Thursday 20 October 2016

Mystic Messenger : Precious Devil #Part 02 [Jumin Han x Reader]

BY Unknown IN , No comments





Precious Devil
Part 2

Karakter         : Jumin Han (Mystic Messenger) x Reader
Genre             : Smut, Romance
Language     : Bahasa Indonesia Mix
Gambar         : Cheritz

“Terakhir aku pergi mengecek perkembangan kebun anggur, mereka menyodoriku sebotol wine olahan dengan rasa yang sangat fantastis, aku masih belum bisa melupakan rasanya,” gumam Jumin sambil membaui wine yang ia pegang lalu meminumnya.

“Kau sudah mengoleksi banyak anggur, sebaiknya kau jangan terlalu sering minum, kau harus lebih memperhatikan kesehatanmu,” tukasku.

“Ah, kau juga sering minum kopi...”

“Tentu saja itu hal yang berbeda...”

“Mereka sama-sama tak baik untuk kesehatan, apa kau pikun...”

“Jumin Han!” sapa seorang bule. “Long time no see.. Nice to meet you...” si bule menghampiriku dan Jumin yang sedang asik berdebat masalah makanan dan anggur.

Jumin langsung menanggapi pria itu dan ia memasang wajah super ramah dan langsung bersikap formal. Jumin juga memperkenalkanku sebagai ‘teman’ wanitanya bukan kekasih, namun si pria tampak tak percaya dan berkata bahwa Jumin tak perlu malu jika ingin bilang bahwa kami sedang menjalin hubungan.

Jumin hanya menanggapinya dengan tawa renyah dan mereka pun mulai berbincang mengenai wine dan urusan bisnis. Sebagai seorang sekretaris biasa di perusahaan Jumin, tentu aku memahami bisnis seperti apa yang ia jalankan tapi posisiku mengharuskan untuk tidak ikut campur dalam pembicaraan mengenai bisnis ini, Jumin menyadari hal ini dan ia pun merangkul pinggangku menarikku agar mendekat dengannya.

“Are you boring?” bisiknya ditelingaku.

Jantungku seolah akan meledak dan wajahku langsung memanas saat mendengar suaranya dan merasakan sentuhan tangannya dikulit punggungku. Namun ini bukan saatnya untuk merasa deg-degan aku adalah teman wanita biasa.

“Um, no... I’m fine...” jawabku sambil tersenyum manis.

“Apa wanitamu membutuhkanmu Mr.Han...?” tegur si bule.

Jumin tertawa renyah. “Sejujurnya akulah yang tak bisa menjauh darinya...” canda Jumin. Saat melihat wajah cerahnya aku berharap bahwa ia mengatakan yang sebenarnya meskipun aku tahu ia hanya akting.

“Jangan khawatirkan aku tuan-tuan...” gumamku sambil melepaskan diri dari pelukan Jumin. “Silakan lanjutkan pembicaraan kalian aku akan berkeliling dan menikmati pesta ini,”

“Are you sure?” tanya Jumin lagi, ia tampak cemas.

“Yeah, nikmati saja obrolanmu kau tak perlu mencemaskan hal yang tak perlu...” bisikku padanya sebelum pergi.

Jumin masih menatapku saat melihatku pergi menjauh darinya. Aku memang punya tugas untuk menjauhkannya dari para wanita, kurasa aku cukup membantu untuk hal itu tapi sebaliknya ia jadi tidak fokus pada pembicaraan bisnis dengan para koleganya, jika terus memperhatikan wajah penuh bosanku kurasa ia tak akan bisa mendapat bisinis baru.

Aku berbohong padanya, aku tak begitu menikmati pesta ini, aku lebih suka berada di kondominium Jumin, menikmati pemandangan langit malam bersama Ellizabeth 3rd dan Jumin yang sedang menikmati wine sambil membicarakan betapa ia ingin membangun istana kucing.

Kalau dipikir lagi, aku tak pernah menyangka bisa berada sedekat ini dengan bosku mungkin aku harus berterima kasih pada Jaehee yang memintaku untuk mengurus Elly, meskipun waktu kethuan Jumin ia jadi marah besar pada kami berdua. Namun kejadian aneh pun terjadi, beberapa hari setelah pertemuan di rumah Jaehee, Jumin melihatku sedang membuat kopi di kantor dan tanpa kuduga ia langsung menyapaku.

Aku tak pernah bicara langsung dengannya jadi itu adalah pertama kalinya kami bicara ketika berada di kantor. Secara khusus ia memintaku untuk merawat dan menjaga Ellizabeth 3rd, dia juga mengiming-imingi ku dengan jumlah uang yang tidak main-main.

Aku tak tertarik dengan uang Jumin. Keputusanku untuk menolak uangnya sepertinya cukup bagus, karena dia menawarkan perjanjian yang tak kuduga sama sekali. Dia memintaku menjadi temannya. Kupikir itu tawaran yang sangat luar biasa indah, ya Jumin Han bosku yang sangat disiplin memintaku wanita yang bukan siapa-siapa ini menjadi temannya...

Ups, mungkin aku terlalu berlebihan... lebih tepatnya... teman Elizabeth 3rd. Yah... aku cukup menyukai posisiku sebagai teman Elizabeth 3rd karena aku memang menyukai kucing lucu itu.

“Permisi nona, apa aku mengganggumu?” tegur seorang pria. Suaranya yang ramah membuyarkan lamunanku. Aku pun berbalik dan menatap pria itu, ia langsung menghampiriku. “Pemandangan yang indah ya?” tanyanya lalu ikut menatap pemandangan dari balik kaca transparan besar ruangan itu.

“Oh ya...” aku terkekeh salah tingkah, ia pasti mengira aku orang aneh karena sedari tadi hanya memandang keluar sana tanpa sedikit pun berusaha untuk membaur. “Sepertinya aku terlalu fokus menikmatinya karena pemandangannya sangat menarik perhatianku... hmm... Mr...?”

“Damian... dan kau nona...?” serunya lalu mengulurkan tangan untuk bersalaman.

Aku pun menyambut uluran tangannya. “(Name)... Mr. Damian” jawabku lalu tersenyum.

“Ah, nice to meet you Miss (Name), kau boleh memanggilku Damian,”

“Kalau begitu kau juga boleh memanggilku (Name) saja,” gumamku mengoreksi kata-katanya.

Ia tampak kaget lalu kemudian tersenyum manis. “Baiklah (Name).. Maaf jika aku terdengar kepo, tapi apa yang sedang dilakukan wanita secantik ini disini? Maksudku... ini pesta yang membosankan kan?”

“Oh, sebenarnya ini pesta yang menarik hanya saja aku terlalu terpaku pada  pemandangan diluar sana... kau tahu, lampu-lampu bangunan besar di malam hari... ” aku kembali terdiam, mana mungkin orang asing sepertinya bisa mengerti apa yang kurasakan.

“Oh ya aku percaya padamu... aku juga sering melakukan hal yang sama jika bosan,” gumamnya sambil tersenyum penuh arti, ia mengangguk-angguk pelan. “Tenang saja. Sejujurnya aku juga merasa bosan dengan pertemuan ini, aku datang kesini karena terpaksa... tapi tak kusangka akan menemukan seseorang yang sangat menarik.. kurasa aku sedang beruntung,”

“Maksudmu...?”

“Boleh aku ngobrol denganmu kan...? Aku sedang tak ingin membicarakan masalah bisnis dengan siapa pun malam ini dan kurasa kekasihmu pun seharusnya begitu, aku tak habis pikir kenapa dia bisa mengabaikan wanita secantik ini dan lebih memilih membicarakan bisnis dan bisnis,”

“Tapi ini memang pesta bisnis kan...” gumamku mengingatkan. “Seharusnya akulah yang tidak ikut kesini agar tidak membuatnya jadi tak bisa fokus untuk bekerja...”

“Sepertinya hubungan kalian sudah sangat dalam... kau terdengar sangat memahaminya, kurasa aku tak akan punya kesempatan lagi...” gumamnya lalu tertawa. Ia terlihat sangat tampan ketika tertawa rambut coklat dan mata birunya terlihat sangat kontras dan tidak sesuai.

“Ini pertama kalinya kulihat Jumin Han datang bersama wanita cantik yang bukan asistennya... biasanya dia selalu datang bersama asistennya...”

“Ah, kurasa ini hari keberuntunganku karena dia mengajakku kesini, hampir setiap saat dia dikelilingi banyak wanita cantik, kurasa aku bukanlah pengecualian...”

“Itu memang benar sih, dia memang selalu dikelilingi wanita cantik yang terlihat sangat antusias padanya tapi sebaliknya kau tampak berbeda dari mereka (Name)... ah maaf jika aku membuatmu tak nyaman dengan pembicaraan ini,”

“It’s okay... tapi sebaiknya kita mencari topik lain saja Damian,”

“Kau benar! Aku sungguh tidak sopan, padahal kau baru mengenalku,” gumamnya lalu tertawa renyah. “Ah! Sebentar aku akan mengambil minuman untuk kita berdua,”

“Damian, aku tidak minum alkohol...”

“Kalau begitu anggur tanpa alkohol mau?”

“Thanks,”

Damian pun pergi meninggalkanku, kulihat Jumin masih sibuk berbicara dengan koleganya. Sepertinya tidak banyak wanita yang mendekatinya hari ini jadi kurasa aku tak perlu berada di sisinya. Tak lama kemudian Damian kembali muncul dengan dua gelas anggur ditangannya.

“Maaf membuat seorang lady menunggu...” seru Damian lalu menyodorkan gelas anggur padaku.

“Apa ini?” tanyaku saat membaui minumanku.

“Ah, mereka tidak menyediakan anggur tanpa alkohol dipesta ini jadi kuminta mereka meracik minuman yang lebih ringan dari seharusnya, apa kau keberatan...?” jelasnya dengan wajah cemas.

“Ah, it’s okay... kalau menurutmu ini ringan akan kucoba sedikit...” putusku karena merasa tak enak sudah merepotkan Damian.

“Bersulang?” serunya sambil mengangkat gelasnya.

“Cheers ^^”

Kami pun bersulang dan meminum minuman masing-masing. “Um...” gumamku.

“Bagaimana rasanya?”

“Ahhaha, entahlah... kurasa aku bisa menikmatinya, aku tak begitu paham soal minuman keras,” Kami berdua pun terlibat obrolan yang cukup seru terkadang dia bertanya mengenai Jumin namun aku tak begitu menanggapinya.

Damian adalah orang yang hangat, sopan dan ceria, ia juga lucu sangat bertolak belakang dari kepribadian Jumin. Sebenarnya Jumin juga lucu tapi dari sisi yang berbeda.

“Jadi saat rapat berlangsung aku justru tertidur pulas dan...” Cerita Damian terhenti saat melihat sosok yang kami berdua kenal, berjalan mendekati kami.

“(Name)...” Panggil Jumin.

Damian menatap Jumin dengan tatapan dingin saat Jumin memperhatikan gelas yang ada ditanganku.

“Kau tidak minum alkohol kan?” tanya Jumin dengan dahi berkerut, ia merampas gelas yang ada ditanganku dan membauinya lalu menaruhnya begitu saja diatas meja kecil yang ada didekat kami.

“Jumin ini temanku Dam...”

“Ayo kita pulang...” potongnya lalu meraih pinggangku.

“Jumin...?” tegurku lagi, Jumin menatapku sejenak lalu menatap Damian lagi.

“Apa kabar Jumin Han?” tegur Damian dengan senyuman terbaiknya.

“Damian, kupikir kau tidak tertarik datang ke pesta seperti ini?”

Damian tertawa geli. “Tadinya begitu, tapi malam ini aku berubah pikiran... aku tak menyangka akan bertemu wanita yang sangat menarik disini,”

“Ah, syukurlah kalau kau menikmatinya tapi sayangnya kami harus pergi sekarang... ayo (Name),” ajak Jumin terdengar seperti memaksa.

“Jumin?” gumamku bingung.

“(Name) senang bertemu denganmu, kapan-kapan aku boleh datang untuk menjengukmu kan?” tanya Damian sambil tersenyum super manis.

Kurasa ia paham dengan situasi awkward diantara kami bertiga tapi tetap saja Jumin bersikap terlalu dingin pada temannya.

“Ayo (Name),” Jumin menarikku pergi membuatku tak sempat menanggapi pertanyaan Damian.

Sepanjang aula ia menarikku dan tak menjawab pertanyaanku bahkan tak menghiraukan tamu lain yang mencoba menyapanya. Kami berjalan beriringan dalam diam disepanjang koridor hotel itu, Jumin tak menyadari bahwa ia masih memegangi tanganku saat kami berdua telah berada dalam lift.

“Jumin... pestanya belum berakhir kan?”

“Kau masih perduli soal pesta disaat seperti ini? Hah?” geramnya namun tak menatapku.

“Tentu saja aku perduli, kau bilang ini pesta bisnis jadi kupikir lebih baik aku tidak mengganggumu dan klienmu,”

“Tapi bukan berarti kau harus bersama Damian!” cetus Jumin, ada nada kesal dalam suaranya.

“Ia hanya mengajakku ngobrol karena melihatku bosan dengan pesta itu...”

“Kalau kau bosan kau bisa bilang padaku kan? Bukannya malah pergi dan tertawa-tawa dengan Damian,”

“Tentu saja aku tak mungkin bilang padamu... ini pesta yang penting untukmu, kami hanya mengobrol! Tidak lebih,”

“Apapun yang terjadi jangan pernah mendekati Damian, mengerti?” Jumin menatapku dengan tatapan tajam dan ada penegasan tak suka dalam suaranya.


“Kau... marah... pada Damian atau padaku?”

Jumin memejamkan matanya mencoba menarik napas dalam dalam sambil memperbaiki letak dasinya yang sebenarnya rapi.

“Aku tidak marah padamu aku cuma merasa kesal saja..” gumamnya dingin lalu tangannya yang bebas memperbaiki letak dasinya lagi, kurasa dia memang benar-benar marah. Entah kenapa melihatnya seperti ini mmbuatku berpikir kalau dia sangat Cute.

“Apa bedanya?” tanyaku sok polos.

“Tentu saja ada bedanya,” jawabnya dingin.

“Jumin, jangan bilang kalau kau.... suka pada...”

Jumin mengerutkan dahinya dan mengalihkan tatapannya dariku, ada semburat merah di pipinya.

“... jangan-jangan kau suka Damian ya?”

“(Name!!!)” pekik Jumin sebal.

Aku langsung terkekeh sambil berusaha menahan sesak diperutku. Ekspresi kaget Jumin benar-benar tak kuduga sama sekali.

“Ini bukan sesuatu yang pantas untuk ditertawakan, kalau ada yang dengar mereka akan salah paham padaku. Berhenti mengataiku gay... aku sudah punya orang yang kusuka” jelasnya panjang lebar.

Ia tampak malu dan sebal disaat bersamaan. Aku sangat suka mengerjainya, biasanya dia akan menjelaskan segala sesuatunya hingga clear, menurutku dia sangat manis jika sedang gusar.

            “Maksudmu Elly? Jumin... dia kan binatang bukan orang...”

            “Salah. Elizabeth 3rd adalah mahakarya tercantik yang pernah diciptakan tuhan...” ralatnya.

            “Kau benar, dia memang lucu... tapi dia bukan manusia,”

            “Aku tahu kau sedang mencoba mengalihkan perhatianku, apapun yang terjadi diantara kalian barusan, aku tak ingin melihatmu bertemu Damian lagi,”

“Setidaknya kau harus beritahu aku alasannya,”

“Ini masalah pribadi kau tak perlu tahu,” Jumin menatapku untuk sesaat.

“Jadi kau tak perlu marah atau melarangku berbicara dengan Damian kan? Karena itu masalah pribadiku sendiri,” putusku kemudian, merasa kesal dengan keegoisan Jumin.

“Apa kau lupa?” gumamnya pelan, aku menatapnya ingin tahu. “Aku membayarmu untuk menemani dan melayaniku kan? Seharusnya kau tidak boleh berbicara dengan pria lain karena sejak awal kau datang ke pesta itu bersamaku. Kau tidak tahu apa yang kudengar saat para tamu berbicara tentangmu kan?”

Kata-kata Jumin membuatku terkejut, ya dia memang benar, dia memang sudah membayarku dan aku justru tak menjalankan tugasku dengan baik. Aku tahu telah dimanfaatkan, tapi ternyata mendengarnya langsung dari Jumin tidak membuat keadaanku jadi lebih baik. Aku terlalu mengedepankan perasaanku sendiri.

Kulepaskan tanganku dari genggaman Jumin dan ia tampak terkejut, baru sadar bahwa sejak tadi ia masih memegangi tanganku. “Sepertinya aku memang tidak pandai berakting Mr. Han dan aku juga sudah membuatmu malu, aku akan mengembalikan uang yang sudah kau transfer...”

“What do you mean?”

“Kubilang aku sudah gagal membantumu, aku paham sekali kalau kau tidak bisa mentolerir yang namanya kegagalan jadi aku juga harus bersikap profesional,”

“What are you talking about?”

“Aku akan mengembalikan uang...”

Jumin menggenggam tanganku kuat membuatku tersentak kaget dan menatap wajah kesalnya. “Bukan uang yang jadi masalah utamanya...” potongnya.

Ting Tong....

Pintu lift terbuka dan Jumin tak melanjutkan lagi kata-katanya. “Kita bicarakan lagi nanti, ini tak ada hubungannya sama sekali dengan uang... aku akan membencimu jika kau membahas tentang hal ini lagi, jika kau masih mau berakting setidaknya kita masih bisa berakting sampai driver Kim menjemput kita,”

Jumin menarik tanganku agar aku mengikuti langkahnya lagi. Aku merasa kesal dan bingung dengan maksud dari kata-kata Jumin, aku tidak mengerti, aku datang kemari bukan sebagai kekasihnya kan? Dia tak perlu semarah itu padaku hanya karena seseorang muncul untuk mengajakku bicara karena melihatku bosan dengan pesta itu.

Mendengar kata-katanya barusan membuat tubuhku jadi terasa panas dan... sakit. Entahlah... apa aku terlalu sensitif? Atau mungkin cuaca malam ini memang sedang tidak baik? Aku bahkan mulai merasa pening... kasur dan bantal yang empuk pasti akan membuatku merasa lebih baik, mungkin.

“Ada apa? Kenapa kau diam saja?” tegur Jumin saat melihatku diam dan menunduk sambil menopang kepalaku dengan tanganku yang bebas. Ia tampak cemas... atau setidaknya itulah yang kupikirkan. Kami sudah berada di depan hotel, menunggu munculnya limo yang dikendarai driver Kim.

Aku hanya menggelengkan kepalaku saja mencoba tersenyum seolah kata-katanya tadi tidak menyakitiku. Ia melihatku dengan tatapan mata yang dingin. Kuharap ia tak menatapku dengan sorot mata begitu.

“Ah, itu Mr. Kim...” gumamku mencairkan suasana kelam diantara kami. Aku ingin segera pulang dan  tidur, aku tak tahan jika terus berada di dekat Jumin. Kurasa aku akan menangis dan aku tak ingin ia melihatku seperti itu.

Tanpa menunggu ajakan dari Jumin aku pun berjalan lebih dulu menuju mobil yang baru saja berhenti didekat tangga. Jumin tak bicara lagi hanya mengikuti langkahku. Sekelebat rasa sakit itu menyengat tubuhku dan membuatku hampir tersandung dari tangga.

Jumin menangkap tubuhku dan menahanku dengan lengannya, sentuhan jari-jarinya yang hangat di kulit punggungku  membuatku merasa sakit dan nyaman disaat bersamaan. Napasku juga mulai sesak dan tak beraturan.

“Kau kenapa (Name)? Tubuhmu hangat sekali...” gumam Jumin dari suaranya ia terdengar sangat khawatir. Aku menggeleng sebagai respon dari pertanyaannya. “Apa kau sakit?” aku hanya bisa menggeleng saja.

Jumin membantuku masuk kedalam limo dan ia berpesan pada driver Kim agar kami langsung pergi ke rumah sakit terbaik di Korea.

“Jangan!” gumamku lemah.

“Apa maksudmu jangan?” sentak Jumin tampak gusar. “Kau terlihat kesakitan!” geramnya.

“Jumin... I’m fine, please I wanna go home... oke,” tolakku keras dengan wajah yang sudah mulai memerah.

“No. We’re going to the hospital... kita harus memeriksakanmu,”

“Aku Cuma ingin istirahat dirumah saja, please... Jumin...” pintaku, memelas.

Jumin masuk kedalam limo, ia duduk disebelahku lalu melepas jas yang ia kenakan dan memakainya untuk menutupi tubuhku. “Kuharap ini hanya masuk angin biasa, harusnya aku memaksamu memakai pakaian yang lebih tertutup... kau tak boleh memperlihatkan kulitmu begitu saja pada semua orang dimalam sedingin ini!” gerutunya.

“Jumin... thanks,” gumamku pelan.

Ia menatapku sejenak dengan tatapan yang menyiratkan sesuatu. “Kau tak perlu mengatakan hal yang tidak perlu...” lalu ia pun memencet tombol khusus yang ada di dekatnya. “Driver Kim kita pulang kerumah...”

Terdengar jawaban dari driver Kim. “Maksud anda... kita akan mengantar nona (Name) ke apartemennya dulu, begitukan tuan?”

“Apa kau bercanda driver Kim? Saat kubilang pulang ke rumah artinya kita kembali ke kondominium,” gumam Jumin.

“Baik tuan,”

Jumin mengakhiri panggilan itu dan driver Kim tak bertanya apapun lagi. “Jumin, antar aku ke apartemenku dulu...” pintaku saat menyadari kata-kata Jumin barusan.

“Tidak! Mana mungkin kubiarkan kau berada sendirian di apartemen dengan kondisi seperti ini, kita akan ketempatku, aku akan meminta pelayan untuk mengurusmu saat kita sampai nanti,”

“Tidak perlu... antar aku ke apartemmen saja...”

“Kumohon berhentilah keras kepala (Name)... kita akan pulang kerumahku,” pinta Jumin. Ia tampak berbeda dari biasanya, kuputuskan untuk mengikuti permintaannya, mendengar ia menyebutkan kata ‘kumohon’ entah kenapa membuatku merasa luluh.

Samar-samar kudengar Jumin sedang menelepon seseorang dan aku pun kembali larut dalam rasa panas dan sakit yang tak kupahami ini. Sakit yang berbeda dari biasanya, aku tak mengerti apa yang kuinginkan saat ini.

Aku ingin jari-jari Jumin menyentuh kulitku lagi.

**** 

 
PS : Halo~ reader chan! Maaf karena ceritanya terlalu pendek ^^, tadinya aku pengen clear-in cerita ini sampai part 2 saja, hmm... tapi... aku juga mulai melanjutkan fanfic lamaku jadi aku agak sedikit kesulitan ‘berpikir’... hahahaha, terpaksa Jumin Han x Reader akan lanjut ke part 3, btw aku nggak akan buat fanfic ini dengan banyak episode seperti sebelumnya sih karena aku takut hiatus lagi ///TvT/// tapi.... kuharap kalian suka :3

0 comments:

Post a Comment