Wednesday 9 March 2016

[My Dilemma] Chapter 10 - Getting closer with you (Aomine Daiki x Reader)

BY Unknown IN 2 comments



Cast : Aomine Daiki x Reader
Genre : Drama, Mature, Romance
Language : Bahasa Indonesia, English, Japanese
Kuroko no Basket Fanfic

Chapter 10
Getting closer with you

Aku memang bodoh karena selalu terjebak dalam keisengan Aomine. Aku tau aku yang sekarang sangat egois, kulakukan apa yang kupikir benar agar bisa selalu berada didekat Aomine, bahkan tak memperdulikan statusku sebagai siswa teladan dan kearifanku sebagai senpai.

Aku tak berharap ia balas menyukaiku dan aku juga tahu kalau ciuman kami sama sekali tak ada artinya bagi Aomine. Ini bukan bagaimana aku berusaha tetap menjadi siswa teladan dan gadis baik-baik untuk mempertahankan kenaif-anku. Aku tahu tak seharusnya mengikuti alur Aomine dan saat nanti ia mulai merasa bosan dengan permainan master-maid ini dia akan segera melupakanku dan semua yang sudah terjadi diantara kami.

Hal itu pasti menyakitkan. Tapi kurasa tak mengapa... karena ini keegoisanku sendiri, aku memang selalu menyukai Aomine, bohong kalau kubilang aku tak cemburu saat melihatnya bersama Satsuki Momoi.

Aku tahu aku boleh terus menyukaimu tapi aku tak boleh meminta lebih.. Kurasa seperti ini saja sudah cukup bagiku...

Apa keputusanku ini sudah tepat Aomine Daiki?

****

Aomine menyodorkan handuk yang tadi ia gunakan untuk mengeringkan rambutnya yang basah saat melihatku muncul setelah ganti pakaian. “Pakai handuk ini,” gumamnya. “Rambutmu basah,”

Sebelumnya aku tak pernah menyadari kalau ternyata dia akan memperhatikan hal-hal kecil seperti ini. Kuambil handuk yang ia sodorkan padaku dan duduk dilantai agak jauh darinya.

“Sejak kapan kau memanggilku dengan nama keluarga?” gumamnya setelah sekian menit kami terdiam.

Akupun kembali teringat saat dibus tadi aku nggak memanggil namanya seperti yang biasa sering kulakukan. “Teman-temanmu memanggilmu ‘Aomine’ aku jadi refleks...”

“Aku tak keberatan kalau kau memanggilku dengan nama kecilku,” potongnya lalu menyeruput hot cokelatnya.

“Ah.. sou ka... yokatta, kupikir kau akan terganggu kalau kupanggil ‘Daiki’,”

Aomine menyandarkan punggungnya pada sofa dan terkekeh pelan, membuatku berpaling dan menatapnya. Aku ingin melihat senyuman Aomine. “Bukannya sudah terlambat untuk berpikir seperti itu? Dari awal kau memang sudah sangat menggangguku,” tukasnya.

“Ya, kurasa aku perlu sedikit diingatkan, master..” gumamku setengah bercanda sambil terus mengeringkan ujung rambutku. Aomine menatapku diam membuatku merasa jengah. Ia selalu bisa membuat situasi menjadi awkward. “Kenapa menatapku seperti itu?”

“Aku hanya ingin saja, tidak boleh ya?”

“Sebaiknya kau jangan menatapku seperti itu,” gumamku lalu kembali duduk menghadap meja dan menutup kepalaku dengan handuk.

“Memangnya kenapa? Bukannya mata digunakan untuk menatap seseorang?”

“Memang benar sih, tapi untuk saat ini sebaiknya jangan,”

Aomine berdecak sebal dan ia menggeser duduknya kedekatku. Lututnya menyentuh lenganku. “Tch.. kalau bicara denganku kau harus menatapku jangan membelakangiku seperti ini,” gumamnya sambil menarik handuk setengah basah itu dari kepalaku.

“Ah! Kau membuat rambutku jadi berantakan!!” pekikku gusar dan berbalik menatapnya.

Ia terkekeh pelan dan merapikan helai rambutku yang berantakan. “Gomen-gomen!” serunya. Aku nggak mengerti kenapa dia bersikap selembut ini padahal tadi dia bersikap sebaliknya.

“Hatsyiiii!!!!”

“Tuh kan...?” gumam Aomine sambil menyodorkan kotak tisu padaku. Segera kuambil beberapa helai tisu dan membersihkan hidungku. “Kau terkena flu!!” geramnya lagi.

“Tenang saja, besok juga sudah sembuh...”

“Tch,” decaknya lalu beranjak berdiri dari sofa. “Dimana kotak P3Knya?”

“Hmmm... rasanya dilemari itu,” gumamku sambil menunjuk salah satu lemari. “Kenapa?”

Aomine beranjak dan membuka lemari itu mencari sesuatu dan mengeluarkan sebuah kotak P3K dari dalamnya. “Kau harus minum obat, acara bunkasai kan besok lusa.. besok kau pasti sibuk mondar mandir untuk persiapannya,” gumamnya lalu duduk disofa lagi betisnya menyentuh lenganku yang saat ini sedang terduduk dilantai, kami sedang menonton pertandingan basket yang gak kumengerti sama sekali.

Ia menaruh kotak obat itu dimeja dan membongkar isinya, aku tak pernah menyadarinya kalau akhir-akhir ini dia sedikit mulai memperhatikanku. “Eeehh.. kau khawatir ya kalau aku sakit? Ini langka sekali!” godaku. Ia menjitak pelan kepalaku.

“Aku nggak mau tertular penyakitmu, nggak ada alasan lain,” gumamnya santai. “Tch... kau tidak punya persediaan obat untuk flu ya?” lagi-lagi ia tak mengakuinya.

Kuperhatikan isi kotak itu dan ikut membongkarnya. “Ya.. sepertinya aku kehabisan, hmm.. tenang saja nanti malam aku akan mampir keswalayan terdekat, jangan khawatir aku juga nggak mau kau sampai ketularan fluku,” gumamku berusaha menenangkannya.

“Bagaimana kalau kau tetap menulariku?”

“Itu tak akan terjadi selama kau tidak menciumku secara tiba-tiba seperti sebelumnya..”

Ia menatapku dengan ekspresi bingung. “Memangnya bisa ya?”

“Cara paling cepat untuk sembuh dari flu adalah menularkannya pada orang lain, masa hal seperti ini saja kau tidak tahu?”

Ia kembali memperhatikanku dengan penuh minat dan ia tampak serius. “Apa kau pernah menularkannya pada orang lain?”

“Tentu saja pernah, kau bodoh ya? Kalau nggak pakai masker flu akan mudah menular pada orang lain, Minami-chan sering menjadi korbanku,”

“Minami?” selidiknya.

“Sahabatku diklub lari, gadis tinggi langsing berambut hitam sedada? Kurasa kau pernah melihatnya,”

“Oh, ternyata dia perempuan... apa kau pernah menularkan penyakitmu pada pria lain lewat ciuman? Tampaknya kau sangat mengerti siklus perpindahan penyakit ini, kalau aku tak mengenalmu aku akan percaya kau ini seorang dokter spesialis penyebaran flu,”

“Apa maksudmu sih? Aku nggak akan memberitahumu hal pribadi begitu,”

“Hmmm... aku mengerti, jadi aku bukan pria pertama yang menciummu ya,”

“Entahlah...”

“Oi, apa maksudnya kata ‘entahlah’mu itu?”

“Kurasa kau tidak begitu perduli dengan siapa aku pernah pacaran,”

“Tch... sebelumnya aku memang nggak pernah memikirkannya sih, tapi...”

“Hmmm... apa sekarang kau penasaran?”

“Sebenarnya.. aku sedikit penasaran, tapi itu juga bukan masalah besar untukku,” gumamnya pelan lalu memalingkan wajahnya yang minus ekspresi kearah televisi.

“Kau benar! Aku akan sangat terkejut kalau kau mulai mempermasalahkan hal ini, tapi sebaiknya kau tak melakukannya padaku lagi,”

“Maksudmu soal ciuman?”

“Ya, kurasa kau harus berhenti menciumku secara tiba-tiba, lagi pula hal itu tak ada dalam kesepakatan master-maid kita,”

“Bukankah larangan tentang itu juga tak ada dalam persyaratan kita?”

“Iya benar sih, tapi seharusnya kita membuat batasan yang jelas dalam kesepakatan...”

“Apa kau tak menyukainya saat aku menciummu?”

Shit! Pertanyaannya seketika membuatku terdiam. Aomine menatapku dengan ekspresi sangat serius. Kenapa dia bisa mengatakan hal itu dengan ekspresi seperti ini dan aku tak bisa menjawabnya. Sebenarnya aku tak pernah membencinya ketika ia menciumku. Tapi aku tak boleh mengatakan hal ini padanya.

“Kalau kau tidak menyukainya aku tak akan seenaknya menciummu lagi...” lanjutnya lagi lalu menyandarkan punggungnya pada sofa dan meletakkan kedua tangannya dibelakang kepala, ia mengamati layar televisi. Suara rintik hujan masih terdengar dari luar rumah.

“Bukannya benci sih...” gumamku lirih. Aku sejujurnya... sangat menyukai Aomine, jika dia yang menciumku.. kurasa aku tak akan keberatan sedikit pun.

“Hmmm... tadi kau bilang apa?”

“Nggak, bukan apa-apa... aku hanya sedikit bergumam, lagipula ini bukan hal yang cocok untuk kau bahas,”

Sekilas Aomine menatapku dan memberiku senyuman isengnya. “Sebenarnya aku cukup menyukainya...” gumam Aomine lirih matanya kembali menatap layar televisi yang menampilkan pertandingan basket. “sepertinya aku jadi sangat suka mencium bibirmu..”

Aku tak tahu ingin bilang apa, apa aku harus merasa senang atau merasa sedih? Aku tak tahu ia menciumku karena mulai menyukaiku atau hanya sebagai sebuah kesempatan saja. Aku memang tak ingin mempermasalahkan ciuman tak bermakna kami tapi aku akan merasa bingung ketika bersikap didepannya nanti, aku takut suatu saat nanti akan membuatnya merasa kehadiranku sangat menyebalkan karena tanpa sadar mulai bersikap seperti kekasihnya padahal ia mencintai orang lain.

“Tenang saja aku nggak akan melakukannya lagi, kalau kau memang membencinya...” gumam Aomine. Ia tersenyum.

Kamisama.. Aku tak mungkin bilang padanya, kalau dia adalah pria pertama yang mencuri ciuman pertamaku.

****

Besoknya disekolah, Aomine memintaku untuk kekelasnya ia ingin aku mengantar bento bagiannya. Aku telah memikirkan banyak alasan selama perjalanan menuju kelasnya, apa yang akan kukatakan jika teman-temannya melihat hal yang sangat tak lazim ini. Mereka tak pernah melihatku akrab dengan Aomine pasti hal ini akan menimbulkan gosip, yeah meskipun aku bukan idola sekolah tapi tetap saja hal itu sedikit menggangguku.

Saat itu kulihat Aomine dikoridor kelasnya, ia terlihat sedang membantu kelasnya memasang hiasan dibagian atas pintu. Ryo memegangi tangga yang ia naiki. “Sepertinya kau sudah memutuskan untuk ikut serta dalam acara bunkasai ya?” tegurku saat sudah berada didekat Ryo.

Ryo menyapaku dan Aomine memberiku dead glarenya, ia tampak sebal. “Oi apa kau benar-benar meminum obat flumu? Sepertinya penyakit menularmu makin parah saja,” gerutunya lalu memasang hiasan terakhir yang ada ditangannya dan beranjak menuruni tangga. “Tadi pagi kau terlihat baik-baik saja, kenapa sekarang malah pakai masker?”

Sebenarnya semalam aku langsung tertidur dan lupa pergi membeli obat. Karena aku takut mendengar omelan dan gerutuannya aku tak memakai maskerku saat ia menjemputku tadi pagi saat membantuku membawa belanjaan untuk bunkasai. “Jangan dipikirkan, ini cuma karena debu.. ini ambil,” kusodorkan bento itu padanya dan ia menerimanya.

Ryo naik keatas tangga dengan beberapa hiasan ditangan sementara Aomine menggantikannya untuk memegangi tangga. Ryo tak pernah berkomentar banyak soal persahabatanku dan Aomine hal itu membuatku sedikit lega.

“Kau yakin baik-baik saja?” tanyanya lagi kurasa ia tampak cemas.

“Jangan khawatir, sebentar lagi juga sembuh..” jawabku bohong. Kuharap penyakitku tidak tambah parah. Kalau terus bergerak dan berkeringat aku pasti akan sembuh. “Sepertinya beberapa hari ini aku akan mengabaikanmu dan tugasku sebagai... kau tahu kan?” bisikku lagi. “Aku akan fokus sampai acaranya selesai, bolehkah?” tanyaku.

Entah kenapa aku merasa bodoh karena menanyakan hal ini padanya, dia memang majikanku tapi kenapa kata-kataku terdengar seperti sedang minta ijin pada kekasihku.

Ia menatapku tak yakin. “Kalau perlu bantuan kau bisa menghubungiku atau mencariku digelanggang basket, aku akan berada disana untuk membantu mereka mempersiapkan acara untuk besok,” gumamnya lagi. Tampaknya ia tak akan mempermasalahkan ketiadaanku untuk beberapa hari kedepan.

“Eh? Kau mau membantuku?” gumamku tak percaya, kutatap wajahnya yang tampak serius.

“Hanya untuk kali ini saja,” jawabnya sambil membuang muka, mungkin ia merasa malu.

“Arigatou Daiki-kun. Jja! Kalau begitu tak ada masalah lagi, aku pergi sekarang...” gumamku sebelum beranjak pergi. “Ryo-kun!” panggilku, Ryo menoleh padaku.

“Ada apa senpai?”

“Apa besok Daiki-kun akan memakai pakaian maidnya? Apa kalian akan crossdressing?”

“Oi, oi, oi, apa maksudmu dengan crossdressing, hah?” protes Aomine.

“Eh, aku ingin mampir ke kafe maid untuk melihatmu crossdressing! Kau akan memakainyakan?” candaku.

“Tch.. Mimpimu nggak akan jadi kenyataan! Bukankah kau tadi bilang harus segera pergi? Sebaiknya cepat selesaikan pekerjaanmu,” geramnya lagi. Aku dan Ryo terkekeh pelan.

“Sebenarnya Wakamatsu meminta kami untuk melakukannya sih..” terang Ryo. “Tapi kurasa Aomine nggak akan mau melakukannya...”

“Sayang sekali, padahal aku ingin lihat...”

“Jangan banyak menghayal, pikiranmu mulai aneh sejak kau terkena flu...”

“(Y/N)!!” kami bertiga menoleh kearah suara yang memanggil namaku itu. Ternyata Minami dan Kazuhara. “Ternyata kau disini, ayo! Kami membutuhkanmu dilapangan!” ajak Minami. Aku memberinya isyarat kalau aku akan menyusul mereka, Kazuhara beranjak pergi namun Minami masih menungguku.

“Kalau begitu aku akan pergi sekarang!” pamitku.

“Jangan sampai pingsan, kau akan menyusahkan yang lainnya...”

“Geezzz.. tidak sopan! Siapa yang akan pingsan!? Aku ini tahan banting!”

“Sudah sana pergi,” usir Aomine.

****

Minami terus menatapku tanpa banyak bicara. Aku membawa beberapa kotak besar ditanganku yang berisi berbagai macam peralatan dan kami berjalan sepanjang koridor menuju lapangan terbuka.

“Kau nggak ingin cerita padaku?” gumamnya. Kulihat wajahnya yang tampak serius, aku tak tahu ingin memberitahunya mulai dari mana.

“Apa ini tentang Daiki-kun?”

“Tentu saja! Kau kira siapa lagi? Beberapa minggu ini kau tidak pernah membahas Aomine lagi dan selalu bersikap aneh, awalnya kupikir karena kau sibuk dengan kegiatan osis tak kusangka kalau alasannya sangat simpel, kau tak mau aku mengetahuinya kan...?”

“What do you mean?”

“Ternyata kau dan Aomine-kun sudah pacaran...”

“Hah?? Chigaimasu!! Kau salah paham!”

“Eh? Salah paham apa? Bukannya kau sudah berhasil menembaknya kan? Kalau tidak mana mungkin dia mengajakmu berbicara seperti tadi,”

Aku tak mungkin bilang pada Minami kalau semua berawal dari sebuah pertandingan basket face to face yang diminta Aomine hingga akhirnya menjalar pada sebuah kesepakatan aneh tentang master dan maid yang terjadi diantara kami berdua.

Aku tahu Minami akan sangat kesal kalau tahu Aomine bersamaku hanya karena sebuah kesepakatan. Ia tak ingin Aomine memanfaatkan kebaikan temannya. Aku sangat paham maksud Minami. Aku sendiri tak tahu perasaan Aomine jadi tak mungkin kukatakan pada Minami kalau sekarang ini Aomine adalah masterku.

“Aku sudah pernah bilang padamu kalau aku menyerah untuk memintanya pacaran denganku kan?” tanyaku lagi. Ia berusaha mengingatnya lalu kemudian mengangguk. “Aku memang sudah menyerah dan saat ini kami mulai berteman baik, aku tahu ini nggak baik untukku tapi...”

“Yokatta!” gumam Minami, kulihat ia tersenyum lega.

“Eh?”

“Meskipun cuma temenan kau pasti senang sekalikan? Sebaiknya kau segera minta foto barunya, apa kau tidak merasa kalau memotret foto posternya itu memalukan? Kau mirip stalker tahu!”

Tak kusangka Minami akan bereaksi seperti ini. “Hmm.. you not angry with me?”

“Kenapa aku harus marah? Kupikir kau sudah selangkah lebih dekat untuk mencuri hatinya,” gumamnya. Jawaban Minami benar-benar mengejutkan, kupikir ia akan merasa kesal padaku dan Aomine. Sebenarnya rasa kesalnya muncul karena Aomine selalu mengabaikanku dan kepala cowok itu hanya dipenuhi dengan basket dan majalah dewasa. Semakin dipikirkan Aomine memang cowok berandalan.

Tapi saat ini rasanya agak percuma, karena setahuku Aomine menyukai Satsuki Momoi. “Menurutku sih sebaliknya..”

Minami mengerutkan dahinya dan menatapku ingin tahu. “Hmmm... what are you talking about?”

“Daiki-kun itu suka pada Satsuki Momoi, manajer klub basket..”

“Ohh, wajar saja sih... Satsuki-chan memang memenuhi kriteria Aomine kalau dibandingkan denganmu sih, jauh sekali... bukankah sejak awal kau sudah mengetahui hal ini?”

Shit! Dia mengatakannya dengan sangat jelas. “Lagi-lagi kau mematahkan semangatku Mina-chin...” protesku setengah kecewa.

Minami terkekeh pelan. “Tak apa... bukankah sejak awal kau tahu kalau usahamu memang mustahil untuk dilakukan, tapi kau tak pernah menyerah dan menembaknya sampai lima kali. Kau tahu... tak ada wanita yang berani melakukannya, kalau Aomine tak suka padamu ya nggak masalah, tapi dia nggak berhak melarangmu untuk menyukainya!”

Lagi-lagi kata-kata penyemangatnya muncul. Minami benar, setidaknya aku masih punya sedikit kesempatan. “Mina-chin... kurasa aku ngefans sama kamu deh,”

“Aku tahu, tapi sekarang aku nggak punya recehan dan kau harus kerja full time karena tadi sudah bolos untuk menemui Aomine,”

“Mine-chin kau kejam!!!”

“Aku terkejut kau baru menyadarinya sekarang, baka,”

“Bercandamu gak lucuuu!!!”

****

Kurasa aku beruntung karena hari ini masih memiliki kekuatan untuk mengerjakan tugasku sebagai perwakilan ketua osis padahal bisa kurasakan tubuhku semakin berontak dan terasa semakin hangat, kurasa fluku telah menjadi semakin parah.

Satu hal yang membuatku merasa senang. Meskipun awalnya aku sama sekali tak menyangkanya, sekarang aku dan Aomine bisa berbicara satu sama lain didepan teman-teman kami. Awalnya kupikir rasanya pasti akan sangat aneh, yah buat orang yang tidak mengetahui hubungan ‘pertemanan’ kami pasti akan merasa aneh saat tiba-tiba melihat kami saling bertegur sapa.

Bahkan akhir-akhir ini aku merasa Kazuhara-kun juga mulai merasakan sesuatu yang janggal, ia bahkan sampai bertanya padaku, kurasa dia merasa kedekatanku dan Aomine tampak mencurigakan. Meskipun ia tak mau mengakui bahwa ia ‘kepo’ mode on, untungnya ia tetap percaya kalau kami tidak pacaran. Huh! Apa yang kupikirkan? Aku dan Aomine memang bukan pasangan kekasih!!

“HATSYIIIII!!!!

Damn! Kurasa aku akan mati!! Tubuhku mulai terasa semakin lelah dan fluku pun masih belum bisa dihentikan. Tapi aku masih harus membantu mengangkut kotak-kotak ini kestand lainnya.

“(Y/N) cchi!!!”

Kulihat Kise berlari mendekatiku. “Kise kun? Nani?” balasku. Baru saja aku akan menaiki tangga selanjutnya saat Kise muncul mendaki anak tangga dan menghampiriku.

“Kau mau kemana membawa barang sebanyak ini?” tegurnya lalu merampas semua barang itu dari tanganku.

“Cho-chotto matte yo!!” kutarik lagi kotak itu dari tangannya.

“Iiee... kau sedang sakit kan?” gumamnya lalu meletakkan telapak tangannya dikeningku. “Tuh, badanmu panas.. pasti karena kemarin kehujanan kan? Lihat kau pakai masker pasti ingusmu banyak sekali,”

“Nggak! Aku baik-baik saja!” gumamku lalu beranjak menjauhinya dan mulai menaiki tangga selanjutnya. “Kalau kau ingin membantu, kau bisa menyiapkan persiapan memandu siswa-siswa yang akan datang besok untuk melihat-lihat sekolah kita,” saranku.

“Cih!” decaknya lalu beranjak mengikutiku. Ia kembali merampas kotak barang-barang itu dari tanganku. “Iie..jangan keras kepala begitu, kalau kau terlalu capek besok kau nggak akan bisa datang ke festival,” gumamnya sambil tersenyum manis dan berjalan menaiki tangga meninggalkanku. “Biarkan aku membantumu ya?”

Shit! Kenapa aku malah tersipu malu mendengar kata-katanya. “Padahal kau cuma ingin kabur dari divisimu sajakan?” tebakku.

Kise telah sampai dipuncak tangga, ia tersenyum dan menungguku hingga langkahku sampai dipuncak tangga. “Sepertinya kau sudah tahu isi kepalaku ya?”

“Kalau begitu yang keras kepala itu kau kan? Kembalilah kedivisimu, mereka membutuhkanmu..”

“Shiranai!” potongnya, ia mendekatkan wajahnya padaku. “Apa kau tidak sadar? Aku masih merasa sedih karena kemarin kau menolak bantuanku dan hari ini kau membuatku bekerja didivisi yang berbeda denganmu... aku kemari karena aku ingin menemuimu...”

“Ki-Kise! Kau terlalu dekat, mundurlah..”

“Aku akan mengikuti permintaanmu... tapi ada syaratnya...”

Meskipun aku mundur beberapa langkah hingga punggungku terbentur dinding tapi Kise masih tak menjauhkan dirinya dariku. Dia benar-benar merepotkan. “Nani?”

“Aku akan pergi membantu yang lain tapi kau harus memberiku French Kiss...”

Kise menyunggingkan senyuman isengnya dan menatapku penuh kelicikan, sekejap aku merasa ia mirip seseorang. “BAKA!” gumamku lalu mendorong tubuhnya dan kembali menuruni tangga.

“Hah?? Oy senpai!! Chotto matte!! Kau mau kemana?? Jangan kabur!!”

“Aku masih ada kerjaan lainnya, Kise-kun saja yang antar kotak-kotak itu keruang 3-2,”

“(Y/N) cchi!! Aku tak tahu tempatnya,”

“Naik tangga lagi lalu belok kanan dan serahkan itu pada Minami,”

“Hei... apa kau marah padaku?”

“Kalau kau tidak mengantarnya keruang 3-2 kurasa aku akan merasa kesal padamu,”

Kise terkekeh geli. “Jangan khawatir, setelah mengantar ini aku akan segera menemuimu,” gumamnya dengan senyuman lebar. Aku pun meninggalkannya pergi.

Tapi aku sama sekali tak mengetahuinya. Aomine Daiki dan Satsuki Momoi sedang berjalan dikoridor itu dengan membawa banyak barang ditangan mereka ternyata mereka telah melihat adeganku dan Kise. Kise memberi senyuman manisnya pada dua orang mantan anggota Kiseki no Sedai itu.

“Kise...” gumam Satsuki tak percaya, ia berjalan mendahului Aomine dan menghampiri Kise. “Sugoi!! Bisa-bisanya kau menggoda senpai seperti itu, kau tidak merasa malu? Bagaimana kalau ada yang lihat?” tanyanya takjub.

“Kenapa harus malu? Dia terlihat sangat manis saat merasa kebingungan ketika menghadapiku.. aku jadi tak bisa berhenti menggodanya,”

“Bukannya itu kekerasan seksual?”

“Bukan-bukan! Tentu saja ini bukan kekerasan seksual, benarkan Aominecchi?”

“Apa maksudmu?”

“Eh? Jangan pura-pura tidak paham begitu! Padahal kau juga suka mengintimidasi orang lain dengan auramu itu...”

“Tch.. kalau begitu kau tidak perlu mengcopy auraku jugakan? Kalahkan dia dengan auramu sendiri...”

Kise terdiam sejenak, kata-kata Aomine membuatnya kesal tapi ia berusaha mengontrol emosinya. Satsuki menatap kedua pria yang sedang berhadapan itu dengan penuh kebingungan. “Kalian lagi ngomongin apaan sih? Kise-kun? Dai-chan?”

“Hmm... untuk apa aku mengcopymu, kurasa itu bukan cara yang bagus untuk melawanmu,”

“Tch... bukankah titel sebagai ‘mesin fotokopi’ terhebat di Kiseki no Sedai itu milikmu? Kupikir kau akan mencoba mengalahkan dia dengan mengcopy diriku sama seperti pertandingan dulu,”

“Hmm... ya, ya, ya, kau benar juga aku baru ingat kalau kau merasa sangat kewalahan ketika menghadapiku saat Winter Cup tahun kemarin. Apa kau khawatir aku juga akan melakukannya lagi tahun ini?”

“Tch, lakukan saja sesukamu... lagi pula keahlianmu itu tidak akan berpengaruh banyak,”

Kise tertawa tertahan. “Hmmm... jangan khawatir! Kali ini aku akan serius... aku nggak akan mengcopy siapapun untuk hal seperti ini...”

Aomine menatap Kise tanpa ekspresi lalu ia menghela napas dalam-dalam. “Urusai.. Satsuki ayo kita harus segera pergi kegelanggang basket.. Kise harus segera menyelesaikan pekerjaannya,”

“Jja.. kalau gitu sampai nanti!” Kise berlari menaiki tangga lagi meninggalkan Aomine dan Satsuki.

Satsuki menatap Aomine dengan tatapan curiga. “Kalian berdua ngapain sih? Berantem ya?” tanyanya ingin tahu.

Aomine berjalan mendahului Momoi, ia tampak tenang. “Iie.. Kami baik-baik saja kok... tapi dia itu emang tukang fotokopi paling menyebalkan, hampir saja aku menendangnya ...”

Momoi tersenyum penuh arti. “Hhee... Kau masih suka menyiksanya seperti di SMP dulu... kalian berdua sebenarnya cocok satu sama lainkan? Harusnya kau mengakuinya,” godanya.

“Tch!! Maaf saja, aku sama sekali nggak minat main anggar...”

****

#NB : It was always happened to me... Kemarin saat menulis chapter 9 aku langsung gak sabar pengen nulis chapter 10, sekarang chapter 10 udah kelar jadi gak sabar pengen bikin chapter 11! Festival bunkasainya lama bangeet ya reader chan??!! Untuk part dalam chapter ini aku mendengarkan lagu cover dari penyanyi baru korea, namanya Grace dia baru debut dan suaranya benar-benar bikin perasaanku fresh saat sedang memikirkan plot untuk chapter ini, judulnya Sorry by Justin Bieber versinya korea, jadi buat korean lovers musti dengerin :) bagi yang penasaran bisa langsung cuss ke link ini Justin Bieber - Sorry Korean ver. by Grace. (Beneran deh ini bukan promosi :))

Previous Chapter            Next Chapter 

 

2 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Lanjutin dong hhee makin curious aja nih :3 cant wait for chapter 11 !!!

    ReplyDelete