertolongan medis dariku’, saya jadi harus mengcover anda dengan alasan yang lebih baik dari itu,”

“Maka dari itu aku mempekerjakanmu aisten Kang, aku suka cara berpikirmu dan tindakanmu yang gesit, berkat hal itu perusahaan N masih mau melanjutkan kontrak dengan perusahaan ini, benar kan?” gumam Jumin cuek sambil terus menandatangani berkas.

Jaehee merasa kesal, tapi ia tak bisa menjawab, perkataan bosnya ada benarnya juga. “Mr Han, satu jam lagi akan ada rapat bersama...”

“Asisten Kang...” potong Jumin. Jaehee langsung terdiam dan berdiri kaku ditempatnya. “Tolong batalkan semua pertemuan hari ini, cek ulang jadwalku dan tukar pertemuannya di lain hari...”

Jaehee terkesima, ini pertama kalinya bosnya mengatakan ‘tolong’ padanya. “Tapi... dalam sebulan ini jadwal anda sudah sangat penuh...”

“Aku punya urusan penting...” Jumin menutup lagi ballpointnya dan membiarkan Jaehee mengurus berkas-berkas yang setengah terhambur itu. “Aku harus pergi menemui Dr. Choi...”

“Apa anda benar-benar sakit Mr.Han?”

“Ya begitulah. Kurasa aku sedang sakit, aku bahkan tak bisa berhenti memikirkan kucing manis itu...”

“Anda tidak sedang bercanda kan...”

“Ah, bagaimana dengan temanmu (Name)!! Apa dia sudah datang?” potong Jumin lagi, kali ini ada nada excited dalam suaranya.

Jaehee menggeleng pelan sambil memeluk berkas-berkas di dadanya. “Tampaknya hari ini dia tidak bisa ke kantor, dia menelepon dan meminta ijin untuk tidak masuk hari ini. Sepertinya dia sedang sakit dia bahkan menolak niat saya untuk menjenguknya”

Jumin mendesah pelan. Wajar saja... gumam Jumin dalam hatinya.

Wajar saja, jika dia tidak ingin ditemui... aku sendiri tak menyangka kami akan melakukannya sampai delapan kali dan malam itu dia benar-benar tak bisa membuatku lepas darinya.

Jumin memijat-mijat dahinya pelan dengan mata yang masih tertutup, ada semburat merah di wajahnya. “Apa anda baik-baik saja tuan? Jika ada yang ingin disampaikan aku akan menyampaikannya pada (Name)...”

“Tidak perlu... cukup batalkan saja pertemuannya, apa masih ada berkas lain yang harus kutanda tangani?” tanyanya sambil beranjak lagi menuju meja kecil didekat kaca transfaran. Ia mulai mengisi gelas itu dengan wine lagi.

Jaehee merasa ada yang tak beres dengan tingkah bosnya, ia tampak galau sekali hari ini. “Semuanya sudah ditanda tangani, aku akan mengatur ulang jadwal anda dan menelepon Dr. Choi agar dia tahu anda akan pergi menemuinya,”

“Terima kasih, asisten Kang,” gumam Jumin pelan lalu menatap Jaehee yang beranjak pergi meninggalkannya.

Jumin menyeruput lagi gelasnya dan menatap keluar jendela dengan pandangan nanar. “Setelah semua yang terjadi... kau bahkan tidak ingat bahwa kita sudah melakukannya malam itu. Padahal kau yang memulai lebih dulu, bukankah itu sangat keterlaluan... (Name)?”

****

Tadi pagi...

Suara alarm yang berisik itu membuatku terbangun namun entah kenapa kepalaku pusing luar biasa dan seluruh badan ini terasa sakit seperti habis dipukuli oleh banyak orang. Bahkan ingin menggerakkan tangan untuk mencapai ponsel yang tergeletak diatas meja tidur itu pun aku tak mampu, tubuh ini terasa sangat berat seperti ditimpa oleh benda besar.

“Ngghh...”

Berusaha bangun dengan kepala pusing lalu meraih ponsel yang berisik itu dan mematikan alarmnya. Aku tak ingat apa yang sudah kulakukan hingga kepala dan tubuhku jadi sakit semua seperti ini.

Pagi itu ada pemandangan yang berbeda... ternyata semalam aku tidak tidur di dalam kamar apartemenku. Ini pertama kalinya aku melihat ruangan serba putih ini... apa yang terjadi semalam?

“Mhhhh...”

Suara itu mengagetkanku dan tubuhku tiba-tiba saja dipeluk oleh seseorang dengan sangat kuat, tidak, sebenarnya ia sudah memeluk bagian pinggangku sejak tadi namun aku terlalu sakit untuk menyadarinya.

Jantungku berdebar sangat cepat saat menoleh padanya, ia sedang tertidur disisiku sambil memelukku, rasanya jantungku mencelos sampai kaki saat kulihat wajah Jumin sedang tertidur damai tanpa mengenakan pakaian yang pantas.

Kenapa Jumin tidur disini? Kenapa dia tak memakai pakaian? Pikiran dan pertanyaan itu berkecamuk dalam otakku yang sakit. Aku tak ingat apa yang sudah terjadi. Detik berikutnya akupun sadar, aku juga tak memakai pakaian.

Dimana pakaianku?

Dengan perasaan panik perlahan kubuka selimut yang menutupi setengah tubuhku dan aku pun mengerti dari mana rasa sakit itu berasal. Apa yang sudah kulakukan pada Jumin? Apa yang terjadi?

Ada rasa cekat didadaku yang menyesakkan, tapi fakta bahwa semalam aku bermain bersama Jumin tak bisa kuhapus begitu saja, sayangnya aku tak begitu ingat apa yang terjadi dan aku kecewa kenapa dia melakukannya saat aku tak bisa mengingat apapun.

“Hey...” tegur Jumin. Suaranya lagi-lagi membuat jantungku seolah jatuh sampai kaki. “Kau sudah bangun rupanya...” sapanya lalu bangkit dari tidurnya dan mencium bahuku lembut. “Bagaimana tubuhmu apa kau sudah ba...”

“Jumin!” potongku cepat. “A-aku harus pergi...”

“Hah?! Sekarang?!”

Mencoba menjauh dari Jumin aku pun menarik selimut yang menutupi kami berdua dan turun dari kasur. Sayangnya hal itu justru memberiku pemandangan yang tak akan bisa kulupakan seumur hidup (mungkin). Jumin tampak santai meskipun tubuh full naked-nya terekspos jelas, ia beranjak dari kasur dan meraih celana tidur yang teronggok di lantai lalu memakainya begitu saja.

“Ya, aku sudah terlambat berangkat ke kantor, aku membutuhkan pakaianku yang biasa,” jawabku.

Jumin menatapku sambil berkacak pinggang.

“Tak bisakah kau libur saja hari ini?”

“Aku cuma pegawai biasa Jumin!” jawabku. “Aku bukan bos sepertimu, aku tak bisa seenaknya mengambil libur,”

“Tak perlu khawatir, kau bekerja di perusahaanku...”

“Tidak bisa!” potongku lagi. Tak berani menatap Jumin, wajahku sudah terasa semakin panas, aku tak ingin ia melihatku seperti ini.

Ia tampak malas menanggapiku namun berjalan cepat menuju pintu, tubuh atasnya yang tidak tertutup pakaian entah mengapa menarik perhatianku. “Pelayan!!” panggil Jumin saat sudah berada dipintu kamar yang terbuka, tak lama kemudian beberapa pelayan muncul dan ia mengatakan permintaannya pada mereka lalu kembali masuk kedalam kamar, tepat saat aku baru saja memakai kimono tidur yang teronggok diatas lantai.

“Tinggallah untuk sarapan, oke? Aku sudah meminta mereka menyiapkannya untukmu...” gumam Jumin, ia langsung memelukku yang sedang membelakanginya. Namun reaksiku rupanya tak seperti yang ia harapkan, ia tampak kaget saat aku berjengit dan menjauh darinya.

“What’s wrong?” tanyanya bingung.

“a-I don’t know... sorry I just... confused,”

“Confuse??” ulangnya dengan dahi berkerut. “About what... what do you mean?” tanya Jumin, ia tampak sangat serius.

Aku menatapnya gundah untuk sesaat, rasa sakit dibawah sana ketika aku bergerak dan bercak merah dikasur itu memberitahuku dengan sangat jelas apa yang sudah terjadi. Tapi aku sama sekali tak bisa mengingat apapun, apa yang sudah kami lakukan dan kenapa aku melakukannya. Apa aku sangat mabuk malam itu? Apa kami berdua melakukannya karena sama-sama terbawa suasana dan menginginkannya?

“Aku... aku tidak ingat apa yang sudah terjadi...”

Tok tok tok... cklek...

Ketukan di pintu itu membuyarkan kata-kataku, pelayan-pelayan itu masuk ke dalam kamar dengan baju-bajuku. Jumin menatapku sesaat dan entah kenapa ia tampak terluka sekali.

“Jadi kau tidak ingat? Huh?” gumamnya dingin lalu beranjak mendekatiku dan menarikku kesisinya, ia tak ragu sedikitpun meskipun para maid sedang berada diruangan yang sama bersama kami.

“Ju-Jumin!! What are you do...mmhh...”

Ciuman kasar itu mendarat dibibirku, ia melumatnya tanpa ampun dan lidah yang hangat dan  basah itu memaksa memasuki rongga mulut untuk meminta persetujuan lawannya. Tak bisa menolak kekuatan yang sangat besar itu, aku malah menikmatinya seolah lidah Jumin telah terbiasa berada didalam rongga mulutku.

“Jumin... please... stop,”

Ia melepaskan tautan bibir kami dan menarik napas panjang-panjang, wajah kami sudah panas dan semerah tomat. Aku merasa sangat malu pada para maid, aku tak mengerti apa yang sedang Jumin coba lakukan.

“Kau masih tidak ingat?” tanyanya lagi.

Aku mendorongnya dan mendekati para maid, mengambil bajuku lalu meminta mereka pergi. Dengan sekali instruksi mereka pun segera keluar dari kamar putih itu. “Jumin maaf aku...”

“Aku akan meminta maid mengantar makananmu kesini,” potong Jumin lalu beranjak menuju pintu. “Aku tak akan mengganggumu, silakan ambil waktumu sendiri dan anggap saja tempat ini seperti rumahmu. Kita bisa membicarakannya nanti saat perasaanmu sudah lebih tenang oke? Kalauu ada sesuatu yang kau butuhkan panggil saja para maid dan kau bisa menemuiku kapan pun kau mau. Aku juga akan bersiap, selamat pagi (Name),”

Terdengar suara pintu tertutup dan pandanganku terpaku pada piyama satin putih yang teronggok di lantai. Dengan perasaan sakit kupungut piyama itu dan memeluknya. Kenapa aku jadi bingung sekali? Teman-temanku bahkan pernah tidur dengan strangers yang baru mereka temui di bar bukankah aku sedikit beruntung? Karena aku tidur dengan temanku sendiri yang seorang bos ditempatku bekerja?

****

“Jadi itu yang membuatmu galau hingga menghabiskan sebotol wine sendirian? Kau lumayan juga, masih bisa bicara normal meskipun sudah minum sebanyak itu..” puji Dr. Choi, bukan lebih tepatnya ia sedang mengejek Jumin.

“Setidaknya wine membuatku berpikir jernih...”

“Itu menurutmu... pada kenyataannya hal itu justru bekerja sebaliknya, kau beruntung karena kuat minum saja...” Jumin terdiam di kursinya, masih memikirkan pembicaraannya barusan dengan Dr. Choi. “Sudahlah lupakan saja, seharusnya masalah itu tidak menjadi hal besar untukmu... kau melakukannya semata untuk menolongnya dari pengaruh obat, aku bisa memahaminya...”

Wajah Jumin bersemu merah saat mendengar kata-kata Dr. Choi dan ia mengerutkan dahinya tak senang. “Kau mengungkapkannya terlalu gamblang dokter. Aku hanya bingung, bagaimana mungkin dia bisa begitu saja lupa... aku tak mengerti,”

Dr. Choi beranjak dari kursinya dan membuka jendela ia mengeluarkan sebatang rokok dari kotak rokok yang ada didalam sakunya lalu mulai merokok. Kepulan asap keluar dari mulut dan hidungnya saat ia sedang menikmati nikotin ditengah pekerjaan yang membuatnya stres.

“Harusnya kau tidak merokok kan?” tegur Jumin saat mengalihkan perhatiannya pada Dr. Choi.

Dr. Choi tertawa. “Seorang pemabuk sepertimu tak seharusnya berkata seperti itu padaku...”

“Tetap saja, kau ini seorang dokter berilah contoh yang baik untuk para Junior mu...” gumam Jumin kesal.

“Oke-oke baiklah, kau terlihat sangat stres anak muda...” gumam Dr. Choi disela-sela tawanya. “Kau bingung kenapa dia lupa?” Dr. Choi mengulang pertanyaan Jumin. “Bukankah kalian melakukannya dibawah pengaruh obat yang sangat keras? Harusnya kau tahu dia sedang berada dalam kondisi tidak bisa berpikir jernih jadi jangan terlalu berharap dia akan terbangun disisimu lalu balas mencintaimu... ah aku lupa, kalian hanya teman biasa. Seharusnya kau merasa senang karena dia tak menuntut macam-macam padamu...”

“Dia bukan wanita seperti itu...”

“Mungkin kau bilang begitu karena kau kurang pengalaman dengan para wanita... biar kuberitahu, hampir semua wanita itu sama, disaat terdesak mereka akan melakukan apa saja untuk mendapat apa yang mereka inginkan. Kau tinggal menunggu hasil dari perbuatanmu... lalu menyesalinya, tak kusangka orang yang bahkan menolak untuk tinggal serumah sebelum menikah akan melakukan hal itu sebelum menikah, kau benar-benar yang terburuk Jumin,”

Jumin memijat pelan kepalanya, kata-kata Dr. Choi memang benar. Meskipun merasa kesal karena Dr. Choi sedang menelanjangi harga dirinya, jauh didasar hatinya ia merasa ada yang hilang.

“Kau beruntung karena dia tak mengingatnya... jika dia minta pertanggung jawaban dikemudian hari, kau tentu bisa memutuskan mana yang menguntungkanmu dan mana yang tidak,” lanjut Dr. Choi.

“Kejam sekali... bukankah kau ini seorang dokter?”

“Kita berada didunia yang saat ini selalu menghitung untung dan rugi sebagai hasil akhir, maka dari itu aku sangat mengerti dirimu dan keluargamu. Aku membantu orang dengan tenaga dan pikiranku jadi meskipun kata-kataku terdengar kejam aku tak akan ragu untuk menolong penjahat sekalipun. Bagiku mereka sama-sama manusia lemah yang butuh pertolongan. Saat ini kau datang padaku untuk meminta bantuan, jadi aku berusaha memberimu opsi untuk menjernihkan pemikiranmu... saat ini banyak orang yang hanya bisa mengambil jalan pintas dan tak ingin bertanggung jawab, aku hanya ingin tahu apa sisi kemanusiaanmu itu masih memiliki harga diri,”

“Aku tidak membunuh orang dengan tanganku, aku kemari untuk menanyakan kenapa dia lupa... kau malah bicara panjang lebar tentang untung rugi,”

Dr. Choi tertawa dan mematikan rokoknya yang sudah hampir habis. “Aku bicara begini, karena kau tampak kecewa sekali, aku hanya ingin tahu apa kau menyesalinya... itu saja,” Ia beranjak menuju laci mejanya dan mengeluarkan beberapa disk tak bercover. “Ini..” serunya sambil menyerahkan disk itu pada Jumin.

“Apa ini?”

“Ambil saja, mengingat sikapmu yang kaku aku jadi sedikit kepikiran dan prihatin... kau tak mungkin meminta asistenmu untuk mencarikan hal seperti ini jadi aku sudah menyiapkan beberapa referensi video bagus yang bisa kau pelajari, kau akan sangat menyukainya,” goda Dr. Choi.

“W-what!!!?? Are you sick...”

Wajah Jumin bersemu merah, ia malu sekali mendengar kata-kata Dr. Choi. Namun Dr. Choi dengan cueknya mengangsurkan disk-disk itu kedalam tas kerja Jumin.

“Kau sudah dapat jawaban yang kau inginkan kan? Jika kau menginginkan pertemanan biasa seperti sebelumnya biar kuperjelas saja... kalian berdua sudah tak bisa kembali seperti dulu, keadaannya sudah berubah Jumin jadi kau harus menerimanya,”

Dengan kesal Jumin bangkit dari duduknya dan memperbaiki jasnya. “Biar waktu yang menjawab semuanya, terima kasih untuk waktumu kakek tua,” gumam Jumin dingin, ia membungkuk hormat lalu menyambar tasnya dan pergi.

“Hhh... dasar anak keras kepala...”

****

To Be Continued~

Hai dear reader chan :) maaf ya updatenya lama nih, btw kalau kalian baca chapter kali ini mungkin akan sedikit bingung ya? soalnya aku masih agak kerepotan menentukan tipe penceritaan yang pas untuk masing-masing karakter. Jadi cara penceritaannya akan agak aneh tapi kuharap kalian bisa menikmati ceritanya. Thanks sudah mampir sampai ketemu di Chapter selanjutnya :* Jannee~~ (Btw~ Minggu depan My Dilemma chapter 11 akan di upload :3)

>> Next Part 5

2 comments: