#Part1
My
Sweet Fiancee~
Karakter : Zen (Mystic Messenger by Cheritz) x MC
Language : Bahasa Indonesia (Mix)
Picture : Cheritz
Genre : Smut~
Song : Intoxicated - Zen
Zen
adalah seorang aktor musikal yang tampan dan digemari oleh para wanita. Tiap
peran yang ia mainkan selalu menuai banyak pujian dari para wanita dan banyak
diantaranya mengelu-elukan ketampanan Zen, sebenarnya Zen sangat lemah terhadap
pujian dan juga para wanita. Ia seorang workaholic yang sangat bertalenta. Ia
memiliki rambut berwarna putih keabuan yang sangat unik dan mata merah yang
menawan, senyumnya manis dan ia terlihat sangat tampan. Meskipun ia mengakui
(sendiri) bahwa ia sangat tampan tapi Ia tak suka dengan orang yang hanya
selalu memuji ketampanannya meskipun ia dengan narsisnya akan mengatakan hal
itu pada semua orang.
Zen
lebih menyukai orang yang mengakui bakatnya dari pada orang yang hanya perduli
pada fisiknya saja. Sikap narsisnya juga tidak tanggung-tanggung selain suka
memuji diri sendiri dia juga sering mengirimkan gambar selfinya dengan sangat
pede meskipun tidak diminta. Tak perduli orang lain suka atau tidak. Dia juga
gampang gusar dan sentimentil, kadang aku merasa lelah saat menghadapi sikap
narsis dan sentimentilnya tapi aku tahu dia sebenarnya orang yang sangat baik
dan pekerja keras.
Zen
selalu ingin punya pacar yang benar-benar manis dan perhatian padanya, ia juga
suka dengan wanita yang ‘lemah’? karena dia merasa bahwa dirinya adalah seorang
Knigt in Shinning Armor. Ya... dia selalu mengatakan bahwa dia ingin menjadi
Knight in Shinning Armor untukku.
Aku
telah mengenal Zen selama empat bulan terakhir dan kami telah menjalin hubungan
yang sangat dekat, dia adalah tunanganku, saat ini aku bekerja sebagai manager
dan asistennya. Meskipun kami adalah pasangan, tak banyak orang yang tahu
tentang hubungan kami. Sikap kami berdua sangat bertolak belakang, aku yang
kaku terhadap pria sementara Zen yang periang dan romantis dengan para wanita.
Aku
baru saja selesai berdebat dengan para produser yang ingin menyewa Zen sebagai
aktor, perdebatan itu cukup menguras energiku dan membuat moodku jadi buruk.
“Chagii..”
panggil Zen saat melihatku muncul diruangan kerja kami. “Apa kau sudah makan?”
tanyanya.
“Aku
akan segera mempersiapkan naskahmu yang baru...” gumamku tanpa menjawab
pertanyaannya barusan.
Zen
menatapku diam. “Apa kau baik-baik saja...? Wajahmu terlihat pucat...”
Aku
pun duduk dikursi kerjaku lalu mengeluarkan laptop dari tasku dan menjawab
tanpa menatapnya. “Ah? Belum, aku akan makan setelah pekerjaanku selesai... aku
baik-baik saja,” jawabku lalu mulai menyalakan laptop... namun layar laptop itu
tiba-tiba tertutup. “Hey Zen?!”
Kata-kataku
terhenti saat menatap wajah Zen yang tersenyum padaku setelah dia menutup
laptop yang baru kunyalakan. “Chagiya~ kalau kau tidak makan... kau bisa
sakit...”
Kutepis
tangannya dari laptopku dan kembali menyalakannya. “Aku akan makan setelah yang
satu ini selesai...oke?” pintaku sambil tersenyum lelah. Zen mengerutkan
dahinya tak suka dan duduk diatas meja kerjaku sambil melipat kedua tangannya
didada, menatapku. “Hey! Aku harus bekerja... semua ini harus selesai sebelum
kita berangkat sore ini...”
“Tidak!
Apa cuma pekerjaan sja yang ada dalam pikiranmu...?”
“No!
You know it’s not like that... I try to...”
“Uri
chagi~ Do you want me to feed you? Aku bisa memberimu treatment khusus kalau kau
tidak keberatan...” godanya dengan senyuman manis menghiasi wajahnya.
Kata-kata
Zen membuatku malu, kata-katanya selalu penuh ambiguitas membuat orang lain
yang mendengarnya jadi bertanya-tanya tentang apa maksud sebenarnya. Hal ini
juga kerap membuat mereka bertanya-tanya tentang hubunganku dan Zen yangselama
ini selalu kami rahasiakan. Tanggapan kami berdua juga sangat berbeda, aku
selalu memberi jawaban dingin sementara Zen dengan terang-terangan mengatakan
bahwa dia suka padaku dan ingin memilikiku. Aku khawatir dengan karirnya dimasa
depan jika ia terus seperti itu.
“Nope!
Sebaiknya kau tidak memanggilku dengan sebutan itu ditempat seperti ini kalau
penggemarmu mengetahuinya mereka akan membencimu, aku tak mau kau dapat
masalah,” koreksiku sambil menatap wajahnya yang tampan.
Zen
mengecup dahiku tiba-tiba lalu ia menatapku lagi dan mengerutkan dahinya. “Bukankah
kita hanya berdua saja...” gumamnya manja, ia bertingkah menggemaskan dan
perlahan jari-jarinya menyentuh helai rambutku, jantungku hampir copot karena
efek ciuman didahi tadi. “Lagipula kalau aku tidak memanggilmu begitu, mereka
tidak akan tahu kalau kau ini milikku~” gumamnya sewot.
“Lalu...
bagaimana dengan penggemarmu?”
Zen
terdiam sesaat. “... penggemar memang sangat penting namun sekarang prioritasku
cuma satu orang,” serunya lalu bangkit dari duduknya dan menjauh dariku. Aku
merasa sangat bersalah saat mendengar kata-katanya. “Aku tidak sepopuler itu
jadi jangan khawatir, meskipun tak bisa dipungkiri bahwa ketampananku ini selalu
menjadi masalah bagi para wanita,” gumamnya narsis. Ia mengangkat tempat makan
yang tergeletak diatas mejaku lalu memegangi daguku. “Pokoknya sekarang kau
harus makan atau aku akan menciummu dengan paksa hmm... kau bisa menggunakan
bibirku yang menawan ini sebagai send...”
Pintu
ruangan menjeblak terbuka. “Ah June! Ada yang harus dikoreksi sebentar...
mengenai pembicaraan terakhir dengan direktur M sebaiknya kita...”
Zen
menjauhkan tangannya dariku. Kami berdua terdiam menatap pria tampan
berkacamata yang baru saja masuk itu. Ia menggenggam beberapa kertas
ditangannya sambil menatap kami.
“A-ada apa Mr.Kim?” tanyaku gugup.
“June,
apa aku mengganggu?” tanyanya kemudian.
Aku
menggeleng kaku. “Uh~ N-no not really... please come in, what’s
wrong
Mr.Kim?” gumamku gugup lalu bangkit dari kursiku.
“A-ah
Sebentar... ada yang tertinggal...” Mr.Kim keluar ruangan lagi.
“Hhhh~”
desah Zen. “Aku akan ke basement...” serunya denngan nada lemas.
“Zen~”
panggilku. Dia langsung berbalik dan menatapku penuh antusias. “Uum~ thank you...”
Zen
menatapku dengan pandangan rindu yang penuh kelembutan. “Babe... makananmu
kuletakkan disini, pastikan kau memakannya...oke? Atau aku akan memberimu
hukuman saat pulang nanti...”
“Hmmm...?
Kau akan memberiku hukuman apa...?” selidikku dengan nada manja.
Zen
mendekatkan bibirnya ditelingaku. “Kau ingat dengan hukuman yang kuberikan
padamu seminggu yang lalu..?” bisik Zen lalu menjauhkan bibirnya dari kupingku.
“Ah~ sudah lama sekali, aku ingin melakukannya lagi...” pekiknya antusias.
“Ummm~
I don’t know...”
“Hmmm...
hhhh~” Zen menghembuskan napas panjang yang terdengar seperti kekecewaan. “Kau...
kau tidak suka dengan hal itu?”
“No!
NO! It-it’s not like that! Oh man... stop tricking me!” gumamku gusar dengan
wajah panas merah padam.
“Ummhh~
you’re so cute! Tunggu saja... Aku akan membuatmu tak bisa melupakannya,
chagi~” gumam Zen sambil tersenyum lebar. “Wait for me... okay!” bisiknya ceria.
“Stop
saying something strange!” bisikku gusar. Mr.Kim masuk lagi kedalam ruangan,
aku dan Zen kembali menjaga jarak diantara kami berdua.
“Mr.
Kim ada perubahan apa...” tegurku kemudian setelah mendapatkan kembali kontrol
jiwaku yang sempat dicabut dari ragaku.
“Ada
beberapa hal yang ingin kubahas mengenai rapat terakhir dan juga mengenai acara Meet and Greet Jalapeno Musikal yang
diadakan sore ini, kebetulan kau ada disini Zen... aku juga ingin membahasnya
denganmu..”
Zen
tersenyum lebar dan bersikap riang. “Apa kau punya rencana bagus untuk acara
Meet and Greet nanti...?” tanyanya riang lalu mengajak Mr. Kim untuk duduk di
sofa.
Zen
dan Mr. Kim terlibat pembicaraan seru saat merencanakan acara Meet and Greet
Jalapeno Musikal. Zen tak pernah menyangka bahwa dia jadi terkenal gara-gara
perannya dalam drama musikal itu, padahal selama ini ia merasa dialog dalam
drama itu terlalu tidak masuk akal.
“Aku
akan mengecek ulang beberapa berkas, kurasa ada beberapa bagian yang harus
dikoreksi ulang...” putusku setelah kami berdebat panjang lebar. “Aku akan
membuatkan kopi untuk kalian...”
Aku
pun bangkit dan beranjak menuju kabinet kecil disudut ruangan yang berfungsi
sebagai dapur mini untuk membuat minuman.
“Zen...
sudah berapa lama kau mengenal June?” tanya Mr.Kim.
“Hmm...
sudah lama sekali...” jawab Zen malas-malasan.
“Bukankah
June cukup manis? Dia juga punya tubuh yang bagus ya. Apa dia sudah punya
pacar?”
Dahi
Zen berkerut saat mendengar kata-kata Mr.Kim. “Ah~ Dia sudah punya pacar yang
sangat tampan dan romantis kurasa dia tak akan tertarik dengan pria lain. Kenapa
anda sangat ingin tahu?” tanya Zen dengan hati dongkol.
“Ah~
dia orang yang enak diajak ngobrol dan berkepala dingin... mengobrol dengannya
sangat menyenangkan... aku ingin lebih mengenalnya karena kami baru beberapa
kali bertemu...”
“Sebaiknya
anda tidak mendekatinya, kudengar pacarnya sangat posesif...” gumam Zen.
“Ah!
Bagiku tak masalah jika dia sudah punya pacar...”
Zen
menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya panjang. Dia tak ingin
menaggapi kata-kata Mr.Kim yang selanjutnya. Aku telah selesai membuatkan kopi
dan kembali mendekati mereka berdua tanpa tahu sedikit pun tentang obrolan
barusan. Zen hanya menatapku dengan tatapan tajam saat aku menyodori mereka berdua kopi buatanku.
“Maaf
Mr.Kim... aku hanya punya kopi...” gumamku sambil tersenyum.
Mr.Kim
meminum kopinya dan berdecak puas. “Ah~ kopi buatanmu sangat enak... aku pasti
beruntung sekali jika bisa meminumnya setiap pagi...” pujinya.
Zen
semakin mengerutkan dahinya dan menatapku tajam. “Sebaiknya anda tidak menggodanya, karena
pacarnya sangat mengerikan!” cetus Zen.
Mr.Kim
menatap Zen dengan pandangan bingung. “Mr.Kim bagaimana dengan marchendise tambahannya?
Apa sudah didistribusi semua?” gumamku berusaha mengalihkan pembicaraan.
Aku
berhasil mengalihkan pembicaraan namun sepanjang sisa pertemuan Zen hanya
memasang wajah cuek dan bersikap dingin pada Mr.Kim dan juga padaku. Aku tak
begitu heran dengan sikapnya karena dia jadi sangat moody tergantung situasi. Hal
ini kerap terjadi saat ia berdebat dengan temannya, Jumin Han, anak dari salah
satu pemilik perusahaan terbesar di Korea.
Sore
itu ada Meet and Greet disalah satu hotel bintang tiga. Kami pun berangkat
bersama beberapa staf dan para aktor yang akan menjadi pembicara diacara itu. Ada
dua mobil yang disediakan untuk kami, saat aku hendak masuk kedalam salah satu
mobil Zen menarik lenganku dan memintaku agar masuk dalam mobil yang sama
dengannya.
“Zen?”
“Kau
dibelakang denganku...” gumamnya lalu membuka kan pintu dan menyuruhku masuk
lebih dulu.
“Kau
kedinginan?” tanyanya saat melihatku hanya memakai sweater tipis. Ia duduk
disampingku.
“Sedikit...
tapi aku baik-baik saja...”
Zen
melepas mantel panjang yang ia gunakan dan menaruhnya di tubuhku. “Pakai ini...”
“It’s
okay... I’m fine Zen...”
“Kalau
tak mau dipakai ya jadikan selimut saja... dan aku memaksa, cuacanya sedang
tidak bagus, sepertinya akan hujan dan hawa akan semakin dingin...” gumamnya
sambil melirik keluar jendela mobil.
Semua
staf sudah masuk kedalam mobil dan mobil pun mulai bergerak pergi menuju tempat
yang akan kami datangi.
Aku
sedang mengobrol dengan seorang staf saat kurasakan sesuatu bergerak dipahaku.
Kutatap Zen yang duduk disebelahku, ia sedang sibuk memainkan ponsel sementara
tangannya yang lain mengelus pahaku lembut.
“Kenapa..?”
gumamnya pelan saat berpaling menatapku, ekspresinya seolah sedang tak terjadi
apapun diantara kami. Suaranya yang manly terdengar sedikit nakal, entah
mungkin hanya diriku saja yang merasa seperti itu.
“June!
Setelah acara meet and greet selesai kita akan makan malam dengan Mr.Kim apa
dia sudah memberitahumu?” tegur seorang staf yang duduk disebelah driver.
“Ah
ya... dia sudah memberitahuku, katanya akan lebih baik jika kita berkumpul dan
saling mengenal lebih dalam lagi...”
“Ya,
sepertinya dia ingin menjalin hubungan yang baik dengan agensi kita.. dia
bahkan menawari beberapa peran baru... bla-bla-bla...”
Aku
tersentak kaget saat merasakan sesuatu yang berat membebani bahuku. Kulihat Zen
tertidur dan wajahnya berada dekat denganku. Aku bisa mencium aroma parfum dan
wangi shampoonya. Ia terlihat tenang dan sangat manis.
“Apa
Zen baik-baik saja?” tegur si driver.
“Ah
ya... sepertinya dia kelelahan...” jawabku.
“Biarkan
saja dia istirahat, setelah ini dia akan menghabiskan seluruh tenaganya untuk
melayani para penggemar...” pinta staf lainnya yang duduk dibagian tengah mobil.
“Kedengarannya
sangat mengerikan...” candaku.
“Penggemar
yang fanatik memang sangat mengerikan... ngomong-ngomong dia suka sekali
menjadikanmu bantal, June...”
“Ahahaha...
kalau kau sangat ingin menggantikanku aku akan dengan senang hati menerimanya,”
candaku lagi.
Para
staf dan aktor lain tidak pernah mempermasalahkan kebiasaan Zen yang sering
menempel padaku atau mengatakan hal-hal manis karena dia juga sering melatih
dialog dan fisik pada pemain lainnya. Bagi para staf dan aktor, apa yang Zen lakukan
padaku tidaklah spesial.
Sesuatu
bergerak didekatku membuatku kaget luar biasa. Tangan Zen bergerak pelan
meremas pahaku membuatku menarik tas yang kupegang dan menubrukkannya keatas
pangkuanku, aku bisa mendengar Zen berjengit pelan dibahuku.
“Kau
baik-baik saja June?” tanya staf lainnya.
“A-ah
ya... aku hanya sedikit pusing...” gumamku tak jelas.
Tangan
Zen yang besar dan hangat menggenggam erat tanganku lalu dia bergerak pelan dalam
tidurnya... aku tahu dia tidak benar-benar tertidur, dia sedang mempermainkan semua
orang dan entah mengapa tetap terlihat sangat manis saat melakukannya.
Setelah
melalui keheningan selama lima menit Zen melepas pegangannya ditanganku saat
kupikir ia akan menjauhkan dirinya dariku tangannya justru bergerak pelan
mengelus pahaku yang tertutup celana jeans.
“Zen...”
bisikku pelan. Aku mulai merasa napasku menjadi berat dan sesak. Zen tak menyahut
hanya menggeliat pelan dan ia semakin menjatuhkan berat badannya padaku.
Tangannya bergerak pelan didekat disekitar lipatan pahaku dan mengelusnya
lembut.
Hawa
disekitarku seketika menjadi panas meskipun AC mobil sudah full dinyalakan. Staf
yang duduk didepan tidak menyadari hal ini. Dia sibuk menelepon pacarnya. Aku
pun mengganti posisi dudukku dengan menyilangkan kakiku agar paha kananku
menaiki paha kiriku. Cara ini cukup berhasil karena Zen menghentikan
kegiatannya untuk sesaat namun tak lama setelah itu tangannya bergerak lagi memasuki
sweaterku dan perlahan ia mengelus kulitku lembut.
“Engghh~”
erangku pelan mencoba mengontrol kejutan-kejutan kecil yang muncul karena
sentuhan hangat tangan Zen.
“Ada
apa June?” tanya si staff ia berbalik untuk melihatku. Aku hanya menggeleng sambil
menahan napasku. “Wajahmu merah, apa kau sakit?” selidiknya lagi.
“A-ah
ya... aku sedikit merasa tidak enak badan...” jawabku gusar. Aku tak pandai
berbohong.
“Apa
kau akan baik-baik saja? Pertemuannya sekitar tiga jam lebih...?”
“Ah
ya... aku baik-baik saja... sungguh!” gumamku cepat.
“Baiklah,
bertahanlah... setelah ini selesai kita bisa bersantai,” serunya berusaha
menyenangkanku.
“Tentu...”
Mantel
besar yang kupakai sebagai selimut membuat tangan Zen tidak terlihat, dia
sangat aman melakukan hal yang dia inginkan padaku saat ini. Aku sempat
berpikir bahwa ia mungkin saja telah merencanakan semua ini, tapi kalau dipikir
lagi... tidak mungkin. Dari awal dia memang senang melakukan hal ini padaku.
Aku
pun menyentuh tangannya dan berusaha menghentikan gerakan tangannya diperutku.
Namun ia justru berbalik memegang tanganku lalu menggeliat lagi mengganti
posisi duduknya, menjauhkan kepalanya dariku. Saat kupikir ini sudah berakhir,
perlahan tapi pasti Zen menggenggam tanganku dan menariknya, mengarahkannya dan
meletakkannya diatas miliknya yang ternyata sudah sangat keras.
Aku
merasa seperti dilempar dari tebing yang tinggi. Merasakan miliknya membuat jantungku
berdebar keras, napasku seolah akan berhenti selamanya saat merasakan benda
keras yang masih tertutup celana itu ada ditanganku. Tak mungkin! Tak mungkin
ia ingin melakukannya ditempat ini, sekarang? Napasku mulai menjadi berat tak
beraturan, aku berusaha tampak cool dengan memperbaiki posisi dudukku.
Zen
tampak tenang, perlahan ia mulai menggerakkan tanganku diatas miliknya, dan ia
melenguh pelan setengah berbisik aku tahu ia menikmatinya, jantungku berdebar
keras, aku tak bisa berpikir jernih saat Zen memberi isyarat melalui tangannya,
memintaku agar meremas benda yang masih terhalang penutup itu, berusaha
mendapatkan kenikmatan dari tanganku, aku hanya bisa menelan ludahku yang
seolah tercekat ditenggorokan sambil berusaha menahan diri untuk tidak panik.
Tak kusangka dia akan nekat melakukannya disaat seperti ini. Saat menoleh
padanya aku bisa melihat raut wajah Zen tampak menderita (ohemgee ///^.^///)
wajah dan kupingnya juga terlihat sudah memerah.
“Nah
kita sudah sampai...” gumam Staf yang duduk didepan. Dengan cepat kutarik
tanganku dari genggaman Zen. Jantungku terasa akan copot dari tempatnya saat
staf itu berbalik dan menatap kami berdua. Zen langsung membuka matanya dan menoleh
padaku dengan wajah kecewa.
“Zen...
kau baik-baik saja?” tegur staf lainnya.
“A-ah,
ya... aku baik-baik saja...”
“Apa
kalian berdua sakit? Kenapa wajah kalian berdua merah sekali?” tanya si driver.
Jantungku berdebar kencang berharap mereka tidak menyadari apa yang kami berdua
lakukan tadi.
“Sejujurnya...
aku sedikit merasa tertekan, hingga kepalaku jadi sakit...” jawab Zen sambil
menyentuh kepalanya yang mungkin memang sakit. Aku tak habis pikir kenapa dia
mencari masalah untuk dirinya disaat seperti ini, dia harus segera menenangkan
dirinya sebelum dia tak bisa mengontrol hasratnya lagi. “Apa kita sudah
sampai?” gumamnya mengalihkan pembicaraan.
“Ya..
kita cari tempat parkir yang dekat dengan pintu masuk...” gumam staf yang duduk
didepan.
Setelah
mendapat tempat parkir, kami keluar dari mobil dan langsung menuju lift yang
ada dibasement. Para staf dan aktor lainnya berjalan cepat didepanku sementara
aku sibuk mengeluarkan buku kecil dari tasku dan tertinggal dibelakang mereka.
“Kita
harus ke lobby sebentar sebelum diarahkan ketempat pertemuan,” gumamku sambil
membaca note yang kupegang, yang lain langsung mengiyakan arahanku. Zen beralih
kesisiku dan merangkul pundakku.
“Coba
lihat?” serunya lalu mengambil note itu dari tanganku. “Ah~ lama, banyak sekali
jadwalnya. Tak bisa kah ku skip saja untuk dinner nanti malam?” gumamnya sebal.
“Tak
bisa, memangnya apa yang ingin kau lakukan? Kau punya rencana lain?” tanyaku
penasaran.
Zen
menatapku lalu perlahan ia mendekatkan kepalanya padaku dan berbisik
ditelingaku. “Aku ingin menculikmu lalu membawamu pulang kerumah... boleh?”
“Babo!
Kalau mau menculik ngapain bilang-bilang?” bisikku sewot lalu mengambil note
dari tangannya. Zen terkekeh pelan lalu ia mengelus kepalaku lembut dan kembali
merangkulku lagi.
Kami
masuk kedalam lift dan karena banyak orang yang ikut masuk, lift itu pun jadi
terasa sesak. Zen menarikku agar mundur kebelakang saat orang-orang mulai masuk
memenuhi lift. Punggungku menyentuh dadanya saat ia melingkarkan kedua
lengannya diperutku, memelukku erat. Beruntungnya orang-orang disekitar kami
tidak menyadarinya.
“I
got cha~” bisiknya saat ia menundukkan kepalanya didekatku.
“Please
stop...” bisikku.
Kudengar
Zen berdecak sebal. “No I won’t... “ bisiknya lagi, napas Zen seperti berat.
Pintu
lift terbuka dengan berat hati Zen melepas pelukannya ditubuhku. Saat keluar
dari dalam lift Mr.Kim muncul dan menyambut kami, ia pun langsung para aktor,
membicarakan tentang rencana yang harus dilakukan para aktor hari ini.
Fanmeeting akan berlangsung selama dua jam.
Suasana
ruang pertemuan sangat ramai dan dipenuhi oleh banyak wanita mulai dari remaja
sampai noona-noona. Ada dua aktor selain Zen yang menghadiri acara itu. Fanmeeting
berlangsung seru, semua aktor dan fans saling berinteraksi satu sama lain
dengan saling bertanya jawab. Saat aku sedang sibuk memperhatikan Zen yang
sedang berinteraksi dengan para fansnya dari sudut panggung, Mr.Kim
menghampiriku.
“June
bisa bicara sebentar?” tegurnya.
“Oh
ya, ada apa Mr.Kim?” jawabku sambil tersenyum manis. “Ada yang bisa kubantu?”
“Aku
punya kabar bagus untuk kalian, ada beberapa artis televisi yang menghubungiku
mereka bilang ingin menyewa Zen sebagai lawan main difilm terbaru mereka,”
“Wow!
Ini benar-benar kabar bagus Mr.Kim... “
Perbincanganku
dan Mr.Kim pun berlanjut seru. Hingga tak kusadari sesi tanya jawab dipanggung
telah selesai dan berganti dengan sesi selanjutnya dimana para aktor bisa
berinteraksi secara langsung dengan para fansnya, entah berbicara, berfoto atau
minta untuk dipeluk.
Aku
hanya bisa mengamatinya dari jauh saat para fans memeluk Zen dan berfoto
bersama. Zen tampak bahagia, melihatnya dikelilingi para fans yang sangat
mencintainya membuatku merasa cemburu, sekelebat pikiran kotor tentang Zen
muncul diotakku, wajahku terasa hangat membuatku berusaha keras menepis ingatan
didalam mobil tadi dari otakku dengan memijat pelan dahiku. Melihat ekspresi
Zen saat dikelilingi fansnya membuatku merasa ia lupa padaku. Kejadian dimobil
dan lift tadi membangkitkan sisi diriku yang nakal tapi aku tak akan pernah mau
mengakuinya didepan Zen karena ini terlalu memalukan.
“Are
you okay?” tanya Mr.Kim saat melihat keadaanku yang tampak seperti sakit. Ia
menyentuh bahuku.
“Nothing.
I’m okay... dont worry...” jawabku tak yakin.
“Sebaiknya
kau istirahat... aku bisa mengantarmu keruang istirahat... kau terlihat tidak
baik-baik saja,” tawarnya sambil menarik tanganku.
“Tak
perlu Mr.Kim... aku baik-baik saja, aku harus mengawasi Zen...” tolakku sambil
berusaha melepas diri dari genggaman tangan Mr.Kim.
“Oh
ayolah... kesehatanmu lebih penting. Zen akan baik-baik saja... lihatlah,
sebentar lagi sesi ini akan berakhir...” Paksa Mr.Kim.
“It’s
okay, sir... I’m fine...” tolakku dengan nada suara mulai meninggi. Namun Mr.Kim
masih menarik tanganku.
“June...?”
tegur salah seorang staf. “Ada apa?”
Mr.Kim
melepas genggaman tangannya ditanganku. “Dia terlihat sakit... aku bersikeras memintanya
untuk istirahat diruang istirahat... tapi dia menolak, bagaimana kalau
tiba-tiba saja dia pingsan disini?” jelas Mr.Kim.
Staf
itu melihatku. “Kau yakin tak ingin istirahat?”
Aku
tahu ini akan menjadi masalah, jadi aku menggeleng cepat. “Aku akan
menunggu...”
“Zen!
Hey! Apa yang kau lakukan?” panggil staf lainnya saat melihat Zen turun dari
panggung meskipun sesi itu masih akan berakhir lima belas menit lagi. Para fans
berteriak kecewa dan bingung.
“Zen?!”
tegurku saat melihatnya berjalan menghampiriku dengan wajah sakit.
“Kurasa
aku mau muntah... kepalaku pusing,” gumamnya.
“Hah!?
A-ayo~” Panitia acara segera menuntun Zen ke ruang istirahat. Zen masuk kedalam
ruangan itu lalu duduk disofa sambil memijat-mijat kepalanya.
“Apa
kau butuh sesuatu Zen?” tanya salah satu panitia itu. Zen menggeleng pelan.
“Aku
hanya butuh udara saja...”
“Bagaimana
keadaanmu Zen?” tanya Mr.Kim yang rupanya mengekori kami keruang istirahat.
“Buruk,”
jawab Zen.
“Ah~
Kalau begitu aku akan memanggil petugas kesehatan, sebentar...”
“Tak
perlu!” tolak Zen cepat. “.. aku hanya sedikit pusing karena lelah saja, kurasa
aku akan istirahat sebentar disini..”
“Ini
minumlah...” gumamku sambil menyodorkan botol air mineral yang sudah terbuka.
Zen menatapku sebentar lalu mengambil botol itu dari tanganku dan meminum
isinya. Aku berbalik menatap Mr.Kim. “Mr.Kim kurasa dia akan baik-baik saja
setelah lima menit istirahat, maaf karena acaranya jadi agak kacau...” gumamku.
Mr.Kim
tampak khawatir. “Tak apa... Zen istirahatlah, kalau butuh sesuatu kau bisa
memanggilku June,” pintanya. Aku hanya mengangguk mengiyakan sambil berkata
terima kasih. Mr.Kim dan staf lainnya pun pergi meninggalkan kami berdua dan
kembali meneruskan acara yang sempat terputus.
“Zen...
harusnya kau....!!!” Kata-kataku tak terselesaikan saat kedua tangan Zen melingkar
erat diperutku.
“Hey,
Wait!!”
“Umhh
ne sarang...” gumamnya manja sambil memelukku.
Untuk
sesaat aku terdiam melihat reaksinya. “Babe...” bisikku.
“Uhm?!”
gumamnya lembut dengan suaranya yang terdengar maskulin.
“Are
you okay?” tanyaku sambil membuat diriku sendiri nyaman dalam pelukannya yang
hangat. Aku pun balas memeluknya dan mengelus belakang punggungnya.
“You
know I’m not...” gumamnya manja, suaranya yang berat dan dalam terdengar begiru
lembut. “Please... stop smiling to other guys in front of me...” bisiknya lalu
memelukku erat dan mendorong pelan tubuhku kedinding didekat pintu masuk.
Tubuhku berada diantara Zen dan dinding, aromanya yang nyaman memenuhi diriku.
“What?!”
gumamku lalu terkekeh pelan.
“Ehmm...
you’re so cute your smile makes me feel better... jangan tertawa seperti itu
pada pria lain...oke?” bisiknya saat mencium leherku.
“Yang
kau maksud Mr.Kim?” tebakku.
“Hmm...
tch... mendengar namanya saja membuatku mual...”
“Zen...”
gumamku terkekeh pelan. “I’m doing my job... you know that... u-uhnn... Zen wait...
what are you do... stop~ erngh~” Tubuhku terasa seperti tersengat listrik saat
Zen mengisap kulit leherku brutal. “Stop... we can’t do this, there is a camera!!
“Don’t
worry there is no camera... I’m gonna leave my mark on you now... unh... they
need to know that your mine,” gumamnya, terdengar suara aneh yang ditimbulkan
oleh bibir Zen yang sedang mengisap kulitku.
Salah
satu tangannya menyentuh payudaraku dan ia mulai meremas-remasnya dengan lembut.
Kesenangan yang ditimbulkan oleh bibir Zen merambatiku dan membuatku merasa
nyaman hingga tanganku tanpa diminta menyentuh kepala Zen membawanya semakin
erat didekatku. Aku tak pernah membayangkan dia akan melakukannya ditempat
seperti ini saat kami dikelilingi banyak orang yang tidak kami kenal.
Aku
mendengar bunyi bibir Zen berdecak dikulitku, perlahan ia menjauhkan dirinya
dariku, bisa kulihat bibirnya yang basah karena air liur. “It’s a big one...”
komentarnya saat melihat bekas memar yang ia tinggalkan lalu melap bibirnya dan
tersenyum menatapku.
Zen
membersihkan bekas basah dari leherku dengan jari-jarinya. “Kau bisa membahayakan
karirmu...” balasku sewot sambil menutupi leherku dengan tanganku, panik.
“Ini
lebih baik daripada aku harus melihatmu dikelilingi pria mesum itu...”
“You
talk about yourself don’t you...”
Zen
tersenyum lebar lalu mencium pipiku. “No, I’m not... I’m not a pervert... trust
me!”
Bibir
Zen kembali mengunci bibirku dan ia melumatnya tanpa ampun, menyelipkan
lidahnya kedalamku penuh hasrat, ia menggenggam tanganku dan menekannya
kedinding. Menghisap dan saling bertukar cairan, seketika saja aku merasa akan lepas
kontrol dan tak bisa berpikir jernih jika ia terus melakukan hal ini padaku.
Zen menyelipkan pahanya diantara selangkanganku dan menggerakkan pahanya pelan.
Aku bisa merasakan miliknya yang keras menempel diperutku.
“Wait..
Zen...”
“Just
let me kiss you a lilbit more...?” pintanya. “I can’t stop imagining you... you
make me sick whole day... so please? Just... kiss?” mohonnya dengan suara
bergetar.
Perlahan
Zen mendekatkan lagi bibirnya padaku namun tiba-tiba saja terdengar suara ribut
dari arah pintu, seketika kudorong Zen agar menjauh dariku. Seorang staf masuk
kedalam ruangan kami.
“Zen
are you okay?” tanyanya. Zen tersenyum riang dan mengiyakan. “June are you
okay...? Apa kau demam...? Wajahmu merah sekali...”
“I’m
okay don’t worry...” gumamku gugup dengan napas tak beraturan, mencoba meyakinkannya.
“Ah~
Mr.Kim ingin kita berkumpul... ada yang ingin ia bicarakan denganmu June, bisa
kau ikut denganku...?”
Aku
mengangguk mengiyakan, sambil menutupi leherku dengan tangan aku pun beranjak
mendekati pintu. “Hyung~” panggil Zen.
“Hmm...?”
“Aku
ingin minta tolong... bisakah kau pastikan agar pria itu tidak mendekati June..?”
pinta Zen tegas.
Kurasa
aku akan mati saat itu juga ketika mendengar kata-katanya, padahal selama ini
aku selalu berusaha agar tak ada yang tahu tentang hubungan kami.
Si
staf menatapku sejenak sebelum akhirnya bicara. “Hhhh~ Kau ini yang benar saja,
kau jangan cemburuan begitu... masa kau
sampai harus akting sakit supaya bisa turun dari panggung, kali ini kau ku
maafkan... ” jawab si staff.
“Tapi
kau akan menjaganya untukku kan?” gumam Zen cuek.
“Baiklah,
baiklah... tentu saja... ayo June, Zen kami tinggal ya~”
“Oke~”
Zen tersenyum ceria. “Thanks hyung... see you later chagiyaa~”
Kami
berdua keluar dari ruang istirahat meninggalkan Zen dengan aktor lainnya yang
juga ingin beristirahat. “Ini untukmu...” gumam si staf menyodoriku scarf.
“Wha...”
“Jangan
kaget begitu... pakai saja, scarf itu punya Zen kok.. pasti sulit
menyembunyikan bekasnya saat rapat nanti, maaf ya aku menginterupsi kalian saat
kalian sedang...”
“Oh
stop... kau membuatku semakin malu...” protesku sambil mengambil scarf dari
tangannya dan mengikatnya dileherku, si staf tertawa keras. “Tapi... kenapa kau...
tidak kaget...?”
Si
staf menatapku lalu tersenyum penuh arti. “Untuk apa kaget? Semua orang di agensi
sudah tahu hubungan kalian, bagaimana kami nggak tahu... hampir setiap hari dia
mengatakannya pada kami, sampai kami semua bosan... dia bilang kau berani
menatapmu dengan tatapan mesum dia akan menggundul kepala kami, benar-benar
pria mengerikan...”
“No
way... kupikir selama ini tak ada yang tahu...”
“Sepertinya
diantara semua orang... Cuma kau ya yang tidak tahu soal ini...”
“Si
bodoh itu... aku tahu dia tak akan segan menunjukkan perasaannya didepan umum,
tapi bagaimana dia bisa mengatakannya begitu saja tanpa pikir panjang? Apa dia
tak perduli dengan karirnya?”
“Dia
hanya mencoba untuk jujur, kurasa karena dia benar-benar menyukaimu. Sebaiknya
kau segera tangani dia... beberapa hari ini dia gelisah karena kau terlalu
sibuk dengan pekerjaanmu... membuat kami pusing dengan status galau dan menebar
selfi dimana-mana,”
“Aku
tahu sih tapi... ah~ tak kusangka akan mendengar hal ini darimu...”
“Sudah,
aku juga tak ingin mengatakannya disaat sibuk seperti ini ” putus si staf saat
kami berhenti didepan sebuah pintu. “Semoga saja hasil rapatnya nanti memuaskan,
are you ready...?” tanyanya lagi sebelum membuka pintu. Aku pun mengangguk
mengiyakan.
Continue
to #Part2
****
Hai lovely reader chan~ ^^ Sorry ya aku jarang banget update
fanfic lagi, uhm... karena ada beberapa hal aku jadi gabisa fokus dengan
blogku, tapi mulai sekarang aku akan coba untuk lebih aktif dalam menulis paling
ga satu fanfic setiap minggu akan aku Up dan juga untuk fanfic sebelumnya yang
belum tamat aku akan kembali melanjutkannya lagi, jadi kuharap kalian suka
dengan yang satu ini... aku membuatnya sebagai permintaan maaf karena hiatus
terlalu lama, jadi plotnya agak sedikit “hard” dari fanfic yang sebelumnnya.
Uhm~ bagi yang dibawah 17 tahun tolong kebijaksanaannya untuk nggak baca fanfiksiku ^^ aku harap kalian cukup
bijaksana saat membaca fanfic yang kutulis dan nggak membawanya ke kehidupan
nyata (Maaf sekali aku menuliskan kalian hal yang nggak pantas untuk dibaca
T.T).
Lanjut kak sukaaa ><
ReplyDeleteLanjut kak sukaaa ><
ReplyDeletelanjut lanjut..:3
ReplyDelete