Sunday 24 April 2016

Perfect Punishment (Levi Ackerman x Reader) - Chapter 01

BY Unknown IN 1 comment



Perfect Punishment
(My Editor is a Devil)

Cast : Levi Ackerman x Reader
Genre : Romance, Mature
Language : Mix (Bahasa Indonesia - English)

(NB : Saat membaca cerita ini kalian akan menemukan tanda (Y/N) ini bukan nama saya lho ya :) ini adalah kependekan dari (Your/Name) dan merupakan petunjuk agar kalian menambahkan nama kalian sendiri kedalam kolom tersebut. Semoga kalian suka dan aku menunggu komentar kalian lho.)

Happy Reading!! 

Chapter 1

Cerita cintaku tak pernah sebagus teman-temanku juga tak spesial dan kurasa itu bukanlah cerita yang bagus untuk dikisahkan, lagi pula ini bukan cerita romantis.

Aku tak memiliki keberuntungan dalam cinta dan selalu terlibat dengan pria bermasalah, sejak semua itu berakhir aku tak pernah berniat untuk menjalin hubungan khusus dengan para pria lagi, yeah.. setidaknya untuk sementara ini hingga hatiku nanti kembali tertata lagi. 

Kencan dalam bentuk apa pun.. is a big no!


Ironisnya... aku bekerja sebagai seorang penulis novel romantis dan ironi didalam ironinya... semua buku cerita cinta romantis yang kubuat selalu menjadi best seller... dan pertanyaan yang paling kubenci saat wawancara adalah... siapakah pria yang telah menginspirasiku selama ini?

Meskipun aku benci kencan, tapi aku tak akan pernah menyangka kalau pertemuanku dengan seorang pria bernama Levi Ackerman nantinya akan membawa dampak besar pada kehidupan percintaanku.

“(Y/N)! Ada telepon disaluran 2... seperti biasa dari penggemar fanatikmu!”

Gadis berambut blonde dan bertubuh mungil yang baru saja meneriakiku itu adalah Petra Rall dia adalah seorang sekretaris yang juga merangkap sebagai penerima pesan khusus untuk penggemarku.

“Okay... thanks Petra!” kuraih gagang telepon yang ada didekat mejaku dan menerima panggilan itu. “Halo, disini (Y/N)...”

(Y/N)!!! It’s me!!” pekik suara dari seberang telepon. Kucoba untuk mengingat suara si penelepon hingga dahiku mulai berkerut.

“Joy?” tebakku. Terdengar suara cekikikan diseberang telepon. “What’s going on? Tumben kau meneleponku?”

Joy adalah adik perempuanku. Dia cukup berisik dan aku sering merasa kesal padanya hingga sering mencuekinya, meskipun begitu ia tak pernah perduli dengan sikap cuekku.

“Ah ya... aku sedang senggang jadi kuputuskan untuk mengunjungimu..”

“Wh-what?! Where are you now?” bisikku panik. Laptop yang ada diatas mejaku sampai ikut tersentak ketika lututku tak sengaja membentur bawah meja. Setahuku ia sedang berada diluar kota untuk kuliah.

“Hmmm... saat ini aku dalam perjalanan menuju tempat kerjamu, ah ini bus ku sudah sampai dihalte... aku lapar sekali kau harus membelikanku makan siang nanti,”

“But Joy... I’m busy right now.. aku harus menyelesaikan pekerjaanku...”

“Oh shut up, kau hanya mencari-cari alasan saja... paling-paling saat ini kau sedang bersantai sepanjang hari sambil main game otome kesayanganmu diponsel setelah wawancaramu selesai kemarin kan,” tebaknya.

Okay... dia benar sekali dan penjelasannya cukup akurat, aku sedang sangat senggang setelah buku ke dua belasku diluncurkan minggu lalu.

“Jangan membohongiku... cepatlah turun ke lobby ada yang ingin kuberitahukan padamu, aku akan menunggumu disana,” paksanya lagi.

“Wa-waiiittt....”

“Tutt tuuut ttuuut...” Joy mengakhiri panggilan itu.

“Sial! Dia mematikan teleponnya!” rutukku sebal.

Sebuah pukulan pelan dipelipis membuatku tersentak. “What happen?” sapa seorang pria tinggi besar. Ditangannya ada gulungan kertas yang tadi ia pukulkan kepelipisku.

Dia adalah Irvin smith yang memiliki kedudukan sebagai bosku dikantor penerbitan Corps tempatku bekerja saat ini, ia berambut blonde dan bermata biru wajahnya tampan dan tubuhnya juga tinggi tegap.

“Kau tampak kacau, apa ada berita buruk?” gumamnya sambil menyeruput kopi hitam yang dibawanya keluar dari ruangannya.

“Nothing!” gelengku sambil meletakkan ponsel dimeja. “Adikku menelepon, dia bilang dia akan mengunjungiku..”

“Oh.. seharusnya kau merasa senang...” selidiknya.

“Umm.. ya seharusnya begitu tapi aku sedang sibuk...”

“I see.. aku bisa lihat kau sangat sibuk dengan game pria host yang selalu kau share dilaman facebookmu itu,” sambungnya.

Crap! Dia tak perlu mengatakannya sekeras itu, tapi yeah dia benar. Aku mendengus sebal namun Irvin tertawa saat melihat ekspresiku. Dia tahu kalau tebakkannya benar.

“Okay... apa ada sesuatu yang harus kulakukan?” tanyaku berusaha untuk mengalihkan pembicaraan absurd itu. Irvin menyunggingkan senyuman misteriusnya sebelum menjawab pertanyaanku.

“Hmmm... sebenarnya tidak ada, aku hanya ingin memberimu selamat karena hari ini kau kedatangan banyak surat penggemar lagi, tapi...” potongnya.

“Tapi...?” ulangku tak sabar.

“Aku jadi ingin tahu, siapa pria yang menjadi inspirasimu selama menulis?”

Damn! Pertanyaan ini lagi. “Oh, Irvin... kau tahu kan aku nggak ingin membahasnya?”

Irvin mengerutkan dahinya saat mendengar penolakanku. “Again? Aku hanya ingin mendengar beberapa cerita versimu sendiri. Ayolah... Kau tahu aku tak pernah mempermasalahkan ide-idemu dalam menulis kuyakin sedikit cerita untukku tak jadi masalah buatmu..”

“But...”

“Editormu Hanji tak pernah memberikan komentar negatif saat memeriksa cerita yang kau buat, tapi kuyakin itu karena dia juga belum pernah berkencan beberapa tahun belakangan ini...”

“Irvin, aku mendengar ocehanmu!” pekik Hanji Zoe yang baru saja keluar dari ruangannya dan ia berjalan menuju lift untuk pergi.

Hanji Zoe adalah seorang wanita cantik berambut coklat yang memakai kacamata dan berpenampilan eksentrik. Dia juga sering meributkan beberapa hal yang tidak biasa dan sangat excited pada orang yang berkata ingin mendengar ceritanya tentang petualangannya mencari monster salamander. Ia pintar namun juga aneh disaat bersamaan.

Irvin kembali terkekeh lagi. “Jadi...? Apa maksudmu memberitahuku soal ini?” tanyaku.

Irvin tak langsung menjawabku ia hanya memberiku tatapan cemas dan wajahnya terlihat khawatir. “Aku khawatir denganmu...” gumamnya.

Aku terkekeh pelan. “What do you mean...? You know... I’m fine,” gumamku santai.

Ia tampak ragu saat akan mengatakannya, tapi ia tahu ia harus mengatakannya. “Kurasa kau harus mencobanya, kau tahu kan maksudku...? Kau bisa mengambil cuti, pergi berlibur kesuatu tempat, berpesta, berkenalan dengan seseorang dan...”

Kutatap wajah berkerut Irvin dengan pandangan tak percaya. “Kau ingin aku mengencani pria kan?” tebakku kemudian.

Irvin terkekeh, ia menyeruput kopinya. “What the... of course I am, aku sangat ingin kau mengencani pria nyata, memangnya aku ingin kau kencan dengan kuda?” lanjutnya lagi lalu kembali terkekeh. “Memang apa enaknya berciuman dengan seekor kuda, hah?” candanya lagi. “Ayolah berkencan dengan kuda itu ide yang sangat abnormal..”

“Sudah kukatakan aku tak ingin kencan dengan siapapun bahkan seekor kuda saja tidak ada dalam listku, Mr. Smith,” gerutuku sebal, ia hanya tertawa mendengar keluhanku. Kusandarkan punggungku dikursi putar dan memutar-mutarnya pelan dengan kakiku. Berpikir. “Impossible... you already know, I can’t do this...”

“Why? I wanna hear your real reason not your bulshit...” gumamnya lalu duduk diatas meja kerjaku dan mengamatiku.

Normalnya kau tak akan mungkin curhat tentang percintaan pada bosmu, namun Irvin berbeda, dia sangat welcome pada bawahannya.

“I can’t because... aku sudah lupa cara berkencan!” bisikku. “Aku bahkan lupa cara memulai pembicaraan dengan seorang pria saat kencan...” memberitahu Irvin tentang hal ini bagiku sangatlah memalukan.

“How about this?” serunya sambil meraih ponselku dan menunjukkan game pria host yang masih muncul dilayar ponselku. Dengan cepat kuraih ponsel itu darinya. “Come on... saat ini kau sedang ngobrol intim denganku kan? Tak ada bedanya dengan percakapan ketika kau melakukan kencan nyata dan saat kencan dalam game, kau bahkan bisa meniru tokoh dalam novelmu kalau kau mau...”

Aku kembali mendesah resah. “Aku membuat tokoh itu tampak sangat percaya diri, sementara kau tahu aku memiliki masalah cukup serius dengan kepribadianku kan? Aku ini introvert yang sangat payah dalam berkencan,”

“Bulshit! Kau hanya seorang gadis pemalu biasa.. tak ada yang spesial dari sikap introvertmu, itu hal yang wajar,” Tampaknya ia tak akan puas sebelum aku setuju untuk berkencan. “Aku tahu orang yang sangat cocok untukmu... aku bisa mengenalkan kalian berdua,”

“No, no, no, no....” cegahku. Aku tak ingin Irvin menjadi mak comblang dan menjodohkanku dengan pria yang tak kukenal.

“Oh come on (Y/N)...? Aku tak ingin kau berkutat dengan game ini terus... aku ingin kau berkencan!” paksanya.

“Kau tak bisa memaksaku, sir... ini pilihanku, okay? Menjadi single adalah pilihanku!”

Irvin menatapku dengan ekspresi cemas. Ia menggelengkan kepalanya. “Okay! I got it...” gumamnya. “Tapi... setidaknya aku ingin kau mencobanya sekali saja, lakukanlah dengan orang yang kau suka... kau tak bisa membuat cerita hanya dari khayalan saja itu tak akan cukup, kau harus merasakannya (Y/N), dengan begitu kau bisa memberi jiwa pada tokoh yang kau buat,”

Menurutku, aku telah memberikan seluruh jiwaku pada setiap tulisanku lalu apa yang kurang? Meskipun begitu aku tak ingin menampiknya mungkin kata-kata Irvin ada benarnya tapi aku tak akan mengakui hai ini didepannya. Irvin menatapku meminta persetujuanku, kurasa aku harus menganggukkan kepalaku agar ia bisa segera pergi dari mejaku.

“Okay... entah kapan, aku akan melakukannya... nanti,” gumamku ragu. Ia tersenyum lebar lalu mengajakku ber-tos ria.

“Oh ya.. minggu depan Hanji akan berangkat keluar negeri, kurasa kau akan butuh editor baru,” lanjut Irvin sebelum ia beranjak pergi.

“Pergi? Dia tidak bilang apapun padaku?” protesku.

“Ya, Hanji baru saja dikabari, beberapa hari lagi dia akan berangkat. Aku sudah membicarakan editor pengganti dengan Hanji jadi kau tak perlu khawatir jika ingin menulis lanjutan tulisanmu,”

Aku hanya mengangguk-angguk pelan saat mencerna penjelasan Irvin, tak kusangka Hanji tidak memberitahuku tentang kepergiannya. “Baiklah.. Selama dia bisa memeriksa novelku dengan benar, aku tak akan keberatan jika dia menggantikan Hans..”

Irvin tersenyum manis penuh arti. “Jangan khawatir sweetheart, dia itu pakarnya novel romantis... aku yakin kau akan menyukai cara kerjanya,” sambung Irvin lalu beranjak pergi kembali keruangannya.

Akhirnya pria blonde itu pergi juga. Ini sudah kesekian kalinya kami berdebat masalah kencan dengan ‘pria’ dia bahkan pernah menyarankanku untuk mengencani sahabatku Jean Kirchstein. Yang benar saja... mana mungkin aku melakukannya.

“(Y/N)!! Seseorang menuggumu di lobby!” pekik Petra.

Shit! Aku lupa! “Thanks Petra, aku keluar sebentar ya..” gumamku lalu beranjak pergi dengan membawa tasku.

****

Aku baru saja keluar dari lift dan langsung mendapati wajah manyun Joy menyambutku. Ia tampak sebal karena aku membuatnya menunggu selama hampir tiga puluh menit. “You look beautiful with your duck face...” sapaku.

“You late!” protesnya.

Kami berjalan beriringan dan aku langsung mengajaknya menuju cafetaria. “Lilbit late doesn’t kill you... it’s not a big deal, lagi pula kau datang tiba-tiba saat aku sedang sibuk,” balasku.

“Terlambat itu adalah masalah besar, kau tak bisa menyepelekannya... bagaimana kalau kau bertemu seseorang yang tak bisa mentolerir sikapmu itu?” cetusnya.

Kami masuk kedalam cafetaria dan memilih duduk disalah satu kursi kosong dekat jendela. “Sekarang kau ingin menceramahiku? Oh ayolah kan telatnya cuma sebentar saja...”

“But you almost late for thirty minute!”

Seorang pramusaji mendekati kami dan menawarkan menu. “Kau boleh pesan apa saja tapi semuanya harus dihabiskan.. mengerti?”

Joy tersenyum penuh arti dan mengangguk senang. Sekejap saja ia langsung melupakan percakapan kami barusan. Setelah selesai memesan dan si pramusaji pergi kami mulai terdiam sambil menatap pemandangan diluar jendela cafetaria.

“Kenapa kau tiba-tiba kemari? Bukankah ini bukan waktu libur kuliah?”

“Yeah... aku kemari karena ingin mengucapakan selamat untuk rilisnya bukumu yang terbaru, kupikir kau akan merayakannya seorang diri, jadi kuputuskan untuk menemanimu...”

“Kau pikir aku tak punya teman untuk merayakannya ya?”

“Bukan begitu... aku hanya ingin memastikan saja, apa kau sudah punya pacar atau belum,”

“Topik ini lagi, kalian ingin membunuhku ya?” gumamku sebal.

Tak kusangka setelah selesai berdebat dengan Irvin aku masih harus menghadapi adikku. Aku terkekeh pelan, bukan karena senang tapi mencoba untuk menutupi kekesalanku. Ada apa dengan semua orang hari ini kenapa mereka bertanya tentang kekasih, pacar dan pria padaku??

“Okay listen to me... kau tahu aku tak berniat untuk menjalin hubungan serius kan? Kita sudah sering membic....”

“Dalam waktu dekat ibu akan menjodohkanmu dengan pria pilihannya,” potong Joy.

Aku terdiam dan pramusaji datang dengan nampan besar berisi makanan yang kami pesan ia menyajikannya kemeja kami. Joy tersenyum senang karena ia bisa dengan bebas memesan banyak menu.

“Thank you,” gumamnya pada pramusaji yang berkata agar kami menikmati makanan kami lalu beranjak pergi. Joy mengambil piringnya lalu menatapku. “Kau terkejut kan?”

“Kau... bohong!” gumamku tak yakin. Ia hanya menyunggingkan senyum misterius lalu mulai menyicip hidangannya dengan ekspresi sangat menikmati.

“Sebaiknya kau hati-hati saja, ibu akan melakukannya tanpa persetujuanmu... ibu telah menemukan seseorang yang menurutnya sangat cocok untukmu, tapi menurutku... orang itu lebih cocok dengan kriteria ibu, kau tak akan mau dijodohkan dengannya meskipun ia adalah seorang dokter atau presiden sekalipun..”

“Are you serious? Apakah seburuk itu?” gumamku lalu terkekeh, tapi raut wajah Joy yang serius tidak berubah.

“Tidak juga sih. Sebenarnya aku tak boleh memberitahumu tentang hal ini, tapi karena aku ini baik jadi kuputuskan untuk memberitahumu.. bagaimana?”

“Kau pasti menginginkan sesuatu sebagai timbal baliknya kan?”

Joy terkekeh senang. “Kau selalu tahu apa yang ada dalam benakku, sis!” serunya riang.

Tch... aku tahu Joy tak mungkin bohong untuk hal seperti ini. Permintaan Irvin bahkan terdengar lebih mudah untuk dilakukan daripada harus menghadapi ibuku yang sudah sangat berniat. Aku rela mengikuti seratus kali kencan buta dengan orang tak dikenal daripada harus dijodohkan!

Apa yang harus kulakukan?

****

“Kabur? Seriously?” ulangku tak percaya.

Saat ini aku sedang bersama Annie Leonhart dan Christa Reiss, dua gadis blonde yang bekerja ditempat yang sama denganku. Kami sedang asyik menikmati makan malam disalah satu kafe didekat apartemen kami.

“Itu hal yang sangat bodoh, aku tak akan melakukannya,” tolakku lalu mulai menyantap makananku.

“Yeah kau benar, jika kau melakukannya akan terlihat sangat kekanakan... tapi kau sendiri bilang kalau ibumu itu tak bisa ditolak kemauannya kan? Bukankah sekarang kau tak punya pilihan lain?” gumam Annie. Ia menyeruput gelas minumannya.

“Kenapa kau tak mengatakan pada ibumu kalau kau tak ingin dijodohkan? Aku yakin ibumu akan mengerti,” gumam Christa memberikan saran.

Seandainya mengungkapkan hal itu sangat mudah aku akan mengikuti saran Christa dengan senang hati, tapi itu mustahil. “Andai saja aku bisa mengatakannya, tentu sekarang aku tak akan memusingkannya dan meminta saran dari kalian berdua,” gumamku sambil mengunyah makanan.

“Hmm, bagaimana kalau mencari pacar bohongan?” saran Christa.

“Ah! Idemu boleh juga! Tapi... aku tak kenal orang yang bisa dijadikan pacar bohongan... dan aku nggak bisa kencan,”

Annie meletakkan gelas air minumnya yang telah kosong keatas meja, ia menatapku. “Kurasa kau punya satu yang bisa menolongmu...” gumamnya dengan ekspresi dingin yang sangat tajam.

Kucoba untuk mengingat-ingat dengan seksama hingga dahiku berkerut. “Siapa? Kau kenal orangnya?” tanya Christa pada Annie, ia tampak penasaran.

Annie mengangkat kepalanya kaget saat melihat seseorang yang baru saja masuk kedalam kafe, ia lalu melempar tatapannya padaku. “Tampaknya pangeranmu sudah muncul... tepat disaat kau mengharapkannya” bisiknya pelan.

Pangeran? Siapa?

Aku pun berbalik dan menatap belakangku. “Jean!” pekik Christa penuh semangat.

Kulihat Jean memalingkan wajahnya menatap kami bertiga, ia awalnya sedang sibuk memilih menu di meja bartender. Ia langsung tersenyum manis saat melihat kami. Jean melambaikan tangannya pada kami lalu kembali melanjutkan memesan makanan. Perlahan kupalingkan wajahku dan menatap Annie sambil menggeleng pelan.

“No!” bisikku tanpa suara, aku tahu Annie mengerti gerakan bibirku. “That’s a really really really bad idea...”

Annie menatapku seolah tak percaya. “You should try this...” bisiknya lagi. “He’s your last choice...”

Annie memberiku sebuah pilihan yang mustahil untuk dilakukan. Bukan mustahil juga sih kalau kau minta tolong sahabatmu untuk pura-pura menjalin hubungan denganmu sebagai pacar. Tapi Jean sudah punya gebetan sendiri, aku tak mungkin membuatnya terlibat dalam masalahku karena saat ini saja dia sudah kesulitan untuk menarik perhatian gadis blasteran jepang yang disukainya.

Jean menghampiri kami dan langsung duduk disebelahku. “Wow.. makanmu banyak juga... kau lapar atau ingin menambah ukuran perut buncitmu itu?” gumamnya padaku yang sedang menyuapkan sesendok penuh makanan kedalam mulut. “Bukankah kau bilang ingin diet dan olahraga? Apa itu cuma bualanmu saja?” tegur Jean sambil membuka jaket yang ia kenakan.

“Today is my cheat day, Jean...” gumamku santai.

“Beberapa hari ini makannya tidak teratur, tak apa dia bersantai sedikit sebelum kembali menulis,” gumam Christa mencoba membelaku.

“Again? Kau ini tak ada bosan-bosannya ya berkutat didepan laptop. Seharusnya kau ambil cuti saja dan pergi liburan, kalau terus berkhayal lama-lama kau bisa gila” gumam Jean sambil mencomot kentang goreng dari piringku.

Annie menepukkan kedua tangannya tanda setuju. “Kau benar! Aku setuju denganmu Jean, hampir lima tahun ini dia mengurung diri dikantor...”

“Dan kamar apartemennya...” sambung Jean sambil menyuapkan kentang lain kemulutnya.

“Bos juga sudah meminta agar (Y/N) mau mengambil cuti dan pergi berkencan, tapi kurasa dia tak akan mengikuti kemauan bos kecuali ia memecat (Y/N) terlebih dahulu,” sambar Christa.

“Nice opinion... Aku hanya mencoba untuk fokus dengan pekerjaanku, okay? Lagi pula aku nggak tahu ingin liburan kemana,”

“Yang benar saja... bos menyuruhnya pergi kencan? Maksud kalian kencan buta?” ulang Jean, ia tampak mulai bersemangat untuk memperolokku.

Pramusaji datang dan menyajikan makanan untuk Jean lalu pergi lagi. Annie mulai buka suara. “Selain itu ibunya juga memintanya untuk ikut perjodohan...”

Jean yang saat itu akan menyuapkan makanan kedalam mulutnya langsung menghentikan kegiatannya dan menatapku yang sedang minum air mineral. “Seriously?” tanyanya padaku meminta kepastian, ekspresinya tampak kaku. “Aku penasaran pria seperti apa lagi yang akan dia jodohkan denganmu,” gumamnya lalu menyuapkan makanan kemulutnya.

“Kau tidak kaget?” selidik Annie.

“Kenapa harus kaget? Hal itu sudah pernah terjadi, (Y/N) menolaknya dan perjodohan itu batal. Kali ini juga pasti begitu kan..?” gumamnya yakin.

“Kurasa kali ini ibunya tidak akan membiarkan dia menolaknya lagi, Jean...” gumam Christa sambil menyeruput jusnya.

“Kami menyuruhnya untuk mencari pacar bohongan...” lanjut Annie.

Aku langsung menghunus Annie dengan tatapan tajamku, kuharap dia tidak bicara macam-macam tentang idenya untuk meminta bantuan Jean agar mau pura-pura jadi pacar bohonganku.

“Tapi dia bilang dia tak punya teman pria yang bisa dipercaya secara khusus...” lanjutnya kemudian. Membuatku menendang kakinya agar dia bisa diam.

Jean diam sejenak sambil membersihkan bibirnya dengan tisu. “Hmmm... kurasa pacar bohongan itu bukan ide yang bagus, kau tak akan bisa berbohong terus menerus kan?” gumamnya. “Jangan memberinya ide bodoh Ann, sebaiknya (Y/N) mengikuti saran Irvin untuk pergi berkencan,” ujarnya padaku lalu menatap Annie dan Christa.

Rencana Annie untuk menarik perhatian Jean kedalam masalahku gagal. Aku juga tak berharap dia akan setuju jadi pacar pura-puraku dan Jean benar, sampai kapan aku harus berbohong. Mungkin kabur menjadi jalan satu-satunya yang bisa kulakukan, tapi selama pria pilihan ibu belum terlihat didepan batang hidungku kurasa hidupku masih akan aman.

Malam itu cuaca cukup dingin dan angin berhembus sepoi-sepoi, setelah selesai makan dan membayar kami berempat pun berpisah, aku dan Jean memutuskan untuk pergi kesuatu tempat berdua. Aku menemaninya pergi membeli peralatan masak di supermaket.

“Kau sudah ketemu pria pilihan ibumu itu? Bagaimana wajahnya, kuharap bukan pak tua seperti kemarin,” tanya Jean saat kami tengah sibuk memilih-milih barang.

“Hhhh.. kuharap juga begitu. Aku belum bertemu dia dan ibu juga tidak menelepon untuk memberitahuku,”

“Kurasa dia akan datang tiba-tiba seperti sebelumnya dan membuat kejutan kecil,”

“Aku tak yakin ‘itu’ akan jadi kejutan kecil biasa,”

“Lalu... apa kau akan menyerah dan menerimanya begitu saja?”

“Entahlah... sebenarnya aku tidak mau tapi aku masih bingung cara menolaknya, kau tahu ibuku kan? Kurasa aku memang harus cari pacar bohongan saja... ah kau tidak setuju dengan ide ini kan? Apa sebaiknya aku kabur saja? Aku harus segera berkencan dengan orang yang tepat,” gumamku panik.

“Sebenarnya... aku tak akan keberatan membantumu kalau kau memintaku untuk jadi pacar bohonganmu sementara waktu ini,”

Kutatap wajah Jean dengan perasaan sangat terkejut. “No way, bukannya tadi kau menolak ide ini? Kenapa sekarang malah menawarkan diri?”

Jean mengedikkan bahunya dan memijat belakang lehernya seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. “Ini memang ide buruk, tapi kurasa hal itu lebih baik daripada kabur kan? Kau tetap bisa ikut kencan dengan beberapa pria jika mau, aku tak akan mempermasalahkannya...”

Aku menggeleng pelan. “No... Jean, kau sudah punya masalahmu sendiri... gadis jepang itu saja sudah cukup membuatmu merasa depresi kan?”

Jean menganggukkan kepalanya pelan ia tampak sedikit ragu. “Tch... padahal kau tak perlu mengkhawatirkan hal itu, sebenarnya aku tak begitu depresi tapi... kalau melihat Mikasa berduaan dengan si bodoh Eren entah kenapa aku merasa kesal...” curhatnya.

Jean Kirchstein adalah sahabatku sejak kami masih dibangku kuliah, dia bandel dan suka mengerjaiku, aku sendiri tak mengerti kenapa sekarang kami bisa berteman sangat akrab. So far... meskipun sering bersikap menyebalkan tapi Jean tahu kapan harus bersikap gentle, sebenarnya dia tampan seandainya saja dia tak menyebalkan, namun aku tak akan mengakui hal ini didepannya.

Aku harus segera memikirkan jalan kabur terbaik dari perjodohan yang diatur ibuku dan selain itu aku juga penasaran dengan pengganti Hanji Zoe. Kira-kira seperti apa editor pengganti Hanji nanti kuharap dia bukan wanita paruh baya yang menyebalkan.

****

Continued to Chapter 2

1 comment: