Perfect
Punishment
(My
Editor is a Devil)
Cast
: Levi Ackerman x Reader
Genre
: Romance, Mature
Language
: Mix (Bahasa Indonesia - English)
(NB : Saat membaca cerita ini kalian akan menemukan tanda (Y/N) ini bukan nama saya lho ya :) ini adalah kependekan dari (Your/Name) dan merupakan petunjuk agar kalian menambahkan nama kalian sendiri kedalam kolom tersebut. Semoga kalian suka dan aku menunggu komentar kalian lho.)
Happy Reading!!
(NB : Saat membaca cerita ini kalian akan menemukan tanda (Y/N) ini bukan nama saya lho ya :) ini adalah kependekan dari (Your/Name) dan merupakan petunjuk agar kalian menambahkan nama kalian sendiri kedalam kolom tersebut. Semoga kalian suka dan aku menunggu komentar kalian lho.)
Happy Reading!!
Chapter
1
Cerita
cintaku tak pernah sebagus teman-temanku juga tak spesial dan kurasa itu bukanlah
cerita yang bagus untuk dikisahkan, lagi pula ini bukan cerita romantis.
Aku tak
memiliki keberuntungan dalam cinta dan selalu terlibat dengan pria bermasalah,
sejak semua itu berakhir aku tak pernah berniat untuk menjalin hubungan khusus
dengan para pria lagi, yeah.. setidaknya untuk sementara ini hingga hatiku
nanti kembali tertata lagi.
Kencan dalam bentuk apa pun.. is a big no!
Kencan dalam bentuk apa pun.. is a big no!
Ironisnya...
aku bekerja sebagai seorang penulis novel romantis dan ironi didalam
ironinya... semua buku cerita cinta romantis yang kubuat selalu menjadi best
seller... dan pertanyaan yang paling kubenci saat wawancara adalah... siapakah
pria yang telah menginspirasiku selama ini?
Meskipun aku benci kencan, tapi aku
tak akan pernah menyangka kalau pertemuanku dengan seorang pria bernama Levi
Ackerman nantinya akan membawa dampak besar pada kehidupan percintaanku.
“(Y/N)! Ada
telepon disaluran 2... seperti biasa dari penggemar fanatikmu!”
Gadis
berambut blonde dan bertubuh mungil yang baru saja meneriakiku itu adalah Petra
Rall dia adalah seorang sekretaris yang juga merangkap sebagai penerima pesan
khusus untuk penggemarku.
“Okay...
thanks Petra!” kuraih gagang telepon yang ada didekat mejaku dan menerima
panggilan itu. “Halo, disini (Y/N)...”
“(Y/N)!!!
It’s me!!” pekik suara dari seberang telepon. Kucoba untuk mengingat suara si
penelepon hingga dahiku mulai berkerut.
“Joy?”
tebakku. Terdengar suara cekikikan diseberang telepon. “What’s going on? Tumben
kau meneleponku?”
Joy adalah
adik perempuanku. Dia cukup berisik dan aku sering merasa kesal padanya hingga
sering mencuekinya, meskipun begitu ia tak pernah perduli dengan sikap cuekku.
“Ah ya...
aku sedang senggang jadi kuputuskan untuk mengunjungimu..”
“Wh-what?!
Where are you now?” bisikku panik. Laptop yang ada diatas mejaku sampai ikut tersentak
ketika lututku tak sengaja membentur bawah meja. Setahuku ia sedang berada
diluar kota untuk kuliah.
“Hmmm...
saat ini aku dalam perjalanan menuju tempat kerjamu, ah ini bus ku sudah sampai
dihalte... aku lapar sekali kau harus membelikanku makan siang nanti,”
“But Joy...
I’m busy right now.. aku harus menyelesaikan pekerjaanku...”
“Oh shut up,
kau hanya mencari-cari alasan saja... paling-paling saat ini kau sedang
bersantai sepanjang hari sambil main game otome kesayanganmu diponsel setelah
wawancaramu selesai kemarin kan,” tebaknya.
Okay... dia
benar sekali dan penjelasannya cukup akurat, aku sedang sangat senggang setelah
buku ke dua belasku diluncurkan minggu lalu.
“Jangan
membohongiku... cepatlah turun ke lobby ada yang ingin kuberitahukan padamu,
aku akan menunggumu disana,” paksanya lagi.
“Wa-waiiittt....”
“Tutt tuuut
ttuuut...” Joy mengakhiri panggilan itu.
“Sial! Dia
mematikan teleponnya!” rutukku sebal.
Sebuah pukulan
pelan dipelipis membuatku tersentak. “What happen?” sapa seorang pria tinggi
besar. Ditangannya ada gulungan kertas yang tadi ia pukulkan kepelipisku.
Dia adalah
Irvin smith yang memiliki kedudukan sebagai bosku dikantor penerbitan Corps
tempatku bekerja saat ini, ia berambut blonde dan bermata biru wajahnya tampan
dan tubuhnya juga tinggi tegap.
“Kau tampak
kacau, apa ada berita buruk?” gumamnya sambil menyeruput kopi hitam yang
dibawanya keluar dari ruangannya.
“Nothing!”
gelengku sambil meletakkan ponsel dimeja. “Adikku menelepon, dia bilang dia
akan mengunjungiku..”
“Oh..
seharusnya kau merasa senang...” selidiknya.
“Umm.. ya
seharusnya begitu tapi aku sedang sibuk...”
“I see.. aku
bisa lihat kau sangat sibuk dengan game pria host yang selalu kau share dilaman
facebookmu itu,” sambungnya.
Crap! Dia
tak perlu mengatakannya sekeras itu, tapi yeah dia benar. Aku mendengus sebal
namun Irvin tertawa saat melihat ekspresiku. Dia tahu kalau tebakkannya benar.
“Okay... apa
ada sesuatu yang harus kulakukan?” tanyaku berusaha untuk mengalihkan
pembicaraan absurd itu. Irvin menyunggingkan senyuman misteriusnya sebelum
menjawab pertanyaanku.
“Hmmm...
sebenarnya tidak ada, aku hanya ingin memberimu selamat karena hari ini kau
kedatangan banyak surat penggemar lagi, tapi...” potongnya.
“Tapi...?”
ulangku tak sabar.
“Aku jadi
ingin tahu, siapa pria yang menjadi inspirasimu selama menulis?”
Damn!
Pertanyaan ini lagi. “Oh, Irvin... kau tahu kan aku nggak ingin membahasnya?”
Irvin
mengerutkan dahinya saat mendengar penolakanku. “Again? Aku hanya ingin mendengar
beberapa cerita versimu sendiri. Ayolah... Kau tahu aku tak pernah
mempermasalahkan ide-idemu dalam menulis kuyakin sedikit cerita untukku tak
jadi masalah buatmu..”
“But...”
“Editormu
Hanji tak pernah memberikan komentar negatif saat memeriksa cerita yang kau
buat, tapi kuyakin itu karena dia juga belum pernah berkencan beberapa tahun
belakangan ini...”
“Irvin, aku
mendengar ocehanmu!” pekik Hanji Zoe yang baru saja keluar dari ruangannya dan
ia berjalan menuju lift untuk pergi.
Hanji Zoe adalah
seorang wanita cantik berambut coklat yang memakai kacamata dan berpenampilan
eksentrik. Dia juga sering meributkan beberapa hal yang tidak biasa dan sangat
excited pada orang yang berkata ingin mendengar ceritanya tentang
petualangannya mencari monster salamander. Ia pintar namun juga aneh disaat
bersamaan.
Irvin
kembali terkekeh lagi. “Jadi...? Apa maksudmu memberitahuku soal ini?” tanyaku.
Irvin tak
langsung menjawabku ia hanya memberiku tatapan cemas dan wajahnya terlihat khawatir.
“Aku khawatir denganmu...” gumamnya.
Aku terkekeh
pelan. “What do you mean...? You know... I’m fine,” gumamku santai.
Ia tampak
ragu saat akan mengatakannya, tapi ia tahu ia harus mengatakannya. “Kurasa kau
harus mencobanya, kau tahu kan maksudku...? Kau bisa mengambil cuti, pergi
berlibur kesuatu tempat, berpesta, berkenalan dengan seseorang dan...”
Kutatap
wajah berkerut Irvin dengan pandangan tak percaya. “Kau ingin aku mengencani
pria kan?” tebakku kemudian.
Irvin terkekeh,
ia menyeruput kopinya. “What the... of course I am, aku sangat ingin kau
mengencani pria nyata, memangnya aku ingin kau kencan dengan kuda?” lanjutnya
lagi lalu kembali terkekeh. “Memang apa enaknya berciuman dengan seekor kuda,
hah?” candanya lagi. “Ayolah berkencan dengan kuda itu ide yang sangat
abnormal..”
“Sudah
kukatakan aku tak ingin kencan dengan siapapun bahkan seekor kuda saja tidak
ada dalam listku, Mr. Smith,” gerutuku sebal, ia hanya tertawa mendengar
keluhanku. Kusandarkan punggungku dikursi putar dan memutar-mutarnya pelan
dengan kakiku. Berpikir. “Impossible... you already know, I can’t do this...”
“Why? I
wanna hear your real reason not your bulshit...” gumamnya lalu duduk diatas
meja kerjaku dan mengamatiku.
Normalnya
kau tak akan mungkin curhat tentang percintaan pada bosmu, namun Irvin berbeda,
dia sangat welcome pada bawahannya.
“I can’t
because... aku sudah lupa cara berkencan!” bisikku. “Aku bahkan lupa cara
memulai pembicaraan dengan seorang pria saat kencan...” memberitahu Irvin
tentang hal ini bagiku sangatlah memalukan.
“How about
this?” serunya sambil meraih ponselku dan menunjukkan game pria host yang masih
muncul dilayar ponselku. Dengan cepat kuraih ponsel itu darinya. “Come on...
saat ini kau sedang ngobrol intim denganku kan? Tak ada bedanya dengan
percakapan ketika kau melakukan kencan nyata dan saat kencan dalam game, kau
bahkan bisa meniru tokoh dalam novelmu kalau kau mau...”
Aku kembali
mendesah resah. “Aku membuat tokoh itu tampak sangat percaya diri, sementara
kau tahu aku memiliki masalah cukup serius dengan kepribadianku kan? Aku ini
introvert yang sangat payah dalam berkencan,”
“Bulshit!
Kau hanya seorang gadis pemalu biasa.. tak ada yang spesial dari sikap
introvertmu, itu hal yang wajar,” Tampaknya ia tak akan puas sebelum aku setuju
untuk berkencan. “Aku tahu orang yang sangat cocok untukmu... aku bisa
mengenalkan kalian berdua,”
“No, no, no,
no....” cegahku. Aku tak ingin Irvin menjadi mak comblang dan menjodohkanku
dengan pria yang tak kukenal.
“Oh come on
(Y/N)...? Aku tak ingin kau berkutat dengan game ini terus... aku ingin kau
berkencan!” paksanya.
“Kau tak
bisa memaksaku, sir... ini pilihanku, okay? Menjadi single adalah pilihanku!”
Irvin menatapku
dengan ekspresi cemas. Ia menggelengkan kepalanya. “Okay! I got it...”
gumamnya. “Tapi... setidaknya aku ingin kau mencobanya sekali saja, lakukanlah
dengan orang yang kau suka... kau tak bisa membuat cerita hanya dari khayalan
saja itu tak akan cukup, kau harus merasakannya (Y/N), dengan begitu kau bisa
memberi jiwa pada tokoh yang kau buat,”
Menurutku,
aku telah memberikan seluruh jiwaku pada setiap tulisanku lalu apa yang kurang?
Meskipun begitu aku tak ingin menampiknya mungkin kata-kata Irvin ada benarnya
tapi aku tak akan mengakui hai ini didepannya. Irvin menatapku meminta
persetujuanku, kurasa aku harus menganggukkan kepalaku agar ia bisa segera
pergi dari mejaku.
“Okay...
entah kapan, aku akan melakukannya... nanti,” gumamku ragu. Ia tersenyum lebar
lalu mengajakku ber-tos ria.
“Oh ya..
minggu depan Hanji akan berangkat keluar negeri, kurasa kau akan butuh editor
baru,” lanjut Irvin sebelum ia beranjak pergi.
“Pergi? Dia
tidak bilang apapun padaku?” protesku.
“Ya, Hanji
baru saja dikabari, beberapa hari lagi dia akan berangkat. Aku sudah
membicarakan editor pengganti dengan Hanji jadi kau tak perlu khawatir jika
ingin menulis lanjutan tulisanmu,”
Aku hanya
mengangguk-angguk pelan saat mencerna penjelasan Irvin, tak kusangka Hanji
tidak memberitahuku tentang kepergiannya. “Baiklah.. Selama dia bisa memeriksa
novelku dengan benar, aku tak akan keberatan jika dia menggantikan Hans..”
Irvin
tersenyum manis penuh arti. “Jangan khawatir sweetheart, dia itu pakarnya novel
romantis... aku yakin kau akan menyukai cara kerjanya,” sambung Irvin lalu
beranjak pergi kembali keruangannya.
Akhirnya
pria blonde itu pergi juga. Ini sudah kesekian kalinya kami berdebat masalah
kencan dengan ‘pria’ dia bahkan pernah menyarankanku untuk mengencani sahabatku
Jean Kirchstein. Yang benar saja... mana mungkin aku melakukannya.
“(Y/N)!!
Seseorang menuggumu di lobby!” pekik Petra.
Shit! Aku
lupa! “Thanks Petra, aku keluar sebentar ya..” gumamku lalu beranjak pergi
dengan membawa tasku.
****
Aku baru
saja keluar dari lift dan langsung mendapati wajah manyun Joy menyambutku. Ia
tampak sebal karena aku membuatnya menunggu selama hampir tiga puluh menit. “You look
beautiful with your duck face...” sapaku.
“You late!”
protesnya.
Kami berjalan
beriringan dan aku langsung mengajaknya menuju cafetaria. “Lilbit late doesn’t
kill you... it’s not a big deal, lagi pula kau datang tiba-tiba saat aku sedang
sibuk,” balasku.
“Terlambat
itu adalah masalah besar, kau tak bisa menyepelekannya... bagaimana kalau kau
bertemu seseorang yang tak bisa mentolerir sikapmu itu?” cetusnya.
Kami masuk
kedalam cafetaria dan memilih duduk disalah satu kursi kosong dekat jendela.
“Sekarang kau ingin menceramahiku? Oh ayolah kan telatnya cuma sebentar saja...”
“But you
almost late for thirty minute!”
Seorang
pramusaji mendekati kami dan menawarkan menu. “Kau boleh pesan apa saja tapi
semuanya harus dihabiskan.. mengerti?”
Joy
tersenyum penuh arti dan mengangguk senang. Sekejap saja ia langsung melupakan
percakapan kami barusan. Setelah selesai memesan dan si pramusaji pergi kami
mulai terdiam sambil menatap pemandangan diluar jendela cafetaria.
“Kenapa kau
tiba-tiba kemari? Bukankah ini bukan waktu libur kuliah?”
“Yeah... aku
kemari karena ingin mengucapakan selamat untuk rilisnya bukumu yang terbaru,
kupikir kau akan merayakannya seorang diri, jadi kuputuskan untuk
menemanimu...”
“Kau pikir
aku tak punya teman untuk merayakannya ya?”
“Bukan
begitu... aku hanya ingin memastikan saja, apa kau sudah punya pacar atau
belum,”
“Topik ini
lagi, kalian ingin membunuhku ya?” gumamku sebal.
Tak kusangka
setelah selesai berdebat dengan Irvin aku masih harus menghadapi adikku. Aku
terkekeh pelan, bukan karena senang tapi mencoba untuk menutupi kekesalanku.
Ada apa dengan semua orang hari ini kenapa mereka bertanya tentang kekasih,
pacar dan pria padaku??
“Okay listen
to me... kau tahu aku tak berniat untuk menjalin hubungan serius kan? Kita
sudah sering membic....”
“Dalam waktu
dekat ibu akan menjodohkanmu dengan pria pilihannya,” potong Joy.
Aku terdiam
dan pramusaji datang dengan nampan besar berisi makanan yang kami pesan ia
menyajikannya kemeja kami. Joy tersenyum senang karena ia bisa dengan bebas
memesan banyak menu.
“Thank you,”
gumamnya pada pramusaji yang berkata agar kami menikmati makanan kami lalu
beranjak pergi. Joy mengambil piringnya lalu menatapku. “Kau terkejut kan?”
“Kau...
bohong!” gumamku tak yakin. Ia hanya menyunggingkan senyum misterius lalu mulai
menyicip hidangannya dengan ekspresi sangat menikmati.
“Sebaiknya
kau hati-hati saja, ibu akan melakukannya tanpa persetujuanmu... ibu telah
menemukan seseorang yang menurutnya sangat cocok untukmu, tapi menurutku...
orang itu lebih cocok dengan kriteria ibu, kau tak akan mau dijodohkan
dengannya meskipun ia adalah seorang dokter atau presiden sekalipun..”
“Are you
serious? Apakah seburuk itu?” gumamku lalu terkekeh, tapi raut wajah Joy yang
serius tidak berubah.
“Tidak juga
sih. Sebenarnya aku tak boleh memberitahumu tentang hal ini, tapi karena aku
ini baik jadi kuputuskan untuk memberitahumu.. bagaimana?”
“Kau pasti
menginginkan sesuatu sebagai timbal baliknya kan?”
Joy terkekeh
senang. “Kau selalu tahu apa yang ada dalam benakku, sis!” serunya riang.
Tch... aku
tahu Joy tak mungkin bohong untuk hal seperti ini. Permintaan Irvin bahkan
terdengar lebih mudah untuk dilakukan daripada harus menghadapi ibuku yang
sudah sangat berniat. Aku rela mengikuti seratus kali kencan buta dengan orang
tak dikenal daripada harus dijodohkan!
Apa yang
harus kulakukan?
****
“Kabur?
Seriously?” ulangku tak percaya.
Saat ini aku
sedang bersama Annie Leonhart dan Christa Reiss, dua gadis blonde yang bekerja
ditempat yang sama denganku. Kami sedang asyik menikmati makan malam disalah
satu kafe didekat apartemen kami.
“Itu hal
yang sangat bodoh, aku tak akan melakukannya,” tolakku lalu mulai menyantap
makananku.
“Yeah kau
benar, jika kau melakukannya akan terlihat sangat kekanakan... tapi kau sendiri
bilang kalau ibumu itu tak bisa ditolak kemauannya kan? Bukankah sekarang kau
tak punya pilihan lain?” gumam Annie. Ia menyeruput gelas minumannya.
“Kenapa kau
tak mengatakan pada ibumu kalau kau tak ingin dijodohkan? Aku yakin ibumu akan
mengerti,” gumam Christa memberikan saran.
Seandainya
mengungkapkan hal itu sangat mudah aku akan mengikuti saran Christa dengan
senang hati, tapi itu mustahil. “Andai saja aku bisa mengatakannya, tentu
sekarang aku tak akan memusingkannya dan meminta saran dari kalian berdua,”
gumamku sambil mengunyah makanan.
“Hmm,
bagaimana kalau mencari pacar bohongan?” saran Christa.
“Ah! Idemu
boleh juga! Tapi... aku tak kenal orang yang bisa dijadikan pacar bohongan...
dan aku nggak bisa kencan,”
Annie
meletakkan gelas air minumnya yang telah kosong keatas meja, ia menatapku.
“Kurasa kau punya satu yang bisa menolongmu...” gumamnya dengan ekspresi dingin
yang sangat tajam.
Kucoba untuk
mengingat-ingat dengan seksama hingga dahiku berkerut. “Siapa? Kau kenal
orangnya?” tanya Christa pada Annie, ia tampak penasaran.
Annie
mengangkat kepalanya kaget saat melihat seseorang yang baru saja masuk kedalam
kafe, ia lalu melempar tatapannya padaku. “Tampaknya pangeranmu sudah muncul...
tepat disaat kau mengharapkannya” bisiknya pelan.
Pangeran?
Siapa?
Aku pun
berbalik dan menatap belakangku. “Jean!” pekik Christa penuh semangat.
Kulihat Jean
memalingkan wajahnya menatap kami bertiga, ia awalnya sedang sibuk memilih menu
di meja bartender. Ia langsung tersenyum manis saat melihat kami. Jean
melambaikan tangannya pada kami lalu kembali melanjutkan memesan makanan.
Perlahan kupalingkan wajahku dan menatap Annie sambil menggeleng pelan.
“No!”
bisikku tanpa suara, aku tahu Annie mengerti gerakan bibirku. “That’s a really
really really bad idea...”
Annie
menatapku seolah tak percaya. “You should try this...” bisiknya lagi. “He’s
your last choice...”
Annie
memberiku sebuah pilihan yang mustahil untuk dilakukan. Bukan mustahil juga sih
kalau kau minta tolong sahabatmu untuk pura-pura menjalin hubungan denganmu
sebagai pacar. Tapi Jean sudah punya gebetan sendiri, aku tak mungkin
membuatnya terlibat dalam masalahku karena saat ini saja dia sudah kesulitan
untuk menarik perhatian gadis blasteran jepang yang disukainya.
Jean
menghampiri kami dan langsung duduk disebelahku. “Wow.. makanmu banyak juga...
kau lapar atau ingin menambah ukuran perut buncitmu itu?” gumamnya padaku yang
sedang menyuapkan sesendok penuh makanan kedalam mulut. “Bukankah kau bilang
ingin diet dan olahraga? Apa itu cuma bualanmu saja?” tegur Jean sambil membuka
jaket yang ia kenakan.
“Today is my
cheat day, Jean...” gumamku santai.
“Beberapa
hari ini makannya tidak teratur, tak apa dia bersantai sedikit sebelum kembali
menulis,” gumam Christa mencoba membelaku.
“Again? Kau
ini tak ada bosan-bosannya ya berkutat didepan laptop. Seharusnya kau ambil
cuti saja dan pergi liburan, kalau terus berkhayal lama-lama kau bisa gila”
gumam Jean sambil mencomot kentang goreng dari piringku.
Annie
menepukkan kedua tangannya tanda setuju. “Kau benar! Aku setuju denganmu Jean,
hampir lima tahun ini dia mengurung diri dikantor...”
“Dan kamar
apartemennya...” sambung Jean sambil menyuapkan kentang lain kemulutnya.
“Bos juga
sudah meminta agar (Y/N) mau mengambil cuti dan pergi berkencan, tapi kurasa dia
tak akan mengikuti kemauan bos kecuali ia memecat (Y/N) terlebih dahulu,” sambar
Christa.
“Nice opinion...
Aku hanya mencoba untuk fokus dengan pekerjaanku, okay? Lagi pula aku nggak
tahu ingin liburan kemana,”
“Yang benar
saja... bos menyuruhnya pergi kencan? Maksud kalian kencan buta?” ulang Jean,
ia tampak mulai bersemangat untuk memperolokku.
Pramusaji
datang dan menyajikan makanan untuk Jean lalu pergi lagi. Annie mulai buka
suara. “Selain itu ibunya juga memintanya untuk ikut perjodohan...”
Jean yang
saat itu akan menyuapkan makanan kedalam mulutnya langsung menghentikan kegiatannya
dan menatapku yang sedang minum air mineral. “Seriously?” tanyanya padaku
meminta kepastian, ekspresinya tampak kaku. “Aku penasaran pria seperti apa
lagi yang akan dia jodohkan denganmu,” gumamnya lalu menyuapkan makanan
kemulutnya.
“Kau tidak
kaget?” selidik Annie.
“Kenapa
harus kaget? Hal itu sudah pernah terjadi, (Y/N) menolaknya dan perjodohan itu
batal. Kali ini juga pasti begitu kan..?” gumamnya yakin.
“Kurasa kali
ini ibunya tidak akan membiarkan dia menolaknya lagi, Jean...” gumam Christa
sambil menyeruput jusnya.
“Kami
menyuruhnya untuk mencari pacar bohongan...” lanjut Annie.
Aku langsung
menghunus Annie dengan tatapan tajamku, kuharap dia tidak bicara macam-macam
tentang idenya untuk meminta bantuan Jean agar mau pura-pura jadi pacar
bohonganku.
“Tapi dia
bilang dia tak punya teman pria yang bisa dipercaya secara khusus...” lanjutnya
kemudian. Membuatku menendang kakinya agar dia bisa diam.
Jean diam
sejenak sambil membersihkan bibirnya dengan tisu. “Hmmm... kurasa pacar
bohongan itu bukan ide yang bagus, kau tak akan bisa berbohong terus menerus
kan?” gumamnya. “Jangan memberinya ide bodoh Ann, sebaiknya (Y/N) mengikuti
saran Irvin untuk pergi berkencan,” ujarnya padaku lalu menatap Annie dan
Christa.
Rencana
Annie untuk menarik perhatian Jean kedalam masalahku gagal. Aku juga tak
berharap dia akan setuju jadi pacar pura-puraku dan Jean benar, sampai kapan
aku harus berbohong. Mungkin kabur menjadi jalan satu-satunya yang bisa
kulakukan, tapi selama pria pilihan ibu belum terlihat didepan batang hidungku
kurasa hidupku masih akan aman.
Malam itu
cuaca cukup dingin dan angin berhembus sepoi-sepoi, setelah selesai makan dan
membayar kami berempat pun berpisah, aku dan Jean memutuskan untuk pergi
kesuatu tempat berdua. Aku menemaninya pergi membeli peralatan masak di
supermaket.
“Kau sudah
ketemu pria pilihan ibumu itu? Bagaimana wajahnya, kuharap bukan pak tua
seperti kemarin,” tanya Jean saat kami tengah sibuk memilih-milih barang.
“Hhhh..
kuharap juga begitu. Aku belum bertemu dia dan ibu juga tidak menelepon untuk
memberitahuku,”
“Kurasa dia
akan datang tiba-tiba seperti sebelumnya dan membuat kejutan kecil,”
“Aku tak
yakin ‘itu’ akan jadi kejutan kecil biasa,”
“Lalu... apa
kau akan menyerah dan menerimanya begitu saja?”
“Entahlah...
sebenarnya aku tidak mau tapi aku masih bingung cara menolaknya, kau tahu ibuku
kan? Kurasa aku memang harus cari pacar bohongan saja... ah kau tidak setuju
dengan ide ini kan? Apa sebaiknya aku kabur saja? Aku harus segera berkencan
dengan orang yang tepat,” gumamku panik.
“Sebenarnya...
aku tak akan keberatan membantumu kalau kau memintaku untuk jadi pacar
bohonganmu sementara waktu ini,”
Kutatap
wajah Jean dengan perasaan sangat terkejut. “No way, bukannya tadi kau menolak
ide ini? Kenapa sekarang malah menawarkan diri?”
Jean
mengedikkan bahunya dan memijat belakang lehernya seolah sedang
mempertimbangkan sesuatu. “Ini memang ide buruk, tapi kurasa hal itu lebih baik
daripada kabur kan? Kau tetap bisa ikut kencan dengan beberapa pria jika mau,
aku tak akan mempermasalahkannya...”
Aku
menggeleng pelan. “No... Jean, kau sudah punya masalahmu sendiri... gadis
jepang itu saja sudah cukup membuatmu merasa depresi kan?”
Jean menganggukkan
kepalanya pelan ia tampak sedikit ragu. “Tch... padahal kau tak perlu
mengkhawatirkan hal itu, sebenarnya aku tak begitu depresi tapi... kalau
melihat Mikasa berduaan dengan si bodoh Eren entah kenapa aku merasa kesal...”
curhatnya.
Jean Kirchstein
adalah sahabatku sejak kami masih dibangku kuliah, dia bandel dan suka
mengerjaiku, aku sendiri tak mengerti kenapa sekarang kami bisa berteman sangat
akrab. So far... meskipun sering bersikap menyebalkan tapi Jean tahu kapan
harus bersikap gentle, sebenarnya dia tampan seandainya saja dia tak
menyebalkan, namun aku tak akan mengakui hal ini didepannya.
Aku harus
segera memikirkan jalan kabur terbaik dari perjodohan yang diatur ibuku dan selain
itu aku juga penasaran dengan pengganti Hanji Zoe. Kira-kira seperti apa editor
pengganti Hanji nanti kuharap dia bukan wanita paruh baya yang menyebalkan.
****
Continued to Chapter 2
Wuz here
ReplyDelete