Secret Lesson With My Boss
Cast : Levi Ackerman x Reader
(In My Case Lucy Alsei)
Genre : Romance, Mature
Language : Bahasa Indonesia
Mix
Picture : Credit To the Owner
Story : Me ;3
Bonus Lagu : Buat kamu EXO L
yang kangen denger mereka nyanyi lagu baru dengan member komplit OT12 silakan klik disini, dijamin ga nyesel dan
baper deh, ciyuss ;3
PS : Sekilas info yah ^^
reader chan yang baik hati jika usiamu telah 18+ saya persilakan lanjut membaca
dan mohon untuk yang masih dibawah 18+ saya harap kebijaksanaannya untuk tidak
rebel ;3 dan kembali lagi kepage ini dilain waktu;). Cerita ini mengambil
setting diluar indonesia jadi... mohon kebijaksanaan ketika membacanya agar
tidak dipraktekkan didunia nyata [ambil hikmahnya saja;)], wkwkwk. Sekali lagi
terima kasih sudah mampir ^^
Maaf karena Secret Lesson
With My Boss sempat hiatus sangat lama. Happy Reading :3
Cuplikan Chapter Sebelumnya
...
“Tunggu
disini, aku akan mengambil mobil,” pinta Jean. Pintu lift kembali terbuka dan Levi
muncul dengan pakaian lengkap yang fashionable. Ia berjalan kearahku dan Jean.
“Sir?”
tegur Jean saat melihat Levi.
“Jean,
Erwin membutuhkan bantuanmu. Ia ingin kau segera menemuinya,”
gumam Levi.
“B-baiklah,
setelah menemani (Name)/Lucy ke apotik aku akan...”
“Sekarang..”
tambah Levi dengan tatapan mematikannya. “Biar aku yang menemani dia ke
apotik, kebetulan aku juga akan pergi keswalayan untuk membeli beberapa bahan
makanan,” serunya.
Jean mengangguk kecewa. “Baiklah,”
ia menyerahkan kunci mobil pada Levi dan pergi. Kini tinggal aku dan Levi
berdua terjebak dalam dinginnya malam dan keheningan yang menyelimuti kami.
Syal
besar berwarna coklat itu bergerak cepat dan tersampir dileherku, dalam sekejap
saja aku bisa merasakan kehangatan tubuh Levi kini menjalari punggungku. Ia
menarikku kedalam pelukannya. “Ada apa?” tanyaku lirih.
“Tck,
kau curang sekali...”
“What
do you mean? Aku tidak melakukan apa-apa..”
“Jadi
kau lebih memilih pergi dengan Jean dibandingkan bersamaku?”
****
Levi’s
apartment, Room 1506
Erwin
terlihat sedang meracik vodka kesukaannya saat Jean datang menghampirinya
didekat meja bar. “Sir, apa tadi anda mencariku?” sapa Jean, Erwin
mengerutkan dahinya dan menatap Jean bingung.
“Tidak,”
geleng Erwin. “Justru aku sedang mencari Levi tiba-tiba saja dia
menghilang apa kau melihatnya Jean? Oh ya apa kau sudah dapat obatnya?
Sebaiknya Hanji segera meminum obat itu sebelum ia jadi mayat hidup berjalan,”
****
Chapter
11
Mobil yang kami tumpangi
masuk ke area basement, apotik yang buka dimalam natal dan dijam selarut ini
berada di tempat yang cukup jauh dari apartemen kami berhasil mendapatkan obat
yang kami cari namun jika saja Levi tidak benar-benar mampir ke swalayan dan
memborong belanjaan, kami tak akan stuck terlalu lama di swalayan.
Ia mematikan mesin mobil dan keluar untuk
membuka pintu belakang, membantuku yang sedang berusaha mengeluarkan isi
belanjaan. “Sini biar aku saja...”
Levi mengambil bungkusan
plastik yang kupegang, bungkusan itu berisi bahan makanan yang tadi kami beli
di swalayan.
“Tapi
ini kan banyak..”
“Tidak
masalah, ini bisa kubawa hanya dengan satu tangan..” gumamnya santai sambil
mengeluarkan bungkusan lain.
Ketika menatapku yang sedang
berdiri mematung ia tampak cemas. “Kenapa
hanya menatapku saja?” gumam Levi lagi lalu memperbaiki letak syal yang ada
dileherku. “Kalau kau menatapku seperti
itu didepan yang lain, mereka akan tahu kau sedang jatuh cinta padaku..”
bisiknya ditelingaku.
Aku tak menghiraukan
kata-katanya dan langsung menutup pintu mobil. “Jadi kau tidak suka kalau mereka tahu yang sebenarnya...?” gumamku
lesu. Ah bodohnya, kenapa aku mengatakan hal ini... padahal sebelumnya dia baru
saja mengajakku kejenjang hubungan yang lebih serius lagi.
Levi menarik tanganku dan
menyeretku menuju lift. “Bodoh... tentu
saja bukan itu yang kumaksud. Kalau kau menatapku seperti itu didepan yang
lain, aku jadi nggak bisa berpikir jernih kan... bagaimana aku bisa menahan
diriku untuk tidak menarikmu sementara mereka saat ini sedang berkumpul di
apartemenku...”
“Uuh~
Kurasa kau bahkan tak akan berani memegang tanganku didepan yang lain...” gumamku sewot. Ah~
lagi-lagi... kenapa aku malah mengatakan hal ini???
Levi menatapku diam sambil
memencet tombol lift. “Jadi kau
menantangku?” gumamnya santai, pintu lift terbuka dan ia pun masuk
kedalamnya. Aku hanya bisa menatap Levi yang kini balik menatapku. “Kemarilah...” panggilnya sebelum pintu
lift tertutup.
Aku pun beranjak masuk ke dalam
lift itu dan berdiri berdampingan dengannya. Kami terdiam beberapa saat, Levi
tampak serius dengan kata-katanya tadi,
tapi kurasa ia tak akan melakukan hal-hal yang tak biasa ia lakukan.
“Kau
tahu... aku bisa melakukan apa saja jika kau memang menginginkannya...” gumamnya pelan sambil menatap
angka lift diatas pintu.
“Hal
bodoh sekalipun?”
tanyaku iseng.
“Kurasa
aku akan melakukannya, selama itu masuk akal dan aku bisa membahagiakanmu
dengan hal itu...”
jawabnya dingin, meskipun ia tak menatapku aku bisa melihat semburat merah
diwajahnya.
“Hal
bodoh kan nggak ada yang masuk akal...” ralatku.
Levi berdeham pelan. “Hmm... Iya... Kau benar juga...”
jawabnya straight. Sungguh Levi tak adakah jawaban lain? Yang lebih excited? “Tapi aku ingin kau tahu kalau aku
serius...” jelasnya lagi.
“Ah...
Kalau begitu aku mau....” Levi
menoleh dan menatapku dengan pandangan serius dahinya sampai berkerut karena
penasaran.
“Hmmm...
Hehe... Aku hanya bercanda kok! ^^”
gumamku sambil memberinya senyuman lebar. “Kau
ada disisiku saja sudah membuatku merasa bahagia,”
Kurasa aku tak boleh terlalu
memaksakan diri, lagipula keadaan kami lebih baik seperti ini saja... kurasa
begitu...
Levi menatapku tajam dengan
wajah merona. “Kau terlalu banyak mikir
dan khawatir tahu... jangan terlalu sering nonton drama dong... kalau kubilang
akan kulakukan pasti akan kulakukan,” gumamnya lalu menggandeng tanganku
dan memasukkannya kedalam kantong mantel yang ia pakai.
Pintu lift terbuka dilantai
apartemen Levi dan ia langsung berjalan keluar dari dalam lift membuat tanganku
tertarik dan akirnya mengekori langkahnya disepanjang koridor.
“Ah...
aku heran kenapa kau banyak sekali beli daging kalengan?” protesnya.
“Memangnya
kenapa?”
“Berat!” protesnya singkat, kulihat
dahinya berkerut lagi membuatku terkekeh pelan. “Serius ini bukan sesuatu yang pantas untuk ditertawakan...”
lanjutnya.
“Hahaha
^^ kemarikan sebagian biar kubantu...” gumamku sambil mencoba meraih bungkusan ditangan
Levi namun ia justru menjauhkan bungkusan itu dariku.
“Tidak
apa... jangan khawatir,” gumamnya
dingin.
“Ah...
seharusnya aku memang tak membeli daging kalengan dan memilih susu ultra kiloan
saja...”
“Nice
joke shitty brat... sepertinya sekarang kau sudah lebih berani untuk memperolok
tinggi badanku...”
“I
never said anything about your height!”
“Yeah,
you did...” gerundelnya.
Aku pun tertawa saat melihat ekspresi diwajahnya. Levi hanya menampakkan wajah
datar membuatku merasa gemas.
“I’m
so sorry babe...”
gumamku lalu mengecup pipinya dengan kecupan kilat. Levi menatapku dengan
tatapan terkejut dan langkahnya terhenti. “What?”
tanyaku bingung.
“Barusan
kau menyerangku?”
tanyanya seperti anak polos.
“No~” gelengku dengan senyuman
lebar.
“Yeah
you did...”
“Hmmm...
maybe...?”
“Oh...
tunggu saja saat kita kembali ke apartemen. Aku akan mengajarimu cara menyerang
yang sesungguhnya...”
gumamnya, dengan senyuman manis dan ia kembali menyeretku disepanjang koridor
itu.
“No~
no way... itu kan berbahaya?”
protesku.
“Oh
ya tentu saja... kau tahu aku suka hal yang berbahaya, apalagi jika itu sesuatu
yang berhubungan denganmu... aku akan sangat menikmatinya,”
“Please
jangan mengatakannya dengan ekspresi seperti itu...” protesku saat melihat
ekspresi dingin diwajahnya.
“Ada
apa dengan ekspresiku? Ini lebih baik karena kau akan terkejut jika melihat reaksiku
yang sesungguhnya...”
“Oh...
aku sangat ingin mengetahuinya...”
“Ini
sulit... karena kau bisa saja lepas kendali...”
Tanpa disadari ternyata kami
telah sampai didepan pintu apartemen Levi dan ia masih memegang tanganku dalam
kantong mantelnya. Perlahan kutarik tanganku dari genggamannya saat ia mulai
membuka pintu dengan menggunakan password.
“Levi...?”
“Hmmm...?”
“My
hand...”
“What...?
What’s wrong with your hands?”
tanyanya balik dengan wajah polos.
“MY
HAND!”
gumamku lagi sambil melirik kantong mantelnya. Aku tahu ia pura-pura tak
mengerti karena ia sedang memegang tanganku erat.
“Still
not ready yet...?”
gumamnya. Jari telunjuknya telah menunjuk kearah tombol yes untuk memvalidasi
password yang sudah ia masukkan.
“I
don’t know....”
“What...?
Kau tak tahu yang dirimu inginkan?”
“Aku
tahu... tapi aku tak yakin ini ide bagus, aku tak ingin kau diterpa isu
skandal...”
Levi terkekeh. “Skandal apa? Memacari sekretarisku sendiri
dan kebetulan kami berdua sama-sama single, maksudmu hal itu?” gumamnya
lagi. “Kau terlalu banyak mikir...” putusnya.
“Entahlah...
kau pasti berpikir aku ini aneh... tapi kurasa aku terkena cheropobia... aku
takut skandal ini mempengaruhi pekerjaanmu, sungguh...” jawabku pelan. Ya, aku
terkadang takut dengan kebahagiaan yang ada didepan mata. Bisa jadi kebahagiaan
itu nantinya akan menjadi hal yang buruk.
Sejenak, Levi menatapku diam
lalu ia melepas pegangannya ditanganku. Ya... lebih baik semua orang tak tahu,
aku hanya merasa khawatir dan merasa malu dengan diriku sendiri. Kupikir ia akan
memencet tombol yes namun ia justru merangkulku dan mencium keningku.
“Jangan
khawatirkan hal yang tidak penting. Aku tak paham apa itu cheropobia... tapi
aku ingin mendengarnya nanti saat kita bersantai berdua saja, oke?” pintanya.
Seketika jantungku berdebar
kencang saat melihatnya tersenyum seolah ingin memastikan bahwa kekhawatiranku
itu hanya omong kosong saja. Apa itu cheropobia...? Kenapa aku justru
mengatakan hal yang tak penting sih? Dia bahkan tak tahu apa artinya...
memalukan.
Levi memencet tombol enter
dan pintu apartemen pun menjeblak terbuka.
****
“What
the hell was going on....?”
gumam Levi.
Pemandangan itu... adalah
pemandangan malam natal paling mengerikan bagi Levi Ackerman.
Saat kembali, kami mendapati
ruangan itu sudah lumayan berantakan, semua orang telah terbantai dan memilih
pojokannya masing-masing di tempat yang bisa ditiduri, sofa bahkan lantai, semua
orang sudah terlanjur sangat mabuk karena koleksi minuman keras milik Erwin.
Levi beranjak ke kamar tamu,
aku mengikutinya dan didalamnya kulihat Hanji sedang tidur diatas kasur disisi
ranjang terlihat Erwin sedang menelungkupkan kepalanya diatas kasur, ia
tertidur dalam posisi duduk diatas kursinya.
“I’m
sorry~”
gumamku sambil mengikuti Levi yang berjalan lurus kearah dapur dengan wajah
pucat mencoba untuk tidak memperdulikan sekelilingnya. Ia telah meletakkan
bungkusan belanjaan diatas meja, ekspresi datar diwajahnya.
“Ini
bukan salahmu...”
gumamnya.
“Tapi...
aku yang memintamu...”
“Tetap
saja tak ada hubungannya denganmu...”
“Tapi...”
“Jangan
kawatir aku baik-baik saja kok... sebaiknya aku menaruh barang-barang ini di
kulkas dulu...”
serunya lalu membuka kulkas. Namun Levi kembali terdiam saat menatap isi kulkasnya
lalu memutuskan untuk menutup kulkas itu.
“What
happened?”
tanyaku lalu beranjak mendekatinya.
“Ah...”
Levi
mencegahku membuka kulkasnya. “Kurasa
aku akan membuatkan teh untuk kita
berdua” serunya lalu mendorong punggungku dan menuntunku menuju meja makan.
“Kalau
teh... aku bisa membuatkannya untukmu!” tawarku, namun Levi menolak.
“Sudah
cukup kau melakukannya untukku ketika kita berada dikantor... malam ini biar
aku yang membuatkannya untukmu...”
“Tapi
ini ulang tahunmu, harusnya aku yang....”
Levi mengecup tanganku lalu
perlahan mendekatkan wajahnya padaku. Memikirkan bahwa ia akan menciumku lagi
membuatku kembali berdebar-debar dan secara refleks memejamkan mata, apapun itu
jika menyangkut tentangnya membuatku tak bisa berpikir jernih.
“Kau
kaget kan... pasti mikir yang nggak-nggak...” bisiknya ditelingaku lalu terdengar suara tawa
yang pelan dan khas pria. Kubuka mataku dan kulihat ia sedang tersenyum lebar.
“Kau
mempermainkank...”
Bibir Levi menempel
dibibirku.
Untuk sesaat aku merasa terkejut
dengan tindakannya, kecupan itu lembut dan penuh perasaan membuat jantungku
seolah akan melompat dari tempatnya. Beberapa detik berlalu dan Levi menjauhkan
sedikit bibirnya dariku membuatku berusaha menariknya lagi, kami saling
bertatapan untuk sedetik lalu kemudian kembali melanjutkan apa yang baru saja
kami hentikan.
“Finally....” gumamnya, disela-sela ciuman
itu, ia menarikku dan menggendongku,
mendudukkanku diatas meja barnya. Menatapku sejenak dengan tatapan
kerinduan. “Akhirnya kita bisa berduaan
saja...” bisiknya, jari-jarinya yang dingin mengelus kulit pipiku.
“Apa
kau mulai pikun? Kita sudah berduaan sejak tadi...”
Levi memelukku lalu kembali
menciumku yang saat ini sedang duduk diatas meja bar. Dimalam bersalju yang
dingin itu pelukan Levi adalah pelukan terhangat yang pernah kumiliki, refleks
aku pun memeluknya dan membalas ciumannya.
Setiap kali ia menciumku, aku
tak pernah merasa cheropobia akan datang menghantuiku... aku berusaha untuk
menikmati dan mengingat semuanya dengan jelas, ciumannya, bentuk bibirnya, rasa
lidahnya, sentuhan jarinya, suaranya dan desah napasnya yang tak beraturan.
Intoxicated.
Bosku.. Levi Ackerman, ah...
bukan, dia bukan bosku... dia... ya... dia adalah kekasihku... dia kekasih yang
paling kucintai.
“Mmhh...”
Levi menjauhkan lidahnya
dariku, bisa kulihat wajahnya sudah berubah warna. Ia sudah semerah tomat. Apa
ia merasa sangat malu...?
“This
is bad...”
gerutunya.
“Hah?
Why? Bukankah kau sedang mengajariku cara untuk menyerang...? Apanya yang
buruk?”
Ia terkekeh pelan,
jari-jarinya menyentuh daguku. “Bodoh,
ini masalah yang berbeda...” ralatnya.
“Hmmm...
apa memang seburuk itu?”
“Sudah
kita hentikan saja, kali ini aku akan benar-benar membuatkanmu teh...”
“Hey??”
ketika ia
mulai menjauh aku pun refleks menariknya kearahku lagi. “Tell me...”
Ia menatap kearah lain dan
semburat merah masih tersirat diwajahnya. “Bersamamu
sungguh sangat menyakitkan...”
Kata-kata Levi
menghempasku... sakit?
“Huh?
What do you mean?”
Menyakitkan? Apa aku memang
seburuk itu? Apa ini yang namanya... cheropobia? Setiap kali merasa bahagia apa
harus merasa sakit...?
“Aku...
aku berharap malam ini mereka semua menghilang dari apartemenku, sungguh...” gumamnya malu. “Kita hentikan saja dan lanjutkan
pelajarannya dilain waktu oke? Kalau diteruskan lagi kepalaku bisa tambah
sakit... besok aku akan menendang mereka semua keluar dari sini,”
Aku hanya bisa tertawa
mendengar kata-katanya.
“Hey
shitty brat? Apanya yang lucu? Ini bukan hal yang pantas untuk ditertawakan?
Kau pikir apa yang kurasakan saat ini lucu hah?” gerutunya lagi.
“You’re
so cute...”
“I’m
not CU~”
Aku pun kembali membungkam
kata-katanya dengan bibirku, aku hampir merasa tak perduli dengan rasa sakit
yang ia katakan barusan, tak kusangka orang yang selalu memaksaku akan
mengatakan hal seperti ini.
Meskipun ia tak
mengakuinya... tetap saja ia menikmati ciuman itu dan kembali memelukku erat.
“Aku
serius...” gumamnya
saat ia menjauhkan bibirnya dariku dan memelukku. “Aku akan benar-benar membuatkanmu teh...”
“Tapi...
aku nggak mau teh...”
“Ukh!
Please (Name/Lucy)...” mohonnya. “Jangan membuat ini jadi lebih sulit
untukku...” (pengen
pakai ‘keras’ tapi gimana ya)
Aku tak tahan melihatnya
tampak cute malam ini, hingga akhirnya membuatku menyetujui keinginannya. “Okay... as you wish, pelajarannya
dihentikan dulu...” gumamku lalu mendorongnya mundur agar aku bisa turun
dari meja bar dan ia membantu dengan memegangi pinggangku.
“But...
c-can you do this in my office, ketika kita sedang bekerja...” tanyannya.
“No~”
“Huh?”
“Are
you joking? Kantor itu tempat untuk bekerja...” Aku beranjak menuju tempat
memasak dan mulai memilih teh yang ada dilemari koleksi Levi, ada banyak jenis
teh yang ia simpan didalam lemari itu. “Lagi
pula... tanpa diserang pun kau sudah menyerangku duluan kan?”
“Umm...
kau benar... aku juga punya pekerjaan penting...” gumamnya pelan lalu beranjak
memelukku dari belakang.
“Pekerjaan
apa tepatnya?”
“Err~
Mengawasimu bekerja...?”
serunya lalu terkekeh pelan dan membantu memasakkan air dengan satu tangannya
yang bebas.
“Ah~
rupanya hal itu yang kau maksud ‘bekerja’? Atau lebih tepatnya adalah
menyergapku saat aku berada diruang arsip ketika Erwin memintaku mencarikan
berkas penting“ tanyaku
sambil memberinya dead glare yang dihiasi senyuman.
Ia menatapku diam, dan
pipinya kembali bersemu merah. “....makanya...
lain kali aku ingin kau yang menyerangku lebih dulu...”
“Ukh!
How come? You pervert!”
Sedang seru bercanda, tiba-tiba
seseorang masuk ke dapur membuatku dan Levi terdiam. Erwin menatap kami sambil
menggaruk bagian perutnya.
“Sorry...
aku Cuma mau ke toilet sebentar kok...” gumamnya lalu berjalan menuju toilet dan
kembali menguap lebar sambil mengucek matanya.
****
Besok paginya ketika semua
orang sudah terbangun (kecuali Hanji yang masih terkapar didalam kamar tamu),
Levi dengan lantang dan tegas memberi mereka semua hukuman untuk membersihkan apartemennya yang sangat
berantakan.
“Aku
akan memeriksa ulang pekerjaan kalian, pastikan tak ada satu debu pun yang
tersisa...”
gerutu Levi dari ruang tamu. Terdengar keluh kesah pelan dari teman-temanku.
Sementara itu aku dan Erwin
sedang duduk berdua dikursi meja makan. Aku tak bisa memakan sarapan itu saat
teman-temanku masih bekerja, dengan adanya Erwin bersamaku meminum teh pun jadi
terasa sangat berat. Ia sedang meminum teh bagiannya sambil membaca koran pagi,
sesekali ia menatapku, seolah meminta jawaban.
Hanya aku dan Erwin yang
diijinkan sarapan duluan dan semua sarapan itu dibuatkan oleh kekasihku... Levi
Ackerman.
To
Be Continue~~ (?)
makasih ka udah lanjut ceritanya.. kangen banget sama cerita kaka yang satu ini, bahkan aku harus baca ulang chapter 10 karena lupa cerita sebelumnya
ReplyDeleteMakasih cutie sudah mampir kepage ini ^^ haha tbh kaka juga harus baca ulang chapter 10 buat lanjutin ini, moga nggak hiatus lagi yah ;3
DeleteWahh syg bngt ga dilanjutin pdhl ceritanya us hiks :"
ReplyDeleteSama wehh, ngefans bgt sama ceritanya. Bagus bgt ini:"
Delete