Perfect
Punishment
(My
Editor is a Devil)
Cast
: Levi Ackerman x Reader
Genre
: Romance, Mature
Language
: Mix (Bahasa Indonesia - English)
Picture : I do not own the picture
NB
: Tolong abaikan bahasa inggrisku yang payah ^^, I hope you like it
Chapter
10
Meskipun
mataku terasa berat aku masih bisa merasakan tubuhku seperti sedang melayang
ringan diudara, dan tangan kuat yang sedang menggendongku terasa hangat dan
menyenangkan, aroma cologne yang segar itu memenuhi indra penciumanku.
Aku
sudah sering mencium aroma ini dan cukup mengenalnya apalagi ketika berada di
kantor, saat editorku berkeliaran disekitarku. Tak kusangka aku akan merasa sesenang
ini hanya karena mengingat aroma ini adalah aroma cologne Levi Ackerman... ya,
editorku yang dingin dan menyeramkan... Mr. Ackerman.
“Le-vi...?”
Saat kubuka mataku, samar-samar kulihat wajah dingin dan datar tanpa ekspresi
itu sedang menatap kearahku, ia tampak khawatir. Sangat jarang bisa melihat
ekspresi wajah editorku yang seperti ini. Entah kenapa aku merasa senang.
“Don’t
move!” gumam Levi. “Damn! Ternyata kau lumayan berat juga...” gerutunya lalu
memperbaiki gendongannya sambil terus menyusuri koridor.
Dia
terlihat sangat tampan, sejujurnya aku merasa sangat senang melihatnya muncul
untuk menjemputku tapi aku kembali teringat sikapnya dikantor yang menyebalkan
dan mengingatnya membuatku memasang wajah murung lagi.
“Are
you okay?” tegur Levi lagi. “Apa ada yang sakit?” tanyanya dengan nada suara
yang maskulin yang terdengar khawatir.
Aku
hanya menggeleng pelan dan serangan berat dikepalaku muncul lagi. Damn! Aku
terlalu banyak minum wine. “Put me down!” gumamku dengan suara mabuk yang
terdengar malas.
“Tch...
are you an idiot? I won’t!” tolaknya lalu memperbaiki gendongannya lagi.
Akupun
mengernyitkan dahiku saat mendengar kata-kata egoisnya. “Wha... where are we?”
gumamku dengan nada mulai meninggi lalu mulai menyipitkan mata mengamati
sekelilingku. “Put me down I wanna go home!” gumamku keras saat melihat tempat
itu bukan lorong apartemenku.
“Aku
tak akan membiarkanmu pergi dengan kondisi seperti ini,” tolak Levi.
“It’s
okay I’m fine! Jangan pedulikan aku, aku bisa mengatasinya. Biasanya kau akan
mengejekku kan? Kenapa hari ini kau tidak melakukannya?” gerutuku tak jelas.
“Tch! Just
shut up... no more question,” jawabnya.
Melihatnya
tidak seperti biasanya membuatku risau. Tiba-tiba saja aku jadi tak menyukai
perasaan yang kupunya untuknya saat ini. “Put me down,” pintaku lalu mulai
berontak. “Levi! Let me go...”
“Hey...
calm down!” gumam Levi lalu tiba-tiba ia menurunkanku begitu saja dari
gendongannya.
Saat
kakiku menyentuh lantai tubuhku langsung oleng dan menghantam dinding yang
dingin, secepat kilat Levi menggamit lenganku. “You moron! Did you see that?
You need me (Name) and no excuses,” gerutunya lagi lalu menggendongku paksa.
Aku
hanya bisa menatap wajahnya diam, ia tak menggubris kebisuanku dan terus
berjalan disepanjang koridor sepi itu. “Kau membawaku kemana?”
Tiba-tiba
Levi menghentikan langkahnya didepan sebuah pintu, lalu jari-jarinya berusaha
memencet tombol-tombol yang ada didekat pintu itu dan tak lama kemudian
terdengar bunyi ‘klik’.
“Ini
apartemenku,” gumamnya lalu tersenyum usil.
“P-put
me down!” pekikku lalu mulai memukulinya.
“Damn!
Don’t hit me like that you little shitty brat!” gerutunya lalu membuka pintu
dan bergegas masuk kedalam sebelum aku mulai membuat keributan di koridor luar.
Ia langsung mendorong pintu hingga tertutup dengan kakinya lalu bergegas
membawaku ke sofa ruang tamunya.
“Just
put me down!! Shorty!!” pekikku.
Kami
sedang berada di area ruang tamu saat Levi menurunkanku secara tiba-tiba dari
gendongannya. Tubuhku kembali oleng lalu aku pun terduduk di sofanya dan rasa
nyut-nyut dan berat langsung menyerang kepalaku lagi, refleks, aku pun
memegangi kepalaku dan memijatnya pelan.
“I’m
sorry...” gumam Levi panik lalu memegangi kepalaku dan berjongkok menatapku. “Please
lay down... I’ll take some water for you,” gumamnya cemas.
Aku
menatapnya dengan dahi berkerut tanpa reaksi lalu menarik bantalan sofa dan
merebahkan diriku disana. Levi bangkit dan beranjak pergi meninggalkanku. Ia
membuka jasnya dan melemparnya begitu saja ke atas sofa dan ia juga membuka
dasinya, menggulungnya rapi lalu menaruhnya diatas meja. “Don’t go anywhere...”
gumamnya lagi lalu beranjak menuju dapur.
Terdengar
bunyi-bunyian di dapur dan tak lama kemudian ia muncul kembali dengan sebuah
nampan dan segelas air putih. Ia mengambil gelas itu dan menaruh nampannya di
atas meja lalu berjongkok lagi dan menatapku.
“Minum
ini,” pintanya sambil membantuku agar kembali duduk lalu ia menyodorkan gelas
itu padaku.
Kuraih
gelas itu dan meminum isinya tanpa berkata apa-apa. “Thanks,” gumamku lalu
menyerahkan lagi gelas itu padanya. Ia meraihnya tanpa komplain dan meletakkan
gelas itu dimeja. “I wanna sleep..” Aku hendak berbaring lagi di sofa namun
Levi mencegahku.
“No.
Kau tidak boleh tidur disini,” gumamnya lalu menarik lenganku agar aku kembali
terduduk.
“But...
I want... HEY!!” Levi membopongku dibahunya dan membawaku pergi menjauh dari
ruang tamu. “Shorty!! Put me down!!”
“Shit!
You called me Shorty?! How brave!!” gerutunya.
“Let
me go you idiot!” geramku sambil memukuli punggungnya.
“Oh
you’re so brave called me an idiot!! Don’t you think I’d let you win this time
because you’re drunk!” gumamnya kesal.
“Hey!
Shorty!!! Don’t you hear me?!” Ia membuka sebuah pintu dan ada kasur dengan
seprai putih yang rapi di sudut ruangan.
“No! I
can’t hear your damn business!!” gumamnya keras, menolak untuk menghiraukanku.
“You
can’t do this to me Moron, I LIKE YOU!”
Tubuhku
terhempas di atas kasur yang nyaman dan lembut itu. Perlahan kasur itu bergerak
turun naik dan kulihat wajah Levi tepat berada di atasku, menatapku dengan
tatapan tegang tak percaya. Lengannya berada di kedua sisi tubuhku,
mengurungku.
“What
did you say?” gumam Levi.
Kututup
wajahku dengan kedua tanganku dan bergumam pelan dengan perasaan sedih. “Aahh..
my head... I just wanna go home, please Levi... let me go...”
Levi
hanya diam menatapku. “Tch... You scared me...” bisiknya. Tangannya menyentuh
salah satu tanganku dan menjauhkannya dari wajahku. Mata kami akhirnya saling
bertatapan dan saat itu tak ada kata-kata yang terdengar hanya suara hembusan
napas. “Don’t try to meet him again please...” bisiknya.
Aku
langsung terkekeh saat mendengar kata-katanya. “What do you mean? Who?”
“Siapa
saja... jangan pergi kencan dengan pria mana pun,”
Aku
terkekeh lagi. “Why? You talk nonsense... sir, its not your business...”
gumamku sambil tersenyum karena mabuk. Bagiku Levi terdengar seperti sedang
mengatakan lelucon. Tapi Levi tak berkata apa-apa sebagai balasannya ia hanya
menatapku dengan sorot mata rindu, aku tak pernah melihatnya seperti ini. “Apa
kau akan memukulku...sekarang?” gumamku polos.
Ia tak
berkata apa-apa. Jari-jarinya yang dingin menyentuh pipiku lalu perlahan
bergerak mengelus rambutku. Jantungku berdentum cepat saat memikirkan apa yang
akan ia lakukan padaku selanjutnya.Bibirnya yang hangat pun perlahan menyentuh
bibirku, sejenak aku terkejut.
Aku
tak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Biasanya Levi akan mencium dengan
tiba-tiba dan langsung bergerak liar. Tapi saat ini bibirnya yang bergerak
lembut benar-benar terasa sangat menyenangkan hatiku.
Hembusan
napasnya yang hangat menerpa kulitku saat kami berciuman, ia memberiku
kecupan-kecupan kecil sebelum akhirnya menyelipkan lidahnya masuk diantara
bibirku.
Detik
berikutnya aku hanya terpejam, menerima kehangatannya dan membalas ciuman itu.
Aku tenggelam dalam permainannya saat kami berdua mulai saling membalas dan
tanganku menggapai kepalanya dan menarik pelan rabutnya. Levi menghentikan
ciumannya dan mengakhirinya dengan gigitan pelan pada bagian bawah bibirku lalu
mengecup daguku lembut.
“What’s
that?” bisikku.
Levi
tersenyum manis saat mendengarnya. “Are you an idiot? How can I possibly beat
you up... I had more interesting way to punish naughty girl like you,” gumamnya
lembut.
Sejenak
kami bertatapan. “Not when you drunk,” gumamnya pelan lalu ia akhirnya beranjak
menjauh dariku. “I’ll give you some punishment when you feel much better,”
gumamnya dengan wajah tanpa ekspresinya lalu ia membuka pintu lain yang ternyata
adalah lemari.
Aku
terduduk di kasurnya dengan jantung masih berdebar keras dan otak tak fokus,
kutatap pintu itu tanpa berpikir apa-apa, tak lama kemudian Levi keluar dan
ditangannya ada sesuatu. “Change your clothes,” serunya sambil menyodorkan pakaian
itu padaku.
“Heh?”
tanyaku bodoh.
Levi
kembali mendekatkan wajahnya padaku dan tersenyum usil. “You tasted like alcohol
and it’s not good for me... let’s change your clothes and go to sleep,”
bisiknya. Kutatap wajahnya dengan perasaan khawatir dan menelan liurku dengan
susah payah. “Or... you can wish me to help you?” gumamnya lalu tersenyum
iseng.
“N-NO~!
I can do it by my self! Jangan coba-coba mengintipku oke?” gumamku mabuk dengan
senyuman lebar diwajahku.
Levi mengerutkan
dahinya lalu menghela napas panjang. “Oh shit! It sounds interesting! Tapi jangan mengatakannya dengan wajah bahagia seperti itu! You make me sick! ” gerutunya lalu beranjak menjauh dan membuka pintu yang ada didepan kami. “Ini kamar
mandi, kau bisa ganti baju di dalam lalu setelah itu tidur, aku akan keluar
dari sini, hati-hati dengan langkahmu,”
“Thank’s...
Levi,” gumamku ceria sambil tersenyum tak jelas .
Levi menatapku
sejenak lalu beranjak menuju pintu kamar dan menutupnya dari luar. “Damn.. I’m
so stupid! Why I kissed her when she was drunk? Shit! I need cold water...”
****
Aku pun
melewatkan malam itu tertidur pulas didalam kamar Levi Ackerman, tanpa
peringatan, kurang waspada terhadap diriku sendiri dan seharusnya aku tak tidur
dikamar bosku.
Next morning...
“Riingggg~
riiiingggg~....”
Suara
dering ponsel itu sungguh menggangguku. Seseorang
tolong matikan telepon itu aku masih ingin tidur lebih lama lagi.
“Riiinggg~
riiingggg~...”
Pleaseee ....
Kuambil
bantal lain yang ada disisi tubuhku lalu menutup telingaku, namun ternyata hal
itu tidak berpengaruh banyak. Suara ponsel itu masih mengiang keras dikepalaku.
Pleaseeee....
Terdengar
suara pintu dibuka dan suara dering ponsel itu pun terhenti.
Finally....
“Halo?
Good morning! Ah... sorry, aku baru saja selesai mandi....” gumam seseorang. “Ah...
ya... semalam aku melewatkannya, ada hal penting yang tak bisa
kutinggalkan....” lanjutnya lagi. “Ya... jangan khawatir aku sudah memberitahu
mereka dan menjadwal ulang pertemuannya, aku juga masih harus menyelesaikan
beberapa berkas yang mereka minta....”
Who’s he...?
“Don’t
worry... aku akan mengabarimu saat semua sudah beres... okay...”
Pria
itu mengakhiri pembicaraannya ditelepon dan kemudian kudengar suara pintu lain
dibuka, dengan cepat kujauhkan bantal itu dari kepalaku dan menatap pintu yang
tertutup. Aku sama sekali tak ingat alasan kenapa aku bisa berada di kamar ini,
yang kuingat hanya aku sedang makan malam dengan Klaus.
Apa ini kamar Klaus...?
Tak
ada seorang pun dalam ruangan itu dan saat kuperhatikan ruangan itu dengan
seksama aku pun sadar bahwa semalam aku tak tidur di dalam kamar apartemenku.
Kamar
itu terlihat sangat rapi dan bersih, ruangannya di cat putih dan minus perabotan,
ada beberapa rak buku, lalu meja kaca yang diatasnya tergeletak jam tangan,
kunci mobil dan juga tasku. Disudut lain ada pot bunga yang terlihat segar,
sepertinya pemiliknya selalu merawatnya setiap hari, dan ada beberapa lukisan
abstrak di dinding yang terlihat mahal.
Ruangan
ini sangat nyaman dan besar, aku tak ingin memikirkan kemungkinan semalam aku
telah tidur dengan pria yang baru kukenal. Damn! Aku bahkan tidak mengenakan
pakaianku sendiri!? Bagaimana aku bisa memakai kemeja pria?! Mana pakaianku?!
Saat
sedang merasa panik, pintu lain terbuka dan seseorang keluar dari ruangan itu.
Ia sedang mengeringkan kepalanya dengan handuk dan tidak mengenakan pakaian
hanya celana panjangnya saja. Levi menatap tajam kearahku.
“Good
morning,” sapanya, lalu ia berjalan menuju meja kaca dan meletakkan ponselnya.
Ia beranjak menuju jendela dan membuka tirainya, sinar putih itu langsung
menyakiti mataku.
“A-ah
good morning...” balasku terbata-bata.
“Bagaimana
keadaanmu? Apa kau baik-baik saja?” tanyanya lagi.
“I
don’t know...” jawabku pelan lalu membuang muka dan berbicara tanpa menatapnya.
“Hmmm?
Apa maksudmu? Kenapa kau melihat kearah lain saat menjawab pertanyaanku?”
protesnya lagi lalu berjalan mendekati kasur.
Damn!
Bagaimana mungkin aku melihatnya saat ia hanya mengenakan celana panjang dengan
bagian tubuh atas terekspos seperti itu. Bosku punya bentuk tubuh yang sangat
bagus... shit! Ini bukan saatnya untuk memuji... aku harus pergi dari sini,
segera!
“Where
am I?” tanyaku bodoh.
“My
room...” jawab Levi cepat.
“H-how
can I possibly... where’s Klaus?”
Damn! Another weird question!
“I
don’t know,” balas Levi dengan nada suara tak suka. “Kalau kau mencari Klaus
kau tak akan menemukannya ditempat ini,” sambungnya lagi.
“Kenapa
aku bisa ada dikamarmu?”
“Jadi
kau lebih suka berada di dalam kamar Klaus?” tanyanya balik, ia menatapku tajam
dengan handuk masih ada diatas kepalanya dan kedua tangan berada dipinggang.
“N-no...
Bukan begitu maksudku...”
“Lalu
kenapa kau mencarinya?” serangnya lagi.
“Ca-can
you please wear your clothes first?”
“Why?”
gumamnya lalu menarik handuk dari kepalanya dan berjalan semakin mendekat. Rambutnya
berantakan namun hal itu tak memberinya nilai minus. “Ini kamarku terserah aku
ingin pakai baju atau tidak,”
“I-I
know! J-just wear all of them, okay?” gumamku keras. Levi mendecak sebal sambil
menghela napas panjang lalu beranjak menuju lemarinya lagi dan ia berhasil membuatku
memalingkan wajahku kearah lain.
“You
know... kalau kau ingin lihat tubuhku ya lihat saja... kenapa harus
menyianyiakan pemandangan indah ini sambil memasang wajah semerah itu?”
gumamnya dari dalam lemarinya dan beberapa detik kemudian ia keluar dengan
tangan menggenggam baju kaos berwarna putih.
“Stop
talking weird stuff... please wear your clothes, sir!” pintaku lagi.
Levi
memasang pakaiannya lalu beranjak duduk di kasur membelakangiku. “Don’t call me
‘sir’ when you around me,” gumamnya pelan. “How do you feel now?”
“I’m
fine...”
“Ah,
sounds good,” Levi beranjak dari kasur dan berjalan menuju pintu.
“Wait...”
panggilku. Levi yang baru saja membuka kenop pintu berbalik menatapku.
“What?”
“Did
something happen last night? Between us?”
Levi
menatapku diam untuk beberapa saat lalu dia tersenyum penuh arti. “I don’t
know... maybe. Kau pikir saja sendiri...” gumamnya iseng. “Aku akan membuatkan
sarapan,” serunya lalu menutup pintu dan membiarkanku sendirian.
Damn!!
****
Aku
tak bisa menemukan pakaianku didalam ruangan itu dan hanya merapikan pakaian
yang masih kupakai lalu mencuci muka, menggosok gigi dengan sikat gigi baru
yang diletakkan Levi didekat sikat giginya, terakhir, kusisir rambutku yang
ternyata sangat berantakan.
Tak
kusangka aku akan terbangun dikamar seorang pria dengan penampilan kacau
seperti ini, bahkan dia juga sempat merayuku dengan kata-kata yang akan
membuatku malu selamanya. Unlucky...
Ini
hanya satu tragedi, aku tak boleh punya hubungan dengan editorku. Levi pasti
tak akan menganggap hal ini dengan serius, aku hanya harus bersikap ini
bukanlah masalah besar. Ah... bisakah aku bersikap seolah tak terjadi apapun?
Setelah
merapikan tempat tidur aku pun keluar dari kamar itu. Ruang santai yang besar
dan nyaman langsung menyambutku, ruangan itu didominasi dengan warna putih,
hitam dan abu-abu. Aku pun beranjak menuju dapur untuk melihat apa yang sedang
dilakukan Levi. Ia sedang memasak sesuatu.
“Levi...”
panggilku. Dia berbalik dan mengamatiku dengan pisau ditangannya. Ia tak
menjawab hanya menaikkan satu alisnya.
“Bisakah
kau meminjamiku celana? Umm, kemeja ini agak... pendek,” gumamku.
Ia
terkekeh geli saat melihatku lalu kembali menyibukkan diri dengan pekerjaannya.
“Kurasa kau lebih bagus seperti itu,” gumamnya santai. “Duduklah, aku masih
menyiapkan bahannya,” pintanya.
“Aku
tak tahu apa aku harus berterima kasih padamu atau mencacimu...” gumamku sambil
tersenyum nanar. Lalu menarik kursi dan duduk didepan meja bar.
Levi
beralih menuju kulkas dan mengeluarkan sebotol susu segar dan menuang isinya kedalam
sebuah gelas. Ia menaruh gelas itu dimeja dan menyodorkannya padaku.
“Kau
boleh melakukan apa saja padaku...” gumamnya dengan suaranya yang maskulin,
senyuman iseng menghiasi wajahnya. “Aku tak akan protes...”
“Termasuk
memukulmu?” gumamku dengan senyuman dingin.
“Ah
itu... Tentu saja boleh, tapi kau harus dapat bayaran yang setimpal, aku akan
balas memukulmu... kau tahu? Tentu saja dengan cara yang berbeda,” balasnya
dengan sorot mata jahil. “Berhentilah menggerutu dan cepat minum susumu!”
suruhnya dingin lalu berbalik dan kembali fokus pada masakannya.
“Apa
kau meracuninya?”
Damn! Kenapa aku malah bersikap kekanakan,
seperti ini??
Levi
mematikan kompornya dan berbalik menatap mataku, ia mencondongkan tubuhnya
lebih dekat padaku. “Aku bisa memastikannya untuk kalau kau mau... princess?”
“No!”
gumamku sebal lalu menunduk, menjauh dari pandangannya. “Aku bisa meminumnya
sendiri, lagipula ini hanya susu, tak mungkin kau meracuniku karena sepertinya
susu adalah minuman favoritmu dipagi hari,”
Kuminum
susu itu sampai habis sementara Levi terus mengamatiku, sikapnya membuatku
jengah.
“Ini,”
serunya sambil menyodorkan sehelai tisu. “Jangan minum susu seperti anak kecil,
bibirmu jadi belepotan, merusak pemandangan saja”
“Sorry!”
gumamku sedikit sebal lalu melap bibirku kasar.
“Tch!”
decak Levi ia meyodorkan tangannya kearahku seolah hendak menggapaiku.
“Wh-wha...”
Jari-jarinya
menyentuh sudut bibirku dan menyapu pelan bagian itu. “Jangan mengasari dirimu
sendiri, moron!” bisiknya pelan lalu menjauhkan tangannya dariku. Kutelan ludahku
dengan susah payah.
“So...
bagaimana dengan pertemuanmu tadi malam? Apa kau berhasil mendapatkan tender
itu?” tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan.
Levi
langsung memasang wajah dingin tanpa ekspresinya. “It’s not your business...”
gumamnya kaku, lalu berbalik dan mengambil piring dari raknya.
“Ya
kau benar itu bukan urusanku, tapi seharusnya kau juga tak mencampuri urusanku
benarkan?”
“Itu
masalah yang berbeda...”
“Bagiku
itu masalah yang sama...”
“Jadi
kau lebih suka ditiduri pria yang baru kau kenal?” potong Levi kasar.
Aku
terdiam menatap punggung Levi.
“Kau
tahu... kupikir sebaiknya aku pergi saja, kurasa aku sudah mengganggu harimu,
sir...” gumamku pelan lalu turun dari kursi bar yang kududuki. “Ah, seharusnya
aku pergi kekantor hari ini, aku akan menelepon Petra. Terima kasih karena
sudah membiarkanku menginap, aku akan pergi setelah menemukan pakaianku...”
Kuputuskan
untuk beranjak pergi dari dapur, sejujurnya aku ingin berterima kasih dengan
cara yang layak padanya. Tapi sepertinya percuma, dia bahkan tidak menatapku
dan mengatakan kenyataan bahwa dia melewatkan pertemuan tadi malam, aku ingin
tahu apa aku yang menyebabkan kegagalannya atau tidak. Aku akan merasa bersalah
padanya dan Erwin jika mereka gagal mendapatkan dana yang mereka butuhkan.
“Hei
drunkass...” Levi menarikku hingga punggungku membentur dadanya. Jantungku
berdentum cepat, aku tak mengerti apa yang sedang terjadi. Tapi kulihat kedua
lengan Levi telah melingkar erat ditubuhku dan wajahnya terbenam didekat
bahuku.
“Le...
Levi...? What happen?” gumamku pelan.
“I’m
sorry,” bisiknya pelan lalu mengecup bahuku lembut. Suaranya yang maskulin
terdengar sangat dekat ditelingaku. “Please don’t go, stay here a bit longer...”
“Wha-what
is this?”
“ This
means... Kau tidak boleh pergi sebelum kuijinkan...”
“And...
what does it mean?”
“I’ll
tell you everything but not for free. You have to give me something in return,”
“Damn
you! Aku pergi sekarang!”
“Hey
wait!!!” Levi menarikku lagi hingga tubuhku berbalik menghadapnya. “I’m just
joking... don’t be so mad”
“And I’m
so serious about it why you..”
Sebuah
kecupan kecil mendarat dibibirku, membuatku terdiam kaget. Wajah kami berdua
sangat dekat saat mata kami bertemu dan saling bertatapan, jantungku berdebum
kuat saat Levi memelukku dan membenamkan kepalaku didadanya.
“Me
too... I’m serious about you.... please stay,” pintanya. “You right... aku
memang melewatkan pertemuan malam itu,” serunya. Aku tak tahu harus bereaksi
apa saat mendengar kata-katanya, sikap Levi terlalu manis dan aku menyukainya.
“Ok I’ll
stay... Ummm, bisakah kita makan sekarang?” gumamku sambil menatapnya awkward.
“Aku
punya makanan pembuka spesial yang sangat enak...” bisiknya pelan. Kata-katanya
mmembuat mataku menatap lurus pada bibirnya yang menawan. Perlahan ia kembali
mendekatkan wajahnya padaku dan bibirnya terbuka sedikit saat ia akan
menempelkannya lagi dibibirku. Jarak diantara kami semakin menipis dan...
Ting
tong~
Aku
dan Levi mematung di tempat kami berdiri. “Damn! Seriously?” gumam Levi pada
dirinya sendiri.
Ting
tong~ Ting tong~ Ting tong~
Bel itu
berbunyi bersahutan tanpa henti. “Oh shit! Siapa yang datang mengganggu disaat
seperti ini?” gerutunya kesal.
“Lebih
baik kau segera memeriksanya, sebelum dia menghancurkan bel rumahmu,” gumamku
mencoba mencairkan suasana.
Levi
beranjak menuju ruang tengah sementara aku mengikuti dibelakangnya. Ia menyalakan
interkom dan memeriksa tamu yang datang.
“Itu Erwin!
Apa yang dia lakukan disini?”
“Pasti
dia ingin membicarakan sesuatu denganmu,”
Levi
menatapku dengan ekspresi dingin lalu ia pun mulai menyapa Erwin dan meminta pria
itu agar menunggu sebentar lalu Levi menatapku lagi. “Kau siap bertemu
dengannya?”
“Ah...
kupikir itu bukan ide yang bagus...” gumamku pelan.
Levi
menarikku menuju kamarnya. “Tunggulah disini, aku akan segera kembali,”
gumamnya. “Kau bisa memainkan sesuatu di laptopku agar tidak merasa bosan
selagi menunggu,” serunya sambil mengeluarkan laptop miliknya dan menaruhnya
diatas kasur.
Ia
menatapku lagi sebelum keluar dari kamar dan menutup pintu. “Just go... kau
membuat Erwin menunggu lama,” pintaku.
“Ok...
whatever! Aku akan segera kembali,”
****
Continue
to Chapter 11
more please😍
ReplyDeletePlease next chapter. i love this story ..
ReplyDeleteLanjut minn
ReplyDelete