Friday 29 April 2016

Perfect Punishment (Levi Ackerman x Reader) - Chapter 02

BY Unknown IN No comments



Perfect Punishment
(My Editor is a Devil)

Cast : Levi Ackerman x Reader
Genre : Romance, Mature
Language : Mix (Bahasa Indonesia - English)

Chapter 2

Beberapa hari berlalu setelah kedatangan Joy. Pagi itu jam menunjuk angka sepuluh lewat empat puluh tujuh menit dan langit terlihat sangat mendung. Aku sedang mengantre untuk membeli kopi favoritku disalah satu kafe yang berada dekat dengan apartemenku. Tempat itu memang terkenal dengan kopinya yang enak sehingga beberapa orang harus mengantre untuk mendapatkan kopi panas yang mereka inginkan.

Saat sedang asyik mengantre ponselku berdering. Kulihat layar ponselku dan disitu tertera nama Petra. “Halo?” sapaku saat menerima teleponnya. Orang yang antri didepanku telah mendapatkan kopinya dan ia pun pergi, aku maju untuk memesan bagianku. “Cappucino satu dan dua roti bagel,” gumamku pada pramusaji didepan  meja bar.

“Kau dimana?” tanya Petra, suaranya terdengar sedikit panik.

“Aku sedang membeli sarapan, ada apa?”

“Apa kau sudah tahu kalau editor barumu akan datang hari ini?”

“Hmm.. ya,” kulihat si pramusaji telah meletakkan gelas berisi Cappucino didepanku dan selanjutnya ia memasukkan roti bagel kedalam bungkusan kecil. “Bukankah dia akan datang nanti siang?” gumamku sambil melihat jam tanganku yang saat ini telah menunjuk pukul sepuluh lewat lima puluh lima menit. “Apa wanita itu membatalkan pertemuan de...”

“Oh God! Aku lupa mengabarimu,” gumam Petra dengan suara yang terdengar panik.

“Ada apa? Kau panik kenapa?”

“Dia mengganti jam pertemuan kalian! Sebaiknya kau cepat kemari saat ini dia sedang berada dalam perjalanan menuju kesini,”

“Sedikit terlambat tak apa kan?” gumamku. Pramusaji telah selesai mengemas pesananku dan ia menunjukkan padaku berapa uang yang harus kubayarkan padanya. Kukeluarkan dompetku dan menghitung uang.

“Sebaiknya kau tidak datang terlambat, kemarin dia mencarimu tapi karena kau sakit rapat pertemuan kalian akhirnya dibatalkan, hari ini Irvin dan Hanji juga akan ikut rapat,”

Kusodorkan uang untuk membayar pesananku pada si pramusaji lalu meraih bungkusan dan beranjak pergi. “You didn’t tell me before,” gumamku mulai panik.

“I’m sorry (Name)”

“Oh god, okay... Aku pergi sekarang agar tidak datang terlambat,” gumamku.

“Rapatnya mulai lima belas menit lagi,”

“What?!”

“I’m so sorry...”

“It’s okay, it’s okay Petra... tolong beritahu Irvin aku akan datang sedikit terlambat,” pintaku lalu menutup telepon.

Rintik hujan mulai membasahi kota dan aku baru saja berniat untuk mencari taksi ketika kulihat sebuah bus berhenti di halte yang berada tidak begitu jauh dari tempatku berada.

Tepat ketika aku berhasil mencapai bus, hujan deras langsung mengguyur kota. Saat itu aku tak mengenakan coat hanya kemeja, rok dan sepatu high heels, aku merasa sangat salah kostum hari itu tapi sebenarnya aku ingin tampil lebih rapi saat bertemu dengan editorku yang baru.

Membutuhkan waktu sekitar hampir dua puluh menit untuk mencapai halte selanjutnya dengan bus dan aku masih harus berjalan beberapa menit sebelum mencapai kantor penerbitan corps. Dengan  pakaian setengah basah, kedinginan, dan rambut agak berantakan aku langsung berlari menuju lift dan memencet tombol menuju lantai sepuluh.

Wajah Jean langsung menyambutku saat pintu elevator terbuka dilantai sepuluh, ia menatapku dengan dahi berkerut. “Wow... you look like shit!!” komentarnya, ia terkekeh pelan sambil mengiringi langkahku.

“Shut up horse face... bagaimana penampilanku?” tanyaku sambil merapikan rambutku.

“I don’t know how to say it,” lanjut Jean sambil memperbaiki kerah bajuku. “”It looks kinda weird,”

“Oh maan.. seriously...?”

Petra muncul dan langsung menyapaku. “(Name) akhirnya kau datang!! Mereka sudah berkumpul diruang rapat, sebaiknya kau cepat bergabung dengan mereka,” gumamnya lalu menarik tanganku.

“O-okay,”

****

Setelah merapikan rambut dan pakaianku perlahan kuketuk pintu ruang rapat dan terdengar suara Irvin meyambutku.

“Come in,”

Kubuka pintu itu dan masuk, Hanji menatapku dengan ekspresi kaget. “What the hell was going on (Name)?” gumam Hanji.

“Kau kehujanan...?” selidik Irvin.

“Ah yeah a lilbit... I’m sorry for being late boss,”

“It’s okay, come and sit down please,” pinta Irvin.

Aku beranjak menuju kursi kosong yang ada disebelah Hanji, namun mataku terpaku pada seorang pria tampan yang duduk diseberang meja rapat. Ia tampak tenang dan sedang menatapku dengan wajah tanpa ekspresi yang sangat dingin dan sadis, rambutnya yang sehitam malam dan matanya yang biru keabu-abuan menarik perhatianku. Ia terlihat pucat dengan kulit dan wajah yang menurutku sedikit mirip vampir penghisap darah. Entah kenapa aku sedikit berimajinasi bodoh tentang vampir hanya karena dirinya.

“Baiklah, kita akan lanjutkan rapat yang sedikit tertunda tadi...”

“Apa kau tidak ingin mendisiplinkan bawahanmu terlebih dulu? Gadis ini sudah membuat kita semua menunggu dan menyia-nyiakan waktu berharga kita selama hampir tiga puluh menit,”

Jantungku serasa akan berhenti berdetak saat mendengar suara pria bermata biru yang ada diseberangku ini. Suara yang dalam bagai sungai tenang tanpa riak. Tenang namun berbahaya karena tak ada yang tahu seberapa dalam sungai tersebut.

“Kau bisa mengurusnya nanti Levi, sekarang aku akan memperkenalkan kalian berdua terlebih dulu,” lanjut Irvin, pria bernama Levi itu mendecakkan lidahnya.

“(Name) seperti yang sudah kujanjikan sebelumnya bahwa aku akan mengenalkan seorang editor baru untukmu..” Irvin menatapku sekilas lalu kemudian melempar pandang pada levi. “Mr. Levi Ackerman, akan menggantikan Hanji dan membantumu menyelesaikan pekerjaanmu sementara Hanji pergi, dan Mr. Ackerman... gadis yang perlu mendapat latihan disiplin ini adalah Ms. (Name) dia adalah gadis kaku yang pernah kubicarakan denganmu,”

Aku tak tahu ingin bilang apa yang pasti Levi Ackerman tampak sangat tidak bersahabat, aku sedikit meragukan hubungan kerja kami dimasa depan. Apa aku akan sanggup bertahan dengan editor menakutkan seperti dia.

“Apa kau akan pergi lama?” tanyaku pada Hanji.

“Tidak juga, aku akan bolak-balik kesini... tapi aku tak punya waktu untuk merevisi pekerjaanmu. Mungkin sekitar dua atau tiga bulan,” Jawabnya santai.

“Kenapa Hanji baru memberitahuku sekarang?” gumamku pada Irvin, mencoba untuk protes. “Ini terlalu mendadak...” protesku.

“Yeah, kupikir kau akan mengambil cuti dan pergi liburan setelah buku kedua belasmu dipublikasikan... tapi kau justru menambah jam terbangmu. Seandainya kau mengambil cuti, Hanji tidak perlu meminta Levi untuk menggantikannya sementara waktu ini,” jelas Irvin.

Jadi semua ini terjadi karena salahku? Selain memperkenalkan kami berdua tak lupa juga Irvin menyampaikan pemberitahuan bahwa ia akan dipindah tugaskan ke kantor lain.

“What?” pekikku tak sadar.

“Calm down (Name),” pinta Hanji sambil tertawa.

Irvin dan Levi menatapku dengan ekspresi kaget. Setelah semua ini bahkan Irvin juga harus dipindahkan?

“Yeah, mereka menaikkan pangkatku dan menjanjikan kenaikan gaji jadi aku menerima kepindahan ini dengan senang hati,” gumam Irvin dengan wajah penuh senyuman. “Kabar baiknya... Mr. Ackerman akan berperan sebagai penggantiku, dia akan menjadi kepala divisi kalian jadi kuharap kau bisa membantunya agar segera terbiasa berada disini Ms. (Name),”

Kabar ini seperti peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga pula. Tapi akhirnya aku harus menerima kabar buruk ini dengan perasaan setengah-setengah, aku bersyukur Irvin mendapat keberuntungan yang bagus ditempat baru tapi disisi lain aku merasa kehilangan seorang teman curhat dan rasanya sangat mengesalkan.

Rapat hari itu berakhir dan aku masih tinggal didalam ruang rapat sementara Hanji dan Irvin pergi meninggalkanku berdua dengan Mr. Ackerman.

Dia menatapku diam lalu bangkit dari kursinya dan memperbaiki jas yang ia pakai. “You’re late,” gumamnya. Ia berjalan mengitari meja rapat dan berhenti didekat jendela lalu menatapku lagi.

“I’m sorry sir, I...”

“Aku tak ingin hal ini terulang lagi, perlu kau tahu aku sangat benci pada orang yang membuatku menunggu pantat malasnya,” potongnya. Aku mengangguk mengiyakan. “Apa ada yang ingin kau tanyakan sebelum memulai kerjasama kita?” gumamnya lalu menatapku dengan ekspresi dingin. Kuharap ia tak perlu waktu lama untuk mengenali wajahku dan mengingatnya dalam kepalanya.

“Um.. Mengenai novelku...”

“Aku sudah baca tulisanmu...” gumamnya pelan. Pernyataannya membuatku sedikit kaget. “Hanji memaksaku membacanya... kalau aku tak mau dia akan memberiku makanan aneh buatannya,” lanjutnya kemudian. Sebenarnya dia tak perlu mengungkapkan kebenarannya, kalau memang terpaksa ia tak harus membaca novel itu.

“Benarkah...? Menurutku makanan buatan Hanji tidak begitu buruk,” gumamku, meskipun sebenarnya ekspektasiku berbeda dengan realitanya.

“Aku tak percaya, ternyata kau menyukai sampah buatannya,” gumamnya pelan.

Ternyata ia tak percaya bualanku. Kupikir pria satu ini tak tahu cara berbicara yang sepantasnya. Dia benar-benar terbuka membicarakan hal seperti ini, bukankah dia ini seorang yang sangat bertalenta? Tapi mulutnya setajam pisau cutter.

“Hmm... Aku ingin tahu pendapatmu tentang tulisanku,”

“Sejujurnya itu tulisan terburuk yang pernah kubaca,” gumamnya lagi.

Aku tak bisa menampik kata-katanya, entah dia ini bodoh atau pendapatnya memang benar, tapi asal tahu saja aku sudah menulis sebanyak dua belas buku dan semuanya berhasil menuai kesuksesan, beberapa diantaranya bahkan harus dibuat cetakan keduanya karena selalu sold out. Kurasa dia hanya berusaha untuk membuatku down.

“Jadi... rupanya novelku adalah novel terburuk?” ulangku tak percaya. Ia mengangguk. “Menurutmu apa yang kurang dari novelku? Kurasa Hanji sudah memberitahumu tentang riwayatku menulis dan berapa banyak yang sudah kuhasilkan hanya dengan membuat sebuah cerita buruk yang ternyata banyak disukai orang-orang diluar sana,”

“Aku ingin tahu alasanmu menulis?”

“Alasanku? Aku menjadikannya sebagai pekerjaan utamaku sir,”

“Apa kau menikmatinya?”

“Tentu saja aku menyukainya,”

“Kurasa kau tidak sungguh-sungguh dengan pekerjaan ini, aku tidak merasakan ‘perasaanmu’ dalam karya itu,”

“Apa maksudmu?”

“Saat membaca karyamu, aku cukup terkesima... saat itu kupikir kau ini wanita paruh baya berusia tiga puluh lima tahun. Aku tak menyangka kau masih sangat muda... dan kau membuat cerita bulshit yang bahkan tak ingin kubaca ulang, tokoh prianya terlihat sangat sempurna,”

“Tentu saja. Mereka itu karakter pria yang diimpikan banyak perempuan, perempuan menginginkan karakter sempurna yang hanya bisa didapat dalam cerita kau pasti tahu itu?”

“Tampaknya kau sangat memahami pekerjaanmu,” gumamnya entah kenapa aku merasa kalau dia sedang mengejekku. “Tapi aku tak ingin kau menulis omong kosong, pria sempurna cuma ada dalam drama  dan aku benci drama,”

“But... a-aku menulisnya setelah melakukan banyak penelitian dengan beberapa kenalanku, kurasa pengalaman mereka bukan drama...”

“Pengalaman orang lain memang pelajaran yang bagus tapi kegagalan mereka membuatmu jadi merasa terlalu takut untuk merasakan pengalamanmu sendiri. Aku tak bermaksud untuk menyudutkanmu... tapi sebaiknya kau memikirkan hal ini dari sudut yang berbeda, kita akan membahasnya bersama kalau kau merasa bingung,”

“Sebenarnya... sekarang aku merasa bingung, sir... Seharusnya kurangnya pengalaman pribadiku tidak akan menjadi penghalang dalam hal ini,” selidikku.

 “Apa kau memang selalu sebodoh ini dan tidak bisa mencerna maksudku?”

Damn! Apa sih maunya pria ini? “Aku akan berusaha untuk mencernanya sir, anda tak perlu khawatir...” gumamku dengan nada yang manis meskipun dalam hati aku merasa dongkol. Levi menggelengkan kepalanya.

“It looks like you hate me..” tebaknya. Tch... kenapa dia tak segera mengakhiri percakapan ini saja. “Begini saja... tak masalah kalau kau tak suka dengan cara kerjaku, selama kau menulis dengan baik dan aku menyukainya kurasa aku tak akan mempermasalahkannya, apa kau keberatan...?”

“No...” gelengku.

Ponsel Levi berdering dan ia menerima panggilan itu, ia hanya menjawab seadanya lalu kembali menutup ponselnya. “Aku harus pergi sekarang, kau bisa kirim nomor ponsel dan alamat emailmu ke emailku. Aku akan mengeceknya nanti dan menghubungimu sewaktu-waktu,” gumamnya sambil beranjak bangkit dari sofa dan membawa cangkir bekas tehnya ke dapur mini Irvin.

“Okay sir...” gumamku lega.

“Ah...” sentaknya. Aku berbalik dan menatap Levi yang sedang menatapku.

“Yes, sir?”

“Karena kau datang terlambat untuk pertemuan pertama kurasa aku akan memberimu sebuah hukuman,”

“Hah?? Punishment?”

“Mulai besok kau bertugas membantu pekerjaanku,” serunya lalu berjalan mendekatiku. “... dan jangan lupa untuk datang tepat waktu kalau kau tak ingin mendapat tugas tambahan lainnya, ah I need my coat I must going now...” gumam Levi lalu beranjak keluar dari kantor Irvin.

****

Sebulan telah berlalu sejak pertemuan pertamaku dengan Levi Ackerman dan pagi itu aku telah berada dalam ruangannya untuk melakukan tugas rutinku. Levi Ackerman sedang duduk dikursi kerjanya sambil membaca kertas berisi cerita yang sudah kuprint untuknya.

“Um, sir... bagaimana dengan tulisanku kali ini? Apa sudah lebih baik?” tanyaku.

“Akan kuberitahu saat kau telah menyelesaikan pekerjaanmu. Rapikan berkas-berkas itu sesuai urutannya, aku tak ingin merasa kebingungan saat mencari berkas klien, dan debu dibagian dalam lemari itu sudah menumpuk, gosok!”

“Yes sir...”

Dengan perasaan sedikit kecewa aku pun kembali melanjutkan pekerjaanku. Tumpukan buku dan berkas yang berserakan dilantai itu telah menunggu untuk  disortir. Levi benar-benar sangat teratur dan dia sangat gila kebersihan. Temanku, Eren Jaeger juga berada dalam situasi yang sama denganku. Levi sangat suka menyuruh Eren melakukan pekerjaan bersih-bersih, ini bukan pekerjaan kami tapi kami harus melakukannya. Karena jika tidak, dia akan meneriaki kami.

“Oi, done already?” tegurnya saat melihatku berdiri berkacak pinggang sambil melap keringat yang mengalir didahiku.

“Yeah... what do you think?” tanyaku. Levi mengamati pekerjaanku.

“Hmmm... ah!” sentaknya. “Aku belum sempat menyortir tumpukan kertas dimeja itu, kau pilah sesuai jenis dan kebutuhannya dan jangan mencampurnya dengan proyek dari divisi satu,”

“What?!”

“Any problems here?” tanyanya lalu menatapku dengan wajah tanpa rasa bersalah.

“Kau sangat suka kerapian tapi kau juga sangat suka menghambur-hamburkan barang, Mr. Ackerman, kurasa kau takkan bisa hidup tanpa pelayananku,” balasku sambil berjalan menuju meja dan mulai merapikannya.

“Annoying shit,” gumamnya pelan.

Hal itu terjadi sepanjang hari. Lalu saat sedang santai dimejaku setelah menyelesaikan beberapa pekerjaannya, Mikasa, gadis blasteran Jepang-Jerman berambut hitam dan berwajah cantik keluar dari ruangan Levi.

“(Name) bos ingin secangkir Earl Grey,”

“Again?” protes Sasha Brause yang sedang duduk didekatku. “Ini ketiga kalinya dia menyuruh (Name) hari ini, seharusnya itu tugas Christa kan?”

“I don’t know, aku hanya menyampaikan apa yang bos minta,”

“Sepertinya dia sangat membenciku,” gumamku. “He’s a devil,” dengan cepat aku pun beranjak menuju ruang istirahat yang merangkap dapur mini.

Levi selalu mengeluh dengan minuman yang disajikan untuknya jadi kuputuskan untuk memisahkan teh, krimer dan gula agar Levi bisa meracik tehnya sendiri. Dia pernah menceramahiku soal berbagai macam jenis teh dan berkat insiden itu aku jadi tahu teh yang paling disukainya, black tea dan earl grey. Setelah banyak survei melelahkan dengan teh favoritnya aku pun mulai jadi pembuat teh khusus menggantikan tugas Christa. Meskipun begitu belum ada seorang pun yang menyadari hal ini.

“Here’s your damn tea,” gumamku lalu meletakkan teh yang selesai kubuat.

“Kau lama sekali, apa yang kau kerjakan?” gumamnya lalu meraih cangkir yang kutaruh diatas meja.

“Sorry, aku harus memanaskan airnya terlebih  dulu,”

Setelah sebulan bekerja dengan Levi aku mulai memahami sifat menyebalkannya. Meskipun begitu Levi bukanlah seseorang yang gila hormat, dia sangat menghargai dan peduli pada orang lain. Meskipun cara bicaranya cukup menyebalkan dan menyakitkan, dia cukup dihormati karena cara kerjanya yang bagus.

Tapi entah kenapa Levi tak pernah mencoba menahan diri saat sedang bersamaku. Dia akan melakukan dan mengatakan apa pun yang dia inginkan tanpa filter.

“What is this? It tastes like shit,” gerutunya dengan dahi berkerut setelah menyeruput tehnya.

“Good to know. Mungkin kau harus memasukkan satu atau dua blok gula kedalam tehmu.. sir,”

“Tch...” decaknya.

“Apa ada lagi yang kau inginkan? Kalau tidak ada aku akan kembali bekerja..”

“Wait!” cegahnya saat aku baru saja akan membuka kenop pintu. “This is your damn work!” gumamnya sambil menaruh setumpuk kertas diatas mejanya. “Aku sudah mengeceknya dan kau perbaiki sekarang juga,”

Kuambil tumpukan kertas itu dan bisa kulihat banyak sekali gambar peta dan coretan disana. “Thank you sir, for checking up my work,” gumamku. “And... I see a lot of map on this paper, I’d never think that you have a good skill to draw a map, Mr. Ackerman,”

“I’ve seen a lot of bulshit on there, apa kau tahu kenapa aku mau menerima posisi sebagai editormu?”

“Umm.. supaya kau bisa mengawasiku dan mengamatiku sepanjang hari?”

“Aku menerima pekerjaan ini karena dijanjikan posisi bagus dan gaji yang bagus, tapi tak kusangka aku harus mendisiplinkan pantat malasmu itu, sekarang kembalilah bekerja,” gumamnya dingin.

Dengan senang hati aku pun beranjak untuk keluar dari ruangannya. “Oh dan apa aku lupa mengatakannya padamu, kalau kau membuat wajahmu terlihat sangat bodoh saat  menghabiskan waktumu dengan main game diponsel? Aku tak mengerti kenapa kau merasa sangat senang karena permainan bodoh itu,”

Aku pun keluar dengan wajah merah karena sebal. Dia benar-benar sesuatu. “He’s a jerk,”

****

“(Name) you got some invitation,” Petra menghampiriku dengan sebuah surat ditangan lalu ia menyerahkan surat itu padaku.

“Invitation? From who?” kuambil surat itu dan membukanya.

“Sepertinya itu acara penghargaan untuk novelis, sebaiknya kau datang,”

“Apa aku masuk dalam list penghargaan mereka?”

“Hmmm... entahlah, mungkin saja,”

“Kalau tidak meyakinkan aku tak akan datang,”

“What? It must be so fun, you should come to this place,” protesnya. “Kau ingat kata-kata bos Irvin? Bersantai, berpesta dan..”

“Berkencan... yeah I still remember,” potongku.

Jean yang sedang sibuk mondar mandir mengurus pekerjaannya langsung terhenti saat mendengar percakapanku dan Petra. “Your gonna do what?” tanyanya.

“Kencan. She got an invitation,” Petra melakukan pengumuman ulang.

“From who?” suara Levi mengagetkan kami bertiga dan seketika kami menatap sosoknya yang sedang berjalan mendekati mejaku, kami mematung. Levi menyodorkan tangannya untuk meminta undangan tersebut.

Kusodorkan undangan itu padanya dan ia membacanya cepat. “Aku tak akan menghadiri acara ini...” gumamku.

“Sebaiknya kau datang, aku tak ingin kau mangkir dari acara sepenting ini hanya karena pantat malasmu itu,” gumam Levi, ia menyodorkan undangan itu kembali padaku. “Jangan khawatir, aku akan menemanimu kita bisa menghadirinya bersama dan melihat sejauh apa perkembangan anak-anak itu,”

“Ha-hah?”

Jean dan Petra tak berani menyela, mereka menatapku dengan tatapan waspada. Kuyakin Levi merasa sebal padaku karena kini dia memberiku tatapan kematiannya. “I told you clearly shitty brat, you should come to this party... pastikan kau mengenakan sesuatu yang rapi, kita bertemu tepat jam 7 besok malam.... AND DONT BE LATE!”

Levi beranjak pergi dan kembali keruangannya. Jean menyenggolku yang masih mematung.

“Oi, are you okay?” tegurnya.

****

Continued to Chapter 3 



0 comments:

Post a Comment