Tuesday 2 August 2016

Perfect Punishment (Levi Ackerman x Reader) - Chapter 10

BY Unknown IN 3 comments



Perfect Punishment
(My Editor is a Devil)

Cast : Levi Ackerman x Reader
Genre : Romance, Mature
Language : Mix (Bahasa Indonesia - English)
Picture : I do not own the picture
NB : Tolong abaikan bahasa inggrisku yang payah ^^, I hope you like it

Chapter 10

Meskipun mataku terasa berat aku masih bisa merasakan tubuhku seperti sedang melayang ringan diudara, dan tangan kuat yang sedang menggendongku terasa hangat dan menyenangkan, aroma cologne yang segar itu memenuhi indra penciumanku.

Aku sudah sering mencium aroma ini dan cukup mengenalnya apalagi ketika berada di kantor, saat editorku berkeliaran disekitarku. Tak kusangka aku akan merasa sesenang ini hanya karena mengingat aroma ini adalah aroma cologne Levi Ackerman... ya, editorku yang dingin dan menyeramkan... Mr. Ackerman.

“Le-vi...?” Saat kubuka mataku, samar-samar kulihat wajah dingin dan datar tanpa ekspresi itu sedang menatap kearahku, ia tampak khawatir. Sangat jarang bisa melihat ekspresi wajah editorku yang seperti ini. Entah kenapa aku merasa senang.

“Don’t move!” gumam Levi. “Damn! Ternyata kau lumayan berat juga...” gerutunya lalu memperbaiki gendongannya sambil terus menyusuri koridor.

Dia terlihat sangat tampan, sejujurnya aku merasa sangat senang melihatnya muncul untuk menjemputku tapi aku kembali teringat sikapnya dikantor yang menyebalkan dan mengingatnya membuatku memasang wajah murung lagi.

“Are you okay?” tegur Levi lagi. “Apa ada yang sakit?” tanyanya dengan nada suara yang maskulin yang terdengar khawatir.

Aku hanya menggeleng pelan dan serangan berat dikepalaku muncul lagi. Damn! Aku terlalu banyak minum wine. “Put me down!” gumamku dengan suara mabuk yang terdengar malas.

“Tch... are you an idiot? I won’t!” tolaknya lalu memperbaiki gendongannya lagi.

Akupun mengernyitkan dahiku saat mendengar kata-kata egoisnya. “Wha... where are we?” gumamku dengan nada mulai meninggi lalu mulai menyipitkan mata mengamati sekelilingku. “Put me down I wanna go home!” gumamku keras saat melihat tempat itu bukan lorong apartemenku.

“Aku tak akan membiarkanmu pergi dengan kondisi seperti ini,” tolak Levi.

“It’s okay I’m fine! Jangan pedulikan aku, aku bisa mengatasinya. Biasanya kau akan mengejekku kan? Kenapa hari ini kau tidak melakukannya?” gerutuku tak jelas.

“Tch! Just shut up... no more question,” jawabnya.

Melihatnya tidak seperti biasanya membuatku risau. Tiba-tiba saja aku jadi tak menyukai perasaan yang kupunya untuknya saat ini. “Put me down,” pintaku lalu mulai berontak. “Levi! Let me go...”

“Hey... calm down!” gumam Levi lalu tiba-tiba ia menurunkanku begitu saja dari gendongannya.

Saat kakiku menyentuh lantai tubuhku langsung oleng dan menghantam dinding yang dingin, secepat kilat Levi menggamit lenganku. “You moron! Did you see that? You need me (Name) and no excuses,” gerutunya lagi lalu menggendongku paksa.

Aku hanya bisa menatap wajahnya diam, ia tak menggubris kebisuanku dan terus berjalan disepanjang koridor sepi itu. “Kau membawaku kemana?”

Tiba-tiba Levi menghentikan langkahnya didepan sebuah pintu, lalu jari-jarinya berusaha memencet tombol-tombol yang ada didekat pintu itu dan tak lama kemudian terdengar bunyi ‘klik’.

“Ini apartemenku,” gumamnya lalu tersenyum usil.

“P-put me down!” pekikku lalu mulai memukulinya.

“Damn! Don’t hit me like that you little shitty brat!” gerutunya lalu membuka pintu dan bergegas masuk kedalam sebelum aku mulai membuat keributan di koridor luar. Ia langsung mendorong pintu hingga tertutup dengan kakinya lalu bergegas membawaku ke sofa ruang tamunya.

“Just put me down!! Shorty!!” pekikku.

Kami sedang berada di area ruang tamu saat Levi menurunkanku secara tiba-tiba dari gendongannya. Tubuhku kembali oleng lalu aku pun terduduk di sofanya dan rasa nyut-nyut dan berat langsung menyerang kepalaku lagi, refleks, aku pun memegangi kepalaku dan memijatnya pelan.

“I’m sorry...” gumam Levi panik lalu memegangi kepalaku dan berjongkok menatapku. “Please lay down... I’ll take some water for you,” gumamnya cemas.

Aku menatapnya dengan dahi berkerut tanpa reaksi lalu menarik bantalan sofa dan merebahkan diriku disana. Levi bangkit dan beranjak pergi meninggalkanku. Ia membuka jasnya dan melemparnya begitu saja ke atas sofa dan ia juga membuka dasinya, menggulungnya rapi lalu menaruhnya diatas meja. “Don’t go anywhere...” gumamnya lagi lalu beranjak menuju dapur.

Terdengar bunyi-bunyian di dapur dan tak lama kemudian ia muncul kembali dengan sebuah nampan dan segelas air putih. Ia mengambil gelas itu dan menaruh nampannya di atas meja lalu berjongkok lagi dan menatapku.

“Minum ini,” pintanya sambil membantuku agar kembali duduk lalu ia menyodorkan gelas itu padaku.

Kuraih gelas itu dan meminum isinya tanpa berkata apa-apa. “Thanks,” gumamku lalu menyerahkan lagi gelas itu padanya. Ia meraihnya tanpa komplain dan meletakkan gelas itu dimeja. “I wanna sleep..” Aku hendak berbaring lagi di sofa namun Levi mencegahku.

“No. Kau tidak boleh tidur disini,” gumamnya lalu menarik lenganku agar aku kembali terduduk.

“But... I want... HEY!!” Levi membopongku dibahunya dan membawaku pergi menjauh dari ruang tamu. “Shorty!! Put me down!!”

“Shit! You called me Shorty?! How brave!!” gerutunya.

“Let me go you idiot!” geramku sambil memukuli punggungnya.

“Oh you’re so brave called me an idiot!! Don’t you think I’d let you win this time because you’re drunk!” gumamnya kesal.

“Hey! Shorty!!! Don’t you hear me?!” Ia membuka sebuah pintu dan ada kasur dengan seprai putih yang rapi di sudut ruangan.

“No! I can’t hear your damn business!!” gumamnya keras, menolak untuk menghiraukanku.

“You can’t do this to me Moron, I LIKE YOU!”

Tubuhku terhempas di atas kasur yang nyaman dan lembut itu. Perlahan kasur itu bergerak turun naik dan kulihat wajah Levi tepat berada di atasku, menatapku dengan tatapan tegang tak percaya. Lengannya berada di kedua sisi tubuhku, mengurungku.

“What did you say?” gumam Levi.

Kututup wajahku dengan kedua tanganku dan bergumam pelan dengan perasaan sedih. “Aahh.. my head... I just wanna go home, please Levi... let me go...”

Levi hanya diam menatapku. “Tch... You scared me...” bisiknya. Tangannya menyentuh salah satu tanganku dan menjauhkannya dari wajahku. Mata kami akhirnya saling bertatapan dan saat itu tak ada kata-kata yang terdengar hanya suara hembusan napas. “Don’t try to meet him again please...” bisiknya.

Aku langsung terkekeh saat mendengar kata-katanya. “What do you mean? Who?”

“Siapa saja... jangan pergi kencan dengan pria mana pun,”

Aku terkekeh lagi. “Why? You talk nonsense... sir, its not your business...” gumamku sambil tersenyum karena mabuk. Bagiku Levi terdengar seperti sedang mengatakan lelucon. Tapi Levi tak berkata apa-apa sebagai balasannya ia hanya menatapku dengan sorot mata rindu, aku tak pernah melihatnya seperti ini. “Apa kau akan memukulku...sekarang?” gumamku polos.

Ia tak berkata apa-apa. Jari-jarinya yang dingin menyentuh pipiku lalu perlahan bergerak mengelus rambutku. Jantungku berdentum cepat saat memikirkan apa yang akan ia lakukan padaku selanjutnya.Bibirnya yang hangat pun perlahan menyentuh bibirku, sejenak aku terkejut.

Aku tak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Biasanya Levi akan mencium dengan tiba-tiba dan langsung bergerak liar. Tapi saat ini bibirnya yang bergerak lembut benar-benar terasa sangat menyenangkan hatiku.

Hembusan napasnya yang hangat menerpa kulitku saat kami berciuman, ia memberiku kecupan-kecupan kecil sebelum akhirnya menyelipkan lidahnya masuk diantara bibirku.

Detik berikutnya aku hanya terpejam, menerima kehangatannya dan membalas ciuman itu. Aku tenggelam dalam permainannya saat kami berdua mulai saling membalas dan tanganku menggapai kepalanya dan menarik pelan rabutnya. Levi menghentikan ciumannya dan mengakhirinya dengan gigitan pelan pada bagian bawah bibirku lalu mengecup daguku lembut.

“What’s that?” bisikku.

Levi tersenyum manis saat mendengarnya. “Are you an idiot? How can I possibly beat you up... I had more interesting way to punish naughty girl like you,” gumamnya lembut.

Sejenak kami bertatapan. “Not when you drunk,” gumamnya pelan lalu ia akhirnya beranjak menjauh dariku. “I’ll give you some punishment when you feel much better,” gumamnya dengan wajah tanpa ekspresinya lalu ia membuka pintu lain yang ternyata adalah lemari.

Aku terduduk di kasurnya dengan jantung masih berdebar keras dan otak tak fokus, kutatap pintu itu tanpa berpikir apa-apa, tak lama kemudian Levi keluar dan ditangannya ada sesuatu. “Change your clothes,” serunya sambil menyodorkan pakaian itu padaku.

“Heh?” tanyaku bodoh.

Levi kembali mendekatkan wajahnya padaku dan tersenyum usil. “You tasted like alcohol and it’s not good for me... let’s change your clothes and go to sleep,” bisiknya. Kutatap wajahnya dengan perasaan khawatir dan menelan liurku dengan susah payah. “Or... you can wish me to help you?” gumamnya lalu tersenyum iseng.

“N-NO~! I can do it by my self! Jangan coba-coba mengintipku oke?” gumamku mabuk dengan senyuman lebar diwajahku.

Levi mengerutkan dahinya lalu menghela napas panjang. “Oh shit! It sounds interesting! Tapi jangan mengatakannya dengan wajah bahagia seperti itu! You make me sick! ” gerutunya lalu beranjak menjauh dan membuka pintu yang ada didepan kami. “Ini kamar mandi, kau bisa ganti baju di dalam lalu setelah itu tidur, aku akan keluar dari sini, hati-hati dengan langkahmu,”

“Thank’s... Levi,” gumamku ceria sambil tersenyum tak jelas .

Levi menatapku sejenak lalu beranjak menuju pintu kamar dan menutupnya dari luar. “Damn.. I’m so stupid! Why I kissed her when she was drunk? Shit! I need cold water...”

****

Aku pun melewatkan malam itu tertidur pulas didalam kamar Levi Ackerman, tanpa peringatan, kurang waspada terhadap diriku sendiri dan seharusnya aku tak tidur dikamar bosku.

Next morning...

“Riingggg~ riiiingggg~....”

Suara dering ponsel itu sungguh menggangguku. Seseorang tolong matikan telepon itu aku masih ingin tidur lebih lama lagi.

“Riiinggg~ riiingggg~...”

Pleaseee ....

Kuambil bantal lain yang ada disisi tubuhku lalu menutup telingaku, namun ternyata hal itu tidak berpengaruh banyak. Suara ponsel itu masih mengiang keras dikepalaku.

Pleaseeee....

Terdengar suara pintu dibuka dan suara dering ponsel itu pun terhenti.

Finally....

“Halo? Good morning! Ah... sorry, aku baru saja selesai mandi....” gumam seseorang. “Ah... ya... semalam aku melewatkannya, ada hal penting yang tak bisa kutinggalkan....” lanjutnya lagi. “Ya... jangan khawatir aku sudah memberitahu mereka dan menjadwal ulang pertemuannya, aku juga masih harus menyelesaikan beberapa berkas yang mereka minta....”

Who’s he...?

“Don’t worry... aku akan mengabarimu saat semua sudah beres... okay...”

Pria itu mengakhiri pembicaraannya ditelepon dan kemudian kudengar suara pintu lain dibuka, dengan cepat kujauhkan bantal itu dari kepalaku dan menatap pintu yang tertutup. Aku sama sekali tak ingat alasan kenapa aku bisa berada di kamar ini, yang kuingat hanya aku sedang makan malam dengan Klaus.

Apa ini kamar Klaus...?

Tak ada seorang pun dalam ruangan itu dan saat kuperhatikan ruangan itu dengan seksama aku pun sadar bahwa semalam aku tak tidur di dalam kamar apartemenku.

Kamar itu terlihat sangat rapi dan bersih, ruangannya di cat putih dan minus perabotan, ada beberapa rak buku, lalu meja kaca yang diatasnya tergeletak jam tangan, kunci mobil dan juga tasku. Disudut lain ada pot bunga yang terlihat segar, sepertinya pemiliknya selalu merawatnya setiap hari, dan ada beberapa lukisan abstrak di dinding yang terlihat mahal.

Ruangan ini sangat nyaman dan besar, aku tak ingin memikirkan kemungkinan semalam aku telah tidur dengan pria yang baru kukenal. Damn! Aku bahkan tidak mengenakan pakaianku sendiri!? Bagaimana aku bisa memakai kemeja pria?! Mana pakaianku?!

Saat sedang merasa panik, pintu lain terbuka dan seseorang keluar dari ruangan itu. Ia sedang mengeringkan kepalanya dengan handuk dan tidak mengenakan pakaian hanya celana panjangnya saja. Levi menatap tajam kearahku.

“Good morning,” sapanya, lalu ia berjalan menuju meja kaca dan meletakkan ponselnya. Ia beranjak menuju jendela dan membuka tirainya, sinar putih itu langsung menyakiti mataku.

“A-ah good morning...” balasku terbata-bata.

“Bagaimana keadaanmu? Apa kau baik-baik saja?” tanyanya lagi.

“I don’t know...” jawabku pelan lalu membuang muka dan berbicara tanpa menatapnya.

“Hmmm? Apa maksudmu? Kenapa kau melihat kearah lain saat menjawab pertanyaanku?” protesnya lagi lalu berjalan mendekati kasur.

Damn! Bagaimana mungkin aku melihatnya saat ia hanya mengenakan celana panjang dengan bagian tubuh atas terekspos seperti itu. Bosku punya bentuk tubuh yang sangat bagus... shit! Ini bukan saatnya untuk memuji... aku harus pergi dari sini, segera!

“Where am I?” tanyaku bodoh.

“My room...” jawab Levi cepat.

“H-how can I possibly... where’s Klaus?”

Damn! Another weird question!

“I don’t know,” balas Levi dengan nada suara tak suka. “Kalau kau mencari Klaus kau tak akan menemukannya ditempat ini,” sambungnya lagi.

“Kenapa aku bisa ada dikamarmu?”

“Jadi kau lebih suka berada di dalam kamar Klaus?” tanyanya balik, ia menatapku tajam dengan handuk masih ada diatas kepalanya dan kedua tangan berada dipinggang.

“N-no... Bukan begitu maksudku...”

“Lalu kenapa kau mencarinya?” serangnya lagi.

“Ca-can you please wear your clothes first?”

“Why?” gumamnya lalu menarik handuk dari kepalanya dan berjalan semakin mendekat. Rambutnya berantakan namun hal itu tak memberinya nilai minus. “Ini kamarku terserah aku ingin pakai baju atau tidak,”

“I-I know! J-just wear all of them, okay?” gumamku keras. Levi mendecak sebal sambil menghela napas panjang lalu beranjak menuju lemarinya lagi dan ia berhasil membuatku memalingkan wajahku kearah lain.

“You know... kalau kau ingin lihat tubuhku ya lihat saja... kenapa harus menyianyiakan pemandangan indah ini sambil memasang wajah semerah itu?” gumamnya dari dalam lemarinya dan beberapa detik kemudian ia keluar dengan tangan menggenggam baju kaos berwarna putih.

“Stop talking weird stuff... please wear your clothes, sir!” pintaku lagi.

Levi memasang pakaiannya lalu beranjak duduk di kasur membelakangiku. “Don’t call me ‘sir’ when you around me,” gumamnya pelan. “How do you feel now?”

“I’m fine...”

“Ah, sounds good,” Levi beranjak dari kasur dan berjalan menuju pintu.

“Wait...” panggilku. Levi yang baru saja membuka kenop pintu berbalik menatapku.

“What?”

“Did something happen last night? Between us?”

Levi menatapku diam untuk beberapa saat lalu dia tersenyum penuh arti. “I don’t know... maybe. Kau pikir saja sendiri...” gumamnya iseng. “Aku akan membuatkan sarapan,” serunya lalu menutup pintu dan membiarkanku sendirian.

Damn!!

****

Aku tak bisa menemukan pakaianku didalam ruangan itu dan hanya merapikan pakaian yang masih kupakai lalu mencuci muka, menggosok gigi dengan sikat gigi baru yang diletakkan Levi didekat sikat giginya, terakhir, kusisir rambutku yang ternyata sangat berantakan.

Tak kusangka aku akan terbangun dikamar seorang pria dengan penampilan kacau seperti ini, bahkan dia juga sempat merayuku dengan kata-kata yang akan membuatku malu selamanya. Unlucky...

Ini hanya satu tragedi, aku tak boleh punya hubungan dengan editorku. Levi pasti tak akan menganggap hal ini dengan serius, aku hanya harus bersikap ini bukanlah masalah besar. Ah... bisakah aku bersikap seolah tak terjadi apapun?

Setelah merapikan tempat tidur aku pun keluar dari kamar itu. Ruang santai yang besar dan nyaman langsung menyambutku, ruangan itu didominasi dengan warna putih, hitam dan abu-abu. Aku pun beranjak menuju dapur untuk melihat apa yang sedang dilakukan Levi. Ia sedang memasak sesuatu.

“Levi...” panggilku. Dia berbalik dan mengamatiku dengan pisau ditangannya. Ia tak menjawab hanya menaikkan satu alisnya.

“Bisakah kau meminjamiku celana? Umm, kemeja ini agak... pendek,” gumamku.

Ia terkekeh geli saat melihatku lalu kembali menyibukkan diri dengan pekerjaannya. “Kurasa kau lebih bagus seperti itu,” gumamnya santai. “Duduklah, aku masih menyiapkan bahannya,” pintanya.

“Aku tak tahu apa aku harus berterima kasih padamu atau mencacimu...” gumamku sambil tersenyum nanar. Lalu menarik kursi dan duduk didepan meja bar.

Levi beralih menuju kulkas dan mengeluarkan sebotol susu segar dan menuang isinya kedalam sebuah gelas. Ia menaruh gelas itu dimeja dan menyodorkannya padaku.

“Kau boleh melakukan apa saja padaku...” gumamnya dengan suaranya yang maskulin, senyuman iseng menghiasi wajahnya. “Aku tak akan protes...”

“Termasuk memukulmu?” gumamku dengan senyuman dingin.

“Ah itu... Tentu saja boleh, tapi kau harus dapat bayaran yang setimpal, aku akan balas memukulmu... kau tahu? Tentu saja dengan cara yang berbeda,” balasnya dengan sorot mata jahil. “Berhentilah menggerutu dan cepat minum susumu!” suruhnya dingin lalu berbalik dan kembali fokus pada masakannya.

“Apa kau meracuninya?”

Damn! Kenapa aku malah bersikap kekanakan, seperti ini??

Levi mematikan kompornya dan berbalik menatap mataku, ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat padaku. “Aku bisa memastikannya untuk kalau kau mau... princess?”

“No!” gumamku sebal lalu menunduk, menjauh dari pandangannya. “Aku bisa meminumnya sendiri, lagipula ini hanya susu, tak mungkin kau meracuniku karena sepertinya susu adalah minuman favoritmu dipagi hari,”

Kuminum susu itu sampai habis sementara Levi terus mengamatiku, sikapnya membuatku jengah.

“Ini,” serunya sambil menyodorkan sehelai tisu. “Jangan minum susu seperti anak kecil, bibirmu jadi belepotan, merusak pemandangan saja”

“Sorry!” gumamku sedikit sebal lalu melap bibirku kasar.

“Tch!” decak Levi ia meyodorkan tangannya kearahku seolah hendak menggapaiku.

“Wh-wha...”

Jari-jarinya menyentuh sudut bibirku dan menyapu pelan bagian itu. “Jangan mengasari dirimu sendiri, moron!” bisiknya pelan lalu menjauhkan tangannya dariku. Kutelan ludahku dengan susah payah.

“So... bagaimana dengan pertemuanmu tadi malam? Apa kau berhasil mendapatkan tender itu?” tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan.

Levi langsung memasang wajah dingin tanpa ekspresinya. “It’s not your business...” gumamnya kaku, lalu berbalik dan mengambil piring dari raknya.

“Ya kau benar itu bukan urusanku, tapi seharusnya kau juga tak mencampuri urusanku benarkan?”

“Itu masalah yang berbeda...”

“Bagiku itu masalah yang sama...”

“Jadi kau lebih suka ditiduri pria yang baru kau kenal?” potong Levi kasar.

Aku terdiam menatap punggung Levi.

“Kau tahu... kupikir sebaiknya aku pergi saja, kurasa aku sudah mengganggu harimu, sir...” gumamku pelan lalu turun dari kursi bar yang kududuki. “Ah, seharusnya aku pergi kekantor hari ini, aku akan menelepon Petra. Terima kasih karena sudah membiarkanku menginap, aku akan pergi setelah menemukan pakaianku...”

Kuputuskan untuk beranjak pergi dari dapur, sejujurnya aku ingin berterima kasih dengan cara yang layak padanya. Tapi sepertinya percuma, dia bahkan tidak menatapku dan mengatakan kenyataan bahwa dia melewatkan pertemuan tadi malam, aku ingin tahu apa aku yang menyebabkan kegagalannya atau tidak. Aku akan merasa bersalah padanya dan Erwin jika mereka gagal mendapatkan dana yang mereka butuhkan.

“Hei drunkass...” Levi menarikku hingga punggungku membentur dadanya. Jantungku berdentum cepat, aku tak mengerti apa yang sedang terjadi. Tapi kulihat kedua lengan Levi telah melingkar erat ditubuhku dan wajahnya terbenam didekat bahuku.

“Le... Levi...? What happen?” gumamku pelan.

“I’m sorry,” bisiknya pelan lalu mengecup bahuku lembut. Suaranya yang maskulin terdengar sangat dekat ditelingaku. “Please don’t go, stay here a bit longer...”

“Wha-what is this?”

“ This means... Kau tidak boleh pergi sebelum kuijinkan...”

“And... what does it mean?”

“I’ll tell you everything but not for free. You have to give me something in return,”

“Damn you! Aku pergi sekarang!”

“Hey wait!!!” Levi menarikku lagi hingga tubuhku berbalik menghadapnya. “I’m just joking... don’t be so mad”

“And I’m so serious about it why you..”

Sebuah kecupan kecil mendarat dibibirku, membuatku terdiam kaget. Wajah kami berdua sangat dekat saat mata kami bertemu dan saling bertatapan, jantungku berdebum kuat saat Levi memelukku dan membenamkan kepalaku didadanya.

“Me too... I’m serious about you.... please stay,” pintanya. “You right... aku memang melewatkan pertemuan malam itu,” serunya. Aku tak tahu harus bereaksi apa saat mendengar kata-katanya, sikap Levi terlalu manis dan aku menyukainya.

“Ok I’ll stay... Ummm, bisakah kita makan sekarang?” gumamku sambil menatapnya awkward.

“Aku punya makanan pembuka spesial yang sangat enak...” bisiknya pelan. Kata-katanya mmembuat mataku menatap lurus pada bibirnya yang menawan. Perlahan ia kembali mendekatkan wajahnya padaku dan bibirnya terbuka sedikit saat ia akan menempelkannya lagi dibibirku. Jarak diantara kami semakin menipis dan...

Ting tong~

Aku dan Levi mematung di tempat kami berdiri. “Damn! Seriously?” gumam Levi pada dirinya sendiri.

Ting tong~ Ting tong~ Ting tong~

Bel itu berbunyi bersahutan tanpa henti. “Oh shit! Siapa yang datang mengganggu disaat seperti ini?” gerutunya kesal.

“Lebih baik kau segera memeriksanya, sebelum dia menghancurkan bel rumahmu,” gumamku mencoba mencairkan suasana.

Levi beranjak menuju ruang tengah sementara aku mengikuti dibelakangnya. Ia menyalakan interkom dan memeriksa tamu yang datang.

“Itu Erwin! Apa yang dia lakukan disini?”

“Pasti dia ingin membicarakan sesuatu denganmu,”

Levi menatapku dengan ekspresi dingin lalu ia pun mulai menyapa Erwin dan meminta pria itu agar menunggu sebentar lalu Levi menatapku lagi. “Kau siap bertemu dengannya?”

“Ah... kupikir itu bukan ide yang bagus...” gumamku pelan.

Levi menarikku menuju kamarnya. “Tunggulah disini, aku akan segera kembali,” gumamnya. “Kau bisa memainkan sesuatu di laptopku agar tidak merasa bosan selagi menunggu,” serunya sambil mengeluarkan laptop miliknya dan menaruhnya diatas kasur.

Ia menatapku lagi sebelum keluar dari kamar dan menutup pintu. “Just go... kau membuat Erwin menunggu lama,” pintaku.

“Ok... whatever! Aku akan segera kembali,”

****

Continue to Chapter 11


3 comments: