Sunday 22 November 2015

Modern AoT : Chapter 9 [SECRET LESSON WITH MY BOSS] Remake!!

BY Unknown IN 2 comments


SECRET LESSON WITH MY BOSS

Cast    : Levi Ackerman x Reader (In my case : Lucy Alsei)
Genre  : Romance, Mature
Song   : Love Me Like You Do by Ebony Day Cover

Chapter 9

Sentuhan lembut itu, ia merengkuhku dengan lengan kuatnya dan setiap ku pejamkan mataku yang terlihat dalam bayanganku hanya wajah serius dengan tatapan mematikan itu sedang menatapku tajam, ia terlihat sebal namun disaat bersamaan pancaran matanya terlihat sangat lembut, menenangkan, nyaman namun juga kesepian, dengan pelan Levi berbisik.

“I love you (y/n)/Lucy..”

“(y/n)/Lucy kau baik-baik saja?” suara lembut Petra kembali menyadarkanku. sepertinya aku tak mendengarkan curhatannya barusan. "Kau melamun lagi?” tanyanya lagi.

Dengan perasaan bersalah aku tersenyum paksa padanya. “Maaf, maaf, aku masih memikirkan pekerjaanku yang belum selesai,” gumamku sambil menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulutku karena saat ini kami sedang makan siang di cafetaria. Tapi tampaknya Petra tak percaya dengan jawabanku barusan. Wajahnya tampak khawatir.

“Bohong! Kau tidak memikirkan tentang pekerjaan.. pasti sedang memikirkan tentang ‘itu’ kan?” sergahnya dengan senyuman iseng tersirat di wajahnya.

Itu? Apa maksudnya?

“Haah!!!” pekikku tak sadar. Jangan-jangan yang dia maksud tentang hubunganku dan Le...

Buukk!!!
“Awww!!! Sakiiiittt!!!” ringisku keras. Tiba-tiba seseorang terduduk disebelahku setelah memukulkan suatu barang ke kepalaku. “Jean!! Apaan sih!!” gumamku sebal saat mengenali sosoknya barusan, namun Jean tak langsung menjawabku ia hanya menopang wajahnya sambil menatapku tajam tanpa satupun ekspresi tersirat di wajahnya.

“Nih!” serunya pelan sambil meletakkan sebuah buket bunga mawar merah. “Dari Farlan,”

“Hah?” Dari Farlan? Lagi? “Kenapa bisa ada padamu?” tanyaku sambil melihat kartu nama yang ada di buket tersebut.

“Kenapa dia tidak memberikannya langsung pada (y/n)/Lucy? Kenapa menitipkannya padamu Jean?” serang Petra.

“Sudah seminggu ini dia mau menyerahkannya langsung, tapi si bodoh ini terus menghindar. Parahnya Farlan juga curhat padaku!! Arrgghhhh!! Aku nggak tahan lagi, dengerin curhatnya Reiner saja sudah pusing, dia malah nambah-nambahin,” keluh Jean.

“Si mesum itu curhat soal apa?” selidik Petra.

“Siapa lagi kalau bukan soal si bodoh ini,” gumam jean sambil menarik helai rambutku.

“Errrrhhh.. kuharap kalian bicara yang baik-baik tentangku..” gerutuku sebal sambil mengamati buket yang ada di depanku.

“Kenapa kau menghindari Farlan?” selidik Petra sambil menatapku membuatku bingung ingin menjawab apa. “Kupikir hubungan kalian baik-baik saja, soalnya setelah pesta malam itu dia mengantarmu pulang kan? Bukankah dia sangat gentleman, lagipula kalian berdua kelihatan cocok,”

“Hmm, gitu ya...?” jawabku malas-malasan. Aku jadi merasa bersalah juga pada kedua orang ini, tak ada seorang pun yang tahu tentang hubunganku dan Levi.

“Apa terjadi sesuatu?” tanya Petra lagi. Aku hanya menggeleng ragu. “Atau... kau suka sama cowok lain?” selidiknya lebih keras. Kata-kata Petra memang tak berbahaya tapi entah kenapa aku merasa wajahku memanas. Jean hanya menatapku tajam menunggu jawaban.

“Hhh~~ merepotkan! Kalau nggak suka tinggal bilang nggak suka kan beres,” sungut Jean. “Kalau kau menghindar terus seperti ini nggak akan menyelesaikan apa-apa...”

Uuhhh... iya sih memang benar, tapi gimana dong?? Setiap Farlan muncul di divisi tiga meskipun itu untuk urusan pekerjaan Levi juga ada di tempat dan waktu yang sama. Aku nggak mungkin dekat-dekat Farlan, karena aku masih ingin hidup dan nggak mau dia membunuhku dengan tindakan-tindakannya yang kadang nggak masuk akal.

“Sebaiknya kau coba temui dia jadi kalian bisa membicarakannya secara pribadi,” gumam Petra. Dia memang teman paling baik dan paling enak dijadikan teman curhat, dia yang terbaik. Tapi Jean...

“Kirstein!!! Berhenti menarik-narik rambutku kau mau membuatku botak ya!!” pekikku sambil menepis tangannya dari rambutku.

“Selama Farlan masih terus mengajakku curhat, aku akan terus menarik rambutmu, bodoh!”
“Idiot!” serangku.

“Hheee?? Tumpukan kotoran kuda barusan bilang apa??” gumamnya lagi dengan wajah iseng.

“Shut up, horse face!”

****

Ternyata sudah seminggu berlalu sejak pernyataan cintaku pada Levi, kalau di pikir-pikir lagi saat itu dia memaksaku untuk mengaku bahwa selama ini aku sudah jatuh cinta padanya. Tapi aku sendiri tak pernah mendengar dia bilang ‘I love you’ padaku. Bahkan kalau diingat-ingat lagi dia selalu menyiksaku dengan kata-kata mesumnya yang cukup berbahaya. Ukhh~~ kalau ku ingat lagi.... dia itu.... sangat berbeda ketika sedang berada di rumah.

Sebenarnya, sejak beberapa hari yang lalu Levi sama sekali tak menunjukkan kebiasaan-kebiasaannya yang aneh padaku dia juga masih terlihat dingin seperti biasanya. Kupikir mungkin karena dia sedang sibuk bolak-balik tempat syuting dan kantor makanya dia jadi tidak terlalu memperhatikan keadaanku, hmmm.. bukannya aku menuntut banyak untuk diperhatikan sih.. tapi bahkan saat berbicara ditelepon pun dia bersikap dingin seperti biasa. Kenapa justru aku yang jadi bergantung padanya? Padahal dia bilang “I need you” padaku kan waktu itu. Apa aku salah menanggapi artinya ya?

Ku pandangi buket bunga dari Farlan yang kini sudah kumasukkan ke dalam vas bunga yang sudah kuisi air dan meletakkannya di meja kerjaku. Melamun.

“Oi, little shitty brat.. apa pekerjaanmu sudah selesai?”

Suara ini?
 
“Levi!!! B-BOOSS!!” pekikku kaget saat melihat sosoknya kini berdiri di dekat mejaku. Karena suaraku yang keras seketika saja semua orang memperhatikan kami berdua. Shit! Karena sudah kebiasaan aku jadi manggil dengan namanya saja.

Tapi Levi bergeming, ia menatap buket bunga mawar itu dan dahinya berkerut. “Aku ingin Black Tea dengan dua blok gula! Sekarang! Di mejaku!” serunya tenang lalu beranjak masuk ke dalam ruang kantornya.

“Yes sir,”

Bahkan ia tak bereaksi apapun saat menatap bunga dari Farlan? Hmmm.. apa yang kupikirkan sih? Levi mungkin bukan pria dewasa romantis yang akan memberiku bunga dan memberiku puji-pujian gombal cabe-cabean. No! Aku nggak bisa membayangkannya sama sekali. Mendengar dia bilang “I need you” saja mungkin sebuah keberuntungan mengingat selama ini dia selalu menyelipkan kata-kata “berbahaya” saat berbicara dengan semua orang.

Dengan perasaan sedikit kecewa aku masuk ke dalam kantornya setelah membuatkan secangkir teh hitam kesukaannya. Kuketuk pelan pintu kantornya dan terdengar suara Levi yang tenang menyuruhku masuk. Perlahan kubuka pintu kantornya dan masuk kedalam, ternyata dia sedang menatapku sambil duduk bersandar pada meja kerjanya dengan tangan bersilang di dada. Duhh... dilihat dari ekspresinya sepertinya dia sedang tidak mood.

Kuberikan senyuman terbaikku padanya dan berjalan mendekati meja meletakkan cangkir teh dan sebotol air mineral ditempat biasa. Ia hanya diam memperhatikan gerak-gerikku dan hal itu membuatku canggung. Aku merasa terintimidasi karena sikapnya.

“Apa ada hal lain yang anda inginkan, sir? Apa anda sudah makan siang?” tanyaku polos.

“Hmm, aku mendengar beberapa selentingan kalau beberapa hari yang lalu kau mendapat kiriman bunga dari divisi satu, apa benar?”

“Hmm, ya begitulah Far..”
“Buang!”

“Hheee??”

“Kau paham kan maksudku?”

Aku hanya bisa tersenyum mendengar kata-katanya, tak kusangka dia akan cemburu seperti ini. Benar-benar cute.

“Apa kau cemburu, sir?” godaku.

“Hhe?” ia menelengkan kepalanya dengan tenang lalu menatapku. “Cemburu?” gumamnya lagi lalu sekilas bisa kulihat senyum iseng di wajahnya. “Sit down,” pintanya sambil menunjuk kursi yang ada di depannya.

Entah kenapa jantungku langsung berdegup kencang, jangan bilang dia akan melakukan hal “keji” padaku ketika di kantor. Tapi saat kulihat ekspresinya masih dingin seperti biasanya ku tepis pikiran barusan lalu beranjak dan duduk di kursi yang ada di depannya. Uuhhh~ apa yang akan dia lakukan?

“Jangan salah paham...” serunya sambil menurunkan dasi abu-abunya dan melepas tiga kancing teratas bajunya. “Aku sama sekali nggak suka melihat bunga dengan warna seterang itu..” gumamnya lagi sambil melipat setengah lengan bajunya. “Seleranya buruk sekali...” serunya lalu meletakkan kedua tangannya pada lengan kursi, mengurungku, dan mendekatkan wajahnya beberapa senti padaku.

Dengan susah payah ku telan liurku. Entah kenapa aku tak berani menatapnya dan menjatuhkan pandanganku kebibir mungilnya. Sial!

“S-sir.. anda terlalu dekat,” gumamku mengingatkan, melihat kenyataan bahwa tirai kantor itu tidak tertutup. “Dan tirainya... terbuka, jadi sebaiknya anda jangan...”
Ia menatapku sejenak. “Aku mengerti, apa kau ingin aku mentupnya?” tanyanya tenang. Tentu saja itu bukan pertanyaan yang membuatku tenang justru membuatku semakin panik.

“No! Maksudku...”

Sreekkkk!!!

Levi telah beranjak kedekat dinding kaca dan menarik tali panjang khusus untuk menutup tirai itu. Bisa kulihat senyuman berbahaya muncul di wajahnya. Perlahan ia mendekati kursiku dan memutarnya agar menghadap kearahnya dengan sempurna. “Kenapa wajahmu pucat, hhee??” pertanyaannya bukan karena dia khawatir padaku tapi karena dia ingin menyiksaku.

“Apa maksud anda? Aku baik-baik saja!”

“Sepertinya kau sakit, apa kau ingin kuberi obat untuk menyembuhkanmu?” gumamnya lagi dengan ekspresi dingin dan ia kembali mengurungku dengan kedua lengan kekarnya dan perlahan mendekatkan wajahnya padaku. Oh shit! Apa sekarang dia akan menciumku!?

Dengan perasaan campur aduk aku hanya bisa mencengkeram nampan yang masih kupegang dan memejamkan mataku kuat-kuat. Bisa kudengar suara hembusan napasnya yang semakin mendekat dan bibirnya..

Tok.. tok.. tok..

Terdengar suara ketukan yang cukup kencang di pintu kantor Levi. Oh shit? Siapa dan kenapa di saat seperti ini! Aku tak berani membuka mataku saat kudengar suara pintu terbuka.

“Ja-jangaan!!” pekikku keras sambil menaruh nampan didepan wajahku.

“Jangan apa?” terdengar suara Levi jauh disana. Saat kubuka mataku bisa kulihat ia telah berdiri di depan pintu dan disampingnya ada Erwin yang sedang menatapku kebingungan.

“Hai (y/n)/Lucy? Ada apa? Apa kau baik-baik saja?” sapa Erwin sambil tersenyum cerah. Levi menyuruhnya masuk dan aku pun segera berdiri dari kursiku dengan panik. “Apa kau baik-baik saja?” tanya Erwin tampak khawatir melihat sikapku. “Apa si bodoh Levi memarahimu lagi? Hei Levi apa aku datang disaat tidak tepat?” tanyanya.

Terdengar desah malas Levi dan ia pun duduk elegan diatas sofa sambil membaca file yang baru saja diserahkan Erwin padanya.
 
“Be-benar, pekerjaanku ada yang nggak beres jadi...” gumamku namun Levi memotong kalimatku.

“Hmmm.. aku senang ternyata kau cepat mengerti, (y/n)/Lucy..” serunya sambil menatapku dengan senyuman licik. Tapi Erwin tak sempat melihat senyum licik itu. Dengan perasaan dongkol aku balas tersenyum padanya. Dasar sialan! Dia mengerjaiku lagi.

Erwin tersenyum lembut padaku. “Jangan terlalu diambil hati, nanti juga akan segera terbiasa.. hmm, apa tadi aku mengganggu kalian?” gumamnya padaku.

Shit!! Bahkan Erwin juga mengerjaiku??

“Erwin, aku ingin membahas ini.. kenapa selisihnya banyak sekali? Apa aku salah baca?” panggil Levi.
 
“Erwin kau ingin minum apa?” tanyaku berusaha mengalihkan perhatian Erwin.

“Ah, tidak usah repot. Aku cuma sebentar saja kok, tidak usah membuatkan minuman untukku,” serunya sambil berjalan mendekati Levi dan duduk di sofa berlawanan. Tampaknya pembicaraan mereka sangat serius, kuputuskan untuk segera pergi dari ruangan Levi.

****

Kutatap bunga mawar merah itu lekat-lekat, bukankah Farlan benar-benar romantis? Tck, apa yang kupikirkan sih? Aku hanya mengenal Farlan beberapa menit dan dia sudah memutuskan untuk menjadikanku pacarnya, apa bisa ya jatuh cinta secepat itu? Padahal, untuk jatuh cinta pada Levi saja aku butuh waktu yang cukup lama. Ironis. Aku jatuh cinta karena dia sering menyuruhku lembur kerja.

Apa yang akan terjadi kalau seandainya Farlan yang lebih dulu muncul daripada Levi? Apa aku akan jatuh cinta pada Farlan?

No way!!!! Apa yang kupikirkan? Tetap saja kalau dia berakting sebagai bos killer seperti itu aku nggak akan punya banyak waktu untuk ketemu cowok-cowok dan berakhir nggak punya satupun pacar.. urkhh..

Aku ingin membuang bunga mawar itu, tapi nanti saja saat kantor sudah lebih sepi. Lagi pula pekerjaan lemburku masih banyak aku masih punya waktu untuk membuangnya diam-diam. Aku tak ingin semua orang bertanya alasan kenapa aku membuang bunga secantik ini karena aku pasti kebingungan menjawabnya.

“(y/n)/Lucy, apa pekerjaanmu belum selesai?” tegur Mikasa. Sepertinya dia sudah menyelesaikan bagiannya dan sedang menunggu Eren yang masih membereskan mejanya sendiri.

“Hmm, iya.. tinggal setengah jalan lagi, setelah itu aku selesai,” jawabku.

“Beberapa hari ini dia menambah jumlah kerjaanmu ya?” gumam Mikasa.

“Ya begitulah, karena dia sedang sibuk kerja lapangan jadi aku harus mengerjakan sebagian pekerjaannya, benar-benar merepotkan”

“Apa banyak sekali? Sini biar kubantu!”

“Jangan! Ini kan tugasku.. kalau dia tahu kau membantuku, aku bisa dimarahi lagi,”
“Kau ini benar-benar sudah jadi penggantinya Eren ya? Sepertinya dia juga suka menyiksamu,” gumam Annie  yang tiba-tiba saja muncul lalu menaruh beberapa laporan di mejaku. “Ini bagianku, jangan lupa serahkan pada bos, banyak yang harus ia tanda tangani,”

“Ah, oke-oke letakkan saja disitu Annie. Besok akan kuserahkan padanya,”
“Jangan terlalu memaksakan diri, setidaknya kau harus meluangkan waktu untuk pergi kencan dengan pacar barumu!” gumam Annie dengan ekspresi dingin.

“Farlan ya?” tanya Mikasa. “Beberapa hari ini dia terus mengirimimu bunga, seandainya Eren juga melakukan hal yang sama padaku..”

“Kau bisa minta padanya kan?” celetuk Annie.

Err.. kurasa bukan begitu cara kerjanya.. Annie. Aku hanya bisa tertawa miris mendengar kata-kata Annie. Tak lama kemudian Eren dan Armin datang menyapa lalu tak lama kemudian satu persatu mereka pun pergi pulang lebih dulu. Di susul Jean yang harus pergi menjemput ibunya dan Reiner yang menghampiriku untuk memastikan aku tak sedang berkencan dengan Farlan.

Ya, ya, aku tak kencan dengan Farlan tapi aku kencan dengan orang yang lebih mengerikan lagi.

Kantor telah sepi, lagi-lagi aku harus lembur sementara Levi dan Erwin tadi pergi entah kemana. Melihat jam yang sudah menunjuk angka delapan malam kurasa aku harus segera mengebut menyelesaikan pekerjaan tambahan ini. Seandainya saja aku ini multitasking yang bisa mengerjakan apapun sambil ngobrol panjang lebar tentu aku tak akan lembur sampai jam segini.

Setelah setengah jam berkutat dengan pekerjaan ditemani dengan harmoni lagu dari headset ponselku. Aku kembali tersadar saat mendengar suara pintu lift terbuka dan langkah pelan seseorang menggema dalam kantor yang sepi.

“Apa pekerjaanmu masih banyak?” suara itu...

“Levi?” kudongakkan wajahku agar bisa menatap sosoknya yang sedang berjalan kearahku. “Kenapa kau kemari? Bukankah pekerjaanmu disana masih belum selesai?” tanyaku sambil mengalihkan perhatian pada pekerjaanku lagi.

“Hmmm... aku ingin melihatmu..” gumamnya sambil berdiri didekat mejaku. Kata-katanya barusan hampir membuat jantungku berhenti berdenyut. “Jadi kau tidak mau membuang bunga ini ya?” tegurnya lagi, dari intonasinya, suaranya masih terdengar sangat tenang.

Aku kembali tersadar karena sudah kelupaan untuk membuang bunga itu. “Iya, iya, ini mau kubuang kok..”

“Hmm, kalau kau suka bunganya.. jangan dibuang,”

“Eh? Apa maksudmu sih? Bukannya kau benci bunga ini?”

“Tapi kau suka kan..?”

“Tidak juga,” gumamku sambil beranjak mengambil plastik dan memasukkan bunga itu kedalamnya. “Tapi aku nggak mungkin membuangnya didepan semua orang, mereka akan menanyaiku yang tidak-tidak, akan repot menjelaskannya,”

Levi menarik sebuah kursi dan meletakkannya didekat mejaku lalu duduk santai sambil mengamati gerak gerikku.

“Apa kau baik-baik saja? Apa kau sudah makan? Bagaimana kondisi dilapangan tadi? Kalau capek sebaiknya istirahat saja, beberapa minggu ini kau selalu pulang larut malam kan? Kalau seperti itu terus kau bisa sakit,”

Levi tersenyum menatapku. “Pertanyaanmu banyak sekali little shitty brat..” gumamnya pelan.

“Tunggu sebentar.. akan kubuatkan minuman untukmu..”

“Tidak perlu,” Levi menarik tanganku dan meraih tubuhku kepelukannya, lalu mendudukkanku diatas kedua pahanya. Ia menyandarkan wajahnya kepunggungku. “Aku lelah sekali,” gumamnya pelan. “Si sialan Hanji, ia menyuruhku melakukan hal yang tidak-tidak, aku harus melakukan ini dan itu tanpa istirahat,” tambahnya lagi lalu bisa kurasakan ia mengecup punggungku dan bernapas dalam-dalam. Kami pun terdiam beberapa menit dan kuputuskan untuk mengelus pelan rambutnya.

“Aku akan menyelesaikan pekerjaanku secepatnya, tunggu sebentar ya..” gumamku. Ia tak protes dan melepaskan pelukannya di tubuhku. Entah kenapa aku merasa lebih bersemangat dibandingkan sebelumnya.

Fokus kerjaku telah kembali dan untuk sesaat aku tak sadar bahwa aku telah menghiraukannya beberapa puluh menit terakhir.

“Sepertinya kau tak akan sempat menyelesaikannya, tinggalkan saja pekerjaan itu,” gumamnya.

“Masih ada waktu, akan kuselesaikan malam ini juga karena besok file ini sudah harus dikirim,” balasku sambil menatap jam tanganku. “Ah, kalau kau lelah sebaiknya kembali saja keapartemen,..” pintaku polos. Ia tak menjawab hanya diam melihatku bekerja.

Empat puluh menit berlalu akhirnya aku pun berhasil menyelesaikan pekerjaanku, sambil menggeliat kelelahan aku pun menjatuhkan kepalaku diatas meja dan mendesah keras.

“Apa kau sudah selesai?” suara Levi membuyarkan pikiranku. Aku hampir lupa kalau sedari tadi dia menungguku menyelesaikan pekerjaan tanpa sedikitpun ku ajak bicara.

“Ya, sudah selesai, aku akan beres-beres dulu,” balasku. “Kenapa kau tidak pulang saja keapartemen dan istirahat? Bukankah besok kau lembur lagi dilapangan?” tanyaku sambil membereskan barang-barangku dan memasukkannya ke dalam tas.

“Tck,” Levi mendecakkan lidahnya seperti biasa dan beranjak dari duduknya mendorong kursi yang baru saja didudukinya tadi kembali ketempatnya semula. “Jadi kamu mengusirku?”
“Haah?? Bukan itu maksudku! Aku mau kau istirahat, stupid idiot!” balasku. Ku gantungkan tasku ke bahu dan berjalan mendekati  Levi.

“Hoo.. jadi sekarang kau berani memanggilku stupid idiot haahh??” tanyanya dengan dahi berkerut.

“Bu-bukan gitu sih maksudku...”
“Hmm, kau benar-benar ingin sekali kuhukum lagi kan?” gumamnya sambil menarik tanganku agar beranjak mengikuti langkahnya menuju lift.

“Yang benar saja, kenapa jadi aku jadi yang dihukum,” gerutuku sebal. Kami berdua pun masuk kedalam lift yang pintunya terbuka.

“Tck, kukabulkan deh keinginanmu.. malam ini aku menginap di apartemenmu, little shitty brat!” gumamnya dengan senyuman licik sambil memencet tombol menutup pintu lift.

****

“Bagaimana makanan penutupnya tadi?” tanya Levi saat ia muncul dari dapur dan melepaskan celemek yang tadi ia gunakan lalu berjalan menghampiriku yang sedang berleha-leha diatas sofa yang empuk. Ia baru saja selesai mencuci piring (:P).

“Hmmm.. tak kusangka kau bisa membuat desert seenak itu,” jawabku sambil memperbaiki posisi dudukku. Ia duduk disofa panjang dengan gaya yang elegan. “Meskipun hanya omelet tapi rasanya lumayan juga,”

“Tck, itu karena kau kehabisan bahan makanan,” decaknya sambil mengubah channel televisi. Aku hanya diam memperhatikan televisi dari sofa yang lain, bisa kudengar  ia mulai menggerutu lagi. “Apa yang kau lakukan?” tanyanya.

Kupalingkan wajahku dengan malas dan menatapnya. “Hmmm? Aku menunggumu memilih satu channel yang bisa kita tonton bersama,” jawabku santai lalu kembali menatap televisi dengan gaya yang bosan.

Ia hanya diam sambil terus memencet tombol remote dan channel terus berpindah tanpa henti. Hal itu mulai membuatku sebal. “Levi? Pilihlah satu channel sebelum kau merusak televisiku,” gumamku sambil berpaling menatapnya. Ternyata ia sedang menatapku. “Kenapa kau menatapku seperti itu? Are you mad?” tanyaku lagi.

Namun ia hanya mendesah panjang sambil memberi sebuah isyarat agar aku pindah dan duduk disebelahnya, ia menepukkan tangannya kesisi kosong sofa yang ada disebelah kanannya. Aku tak bergerak hanya menatapnya diam, ingin tahu. Ia membalas tatapanku dengan ekspresi sebal.

“Move your ass, little shitty brat,” gumamnya pelan.

“Hmmm.. no, I won’t, aku sudah merasa nyaman,” balasku santai.

“Tck, akan lebih nyaman kalau kau duduk disini... kemarilah,” serunya lagi sambil menepuk sofa disebelahnya.

Mendengarnya berkata seperti itu membuatku tak bisa menahan tawa. Meskipun sebenarnya aku hanya berusaha menutupi perasaan gugupku sih. Arghh..

“Tck,” decaknya lagi, merasa sebal dan tak sabar. “Dasar keras kepala,”

Ia beranjak dari sofanya dan berjalan mendekatiku. “Hei? Kau mau ap- kyaahh!" (duh kok teriaknya sama kaya dikomik sih? memalukan! :P)

Levi membopongku dan meletakkan tubuhku diatas bahunya lalu dengan cepat ia bergerak dan mendudukkanku diatas sofa panjang, menahanku dengan kedua tangannya. Tanpa sempat memaki, ia langsung membungkam suaraku dengan menempelkan bibir lembutnya kebibirku lalu melumatnya. Perlahan tangan kirinya mulai menyentuh pipi kananku dan dengan sigap ia mendorongkan lidahnya perlahan kedalam rongga mulutku. Berusaha memaksaku agar membalas ciumannya. Ciuman itu benar-benar intense hingga aku tak bisa bersuara dan sulit bernapas. Ia berhasil membuat jantungku berdebar keras seolah akan loncat dari tempatnya.

Aku tak tahu apa yang terjadi tapi entah kenapa bibirku justru membalas ciuman paksa itu, bisa kurasakan napas hangatnya membuat ku marasa kepanasan. Aku tahu wajahku pasti sudah sangat merah. Tapi aku tak membenci sikapnya, ku pikir aku ini aneh karena menyukai sikapnya yang suka memaksa. Setelah puas memaksaku dengan ciuman itu akhirnya ia menjauhkan bibirnya dariku lalu menatapku dengan sorot mata yang lembut. Kami sangat dekat dan aku bisa merasakan napas hangatnya membentur pipiku lagi. “Aku... lelah,” gumamnya pelan lalu kembali mengecup bibirku. “Tapi kurasa aku sudah mendapat obat yang sangat bagus,”

“Stupid,” gumamku. “Bukannya kau justru merasa lebih bersemangat dibanding biasanya?”

“Tck, masih berani bilang begitu? Aku penasaran kenapa tehnik berciumanmu masih belum ada kemajuan sejak hari itu,”

“Tidak ada yang harus dibanggakan hanya karena hal seperti itu kan,” balasku gugup. Shit! Kenapa aku masih nyolot! Tak bisakah aku diam dan mendengarkan ocehannya saja?

“Wajahmu merah sekali lho..” gumamnya sambil tersenyum.

Aku tak bisa menjawabnya, ia tersenyum dan menarikku kearahnya. Kami terbaring santai diatas sofa panjang itu dan ia pun kembali memencet tombol remote televisi lalu memilih channel yang menayangkan film seram.

“Kau pikir aku akan merasa takut saat menonton film ini?” gumamku tanpa sadar.

“Hhmm, tidak juga.. aku tak berharap kau akan ketakutan menonton film seperti ini karena kenyataannya kau lebih takut padaku kan?” gumamnya panjang lebar.

“What do you mean? Of course, I’m not,”

“Hoo, seems like you really want me to angry kiss you again.. are you?” gumamnya dan kembali mempererat pelukannya ditubuhku.

“Stop it pervert.. I can’t breath,”
“Thank you, little shitty brat, aku tersanjung kau memanggilku dengan sebutan itu,” gumamnya sambil mengecup kepalaku. Levi hanya menanggapi permintaanku dengan sebuah gelengan pelan. “I like this pose! This is a good position and really comfortable place,” bisiknya lembut dengan suara dalamnya tepat ditelingaku. “Kalau kau sulit bernapas, dengan senang hati aku akan membantumu,”
Suara bisikannya membuat jantungku kembali berdentum cepat. Ini terlalu berlebihan. “Oh, shut up! Stop talking like that!” gerutuku sebal.

“Why? You don’t like it?” bisiknya lagi sambil mengecup bahuku.

Bisa kurasakan wajahku memanas saat mendengar pertanyaannya. Bukannya aku nggak suka tapi.. “N-no, it-it’s not like.. that,”

“What? Say it..” paksanya dengan tatapan mematikan itu.

“No.. I won’t,”

“Say it or I never let you go and we stay on this position until tomorrow..”
“Ugh..”

“Come on, I’m still waiting..”

Aku tahu ia sedang mempermainkanku, ya dia sangat menikmati saat-saat mengerjaiku. “I..”

“I cant hear your tiny voice..” ulangnya lagi, tak sabar.

Kutelan liurku dengan susah payah dan mencoba menyusun kalimatku dengan hati-hati. “I-I like it.. when you say such things, but.. please don’t do this when we’re working, okay?”
“Why you don’t like it? Sayang sekali, because I really love doing all crazy stupid bulshit things with you.. everywhere,” bisiknya lagi.

“W-Why? It’s too dangerous, you know?”
“Dangerous? You still don’t know the reason?”
“I don’t know! Could you tell me?”

“Mhh.. I will tell you, but... I wanna ask you something,”

“What is that?”

“About Farlan? Do you still have a crush on him?”

“Farlan? Why you ask.. N-no, I have not!! What are you talking about..tch,” balasku gusar dan berusaha berontak dari pelukan Levi, ia mengendorkan pelukannya namun seketika saja aku justru telah berada diatas tubuhnya yang kekar.

“Hmm, so... do you love me?” tanyanya lagi, bisa kulihat ekspresi wajahnya yang penuh senyuman licik itu kini sedang tersenyum padaku.

Ku palingkan wajahku kearah lain dan meletakkan kepalaku diatas dadanya. “Hmmm, I don’t know.. maybe.. I love you! Tck, Stop talking about him.. just tell me the reason I don’t wanna hear your perv...”
Levi menyentuh pipiku dan mengarahkan wajahku agar kembali menghadap padanya, mata kami pun bertemu. “Because you are mine, that’s why..” Kata-katanya membuatku tak bisa membalasnya. “When I can’t see you around me, I feel like I’m going crazy. When you talk and laugh with those brats, I feel so jealousy. And when I hear they call you Farlan’s girlfriend... shit... I feel like I can’t handle my self, I really want to give you some punishment and hit Farlan’s nose,”

“Punishment?”

Ia terdiam sejenak menatapku. “I mean.. this!” Levi mengeratkan pelukannya di tubuhku lagi hingga aku kesulitan bernapas.

“Stupid! I can’t breath!” dengan gusar aku pun kembali berontak agar ia melepaskan pelukannya, tapi dia masih bertahan.

“I think this is a perfect time for me to give you some special medicine, right? Still can’t breath, right? I will help you, little shitty brat,”  Levi tersenyum dan mencium bibirku.

****

2 comments: