Thursday 3 November 2016

Modern AoT : Chapter 11 [SECRET LESSON WITH MY BOSS]

BY Unknown IN 4 comments





Secret Lesson With My Boss

Cast : Levi Ackerman x Reader (In My Case Lucy Alsei)
Genre : Romance, Mature
Language : Bahasa Indonesia Mix
Picture : Credit To the Owner
Story : Me ;3

Bonus Lagu : Buat kamu EXO L yang kangen denger mereka nyanyi lagu baru dengan member komplit OT12  silakan klik disini, dijamin ga nyesel dan baper deh, ciyuss ;3 

PS : Sekilas info yah ^^ reader chan yang baik hati jika usiamu telah 18+ saya persilakan lanjut membaca dan mohon untuk yang masih dibawah 18+ saya harap kebijaksanaannya untuk tidak rebel ;3 dan kembali lagi kepage ini dilain waktu;). Cerita ini mengambil setting diluar indonesia jadi... mohon kebijaksanaan ketika membacanya agar tidak dipraktekkan didunia nyata [ambil hikmahnya saja;)], wkwkwk. Sekali lagi terima kasih sudah mampir ^^

Maaf karena Secret Lesson With My Boss sempat hiatus sangat lama. Happy Reading :3


Cuplikan Chapter Sebelumnya ...

“Tunggu disini, aku akan mengambil mobil,” pinta Jean. Pintu lift kembali terbuka dan Levi muncul dengan pakaian lengkap yang fashionable. Ia berjalan kearahku dan Jean.

“Sir?” tegur Jean saat melihat Levi.

“Jean, Erwin membutuhkan bantuanmu. Ia ingin kau segera menemuinya,” gumam Levi.

“B-baiklah, setelah menemani (Name)/Lucy ke apotik aku akan...”

“Sekarang..” tambah Levi dengan tatapan mematikannya. “Biar aku yang menemani dia ke apotik, kebetulan aku juga akan pergi keswalayan untuk membeli beberapa bahan makanan,” serunya.

Jean mengangguk kecewa. “Baiklah,” ia menyerahkan kunci mobil pada Levi dan pergi. Kini tinggal aku dan Levi berdua terjebak dalam dinginnya malam dan keheningan yang menyelimuti kami.

Syal besar berwarna coklat itu bergerak cepat dan tersampir dileherku, dalam sekejap saja aku bisa merasakan kehangatan tubuh Levi kini menjalari punggungku. Ia menarikku kedalam pelukannya. “Ada apa?” tanyaku lirih.

“Tck, kau curang sekali...”

“What do you mean? Aku tidak melakukan apa-apa..”

“Jadi kau lebih memilih pergi dengan Jean dibandingkan bersamaku?”

****

Levi’s apartment, Room 1506

Erwin terlihat sedang meracik vodka kesukaannya saat Jean datang menghampirinya didekat meja bar. “Sir, apa tadi anda mencariku?” sapa Jean, Erwin mengerutkan dahinya dan menatap Jean bingung.

“Tidak,” geleng Erwin. “Justru aku sedang mencari Levi tiba-tiba saja dia menghilang apa kau melihatnya Jean? Oh ya apa kau sudah dapat obatnya? Sebaiknya Hanji segera meminum obat itu sebelum ia jadi mayat hidup berjalan,”

****

Chapter 11

Mobil yang kami tumpangi masuk ke area basement, apotik yang buka dimalam natal dan dijam selarut ini berada di tempat yang cukup jauh dari apartemen kami berhasil mendapatkan obat yang kami cari namun jika saja Levi tidak benar-benar mampir ke swalayan dan memborong belanjaan, kami tak akan stuck terlalu lama di swalayan.

 Ia mematikan mesin mobil dan keluar untuk membuka pintu belakang, membantuku yang sedang berusaha mengeluarkan isi belanjaan. “Sini biar aku saja...”

Levi mengambil bungkusan plastik yang kupegang, bungkusan itu berisi bahan makanan yang tadi kami beli di swalayan.

“Tapi ini kan banyak..”

“Tidak masalah, ini bisa kubawa hanya dengan satu tangan..” gumamnya santai sambil mengeluarkan bungkusan lain.

Ketika menatapku yang sedang berdiri mematung ia tampak cemas. “Kenapa hanya menatapku saja?” gumam Levi lagi lalu memperbaiki letak syal yang ada dileherku. “Kalau kau menatapku seperti itu didepan yang lain, mereka akan tahu kau sedang jatuh cinta padaku..” bisiknya ditelingaku.

Aku tak menghiraukan kata-katanya dan langsung menutup pintu mobil. “Jadi kau tidak suka kalau mereka tahu yang sebenarnya...?” gumamku lesu. Ah bodohnya, kenapa aku mengatakan hal ini... padahal sebelumnya dia baru saja mengajakku kejenjang hubungan yang lebih serius lagi.

Levi menarik tanganku dan menyeretku menuju lift. “Bodoh... tentu saja bukan itu yang kumaksud. Kalau kau menatapku seperti itu didepan yang lain, aku jadi nggak bisa berpikir jernih kan... bagaimana aku bisa menahan diriku untuk tidak menarikmu sementara mereka saat ini sedang berkumpul di apartemenku...”

“Uuh~ Kurasa kau bahkan tak akan berani memegang tanganku didepan yang lain...” gumamku sewot. Ah~ lagi-lagi... kenapa aku malah mengatakan hal ini???

Levi menatapku diam sambil memencet tombol lift. “Jadi kau menantangku?” gumamnya santai, pintu lift terbuka dan ia pun masuk kedalamnya. Aku hanya bisa menatap Levi yang kini balik menatapku. “Kemarilah...” panggilnya sebelum pintu lift tertutup.

Aku pun beranjak masuk ke dalam lift itu dan berdiri berdampingan dengannya. Kami terdiam beberapa saat, Levi tampak serius dengan  kata-katanya tadi, tapi kurasa ia tak akan melakukan hal-hal yang tak biasa ia lakukan.

“Kau tahu... aku bisa melakukan apa saja jika kau memang menginginkannya...” gumamnya pelan sambil menatap angka lift diatas pintu.

“Hal bodoh sekalipun?” tanyaku iseng.

“Kurasa aku akan melakukannya, selama itu masuk akal dan aku bisa membahagiakanmu dengan hal itu...” jawabnya dingin, meskipun ia tak menatapku aku bisa melihat semburat merah diwajahnya.

“Hal bodoh kan nggak ada yang masuk akal...” ralatku.

Levi berdeham pelan. “Hmm... Iya... Kau benar juga...” jawabnya straight. Sungguh Levi tak adakah jawaban lain? Yang lebih excited? “Tapi aku ingin kau tahu kalau aku serius...” jelasnya lagi.

“Ah... Kalau begitu aku mau....” Levi menoleh dan menatapku dengan pandangan serius dahinya sampai berkerut karena penasaran.

“Hmmm... Hehe... Aku hanya bercanda kok! ^^” gumamku sambil memberinya senyuman lebar. “Kau ada disisiku saja sudah membuatku merasa bahagia,”

Kurasa aku tak boleh terlalu memaksakan diri, lagipula keadaan kami lebih baik seperti ini saja... kurasa begitu...

Levi menatapku tajam dengan wajah merona. “Kau terlalu banyak mikir dan khawatir tahu... jangan terlalu sering nonton drama dong... kalau kubilang akan kulakukan pasti akan kulakukan,” gumamnya lalu menggandeng tanganku dan memasukkannya kedalam kantong mantel yang ia pakai.

Pintu lift terbuka dilantai apartemen Levi dan ia langsung berjalan keluar dari dalam lift membuat tanganku tertarik dan akirnya mengekori langkahnya disepanjang koridor.

“Ah... aku heran kenapa kau banyak sekali beli daging kalengan?” protesnya.

“Memangnya kenapa?”

“Berat!” protesnya singkat, kulihat dahinya berkerut lagi membuatku terkekeh pelan. “Serius ini bukan sesuatu yang pantas untuk ditertawakan...” lanjutnya.

“Hahaha ^^ kemarikan sebagian biar kubantu...” gumamku sambil mencoba meraih bungkusan ditangan Levi namun ia justru menjauhkan bungkusan itu dariku.

“Tidak apa... jangan khawatir,” gumamnya dingin.

“Ah... seharusnya aku memang tak membeli daging kalengan dan memilih susu ultra kiloan saja...”

“Nice joke shitty brat... sepertinya sekarang kau sudah lebih berani untuk memperolok tinggi badanku...”

“I never said anything about your height!”

“Yeah, you did...” gerundelnya. Aku pun tertawa saat melihat ekspresi diwajahnya. Levi hanya menampakkan wajah datar membuatku merasa gemas.

“I’m so sorry babe...” gumamku lalu mengecup pipinya dengan kecupan kilat. Levi menatapku dengan tatapan terkejut dan langkahnya terhenti. “What?” tanyaku bingung.

“Barusan kau menyerangku?” tanyanya seperti anak polos.

“No~” gelengku dengan senyuman lebar.

“Yeah you did...”

“Hmmm... maybe...?”

“Oh... tunggu saja saat kita kembali ke apartemen. Aku akan mengajarimu cara menyerang yang sesungguhnya...” gumamnya, dengan senyuman manis dan ia kembali menyeretku disepanjang koridor itu.

“No~ no way... itu kan berbahaya?” protesku.

“Oh ya tentu saja... kau tahu aku suka hal yang berbahaya, apalagi jika itu sesuatu yang berhubungan denganmu... aku akan sangat menikmatinya,”

“Please jangan mengatakannya dengan ekspresi seperti itu...” protesku saat melihat ekspresi dingin diwajahnya.

“Ada apa dengan ekspresiku? Ini lebih baik karena kau akan terkejut jika melihat reaksiku yang sesungguhnya...”

“Oh... aku sangat ingin mengetahuinya...”

“Ini sulit... karena kau bisa saja lepas kendali...”

Tanpa disadari ternyata kami telah sampai didepan pintu apartemen Levi dan ia masih memegang tanganku dalam kantong mantelnya. Perlahan kutarik tanganku dari genggamannya saat ia mulai membuka pintu dengan menggunakan password.

“Levi...?”

“Hmmm...?”

“My hand...”

“What...? What’s wrong with your hands?” tanyanya balik dengan wajah polos.

“MY HAND!” gumamku lagi sambil melirik kantong mantelnya. Aku tahu ia pura-pura tak mengerti karena ia sedang memegang tanganku erat.

“Still not ready yet...?” gumamnya. Jari telunjuknya telah menunjuk kearah tombol yes untuk memvalidasi password yang sudah ia masukkan.

“I don’t know....”

“What...? Kau tak tahu yang dirimu inginkan?”

“Aku tahu... tapi aku tak yakin ini ide bagus, aku tak ingin kau diterpa isu skandal...”

Levi terkekeh. “Skandal apa? Memacari sekretarisku sendiri dan kebetulan kami berdua sama-sama single, maksudmu hal itu?” gumamnya lagi. “Kau terlalu banyak mikir...”  putusnya.

“Entahlah... kau pasti berpikir aku ini aneh... tapi kurasa aku terkena cheropobia... aku takut skandal ini mempengaruhi pekerjaanmu, sungguh...” jawabku pelan. Ya, aku terkadang takut dengan kebahagiaan yang ada didepan mata. Bisa jadi kebahagiaan itu nantinya akan menjadi hal yang buruk.

Sejenak, Levi menatapku diam lalu ia melepas pegangannya ditanganku. Ya... lebih baik semua orang tak tahu, aku hanya merasa khawatir dan merasa malu dengan diriku sendiri. Kupikir ia akan memencet tombol yes namun ia justru merangkulku dan mencium keningku.

“Jangan khawatirkan hal yang tidak penting. Aku tak paham apa itu cheropobia... tapi aku ingin mendengarnya nanti saat kita bersantai berdua saja, oke?” pintanya.

Seketika jantungku berdebar kencang saat melihatnya tersenyum seolah ingin memastikan bahwa kekhawatiranku itu hanya omong kosong saja. Apa itu cheropobia...? Kenapa aku justru mengatakan hal yang tak penting sih? Dia bahkan tak tahu apa artinya... memalukan.

Levi memencet tombol enter dan pintu apartemen pun menjeblak terbuka.

****

“What the hell was going on....?” gumam Levi.

Pemandangan itu... adalah pemandangan malam natal paling mengerikan bagi Levi Ackerman.

Saat kembali, kami mendapati ruangan itu sudah lumayan berantakan, semua orang telah terbantai dan memilih pojokannya masing-masing di tempat yang bisa ditiduri, sofa bahkan lantai, semua orang sudah terlanjur sangat mabuk karena koleksi minuman keras milik Erwin.

Levi beranjak ke kamar tamu, aku mengikutinya dan didalamnya kulihat Hanji sedang tidur diatas kasur disisi ranjang terlihat Erwin sedang menelungkupkan kepalanya diatas kasur, ia tertidur dalam posisi duduk diatas kursinya.

“I’m sorry~” gumamku sambil mengikuti Levi yang berjalan lurus kearah dapur dengan wajah pucat mencoba untuk tidak memperdulikan sekelilingnya. Ia telah meletakkan bungkusan belanjaan diatas meja, ekspresi datar diwajahnya.

“Ini bukan salahmu...” gumamnya.

“Tapi... aku yang memintamu...”

“Tetap saja tak ada hubungannya denganmu...”

“Tapi...”

“Jangan kawatir aku baik-baik saja kok... sebaiknya aku menaruh barang-barang ini di kulkas dulu...” serunya lalu membuka kulkas. Namun Levi kembali terdiam saat menatap isi kulkasnya lalu memutuskan untuk menutup kulkas itu.

“What happened?” tanyaku lalu beranjak mendekatinya.

“Ah...” Levi mencegahku membuka kulkasnya. “Kurasa aku akan membuatkan teh untuk kita berdua” serunya lalu mendorong punggungku dan menuntunku menuju meja makan.

“Kalau teh... aku bisa membuatkannya untukmu!” tawarku, namun Levi menolak.

“Sudah cukup kau melakukannya untukku ketika kita berada dikantor... malam ini biar aku yang membuatkannya untukmu...”

“Tapi ini ulang tahunmu, harusnya aku yang....”

Levi mengecup tanganku lalu perlahan mendekatkan wajahnya padaku. Memikirkan bahwa ia akan menciumku lagi membuatku kembali berdebar-debar dan secara refleks memejamkan mata, apapun itu jika menyangkut tentangnya membuatku tak bisa berpikir jernih.

“Kau kaget kan... pasti mikir yang nggak-nggak...” bisiknya ditelingaku lalu terdengar suara tawa yang pelan dan khas pria. Kubuka mataku dan kulihat ia sedang tersenyum lebar.

“Kau mempermainkank...”

Bibir Levi menempel dibibirku.

Untuk sesaat aku merasa terkejut dengan tindakannya, kecupan itu lembut dan penuh perasaan membuat jantungku seolah akan melompat dari tempatnya. Beberapa detik berlalu dan Levi menjauhkan sedikit bibirnya dariku membuatku berusaha menariknya lagi, kami saling bertatapan untuk sedetik lalu kemudian kembali melanjutkan apa yang baru saja kami hentikan.

“Finally....” gumamnya, disela-sela ciuman itu, ia menarikku dan menggendongku,  mendudukkanku diatas meja barnya. Menatapku sejenak dengan tatapan kerinduan. “Akhirnya kita bisa berduaan saja...” bisiknya, jari-jarinya yang dingin mengelus kulit pipiku.

“Apa kau mulai pikun? Kita sudah berduaan sejak tadi...”

Levi memelukku lalu kembali menciumku yang saat ini sedang duduk diatas meja bar. Dimalam bersalju yang dingin itu pelukan Levi adalah pelukan terhangat yang pernah kumiliki, refleks aku pun memeluknya dan membalas ciumannya.

Setiap kali ia menciumku, aku tak pernah merasa cheropobia akan datang menghantuiku... aku berusaha untuk menikmati dan mengingat semuanya dengan jelas, ciumannya, bentuk bibirnya, rasa lidahnya, sentuhan jarinya, suaranya dan desah napasnya yang tak beraturan.

Intoxicated.

Bosku.. Levi Ackerman, ah... bukan, dia bukan bosku... dia... ya... dia adalah kekasihku... dia kekasih yang paling kucintai.

“Mmhh...”

Levi menjauhkan lidahnya dariku, bisa kulihat wajahnya sudah berubah warna. Ia sudah semerah tomat. Apa ia merasa sangat malu...?

“This is bad...” gerutunya.

“Hah? Why? Bukankah kau sedang mengajariku cara untuk menyerang...? Apanya yang buruk?”

Ia terkekeh pelan, jari-jarinya menyentuh daguku. “Bodoh, ini masalah yang berbeda...” ralatnya.

“Hmmm... apa memang seburuk itu?”

“Sudah kita hentikan saja, kali ini aku akan benar-benar membuatkanmu teh...”

“Hey??” ketika ia mulai menjauh aku pun refleks menariknya kearahku lagi. “Tell me...”

Ia menatap kearah lain dan semburat merah masih tersirat diwajahnya. “Bersamamu sungguh sangat menyakitkan...”

Kata-kata Levi menghempasku... sakit?

“Huh? What do you mean?”

Menyakitkan? Apa aku memang seburuk itu? Apa ini yang namanya... cheropobia? Setiap kali merasa bahagia apa harus merasa sakit...?

“Aku... aku berharap malam ini mereka semua menghilang dari apartemenku, sungguh...” gumamnya malu. “Kita hentikan saja dan lanjutkan pelajarannya dilain waktu oke? Kalau diteruskan lagi kepalaku bisa tambah sakit... besok aku akan menendang mereka semua keluar dari sini,”

Aku hanya bisa tertawa mendengar kata-katanya.

“Hey shitty brat? Apanya yang lucu? Ini bukan hal yang pantas untuk ditertawakan? Kau pikir apa yang kurasakan saat ini lucu hah?” gerutunya lagi.

“You’re so cute...”

“I’m not CU~”

Aku pun kembali membungkam kata-katanya dengan bibirku, aku hampir merasa tak perduli dengan rasa sakit yang ia katakan barusan, tak kusangka orang yang selalu memaksaku akan mengatakan hal seperti ini.

Meskipun ia tak mengakuinya... tetap saja ia menikmati ciuman itu dan kembali memelukku erat.

“Aku serius...” gumamnya saat ia menjauhkan bibirnya dariku dan memelukku. “Aku akan benar-benar membuatkanmu teh...”

“Tapi... aku nggak mau teh...”

“Ukh! Please (Name/Lucy)...” mohonnya. “Jangan membuat ini jadi lebih sulit untukku...” (pengen pakai ‘keras’ tapi gimana ya)

Aku tak tahan melihatnya tampak cute malam ini, hingga akhirnya membuatku menyetujui keinginannya. “Okay... as you wish, pelajarannya dihentikan dulu...” gumamku lalu mendorongnya mundur agar aku bisa turun dari meja bar dan ia membantu dengan memegangi pinggangku.

“But... c-can you do this in my office, ketika kita sedang bekerja...” tanyannya.

“No~”

“Huh?”

“Are you joking? Kantor itu tempat untuk bekerja...” Aku beranjak menuju tempat memasak dan mulai memilih teh yang ada dilemari koleksi Levi, ada banyak jenis teh yang ia simpan didalam lemari itu. “Lagi pula... tanpa diserang pun kau sudah menyerangku duluan kan?”

“Umm... kau benar... aku juga punya pekerjaan penting...” gumamnya pelan lalu beranjak memelukku dari belakang.

“Pekerjaan apa tepatnya?”

“Err~ Mengawasimu bekerja...?” serunya lalu terkekeh pelan dan membantu memasakkan air dengan satu tangannya yang bebas.

“Ah~ rupanya hal itu yang kau maksud ‘bekerja’? Atau lebih tepatnya adalah menyergapku saat aku berada diruang arsip ketika Erwin memintaku mencarikan berkas penting“ tanyaku sambil memberinya dead glare yang dihiasi senyuman.

Ia menatapku diam, dan pipinya kembali bersemu merah. “....makanya... lain kali aku ingin kau yang menyerangku lebih dulu...”

“Ukh! How come? You pervert!”

Sedang seru bercanda, tiba-tiba seseorang masuk ke dapur membuatku dan Levi terdiam. Erwin menatap kami sambil menggaruk bagian perutnya.

“Sorry... aku Cuma mau ke toilet sebentar kok...” gumamnya lalu berjalan menuju toilet dan kembali menguap lebar sambil mengucek matanya.

****

Besok paginya ketika semua orang sudah terbangun (kecuali Hanji yang masih terkapar didalam kamar tamu), Levi dengan lantang dan tegas memberi mereka semua hukuman  untuk membersihkan apartemennya yang sangat berantakan.

“Aku akan memeriksa ulang pekerjaan kalian, pastikan tak ada satu debu pun yang tersisa...” gerutu Levi dari ruang tamu. Terdengar keluh kesah pelan dari teman-temanku.

Sementara itu aku dan Erwin sedang duduk berdua dikursi meja makan. Aku tak bisa memakan sarapan itu saat teman-temanku masih bekerja, dengan adanya Erwin bersamaku meminum teh pun jadi terasa sangat berat. Ia sedang meminum teh bagiannya sambil membaca koran pagi, sesekali ia menatapku, seolah meminta jawaban.

Hanya aku dan Erwin yang diijinkan sarapan duluan dan semua sarapan itu dibuatkan oleh kekasihku... Levi Ackerman.

To Be Continue~~ (?)



4 comments:

  1. makasih ka udah lanjut ceritanya.. kangen banget sama cerita kaka yang satu ini, bahkan aku harus baca ulang chapter 10 karena lupa cerita sebelumnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih cutie sudah mampir kepage ini ^^ haha tbh kaka juga harus baca ulang chapter 10 buat lanjutin ini, moga nggak hiatus lagi yah ;3

      Delete
  2. Wahh syg bngt ga dilanjutin pdhl ceritanya us hiks :"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama wehh, ngefans bgt sama ceritanya. Bagus bgt ini:"

      Delete