Saturday 8 October 2016

Mystic Messenger : My Sweet Fiancee #Part 01 [Zen x MC]

BY Unknown IN 3 comments



#Part1
My Sweet Fiancee~

Karakter        : Zen (Mystic Messenger by Cheritz) x MC
Language      : Bahasa Indonesia (Mix)
Picture          : Cheritz
Genre            : Smut~
Song              : Intoxicated - Zen

Zen adalah seorang aktor musikal yang tampan dan digemari oleh para wanita. Tiap peran yang ia mainkan selalu menuai banyak pujian dari para wanita dan banyak diantaranya mengelu-elukan ketampanan Zen, sebenarnya Zen sangat lemah terhadap pujian dan juga para wanita. Ia seorang workaholic yang sangat bertalenta. Ia memiliki rambut berwarna putih keabuan yang sangat unik dan mata merah yang menawan, senyumnya manis dan ia terlihat sangat tampan. Meskipun ia mengakui (sendiri) bahwa ia sangat tampan tapi Ia tak suka dengan orang yang hanya selalu memuji ketampanannya meskipun ia dengan narsisnya akan mengatakan hal itu pada semua orang.



Zen lebih menyukai orang yang mengakui bakatnya dari pada orang yang hanya perduli pada fisiknya saja. Sikap narsisnya juga tidak tanggung-tanggung selain suka memuji diri sendiri dia juga sering mengirimkan gambar selfinya dengan sangat pede meskipun tidak diminta. Tak perduli orang lain suka atau tidak. Dia juga gampang gusar dan sentimentil, kadang aku merasa lelah saat menghadapi sikap narsis dan sentimentilnya tapi aku tahu dia sebenarnya orang yang sangat baik dan pekerja keras.

Zen selalu ingin punya pacar yang benar-benar manis dan perhatian padanya, ia juga suka dengan wanita yang ‘lemah’? karena dia merasa bahwa dirinya adalah seorang Knigt in Shinning Armor. Ya... dia selalu mengatakan bahwa dia ingin menjadi Knight in Shinning Armor untukku.

Aku telah mengenal Zen selama empat bulan terakhir dan kami telah menjalin hubungan yang sangat dekat, dia adalah tunanganku, saat ini aku bekerja sebagai manager dan asistennya. Meskipun kami adalah pasangan, tak banyak orang yang tahu tentang hubungan kami. Sikap kami berdua sangat bertolak belakang, aku yang kaku terhadap pria sementara Zen yang periang dan romantis dengan para wanita.

Aku baru saja selesai berdebat dengan para produser yang ingin menyewa Zen sebagai aktor, perdebatan itu cukup menguras energiku dan membuat moodku jadi buruk.

“Chagii..” panggil Zen saat melihatku muncul diruangan kerja kami. “Apa kau sudah makan?” tanyanya.

“Aku akan segera mempersiapkan naskahmu yang baru...” gumamku tanpa menjawab pertanyaannya barusan.

Zen menatapku diam. “Apa kau baik-baik saja...? Wajahmu terlihat pucat...”

Aku pun duduk dikursi kerjaku lalu mengeluarkan laptop dari tasku dan menjawab tanpa menatapnya. “Ah? Belum, aku akan makan setelah pekerjaanku selesai... aku baik-baik saja,” jawabku lalu mulai menyalakan laptop... namun layar laptop itu tiba-tiba tertutup. “Hey Zen?!”

Kata-kataku terhenti saat menatap wajah Zen yang tersenyum padaku setelah dia menutup laptop yang baru kunyalakan. “Chagiya~ kalau kau tidak makan... kau bisa sakit...”

Kutepis tangannya dari laptopku dan kembali menyalakannya. “Aku akan makan setelah yang satu ini selesai...oke?” pintaku sambil tersenyum lelah. Zen mengerutkan dahinya tak suka dan duduk diatas meja kerjaku sambil melipat kedua tangannya didada, menatapku. “Hey! Aku harus bekerja... semua ini harus selesai sebelum kita berangkat sore ini...”

“Tidak! Apa cuma pekerjaan sja yang ada dalam pikiranmu...?”

“No! You know it’s not like that... I try to...”

“Uri chagi~ Do you want me to feed you? Aku bisa memberimu treatment khusus kalau kau tidak keberatan...” godanya dengan senyuman manis menghiasi wajahnya.

Kata-kata Zen membuatku malu, kata-katanya selalu penuh ambiguitas membuat orang lain yang mendengarnya jadi bertanya-tanya tentang apa maksud sebenarnya. Hal ini juga kerap membuat mereka bertanya-tanya tentang hubunganku dan Zen yangselama ini selalu kami rahasiakan. Tanggapan kami berdua juga sangat berbeda, aku selalu memberi jawaban dingin sementara Zen dengan terang-terangan mengatakan bahwa dia suka padaku dan ingin memilikiku. Aku khawatir dengan karirnya dimasa depan jika ia terus seperti itu.

“Nope! Sebaiknya kau tidak memanggilku dengan sebutan itu ditempat seperti ini kalau penggemarmu mengetahuinya mereka akan membencimu, aku tak mau kau dapat masalah,” koreksiku sambil menatap wajahnya yang tampan.

Zen mengecup dahiku tiba-tiba lalu ia menatapku lagi dan mengerutkan dahinya. “Bukankah kita hanya berdua saja...” gumamnya manja, ia bertingkah menggemaskan dan perlahan jari-jarinya menyentuh helai rambutku, jantungku hampir copot karena efek ciuman didahi tadi. “Lagipula kalau aku tidak memanggilmu begitu, mereka tidak akan tahu kalau kau ini milikku~” gumamnya sewot.

“Lalu... bagaimana dengan penggemarmu?”

Zen terdiam sesaat. “... penggemar memang sangat penting namun sekarang prioritasku cuma satu orang,” serunya lalu bangkit dari duduknya dan menjauh dariku. Aku merasa sangat bersalah saat mendengar kata-katanya. “Aku tidak sepopuler itu jadi jangan khawatir, meskipun tak bisa dipungkiri bahwa ketampananku ini selalu menjadi masalah bagi para wanita,” gumamnya narsis. Ia mengangkat tempat makan yang tergeletak diatas mejaku lalu memegangi daguku. “Pokoknya sekarang kau harus makan atau aku akan menciummu dengan paksa hmm... kau bisa menggunakan bibirku yang menawan ini sebagai send...”

Pintu ruangan menjeblak terbuka. “Ah June! Ada yang harus dikoreksi sebentar... mengenai pembicaraan terakhir dengan direktur M sebaiknya kita...”

Zen menjauhkan tangannya dariku. Kami berdua terdiam menatap pria tampan berkacamata yang baru saja masuk itu. Ia menggenggam beberapa kertas ditangannya sambil menatap kami.

            “A-ada apa Mr.Kim?” tanyaku gugup.

“June, apa aku mengganggu?” tanyanya kemudian.

Aku menggeleng kaku. “Uh~ N-no not really... please come in, what’s
wrong Mr.Kim?” gumamku gugup lalu bangkit dari kursiku.

“A-ah Sebentar... ada yang tertinggal...” Mr.Kim keluar ruangan lagi.

“Hhhh~” desah Zen. “Aku akan ke basement...” serunya denngan nada lemas.

“Zen~” panggilku. Dia langsung berbalik dan menatapku penuh antusias. “Uum~ thank you...”

Zen menatapku dengan pandangan rindu yang penuh kelembutan. “Babe... makananmu kuletakkan disini, pastikan kau memakannya...oke? Atau aku akan memberimu hukuman saat pulang nanti...”

“Hmmm...? Kau akan memberiku hukuman apa...?” selidikku dengan nada manja.

Zen mendekatkan bibirnya ditelingaku. “Kau ingat dengan hukuman yang kuberikan padamu seminggu yang lalu..?” bisik Zen lalu menjauhkan bibirnya dari kupingku. “Ah~ sudah lama sekali, aku ingin melakukannya lagi...” pekiknya antusias.

“Ummm~ I don’t know...”

“Hmmm... hhhh~” Zen menghembuskan napas panjang yang terdengar seperti kekecewaan. “Kau... kau tidak suka dengan hal itu?”

“No! NO! It-it’s not like that! Oh man... stop tricking me!” gumamku gusar dengan wajah panas merah padam.

“Ummhh~ you’re so cute! Tunggu saja... Aku akan membuatmu tak bisa melupakannya, chagi~” gumam Zen sambil tersenyum lebar. “Wait for me... okay!” bisiknya ceria.

“Stop saying something strange!” bisikku gusar. Mr.Kim masuk lagi kedalam ruangan, aku dan Zen kembali menjaga jarak diantara kami berdua.

“Mr. Kim ada perubahan apa...” tegurku kemudian setelah mendapatkan kembali kontrol jiwaku yang sempat dicabut dari ragaku.

“Ada beberapa hal yang ingin kubahas mengenai rapat terakhir dan juga mengenai  acara Meet and Greet Jalapeno Musikal yang diadakan sore ini, kebetulan kau ada disini Zen... aku juga ingin membahasnya denganmu..”

Zen tersenyum lebar dan bersikap riang. “Apa kau punya rencana bagus untuk acara Meet and Greet nanti...?” tanyanya riang lalu mengajak Mr. Kim untuk duduk di sofa.

Zen dan Mr. Kim terlibat pembicaraan seru saat merencanakan acara Meet and Greet Jalapeno Musikal. Zen tak pernah menyangka bahwa dia jadi terkenal gara-gara perannya dalam drama musikal itu, padahal selama ini ia merasa dialog dalam drama itu terlalu tidak masuk akal.

“Aku akan mengecek ulang beberapa berkas, kurasa ada beberapa bagian yang harus dikoreksi ulang...” putusku setelah kami berdebat panjang lebar. “Aku akan membuatkan kopi untuk kalian...”

Aku pun bangkit dan beranjak menuju kabinet kecil disudut ruangan yang berfungsi sebagai dapur mini untuk membuat minuman.

“Zen... sudah berapa lama kau mengenal June?” tanya Mr.Kim.

“Hmm... sudah lama sekali...” jawab Zen malas-malasan.

“Bukankah June cukup manis? Dia juga punya tubuh yang bagus ya. Apa dia sudah punya pacar?”

Dahi Zen berkerut saat mendengar kata-kata Mr.Kim. “Ah~ Dia sudah punya pacar yang sangat tampan dan romantis kurasa dia tak akan tertarik dengan pria lain. Kenapa anda sangat ingin tahu?” tanya Zen dengan hati dongkol.

“Ah~ dia orang yang enak diajak ngobrol dan berkepala dingin... mengobrol dengannya sangat menyenangkan... aku ingin lebih mengenalnya karena kami baru beberapa kali bertemu...”

“Sebaiknya anda tidak mendekatinya, kudengar pacarnya sangat posesif...” gumam Zen.

“Ah! Bagiku tak masalah jika dia sudah punya pacar...”

Zen menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya panjang. Dia tak ingin menaggapi kata-kata Mr.Kim yang selanjutnya. Aku telah selesai membuatkan kopi dan kembali mendekati mereka berdua tanpa tahu sedikit pun tentang obrolan barusan. Zen hanya menatapku dengan tatapan tajam saat aku  menyodori mereka berdua kopi buatanku.

“Maaf Mr.Kim... aku hanya punya kopi...” gumamku sambil tersenyum.

Mr.Kim meminum kopinya dan berdecak puas. “Ah~ kopi buatanmu sangat enak... aku pasti beruntung sekali jika bisa meminumnya setiap pagi...” pujinya.

Zen semakin mengerutkan dahinya dan menatapku tajam.  “Sebaiknya anda tidak menggodanya, karena pacarnya sangat mengerikan!” cetus Zen.

Mr.Kim menatap Zen dengan pandangan bingung. “Mr.Kim bagaimana dengan marchendise tambahannya? Apa sudah didistribusi semua?” gumamku berusaha mengalihkan pembicaraan.

Aku berhasil mengalihkan pembicaraan namun sepanjang sisa pertemuan Zen hanya memasang wajah cuek dan bersikap dingin pada Mr.Kim dan juga padaku. Aku tak begitu heran dengan sikapnya karena dia jadi sangat moody tergantung situasi. Hal ini kerap terjadi saat ia berdebat dengan temannya, Jumin Han, anak dari salah satu pemilik perusahaan terbesar di Korea.

Sore itu ada Meet and Greet disalah satu hotel bintang tiga. Kami pun berangkat bersama beberapa staf dan para aktor yang akan menjadi pembicara diacara itu. Ada dua mobil yang disediakan untuk kami, saat aku hendak masuk kedalam salah satu mobil Zen menarik lenganku dan memintaku agar masuk dalam mobil yang sama dengannya.

“Zen?”

“Kau dibelakang denganku...” gumamnya lalu membuka kan pintu dan menyuruhku masuk lebih dulu.

“Kau kedinginan?” tanyanya saat melihatku hanya memakai sweater tipis. Ia duduk disampingku.

“Sedikit... tapi aku baik-baik saja...”

Zen melepas mantel panjang yang ia gunakan dan menaruhnya di tubuhku. “Pakai ini...”

“It’s okay... I’m fine Zen...”

“Kalau tak mau dipakai ya jadikan selimut saja... dan aku memaksa, cuacanya sedang tidak bagus, sepertinya akan hujan dan hawa akan semakin dingin...” gumamnya sambil melirik keluar jendela mobil.

Semua staf sudah masuk kedalam mobil dan mobil pun mulai bergerak pergi menuju tempat yang akan kami datangi.

Aku sedang mengobrol dengan seorang staf saat kurasakan sesuatu bergerak dipahaku. Kutatap Zen yang duduk disebelahku, ia sedang sibuk memainkan ponsel sementara tangannya yang lain mengelus pahaku lembut.

“Kenapa..?” gumamnya pelan saat berpaling menatapku, ekspresinya seolah sedang tak terjadi apapun diantara kami. Suaranya yang manly terdengar sedikit nakal, entah mungkin hanya diriku saja yang merasa seperti itu.

“June! Setelah acara meet and greet selesai kita akan makan malam dengan Mr.Kim apa dia sudah memberitahumu?” tegur seorang staf yang duduk disebelah driver.

“Ah ya... dia sudah memberitahuku, katanya akan lebih baik jika kita berkumpul dan saling mengenal lebih dalam lagi...”

“Ya, sepertinya dia ingin menjalin hubungan yang baik dengan agensi kita.. dia bahkan menawari beberapa peran baru... bla-bla-bla...”

Aku tersentak kaget saat merasakan sesuatu yang berat membebani bahuku. Kulihat Zen tertidur dan wajahnya berada dekat denganku. Aku bisa mencium aroma parfum dan wangi shampoonya. Ia terlihat tenang dan sangat manis.

“Apa Zen baik-baik saja?” tegur si driver.

“Ah ya... sepertinya dia kelelahan...” jawabku.

“Biarkan saja dia istirahat, setelah ini dia akan menghabiskan seluruh tenaganya untuk melayani para penggemar...” pinta staf lainnya yang duduk dibagian tengah mobil.

“Kedengarannya sangat mengerikan...” candaku.

“Penggemar yang fanatik memang sangat mengerikan... ngomong-ngomong dia suka sekali menjadikanmu bantal, June...”

“Ahahaha... kalau kau sangat ingin menggantikanku aku akan dengan senang hati menerimanya,” candaku lagi.

Para staf dan aktor lain tidak pernah mempermasalahkan kebiasaan Zen yang sering menempel padaku atau mengatakan hal-hal manis karena dia juga sering melatih dialog dan fisik pada pemain lainnya. Bagi para staf dan aktor, apa yang Zen lakukan padaku tidaklah spesial.

Sesuatu bergerak didekatku membuatku kaget luar biasa. Tangan Zen bergerak pelan meremas pahaku membuatku menarik tas yang kupegang dan menubrukkannya keatas pangkuanku, aku bisa mendengar Zen berjengit pelan dibahuku.

“Kau baik-baik saja June?” tanya staf lainnya.

“A-ah ya... aku hanya sedikit pusing...” gumamku tak jelas.

Tangan Zen yang besar dan hangat menggenggam erat tanganku lalu dia bergerak pelan dalam tidurnya... aku tahu dia tidak benar-benar tertidur, dia sedang mempermainkan semua orang dan entah mengapa tetap terlihat sangat manis saat melakukannya.

Setelah melalui keheningan selama lima menit Zen melepas pegangannya ditanganku saat kupikir ia akan menjauhkan dirinya dariku tangannya justru bergerak pelan mengelus pahaku yang tertutup celana jeans.

“Zen...” bisikku pelan. Aku mulai merasa napasku menjadi berat dan sesak. Zen tak menyahut hanya menggeliat pelan dan ia semakin menjatuhkan berat badannya padaku. Tangannya bergerak pelan didekat disekitar lipatan pahaku dan mengelusnya lembut.

Hawa disekitarku seketika menjadi panas meskipun AC mobil sudah full dinyalakan. Staf yang duduk didepan tidak menyadari hal ini. Dia sibuk menelepon pacarnya. Aku pun mengganti posisi dudukku dengan menyilangkan kakiku agar paha kananku menaiki paha kiriku. Cara ini cukup berhasil karena Zen menghentikan kegiatannya untuk sesaat namun tak lama setelah itu tangannya bergerak lagi memasuki sweaterku dan perlahan ia mengelus kulitku lembut.

“Engghh~” erangku pelan mencoba mengontrol kejutan-kejutan kecil yang muncul karena sentuhan hangat tangan Zen.

“Ada apa June?” tanya si staff ia berbalik untuk melihatku. Aku hanya menggeleng sambil menahan napasku. “Wajahmu merah, apa kau sakit?” selidiknya lagi.

“A-ah ya... aku sedikit merasa tidak enak badan...” jawabku gusar. Aku tak pandai berbohong.

“Apa kau akan baik-baik saja? Pertemuannya sekitar tiga jam lebih...?”

“Ah ya... aku baik-baik saja... sungguh!” gumamku cepat.

“Baiklah, bertahanlah... setelah ini selesai kita bisa bersantai,” serunya berusaha menyenangkanku.

“Tentu...”

Mantel besar yang kupakai sebagai selimut membuat tangan Zen tidak terlihat, dia sangat aman melakukan hal yang dia inginkan padaku saat ini. Aku sempat berpikir bahwa ia mungkin saja telah merencanakan semua ini, tapi kalau dipikir lagi... tidak mungkin. Dari awal dia memang senang melakukan hal ini padaku.

Aku pun menyentuh tangannya dan berusaha menghentikan gerakan tangannya diperutku. Namun ia justru berbalik memegang tanganku lalu menggeliat lagi mengganti posisi duduknya, menjauhkan kepalanya dariku. Saat kupikir ini sudah berakhir, perlahan tapi pasti Zen menggenggam tanganku dan menariknya, mengarahkannya dan meletakkannya diatas miliknya yang ternyata sudah sangat keras.

Aku merasa seperti dilempar dari tebing yang tinggi. Merasakan miliknya membuat jantungku berdebar keras, napasku seolah akan berhenti selamanya saat merasakan benda keras yang masih tertutup celana itu ada ditanganku. Tak mungkin! Tak mungkin ia ingin melakukannya ditempat ini, sekarang? Napasku mulai menjadi berat tak beraturan, aku berusaha tampak cool dengan memperbaiki posisi dudukku.

Zen tampak tenang, perlahan ia mulai menggerakkan tanganku diatas miliknya, dan ia melenguh pelan setengah berbisik aku tahu ia menikmatinya, jantungku berdebar keras, aku tak bisa berpikir jernih saat Zen memberi isyarat melalui tangannya, memintaku agar meremas benda yang masih terhalang penutup itu, berusaha mendapatkan kenikmatan dari tanganku, aku hanya bisa menelan ludahku yang seolah tercekat ditenggorokan sambil berusaha menahan diri untuk tidak panik. Tak kusangka dia akan nekat melakukannya disaat seperti ini. Saat menoleh padanya aku bisa melihat raut wajah Zen tampak menderita (ohemgee ///^.^///) wajah dan kupingnya juga terlihat sudah memerah.

“Nah kita sudah sampai...” gumam Staf yang duduk didepan. Dengan cepat kutarik tanganku dari genggaman Zen. Jantungku terasa akan copot dari tempatnya saat staf itu berbalik dan menatap kami berdua. Zen langsung membuka matanya dan menoleh padaku dengan wajah kecewa.

“Zen... kau baik-baik saja?” tegur staf lainnya.

“A-ah, ya... aku baik-baik saja...”

“Apa kalian berdua sakit? Kenapa wajah kalian berdua merah sekali?” tanya si driver. Jantungku berdebar kencang berharap mereka tidak menyadari apa yang kami berdua lakukan tadi.

“Sejujurnya... aku sedikit merasa tertekan, hingga kepalaku jadi sakit...” jawab Zen sambil menyentuh kepalanya yang mungkin memang sakit. Aku tak habis pikir kenapa dia mencari masalah untuk dirinya disaat seperti ini, dia harus segera menenangkan dirinya sebelum dia tak bisa mengontrol hasratnya lagi. “Apa kita sudah sampai?” gumamnya mengalihkan pembicaraan.

“Ya.. kita cari tempat parkir yang dekat dengan pintu masuk...” gumam staf yang duduk didepan.

Setelah mendapat tempat parkir, kami keluar dari mobil dan langsung menuju lift yang ada dibasement. Para staf dan aktor lainnya berjalan cepat didepanku sementara aku sibuk mengeluarkan buku kecil dari tasku dan tertinggal dibelakang mereka.

“Kita harus ke lobby sebentar sebelum diarahkan ketempat pertemuan,” gumamku sambil membaca note yang kupegang, yang lain langsung mengiyakan arahanku. Zen beralih kesisiku dan merangkul pundakku.

“Coba lihat?” serunya lalu mengambil note itu dari tanganku. “Ah~ lama, banyak sekali jadwalnya. Tak bisa kah ku skip saja untuk dinner nanti malam?” gumamnya sebal.

“Tak bisa, memangnya apa yang ingin kau lakukan? Kau punya rencana lain?” tanyaku penasaran.

Zen menatapku lalu perlahan ia mendekatkan kepalanya padaku dan berbisik ditelingaku. “Aku ingin menculikmu lalu membawamu pulang kerumah... boleh?”

“Babo! Kalau mau menculik ngapain bilang-bilang?” bisikku sewot lalu mengambil note dari tangannya. Zen terkekeh pelan lalu ia mengelus kepalaku lembut dan kembali merangkulku lagi.

Kami masuk kedalam lift dan karena banyak orang yang ikut masuk, lift itu pun jadi terasa sesak. Zen menarikku agar mundur kebelakang saat orang-orang mulai masuk memenuhi lift. Punggungku menyentuh dadanya saat ia melingkarkan kedua lengannya diperutku, memelukku erat. Beruntungnya orang-orang disekitar kami tidak menyadarinya.

“I got cha~” bisiknya saat ia menundukkan kepalanya didekatku.

“Please stop...” bisikku.

Kudengar Zen berdecak sebal. “No I won’t... “ bisiknya lagi, napas Zen seperti berat.

Pintu lift terbuka dengan berat hati Zen melepas pelukannya ditubuhku. Saat keluar dari dalam lift Mr.Kim muncul dan menyambut kami, ia pun langsung para aktor, membicarakan tentang rencana yang harus dilakukan para aktor hari ini. Fanmeeting akan berlangsung selama dua jam.

Suasana ruang pertemuan sangat ramai dan dipenuhi oleh banyak wanita mulai dari remaja sampai noona-noona. Ada dua aktor selain Zen yang menghadiri acara itu. Fanmeeting berlangsung seru, semua aktor dan fans saling berinteraksi satu sama lain dengan saling bertanya jawab. Saat aku sedang sibuk memperhatikan Zen yang sedang berinteraksi dengan para fansnya dari sudut panggung, Mr.Kim menghampiriku.

“June bisa bicara sebentar?” tegurnya.

“Oh ya, ada apa Mr.Kim?” jawabku sambil tersenyum manis. “Ada yang bisa kubantu?”

“Aku punya kabar bagus untuk kalian, ada beberapa artis televisi yang menghubungiku mereka bilang ingin menyewa Zen sebagai lawan main difilm terbaru mereka,”

“Wow! Ini benar-benar kabar bagus Mr.Kim... “

Perbincanganku dan Mr.Kim pun berlanjut seru. Hingga tak kusadari sesi tanya jawab dipanggung telah selesai dan berganti dengan sesi selanjutnya dimana para aktor bisa berinteraksi secara langsung dengan para fansnya, entah berbicara, berfoto atau minta untuk dipeluk.

Aku hanya bisa mengamatinya dari jauh saat para fans memeluk Zen dan berfoto bersama. Zen tampak bahagia, melihatnya dikelilingi para fans yang sangat mencintainya membuatku merasa cemburu, sekelebat pikiran kotor tentang Zen muncul diotakku, wajahku terasa hangat membuatku berusaha keras menepis ingatan didalam mobil tadi dari otakku dengan memijat pelan dahiku. Melihat ekspresi Zen saat dikelilingi fansnya membuatku merasa ia lupa padaku. Kejadian dimobil dan lift tadi membangkitkan sisi diriku yang nakal tapi aku tak akan pernah mau mengakuinya didepan Zen karena ini terlalu memalukan.

“Are you okay?” tanya Mr.Kim saat melihat keadaanku yang tampak seperti sakit. Ia menyentuh bahuku.

“Nothing. I’m okay... dont worry...” jawabku tak yakin.

“Sebaiknya kau istirahat... aku bisa mengantarmu keruang istirahat... kau terlihat tidak baik-baik saja,” tawarnya sambil menarik tanganku.

“Tak perlu Mr.Kim... aku baik-baik saja, aku harus mengawasi Zen...” tolakku sambil berusaha melepas diri dari genggaman tangan Mr.Kim.

“Oh ayolah... kesehatanmu lebih penting. Zen akan baik-baik saja... lihatlah, sebentar lagi sesi ini akan berakhir...” Paksa Mr.Kim.

“It’s okay, sir... I’m fine...” tolakku dengan nada suara mulai meninggi. Namun Mr.Kim masih menarik tanganku.

“June...?” tegur salah seorang staf. “Ada apa?”

Mr.Kim melepas genggaman tangannya ditanganku. “Dia terlihat sakit... aku bersikeras memintanya untuk istirahat diruang istirahat... tapi dia menolak, bagaimana kalau tiba-tiba saja dia pingsan disini?” jelas Mr.Kim.

Staf itu melihatku. “Kau yakin tak ingin istirahat?”

Aku tahu ini akan menjadi masalah, jadi aku menggeleng cepat. “Aku akan menunggu...”

“Zen! Hey! Apa yang kau lakukan?” panggil staf lainnya saat melihat Zen turun dari panggung meskipun sesi itu masih akan berakhir lima belas menit lagi. Para fans berteriak kecewa dan bingung.

“Zen?!” tegurku saat melihatnya berjalan menghampiriku dengan wajah sakit.

“Kurasa aku mau muntah... kepalaku pusing,” gumamnya.

“Hah!? A-ayo~” Panitia acara segera menuntun Zen ke ruang istirahat. Zen masuk kedalam ruangan itu lalu duduk disofa sambil memijat-mijat kepalanya.

“Apa kau butuh sesuatu Zen?” tanya salah satu panitia itu. Zen menggeleng pelan.

“Aku hanya butuh udara saja...”

“Bagaimana keadaanmu Zen?” tanya Mr.Kim yang rupanya mengekori kami keruang istirahat.

“Buruk,” jawab Zen.

“Ah~ Kalau begitu aku akan memanggil petugas kesehatan, sebentar...”

“Tak perlu!” tolak Zen cepat. “.. aku hanya sedikit pusing karena lelah saja, kurasa aku akan istirahat sebentar disini..”

“Ini minumlah...” gumamku sambil menyodorkan botol air mineral yang sudah terbuka. Zen menatapku sebentar lalu mengambil botol itu dari tanganku dan meminum isinya. Aku berbalik menatap Mr.Kim. “Mr.Kim kurasa dia akan baik-baik saja setelah lima menit istirahat, maaf karena acaranya jadi agak kacau...” gumamku.

Mr.Kim tampak khawatir. “Tak apa... Zen istirahatlah, kalau butuh sesuatu kau bisa memanggilku June,” pintanya. Aku hanya mengangguk mengiyakan sambil berkata terima kasih. Mr.Kim dan staf lainnya pun pergi meninggalkan kami berdua dan kembali meneruskan acara yang sempat terputus.

“Zen... harusnya kau....!!!” Kata-kataku tak terselesaikan saat kedua tangan Zen melingkar erat diperutku.

“Hey, Wait!!”

“Umhh ne sarang...” gumamnya manja sambil memelukku.

Untuk sesaat aku terdiam melihat reaksinya. “Babe...” bisikku.

“Uhm?!” gumamnya lembut dengan suaranya yang terdengar maskulin.

“Are you okay?” tanyaku sambil membuat diriku sendiri nyaman dalam pelukannya yang hangat. Aku pun balas memeluknya dan mengelus belakang punggungnya.

“You know I’m not...” gumamnya manja, suaranya yang berat dan dalam terdengar begiru lembut. “Please... stop smiling to other guys in front of me...” bisiknya lalu memelukku erat dan mendorong pelan tubuhku kedinding didekat pintu masuk. Tubuhku berada diantara Zen dan dinding, aromanya yang nyaman memenuhi diriku.

“What?!” gumamku  lalu terkekeh pelan.

“Ehmm... you’re so cute your smile makes me feel better... jangan tertawa seperti itu pada pria lain...oke?” bisiknya saat mencium leherku.

“Yang kau maksud Mr.Kim?” tebakku.

“Hmm... tch... mendengar namanya saja membuatku mual...”

“Zen...” gumamku terkekeh pelan. “I’m doing my job... you know that... u-uhnn... Zen wait... what are you do... stop~ erngh~” Tubuhku terasa seperti tersengat listrik saat Zen mengisap kulit leherku brutal. “Stop... we can’t do this, there is  a camera!!

“Don’t worry there is no camera... I’m gonna leave my mark on you now... unh... they need to know that your mine,” gumamnya, terdengar suara aneh yang ditimbulkan oleh bibir Zen yang sedang mengisap kulitku.

Salah satu tangannya menyentuh payudaraku dan ia mulai meremas-remasnya dengan lembut. Kesenangan yang ditimbulkan oleh bibir Zen merambatiku dan membuatku merasa nyaman hingga tanganku tanpa diminta menyentuh kepala Zen membawanya semakin erat didekatku. Aku tak pernah membayangkan dia akan melakukannya ditempat seperti ini saat kami dikelilingi banyak orang yang tidak kami kenal.

Aku mendengar bunyi bibir Zen berdecak dikulitku, perlahan ia menjauhkan dirinya dariku, bisa kulihat bibirnya yang basah karena air liur. “It’s a big one...” komentarnya saat melihat bekas memar yang ia tinggalkan lalu melap bibirnya dan tersenyum menatapku.

Zen membersihkan bekas basah dari leherku dengan jari-jarinya. “Kau bisa membahayakan karirmu...” balasku sewot sambil menutupi leherku dengan tanganku, panik.

“Ini lebih baik daripada aku harus melihatmu dikelilingi pria mesum itu...”

“You talk about yourself don’t you...”

Zen tersenyum lebar lalu mencium pipiku. “No, I’m not... I’m not a pervert... trust me!”

Bibir Zen kembali mengunci bibirku dan ia melumatnya tanpa ampun, menyelipkan lidahnya kedalamku penuh hasrat, ia menggenggam tanganku dan menekannya kedinding. Menghisap dan saling bertukar cairan, seketika saja aku merasa akan lepas kontrol dan tak bisa berpikir jernih jika ia terus melakukan hal ini padaku. Zen menyelipkan pahanya diantara selangkanganku dan menggerakkan pahanya pelan. Aku bisa merasakan miliknya yang keras menempel diperutku.

“Wait.. Zen...”

“Just let me kiss you a lilbit more...?” pintanya. “I can’t stop imagining you... you make me sick whole day... so please? Just... kiss?” mohonnya dengan suara bergetar.

Perlahan Zen mendekatkan lagi bibirnya padaku namun tiba-tiba saja terdengar suara ribut dari arah pintu, seketika kudorong Zen agar menjauh dariku. Seorang staf masuk kedalam ruangan kami.

“Zen are you okay?” tanyanya. Zen tersenyum riang dan mengiyakan. “June are you okay...? Apa kau demam...? Wajahmu merah sekali...”

“I’m okay don’t worry...” gumamku gugup dengan napas tak beraturan, mencoba meyakinkannya.

“Ah~ Mr.Kim ingin kita berkumpul... ada yang ingin ia bicarakan denganmu June, bisa kau ikut denganku...?”

Aku mengangguk mengiyakan, sambil menutupi leherku dengan tangan aku pun beranjak mendekati pintu. “Hyung~” panggil Zen.

“Hmm...?”

“Aku ingin minta tolong... bisakah kau pastikan agar pria itu tidak mendekati June..?” pinta Zen tegas.

Kurasa aku akan mati saat itu juga ketika mendengar kata-katanya, padahal selama ini aku selalu berusaha agar tak ada yang tahu tentang hubungan kami.

Si staf menatapku sejenak sebelum akhirnya bicara. “Hhhh~ Kau ini yang benar saja, kau jangan  cemburuan begitu... masa kau sampai harus akting sakit supaya bisa turun dari panggung, kali ini kau ku maafkan... ” jawab si staff.

“Tapi kau akan menjaganya untukku kan?” gumam Zen cuek.

“Baiklah, baiklah... tentu saja... ayo June, Zen kami tinggal ya~”

“Oke~” Zen tersenyum ceria. “Thanks hyung... see you later chagiyaa~”

Kami berdua keluar dari ruang istirahat meninggalkan Zen dengan aktor lainnya yang juga ingin beristirahat. “Ini untukmu...” gumam si staf menyodoriku scarf.

“Wha...”

“Jangan kaget begitu... pakai saja, scarf itu punya Zen kok.. pasti sulit menyembunyikan bekasnya saat rapat nanti, maaf ya aku menginterupsi kalian saat kalian sedang...”

“Oh stop... kau membuatku semakin malu...” protesku sambil mengambil scarf dari tangannya dan mengikatnya dileherku, si staf tertawa keras. “Tapi... kenapa kau... tidak kaget...?”

Si staf menatapku lalu tersenyum penuh arti. “Untuk apa kaget? Semua orang di agensi sudah tahu hubungan kalian, bagaimana kami nggak tahu... hampir setiap hari dia mengatakannya pada kami, sampai kami semua bosan... dia bilang kau berani menatapmu dengan tatapan mesum dia akan menggundul kepala kami, benar-benar pria mengerikan...”

“No way... kupikir selama ini tak ada yang tahu...”

“Sepertinya diantara semua orang... Cuma kau ya yang tidak tahu soal ini...”

“Si bodoh itu... aku tahu dia tak akan segan menunjukkan perasaannya didepan umum, tapi bagaimana dia bisa mengatakannya begitu saja tanpa pikir panjang? Apa dia tak perduli dengan karirnya?”

“Dia hanya mencoba untuk jujur, kurasa karena dia benar-benar menyukaimu. Sebaiknya kau segera tangani dia... beberapa hari ini dia gelisah karena kau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu... membuat kami pusing dengan status galau dan menebar selfi dimana-mana,”

“Aku tahu sih tapi... ah~ tak kusangka akan mendengar hal ini darimu...”

“Sudah, aku juga tak ingin mengatakannya disaat sibuk seperti ini ” putus si staf saat kami berhenti didepan sebuah pintu. “Semoga saja hasil rapatnya nanti memuaskan, are you ready...?” tanyanya lagi sebelum membuka pintu. Aku pun mengangguk mengiyakan.

Continue to #Part2

**** 


Hai lovely reader chan~ ^^ Sorry ya aku jarang banget update fanfic lagi, uhm... karena ada beberapa hal aku jadi gabisa fokus dengan blogku, tapi mulai sekarang aku akan coba untuk lebih aktif dalam menulis paling ga satu fanfic setiap minggu akan aku Up dan juga untuk fanfic sebelumnya yang belum tamat aku akan kembali melanjutkannya lagi, jadi kuharap kalian suka dengan yang satu ini... aku membuatnya sebagai permintaan maaf karena hiatus terlalu lama, jadi plotnya agak sedikit “hard” dari fanfic yang sebelumnnya. Uhm~ bagi yang dibawah 17 tahun tolong kebijaksanaannya untuk nggak baca  fanfiksiku ^^ aku harap kalian cukup bijaksana saat membaca fanfic yang kutulis dan nggak membawanya ke kehidupan nyata (Maaf sekali aku menuliskan kalian hal yang nggak pantas untuk dibaca T.T).

3 comments: