Precious Devil
Part 2
Karakter : Jumin Han (Mystic Messenger) x Reader
Genre : Smut, Romance
Language : Bahasa Indonesia Mix
Gambar : Cheritz
“Terakhir aku
pergi mengecek perkembangan kebun anggur, mereka menyodoriku sebotol wine
olahan dengan rasa yang sangat fantastis, aku masih belum bisa melupakan
rasanya,” gumam Jumin sambil membaui wine yang ia pegang lalu meminumnya.
“Kau sudah
mengoleksi banyak anggur, sebaiknya kau jangan terlalu sering minum, kau harus lebih
memperhatikan kesehatanmu,” tukasku.
“Ah, kau juga
sering minum kopi...”
“Tentu saja itu
hal yang berbeda...”
“Mereka sama-sama
tak baik untuk kesehatan, apa kau pikun...”
“Jumin Han!” sapa
seorang bule. “Long time no see.. Nice to meet you...” si bule menghampiriku
dan Jumin yang sedang asik berdebat masalah makanan dan anggur.
Jumin langsung
menanggapi pria itu dan ia memasang wajah super ramah dan langsung bersikap
formal. Jumin juga memperkenalkanku sebagai ‘teman’ wanitanya bukan kekasih,
namun si pria tampak tak percaya dan berkata bahwa Jumin tak perlu malu jika
ingin bilang bahwa kami sedang menjalin hubungan.
Jumin hanya
menanggapinya dengan tawa renyah dan mereka pun mulai berbincang mengenai wine
dan urusan bisnis. Sebagai seorang sekretaris biasa di perusahaan Jumin, tentu
aku memahami bisnis seperti apa yang ia jalankan tapi posisiku mengharuskan
untuk tidak ikut campur dalam pembicaraan mengenai bisnis ini, Jumin menyadari
hal ini dan ia pun merangkul pinggangku menarikku agar mendekat dengannya.
“Are you boring?”
bisiknya ditelingaku.
Jantungku seolah
akan meledak dan wajahku langsung memanas saat mendengar suaranya dan merasakan
sentuhan tangannya dikulit punggungku. Namun ini bukan saatnya untuk merasa
deg-degan aku adalah teman wanita biasa.
“Um, no... I’m
fine...” jawabku sambil tersenyum manis.
“Apa wanitamu
membutuhkanmu Mr.Han...?” tegur si bule.
Jumin tertawa
renyah. “Sejujurnya akulah yang tak bisa menjauh darinya...” canda Jumin. Saat
melihat wajah cerahnya aku berharap bahwa ia mengatakan yang sebenarnya meskipun
aku tahu ia hanya akting.
“Jangan
khawatirkan aku tuan-tuan...” gumamku sambil melepaskan diri dari pelukan
Jumin. “Silakan lanjutkan pembicaraan kalian aku akan berkeliling dan menikmati
pesta ini,”
“Are you sure?”
tanya Jumin lagi, ia tampak cemas.
“Yeah, nikmati
saja obrolanmu kau tak perlu mencemaskan hal yang tak perlu...” bisikku padanya
sebelum pergi.
Jumin masih
menatapku saat melihatku pergi menjauh darinya. Aku memang punya tugas untuk
menjauhkannya dari para wanita, kurasa aku cukup membantu untuk hal itu tapi
sebaliknya ia jadi tidak fokus pada pembicaraan bisnis dengan para koleganya,
jika terus memperhatikan wajah penuh bosanku kurasa ia tak akan bisa mendapat
bisinis baru.
Aku berbohong
padanya, aku tak begitu menikmati pesta ini, aku lebih suka berada di
kondominium Jumin, menikmati pemandangan langit malam bersama Ellizabeth 3rd
dan Jumin yang sedang menikmati wine sambil membicarakan betapa ia ingin
membangun istana kucing.
Kalau dipikir
lagi, aku tak pernah menyangka bisa berada sedekat ini dengan bosku mungkin aku
harus berterima kasih pada Jaehee yang memintaku untuk mengurus Elly, meskipun
waktu kethuan Jumin ia jadi marah besar pada kami berdua. Namun kejadian aneh
pun terjadi, beberapa hari setelah pertemuan di rumah Jaehee, Jumin melihatku
sedang membuat kopi di kantor dan tanpa kuduga ia langsung menyapaku.
Aku tak pernah
bicara langsung dengannya jadi itu adalah pertama kalinya kami bicara ketika
berada di kantor. Secara khusus ia memintaku untuk merawat dan menjaga Ellizabeth
3rd, dia juga mengiming-imingi ku dengan jumlah uang yang tidak main-main.
Aku tak tertarik
dengan uang Jumin. Keputusanku untuk menolak uangnya sepertinya cukup bagus,
karena dia menawarkan perjanjian yang tak kuduga sama sekali. Dia memintaku menjadi
temannya. Kupikir itu tawaran yang sangat luar biasa indah, ya Jumin Han bosku
yang sangat disiplin memintaku wanita yang bukan siapa-siapa ini menjadi
temannya...
Ups, mungkin aku
terlalu berlebihan... lebih tepatnya... teman Elizabeth 3rd. Yah... aku cukup
menyukai posisiku sebagai teman Elizabeth 3rd karena aku memang menyukai kucing
lucu itu.
“Permisi nona,
apa aku mengganggumu?” tegur seorang pria. Suaranya yang ramah membuyarkan
lamunanku. Aku pun berbalik dan menatap pria itu, ia langsung menghampiriku.
“Pemandangan yang indah ya?” tanyanya lalu ikut menatap pemandangan dari balik
kaca transparan besar ruangan itu.
“Oh ya...” aku
terkekeh salah tingkah, ia pasti mengira aku orang aneh karena sedari tadi
hanya memandang keluar sana tanpa sedikit pun berusaha untuk membaur.
“Sepertinya aku terlalu fokus menikmatinya karena pemandangannya sangat menarik
perhatianku... hmm... Mr...?”
“Damian... dan
kau nona...?” serunya lalu mengulurkan tangan untuk bersalaman.
Aku pun menyambut
uluran tangannya. “(Name)... Mr. Damian” jawabku lalu tersenyum.
“Ah, nice to meet
you Miss (Name), kau boleh memanggilku Damian,”
“Kalau begitu kau
juga boleh memanggilku (Name) saja,” gumamku mengoreksi kata-katanya.
Ia tampak kaget
lalu kemudian tersenyum manis. “Baiklah (Name).. Maaf jika aku terdengar kepo,
tapi apa yang sedang dilakukan wanita secantik ini disini? Maksudku... ini
pesta yang membosankan kan?”
“Oh, sebenarnya
ini pesta yang menarik hanya saja aku terlalu terpaku pada pemandangan diluar sana... kau tahu,
lampu-lampu bangunan besar di malam hari... ” aku kembali terdiam, mana mungkin
orang asing sepertinya bisa mengerti apa yang kurasakan.
“Oh ya aku
percaya padamu... aku juga sering melakukan hal yang sama jika bosan,” gumamnya
sambil tersenyum penuh arti, ia mengangguk-angguk pelan. “Tenang saja.
Sejujurnya aku juga merasa bosan dengan pertemuan ini, aku datang kesini karena
terpaksa... tapi tak kusangka akan menemukan seseorang yang sangat menarik..
kurasa aku sedang beruntung,”
“Maksudmu...?”
“Boleh aku ngobrol
denganmu kan...? Aku sedang tak ingin membicarakan masalah bisnis dengan siapa
pun malam ini dan kurasa kekasihmu pun seharusnya begitu, aku tak habis pikir
kenapa dia bisa mengabaikan wanita secantik ini dan lebih memilih membicarakan
bisnis dan bisnis,”
“Tapi ini memang
pesta bisnis kan...” gumamku mengingatkan. “Seharusnya akulah yang tidak ikut
kesini agar tidak membuatnya jadi tak bisa fokus untuk bekerja...”
“Sepertinya
hubungan kalian sudah sangat dalam... kau terdengar sangat memahaminya, kurasa
aku tak akan punya kesempatan lagi...” gumamnya lalu tertawa. Ia terlihat
sangat tampan ketika tertawa rambut coklat dan mata birunya terlihat sangat
kontras dan tidak sesuai.
“Ini pertama
kalinya kulihat Jumin Han datang bersama wanita cantik yang bukan asistennya...
biasanya dia selalu datang bersama asistennya...”
“Ah, kurasa ini
hari keberuntunganku karena dia mengajakku kesini, hampir setiap saat dia
dikelilingi banyak wanita cantik, kurasa aku bukanlah pengecualian...”
“Itu memang benar
sih, dia memang selalu dikelilingi wanita cantik yang terlihat sangat antusias
padanya tapi sebaliknya kau tampak berbeda dari mereka (Name)... ah maaf jika
aku membuatmu tak nyaman dengan pembicaraan ini,”
“It’s okay...
tapi sebaiknya kita mencari topik lain saja Damian,”
“Kau benar! Aku
sungguh tidak sopan, padahal kau baru mengenalku,” gumamnya lalu tertawa
renyah. “Ah! Sebentar aku akan mengambil minuman untuk kita berdua,”
“Damian, aku
tidak minum alkohol...”
“Kalau begitu anggur
tanpa alkohol mau?”
“Thanks,”
Damian pun pergi
meninggalkanku, kulihat Jumin masih sibuk berbicara dengan koleganya.
Sepertinya tidak banyak wanita yang mendekatinya hari ini jadi kurasa aku tak
perlu berada di sisinya. Tak lama kemudian Damian kembali muncul dengan dua
gelas anggur ditangannya.
“Maaf membuat
seorang lady menunggu...” seru Damian lalu menyodorkan gelas anggur padaku.
“Apa ini?”
tanyaku saat membaui minumanku.
“Ah, mereka tidak
menyediakan anggur tanpa alkohol dipesta ini jadi kuminta mereka meracik
minuman yang lebih ringan dari seharusnya, apa kau keberatan...?” jelasnya
dengan wajah cemas.
“Ah, it’s okay...
kalau menurutmu ini ringan akan kucoba sedikit...” putusku karena merasa tak
enak sudah merepotkan Damian.
“Bersulang?” serunya
sambil mengangkat gelasnya.
“Cheers ^^”
Kami pun
bersulang dan meminum minuman masing-masing. “Um...” gumamku.
“Bagaimana
rasanya?”
“Ahhaha,
entahlah... kurasa aku bisa menikmatinya, aku tak begitu paham soal minuman
keras,” Kami berdua pun terlibat obrolan yang cukup seru terkadang dia bertanya
mengenai Jumin namun aku tak begitu menanggapinya.
Damian adalah
orang yang hangat, sopan dan ceria, ia juga lucu sangat bertolak belakang dari
kepribadian Jumin. Sebenarnya Jumin juga lucu tapi dari sisi yang berbeda.
“Jadi saat rapat
berlangsung aku justru tertidur pulas dan...” Cerita Damian terhenti saat
melihat sosok yang kami berdua kenal, berjalan mendekati kami.
“(Name)...”
Panggil Jumin.
Damian menatap
Jumin dengan tatapan dingin saat Jumin memperhatikan gelas yang ada ditanganku.
“Kau tidak minum
alkohol kan?” tanya Jumin dengan dahi berkerut, ia merampas gelas yang ada
ditanganku dan membauinya lalu menaruhnya begitu saja diatas meja kecil yang
ada didekat kami.
“Jumin ini
temanku Dam...”
“Ayo kita
pulang...” potongnya lalu meraih pinggangku.
“Jumin...?”
tegurku lagi, Jumin menatapku sejenak lalu menatap Damian lagi.
“Apa kabar Jumin
Han?” tegur Damian dengan senyuman terbaiknya.
“Damian, kupikir
kau tidak tertarik datang ke pesta seperti ini?”
Damian tertawa
geli. “Tadinya begitu, tapi malam ini aku berubah pikiran... aku tak menyangka
akan bertemu wanita yang sangat menarik disini,”
“Ah, syukurlah
kalau kau menikmatinya tapi sayangnya kami harus pergi sekarang... ayo (Name),”
ajak Jumin terdengar seperti memaksa.
“Jumin?” gumamku
bingung.
“(Name) senang
bertemu denganmu, kapan-kapan aku boleh datang untuk menjengukmu kan?” tanya
Damian sambil tersenyum super manis.
Kurasa ia paham
dengan situasi awkward diantara kami bertiga tapi tetap saja Jumin bersikap
terlalu dingin pada temannya.
“Ayo (Name),”
Jumin menarikku pergi membuatku tak sempat menanggapi pertanyaan Damian.
Sepanjang aula ia
menarikku dan tak menjawab pertanyaanku bahkan tak menghiraukan tamu lain yang
mencoba menyapanya. Kami berjalan beriringan dalam diam disepanjang koridor
hotel itu, Jumin tak menyadari bahwa ia masih memegangi tanganku saat kami
berdua telah berada dalam lift.
“Jumin...
pestanya belum berakhir kan?”
“Kau masih
perduli soal pesta disaat seperti ini? Hah?” geramnya namun tak menatapku.
“Tentu saja aku
perduli, kau bilang ini pesta bisnis jadi kupikir lebih baik aku tidak
mengganggumu dan klienmu,”
“Tapi bukan
berarti kau harus bersama Damian!” cetus Jumin, ada nada kesal dalam suaranya.
“Ia hanya mengajakku
ngobrol karena melihatku bosan dengan pesta itu...”
“Kalau kau bosan
kau bisa bilang padaku kan? Bukannya malah pergi dan tertawa-tawa dengan
Damian,”
“Tentu saja aku
tak mungkin bilang padamu... ini pesta yang penting untukmu, kami hanya mengobrol!
Tidak lebih,”
“Apapun yang
terjadi jangan pernah mendekati Damian, mengerti?” Jumin menatapku dengan
tatapan tajam dan ada penegasan tak suka dalam suaranya.
“Kau... marah...
pada Damian atau padaku?”
Jumin memejamkan
matanya mencoba menarik napas dalam dalam sambil memperbaiki letak dasinya yang
sebenarnya rapi.
“Aku tidak marah
padamu aku cuma merasa kesal saja..” gumamnya dingin lalu tangannya yang bebas
memperbaiki letak dasinya lagi, kurasa dia memang benar-benar marah. Entah kenapa
melihatnya seperti ini mmbuatku berpikir kalau dia sangat Cute.
“Apa bedanya?”
tanyaku sok polos.
“Tentu saja ada
bedanya,” jawabnya dingin.
“Jumin, jangan
bilang kalau kau.... suka pada...”
Jumin mengerutkan
dahinya dan mengalihkan tatapannya dariku, ada semburat merah di pipinya.
“...
jangan-jangan kau suka Damian ya?”
“(Name!!!)” pekik
Jumin sebal.
Aku langsung
terkekeh sambil berusaha menahan sesak diperutku. Ekspresi kaget Jumin
benar-benar tak kuduga sama sekali.
“Ini bukan
sesuatu yang pantas untuk ditertawakan, kalau ada yang dengar mereka akan salah
paham padaku. Berhenti mengataiku gay... aku sudah punya orang yang kusuka”
jelasnya panjang lebar.
Ia tampak malu
dan sebal disaat bersamaan. Aku sangat suka mengerjainya, biasanya dia akan
menjelaskan segala sesuatunya hingga clear, menurutku dia sangat manis jika
sedang gusar.
“Maksudmu Elly? Jumin... dia kan binatang bukan orang...”
“Salah. Elizabeth 3rd adalah mahakarya tercantik yang
pernah diciptakan tuhan...” ralatnya.
“Kau benar, dia memang lucu... tapi dia bukan manusia,”
“Aku tahu kau sedang mencoba mengalihkan perhatianku,
apapun yang terjadi diantara kalian barusan, aku tak ingin melihatmu bertemu
Damian lagi,”
“Setidaknya kau
harus beritahu aku alasannya,”
“Ini masalah
pribadi kau tak perlu tahu,” Jumin menatapku untuk sesaat.
“Jadi kau tak
perlu marah atau melarangku berbicara dengan Damian kan? Karena itu masalah
pribadiku sendiri,” putusku kemudian, merasa kesal dengan keegoisan Jumin.
“Apa kau lupa?”
gumamnya pelan, aku menatapnya ingin tahu. “Aku membayarmu untuk menemani dan
melayaniku kan? Seharusnya kau tidak boleh berbicara dengan pria lain karena
sejak awal kau datang ke pesta itu bersamaku. Kau tidak tahu apa yang kudengar
saat para tamu berbicara tentangmu kan?”
Kata-kata Jumin
membuatku terkejut, ya dia memang benar, dia memang sudah membayarku dan aku
justru tak menjalankan tugasku dengan baik. Aku tahu telah dimanfaatkan, tapi
ternyata mendengarnya langsung dari Jumin tidak membuat keadaanku jadi lebih
baik. Aku terlalu mengedepankan perasaanku sendiri.
Kulepaskan
tanganku dari genggaman Jumin dan ia tampak terkejut, baru sadar bahwa sejak
tadi ia masih memegangi tanganku. “Sepertinya aku memang tidak pandai berakting
Mr. Han dan aku juga sudah membuatmu malu, aku akan mengembalikan uang yang
sudah kau transfer...”
“What do you
mean?”
“Kubilang aku
sudah gagal membantumu, aku paham sekali kalau kau tidak bisa mentolerir yang
namanya kegagalan jadi aku juga harus bersikap profesional,”
“What are you
talking about?”
“Aku akan
mengembalikan uang...”
Jumin menggenggam
tanganku kuat membuatku tersentak kaget dan menatap wajah kesalnya. “Bukan uang
yang jadi masalah utamanya...” potongnya.
Ting Tong....
Pintu lift
terbuka dan Jumin tak melanjutkan lagi kata-katanya. “Kita bicarakan lagi nanti,
ini tak ada hubungannya sama sekali dengan uang... aku akan membencimu jika kau
membahas tentang hal ini lagi, jika kau masih mau berakting setidaknya kita
masih bisa berakting sampai driver Kim menjemput kita,”
Jumin menarik
tanganku agar aku mengikuti langkahnya lagi. Aku merasa kesal dan bingung
dengan maksud dari kata-kata Jumin, aku tidak mengerti, aku datang kemari bukan
sebagai kekasihnya kan? Dia tak perlu semarah itu padaku hanya karena seseorang
muncul untuk mengajakku bicara karena melihatku bosan dengan pesta itu.
Mendengar
kata-katanya barusan membuat tubuhku jadi terasa panas dan... sakit.
Entahlah... apa aku terlalu sensitif? Atau mungkin cuaca malam ini memang
sedang tidak baik? Aku bahkan mulai merasa pening... kasur dan bantal yang
empuk pasti akan membuatku merasa lebih baik, mungkin.
“Ada apa? Kenapa
kau diam saja?” tegur Jumin saat melihatku diam dan menunduk sambil menopang
kepalaku dengan tanganku yang bebas. Ia tampak cemas... atau setidaknya itulah
yang kupikirkan. Kami sudah berada di depan hotel, menunggu munculnya limo yang
dikendarai driver Kim.
Aku hanya
menggelengkan kepalaku saja mencoba tersenyum seolah kata-katanya tadi tidak
menyakitiku. Ia melihatku dengan tatapan mata yang dingin. Kuharap ia tak
menatapku dengan sorot mata begitu.
“Ah, itu Mr.
Kim...” gumamku mencairkan suasana kelam diantara kami. Aku ingin segera pulang
dan tidur, aku tak tahan jika terus
berada di dekat Jumin. Kurasa aku akan menangis dan aku tak ingin ia melihatku
seperti itu.
Tanpa menunggu
ajakan dari Jumin aku pun berjalan lebih dulu menuju mobil yang baru saja
berhenti didekat tangga. Jumin tak bicara lagi hanya mengikuti langkahku.
Sekelebat rasa sakit itu menyengat tubuhku dan membuatku hampir tersandung dari
tangga.
Jumin menangkap
tubuhku dan menahanku dengan lengannya, sentuhan jari-jarinya yang hangat di
kulit punggungku membuatku merasa sakit
dan nyaman disaat bersamaan. Napasku juga mulai sesak dan tak beraturan.
“Kau kenapa
(Name)? Tubuhmu hangat sekali...” gumam Jumin dari suaranya ia terdengar sangat
khawatir. Aku menggeleng sebagai respon dari pertanyaannya. “Apa kau sakit?”
aku hanya bisa menggeleng saja.
Jumin membantuku
masuk kedalam limo dan ia berpesan pada driver Kim agar kami langsung pergi ke
rumah sakit terbaik di Korea.
“Jangan!” gumamku
lemah.
“Apa maksudmu
jangan?” sentak Jumin tampak gusar. “Kau terlihat kesakitan!” geramnya.
“Jumin... I’m
fine, please I wanna go home... oke,” tolakku keras dengan wajah yang sudah
mulai memerah.
“No. We’re going
to the hospital... kita harus memeriksakanmu,”
“Aku Cuma ingin
istirahat dirumah saja, please... Jumin...” pintaku, memelas.
Jumin masuk
kedalam limo, ia duduk disebelahku lalu melepas jas yang ia kenakan dan
memakainya untuk menutupi tubuhku. “Kuharap ini hanya masuk angin biasa,
harusnya aku memaksamu memakai pakaian yang lebih tertutup... kau tak boleh
memperlihatkan kulitmu begitu saja pada semua orang dimalam sedingin ini!”
gerutunya.
“Jumin... thanks,”
gumamku pelan.
Ia menatapku
sejenak dengan tatapan yang menyiratkan sesuatu. “Kau tak perlu mengatakan hal
yang tidak perlu...” lalu ia pun memencet tombol khusus yang ada di dekatnya. “Driver
Kim kita pulang kerumah...”
Terdengar jawaban
dari driver Kim. “Maksud anda... kita akan mengantar nona (Name) ke
apartemennya dulu, begitukan tuan?”
“Apa kau bercanda
driver Kim? Saat kubilang pulang ke rumah artinya kita kembali ke kondominium,”
gumam Jumin.
“Baik tuan,”
Jumin mengakhiri
panggilan itu dan driver Kim tak bertanya apapun lagi. “Jumin, antar aku ke
apartemenku dulu...” pintaku saat menyadari kata-kata Jumin barusan.
“Tidak! Mana
mungkin kubiarkan kau berada sendirian di apartemen dengan kondisi seperti ini,
kita akan ketempatku, aku akan meminta pelayan untuk mengurusmu saat kita
sampai nanti,”
“Tidak perlu...
antar aku ke apartemmen saja...”
“Kumohon
berhentilah keras kepala (Name)... kita akan pulang kerumahku,” pinta Jumin. Ia
tampak berbeda dari biasanya, kuputuskan untuk mengikuti permintaannya,
mendengar ia menyebutkan kata ‘kumohon’ entah kenapa membuatku merasa luluh.
Samar-samar
kudengar Jumin sedang menelepon seseorang dan aku pun kembali larut dalam rasa
panas dan sakit yang tak kupahami ini. Sakit yang berbeda dari biasanya, aku
tak mengerti apa yang kuinginkan saat ini.
Aku ingin
jari-jari Jumin menyentuh kulitku lagi.
****
PS : Halo~ reader chan! Maaf
karena ceritanya terlalu pendek ^^, tadinya aku pengen clear-in cerita ini
sampai part 2 saja, hmm... tapi... aku juga mulai melanjutkan fanfic lamaku
jadi aku agak sedikit kesulitan ‘berpikir’... hahahaha, terpaksa Jumin Han x
Reader akan lanjut ke part 3, btw aku nggak akan buat fanfic ini dengan banyak
episode seperti sebelumnya sih karena aku takut hiatus lagi ///TvT/// tapi....
kuharap kalian suka :3
0 comments:
Post a Comment