Sunday 17 July 2016

Perfect Punishment (Levi Ackerman x Reader) - Chapter 09

BY Unknown IN No comments





Perfect Punishment
(My Editor is a Devil)

Cast : Levi Ackerman x Reader
Genre : Romance, Mature
Language : Mix (Bahasa Indonesia - English)

Chapter 9

 “Oh Shit!!” decaknya.

Air mukanya berubah datar tanpa ekspresi. “So.. this is the reason you’re not going for  a date?” tanyanya, ia berkacak pinggang sambil menatapku tak percaya, seolah ia tak tahu ingin bereaksi apa.

Tenggorokanku tercekat. Aku juga tak tahu ingin menjawab apa.

“You have a fiance..?” suara Levi terdengar sangat dingin dan ia masih menatapku tak percaya, menunggu jawaban.

 “No. Bukan begitu.. ini tidak seperti yang kau pikirkan, ini hanya permintaan sepihak dari orang tuaku, aku belum pernah sekali pun bertemu dengan pria ini, jadi... malam ini akan jadi pertemuan pertama kami,” gumamku. Entah kenapa aku malah menjelaskan hal ini padanya.

Levi menyunggingkan senyuman licik diwajahnya lalu beranjak menjauhiku. “Kau benar-benar sangat beruntung, tidak hanya Erwin, orang tuamu juga merasa sangat khawatir dengan hubungan percintaanmu, sampai-sampai mereka juga ikut mencarikanmu seorang teman kencan, benar-benar ironis...” ejeknya.

Tadinya aku sedikit merasa bersalah karena memberitahunya tentang dinner bersama calon tunanganku, kukira tindakanku akan menyakitinya tapi tak kusangka dia akan mengejekku lagi... seperti biasanya.

Kenapa aku malah berpikir dia akan tersakiti toh sejak awal ajakan kencan itu juga tak lebih dari sekedar ide untuk membantu pekerjaanku. Aku merasa kesal, tak seharusnya dia menyudutkanku jika memang dia tidak perduli dengan situasiku.

Terdengar ketukan dipintu lalu pintu itu terbuka dan Petra muncul dengan setumpuk berkas dalam pelukannya. “Sir... aku sudah dapatkan file yang kau inginkan dan aku sudah mengatur jadwal makan malam dengan klien dari perusahaan Armored, ada sebuah restoran prancis yang bagus dengan anggur yang sangat enak...”

Kuletakkan lagi file yang kupegang, menaruhnya ke atas meja dan beranjak keluar dari ruangan Levi.

“Where you think you’re going?” gumam Levi dengan suaranya yang maskulin tanpa sedikitpun mengalihkan tatapan dari file yang ia baca. Langkahku terhenti dan Petra terdiam, ia menatapku dengan ekspresi khawatir.

“I had to go to the washroom... sir,” gumamku lalu secepatnya membuka pintu dan keluar dari ruangannya.

****

Levi adalah raja iblis yang sangat menyebalkan, itu pikirku. Dia arogan, suka memaksa dan seenaknya, perfeksionis yang sangat gila kebersihan. Tapi... meskipun ia sering membuatku berada dalam kesulitan entah kenapa aku selalu merasa berdebar-debar saat bersamanya... akhir-akhir ini aku juga berpikir kalau sebenarnya dia adalah orang yang lembut dan bisa diandalkan dalam situasi kritis.

Tapi setelah kupikir lagi... itu pasti hanya khayalanku saja, bagaimana mungkin aku kagum pada orang menyebalkan seperti dia. Perasaan berdebar-debar yang tadi kurasakan juga... lebih karena aku merasa takut dan kesal bukan karena aku menyukainya.

“(Name) are you alright?” sapa Petra. Ia muncul dipintu toilet dengan wajah khawatirnya.

Kutatap Petra dengan perasaan sedikit terkejut. Tak kusangka dia akan menyusulku ketempat ini. “Ah, ya... aku baik-baik saja...” gumamku ceria lalu mencuci tanganku yang sejak tadi terus kusabuni.

“Apa Cuma perasaanku saja atau kau memang sedang menyembunyikan sesuatu?” tanyanya lagi, ia beranjak kedekatku dan ikut mencuci tangannya.

Aku terkekeh pelan mendengar kata-katanya, mencoba terlihat santai. “Kenapa kau berpikir seperti itu? Aku baik-baik saja sungguh,” gumamku sambil melap tanganku yang basah dengan tisu.

“Setelah kau keluar dari ruangan, bos mulai mengomel panjang lebar sepertinya mood-nya sedang tidak bagus... aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja,” gumam Petra.

Sudah sewajarnya Levi merasa seperti itu, sikap memberontakku pasti membuatnya sangat kesal. “Ya, seperti biasa dia memaksakan ide-idenya lagi padaku tapi itu bukan masalah besar. Aku bisa mengatasinya, jangan khawatir...” gumamku mencoba meyakinkannya.

Petra menatapku sejenak. “Oke... kalau kau butuh sesuatu atau ingin cerita sesuatu kau bisa mencariku, mungkin aku tak banyak membantu tapi aku bisa mendengarkan ceritamu, oke?” serunya lalu tersenyum.

Bagaimana mungkin aku bisa menceritakan pada Petra kalau Levi baru saja mendorong dan menciumku. Ini pasti akan jadi skandal bukan?

“Oke... tenang saja, aku pasti akan mencarimu jika berada dalam situasi darurat,” gumamku, mencoba membuatnya yakin kalau aku baik-baik saja. “Sepertinya aku harus segera kembali sebelum dia mengomel lagi,” putusku kemudian.

Petra kembali ke mejanya dan aku kembali masuk ke dalam ruangan Levi. Berbeda seperti sebelumnya, atmosfer  dalam ruangan itu terasa sedikit mencekam. Meskipun begitu Levi telah duduk di kursinya dan sibuk dalam kegiatannya membaca berkas, dari raut wajahnya tak terlihat kalau ia sedang merasa kesal. Ah.. itu pasti karena wajah dingin tanpa ekspresinya.

Levi membiarkanku menyelesaikan pekerjaanku dengan semua file-file berantakan itu. Ia tampak sangat tenang dan beberapa kali ia melakukan gerakan yang tak terduga, seperti memperbaiki letak kacamata, membalik kertas yang dipegangnya dengan suara yang keras, dan sikap tenangnya itu justru semakin membuatku merasa berdebar-debar.

Sepertinya aku memang benar-benar merasa takut, tapi sekarang itu sudah bukan masalah penting lagi.

Aku sedang merapikan tumpukan berkas terakhir saat merasa seseorang sedang menatapku. Entah kenapa aku langsung melirik Levi Ackerman. “Why are you looking at me?” gumamku akhirnya.

“I’m looking for a little entertainment in this room. It looks like you’ve got the qualifications for it...” jawabnya dingin.

“Ah I got it, you look really enjoyed it but time for fun is over, I’ve finished my work sir, and now... I’m going back to my seat,” balasku lalu beranjak menuju pintu tanpa menunggu persetujuannya.

“Hei, shitty brat..” panggilnya. Jantungku serasa akan lompat dari tempatnya dan kuurangkan niatku untuk membuka kenop pintu yang sudah kupegang.

“Yes, sir...?” gumamku lalu berbalik menatapnya.

“Aku ingin kau mengecek berkas ini dan aku ingin datanya dalam bentuk soft copy...” gumamnya lalu menyodorkan tumpukan berkas padaku.

Aku tak ingin memprotesnya lagi seperti sebelumnya, menempatkan diriku sendiri dalam situasi penuh emosi bersama Levi Ackerman bukanlah kebijakan yang bagus. Jadi kuputuskan untuk mendekati mejanya dan melihat berkas-berkas itu.

“Baiklah akan kukerjakan,” gumamku setelah melihat isinya ternyata adalah salah satu bagian dari pekerjaan Hanji yang harus kukerjakan. Kali ini aku tak akan protes.

“Aku ingin datanya selesai hari ini juga...”

“What?”

“Why? You don’t understand what I said?” gumamnya dingin sambil bersandar pada kursinya, ia menatapku dengan dead glare favoritnya.

Kulihat tumpukan file dalam pelukanku, sangat banyak... dan bukan sesuatu yang bisa kuselesaikan hanya dalam sehari mengingat malam ini aku akan pergi kencan dengan calon tunanganku. “But... you know I have an important...”

“What’s your priority?” gumamnya lagi.

Saat melihat wajahnya aku langsung paham kalau dia sedang berusaha mengintimidasiku lagi. “Akan kucoba menyelesaikannya secepatnya...” gumamku lalu beranjak keluar dari ruangannya.

Tak ada protes... aku tak akan protes. Damn! Why his attitude so incredibly annoying?

 “Fiuuhhh~~”

Aku terduduk dikursiku dan hanya bisa menghela napas panjang saat melihat ke arah tumpukan berkas di atas mejaku. Aku akan melewatkan jadwal makan siang agar bisa mengerjakan semuanya sebelum sore, agar aku tidak harus lembur. Bukan karena aku menantikan kencan butaku dengan orang yang tidak kukenal, aku hanya ingin segera menyelesaikannya dan pulang.

“Seems like you’ve got a lot of shit today...” gumam Eren saat ia lewat didekat mejaku. “Mr. Ackerman must be really like you,”

“Oh Stop saying strange things, Eren...”

Eren terkekeh lalu menarik satu berkas dan membacanya. “Kau akan mengerjakan semua ini...?”

Kuambil berkas lainnya dan mulai menyalakan komputerku. “Aku harus menyelesaikannya hari ini juga, aku akan lembur...”

“Sebanyak ini?” ulang Eren.

Aku mengangguk mengiyakan dan menatap Eren, teringat kata-kata Jean yang mengatakan kalau Eren ingin mengajakku dinner. Tapi kalau semakin dipikir lagi, waktunya terlalu tepat... apa Eren yang akan mengajakku kencan malam ini? Ah no way, Jean pasti mengerjaiku lagi, Eren tak mungkin mengajakku dinner.

“You need some help...” gumam Eren. “Aku akan mengambil sebagian, kebetulan pekerjaanku sudah selesai dan aku sedang senggang,” gumamnya lalu mengambil beberapa berkas dari tumpukannya.

Heh?

“No!” cegahku. “Kau tidak harus melakukannya, karena ini pekerjaanku aku bisa menyelesaikannya...” tolakku halus lalu mengambil berkas dari tangannya.

“What’s happen?” tegur Mikasa. Ia menghampiriku dan Eren dan wajahnya juga terlihat minus ekspresi.

Eren menatap Mikasa sambil berkacak pinggang. “She looks tired, I wanna help her... but instead she turned me down” protes Eren.

“A lot of shit again, huh?” gumam Mikasa sambil menatap tumpukan berkas itu.

“Yeah... he wants me to finish all of these shit,”

Sounds like catastrophe...”

“Yup, you right... ada sesuatu yang harus kulakukan nanti malam jadi aku akan menyelesaikannya sekarang,” gumamku lalu mulai sibuk mengerjakan pekerjaanku.

“Sepertinya kau akan melewatkan makan siangmu lagi, jangan khawatir kami akan membantumu...” gumam Mikasa. Ia menyambar beberapa berkas dan langsung membawanya menuju mejanya tanpa menunggu protes dariku.

“Tapi... apa kau tahu apa yang harus kau lakukan..?” gumamku. Mikasa berbalik dan menatapku.

“No. Sepertinya kau harus memberiku sedikit arahan...” gumamnya lalu berbalik lagi beranjak menuju mejanya.

Aku menatap Eren, ia tersenyum manis. “Sepertinya kau sering terjebak dalam situasi seperti ini jika menyangkut Mr. Ackerman...”

“You mean...?”

“Lembur dan melewatkan jam makan siangmu hanya karena permintaan bos kita... sebaiknya jangan menolak aku hanya akan membantu kali ini saja, jadi jangan terlalu senang,” serunya lalu menyambar beberapa berkas dan beranjak menuju  mejanya.

Sedetik tadi... kurasa Eren tampak sedikit keren.

****

Jam menunjuk pukul enam lewat lima belas menit saat pekerjaanku akhirnya selesai. Ponselku berdering dan saat kuterima panggilan itu terdengar suara manly seorang pria yang tak kukenal dan ia balas menyapaku. “(Name) right?” gumamnya.

“U-umh... yeah, who is it? Do I know you?” tanyaku bingung.

“Ah, sorry ... aku belum mengenalkan diriku.” Gumamnya lalu terkekeh pelan. “Aku Klaus Goldstein... aku dapat nomor ponsel ini dari ibumu, apa kau sudah tahu bahwa aku ingin mengajakmu makan malam?”

“Ah... Klaus Goldstein...?” gumamku pelan. Aku merasa pernah mendengar namanya tapi aku lupa. “Wait... apa kita pernah bertemu sebelumnya...?” selidikku.

Klaus tertawa dari seberang telepon. “Entahlah mungkin saja... aku akan menjemputmu jam tujuh malam... bagaimana?”

Kulihat jam tanganku, hanya tersisa waktu setengah jam untuk mempersiapkan semuanya dan aku tak yakin dengan ajakan makan malam ini. “Ah, tapi... saat ini aku masih di kantor dan kurasa kau tak akan mau makan malam dengan penampilanku saat ini,” tolakku.

“Don’t worry about that... aku tidak mengajak gaunmu untuk pergi makan malam denganku, lagipula aku juga baru saja menyelesaikan pekerjaanku. Ini hanya makan malam biasa kau tak perlu cemas dengan penampilanmu...”

Aku berpikir sejenak dan melihat Levi sedang berjalan mendekati meja Petra. Langkah kakinya yang ringan dan penampilannya yang maskulin menyita perhatianku. Ia sedang membahas sesuatu dengan Petra. “Ku harap kau tidak menolak..” gumam Klaus lagi.

“Okay baiklah, aku bekerja di...”

“I know! Aku sedang dalam perjalanan menuju kantormu, see you later?”

“Yeah, o-okay... see you later,”

Kantor sudah mulai sepi, Mikasa dan Eren juga telah menyelesaikan bagian mereka dua puluh menit yang lalu sebelum pergi untuk menghadiri acara kumpul bareng malam itu. Aku baru saja mengakhiri tahapan akhir pekerjaanku dan mengirimkan soft filenya  pada Levi Ackerman.

Tepat lima menit setelahnya, pintu ruangannya terbuka dan ia keluar dari dalam ruangannya. “Kau sudah menyelesaikan semuanya?” tegurnya kemudian. Petra yang masih berada di mejanya menatap Levi bingung sementara Levi sedang menatapku dengan wajah kaku.

Sepertinya yang dimaksud Levi adalah pekerjaanku. “Um, yeah... aku baru saja mengirimnya ke emailmu, kau sudah bisa mengeceknya sekarang,” gumamku sambil tersenyum lembut penuh kemenangan. “Kalau tak ada lagi yang harus kulakukan, bisakah aku pergi sekarang?” tanyaku.

Aku tahu harusnya tidak menanyakan hal ini, bisa saja dia akan memintaku melakukan hal aneh lainnya.

Levi kembali memperlihatkan wajah minus ekspresinya. “Yeah, you can go now...” jawabnya. “Make sure that you eat all the meals and don’t get drunk,” jawabnya santai.

“Heh?” Aku tak pernah membayangkan akan mendengar hal ini darinya. Tapi Levi Ackerman tampak lebih tenang dibanding tadi siang, tunggu... apa aku berharap dia akan mencegahku? Ah, nonsense... dia tak mungkin melakukannya.

Ia berbalik menatap Petra dan tak menghiraukanku. “Petra cek jadwalku malam ini?” gumamnya.

“Ah sir, malam ini kau ada janji makan malam dengan perwakilan dari perusahaan Armored....”

Ponselku kembali berdering dan memecah perhatianku. Sebuah sms muncul... dari Klaus Goldstein. Ternyata dia telah sampai ditempat ini dan sedang menunggu di lobby.

“Thank you sir, see you tomorrow...” gumamku pelan lalu beranjak pergi setelah mengucapkan salam perpisahan pada Petra.

****

Klaus Goldstein benar-benar pria idaman, tepat ketika aku baru saja keluar dari dalam lift aku melihatnya tersenyum menyambutku, seolah dia sudah mengenalku sebelumnya. Aku juga benar-benar merasa pernah melihatnya disuatu tempat, wajahnya tampak sangat familiar.

Tidak buruk, dia terlihat tampan, tinggi, rapi dan menawan. Beberapa wanita yang ada di lobby bahkan turut mengamatinya, ia  berhasil mencuri perhatian banyak wanita.

“Are you...”

“Klaus Goldstein...” putus Klaus ia menyodorkan tangannya padaku untuk bersalaman dan aku pun menyambutnya.

“Oh, maaf membuatmu menunggu lama Mr. Goldstein...” gumamku kikuk.

“Are you kidding?” serunya, senyuman manis muncul diwajahnya saat ia menatapku ramah. “Jangan menyebutku Mr. Goldstein, kau bisa memanggilku Klaus saja,” pintanya.

Kurasa dia benar, jika kau ingin berkencan dengan seseorang setidaknya kau harus membuat posisimu nyaman saat bersama dengannya. “Okay Klaus...” jawabku sambil tersenyum ramah. Berusaha menampilkan sisi terbaikku.

“Shall we go now?” ajaknya lagi dengan senyuman menawan. Kurasa keputusan untuk pergi makan malam dengannya bukanlah ide buruk. Aku pun mengangguk dan kami berjalan berbarengan menuju mobilnya.

Ia mempersilakanku masuk kedalam mobilnya setelah membukakan pintu itu untukku. Ia menutup pintu dan masuk kedalam mobil. “Kau bisa makan makanan prancis?” tanyanya saat ia mulai menghidupkan mesin mobil dan menyetirnya menuju jalan raya.

“Hmm... tentu saja, tapi apa kau yakin mereka akan membiarkan kita masuk dengan penampilan seperti ini,” tanyaku khawatir.

Klaus tertawa renyah. “Oh, don’t worry... aku punya kenalan disana, mereka sudah menyiapkan tempat khusus untuk kita berdua, aku yakin kau akan menikmati suasana dan makanannya, tempat ini bagus dan terkenal dengan menu yang enak,” serunya lagi.

Aku hanya bisa mengangguk mengiyakannya. Sebenarnya... aku tidak begitu yakin akan menikmatinya, aku tak begitu tahu tata cara makan makanan Prancis.

Ponselku berdering, secepat kilat kusambar ponselku dan menatap layarnya. Jean meneleponku, segera kuangkat telepon itu dan suara Jean terdengar dari seberang telepon.

“Where are you shorty?” geramnya sebal dari seberang telepon. “Kau sudah sangat terlambat, pertemuannya sudah mulai sejak tiga puluh menit lalu, jangan bilang penyakit malasmu kambuh lagi!”

Damn... aku lupa, Jean mengajakku kumpul dengan teman-temanku yang lain. “Uh, sorry Jean.. aku lupa memberitahumu, aku ada janji jadi sepertinya aku tak akan sempat menemui kalian,” jelasku.

Jean terdiam sejenak. “Apa kau pergi kencan?” tanyanya langsung.

“Um, no... sorry Jean I have to go now, bye!”

Kumatikan panggilan itu dan mematikan ponselku, aku sedang tak ingin diinterogasi oleh Jean. Ia benar-benar akan menggangguku jika tahu aku sedang makan malam dengan seseorang.

“What happen?” tanya Klaus, rupanya ia terus memperhatikanku sejak tadi. “Are you okay...?”

“No. Nothing... I’m fine,” gumamku tak meyakinkan.

Klaus tersenyum menanggapi kata-kataku yang tak meyakinkan lalu ia kembali fokus menyetir mobilnya. Sesaat tadi kupikir Levi Ackermanlah yang akan meneleponku.

****

Kami berdua tiba disebuah hotel berbintang yang mewah dan didalamnya ada restoran Prancis yang dimaksud Klaus, ia menuju tempat resepsionis untuk melakukan reservasi ulang dan tak lama kemudian seorang pelayan muncul untuk mengantar kami menuju meja yang telah ia pesan.

Restoran itu tampak sangat indah dan berkilau, agak sedikit kontras dengan pakaian kerjaku yang terlihat agak santai. Seharusnya aku memakai sesuatu yang lebih rapi dan glamor? Tapi kulihat Klaus juga mengenakan kemeja kerja yang terlihat rapi dan kasual, tempat ini terlihat tidak cocok dengan penampilan kami berdua.

Kami mendapat meja didekat jendela dengan pemandangan kota yang indah. Tempat itu terlihat agak sepi dan pribadi, aku tak menyangka Klaus akan benar-benar memesan tempat seromantis ini.

 Seorang pramusaji muncul dan menyerahkan buku menu pada kami berdua. Klaus mengamati buku itu dan mulai memilih-milih makanan. Aku membuka buku menu dan mulai merasa kebingungan.

Foei Grass? Aku bahkan tak tahu makanan ini terbuat dari apa dan bagaimana cara menyebutkannya, bahasa Prancis memang cukup sulit untuk dilafalkan. Klaus menyebutkan pesanannya dengan sangat lancar lalu ia menatapku. “Apa kau sudah menentukan pilihanmu?” tanyanya.

Kututup buku menu itu dan tersenyum. “Aku ingin makan yang ringan-ringan saja, tolong kau pilihkan untukku,” gumamku. Klaus tampak mengerti ia pun menyebutkan pesanan untukku. Setelah selesai memesan si pramusaji pun pergi meninggalkan kami.

Klaus tampak santai dan ia terlihat sangat menguasai medan pertempuran ini. Kami berdua duduk dikursi masing-masing dan saling berhadapan. Ia mengutak-atik ponselnya sebentar lalu memasukkannya lagi kedalam sakunya.

“Sorry (Name) aku harus membalas email tentang pekerjaan. Jadi, bagaimana harimu?” tanyanya kemudian karena aku terdiam untuk beberapa saat.  Melihat ekspresi kagetku ia kembali tersenyum. “Apa kau benar-benar tidak mengingatku?”

“Heh? Aku sedikit tak yakin, maafkan aku tapi sepertinya aku sedikit lupa...” jawabku jujur. “Hanya saja... aku merasa pernah melihatmu disuatu tempat,”

Ia tersenyum ramah dan mengangguk pelan. “Sepertinya kau benar-benar tak ingin mengingatku,” gumamnya setengah bercanda.

“What do you mean?” selidikku. “It’s not like that...”

Seorang pramusaji muncul dengan meja dorong berisi anggur. Ia menuangkannya ke masing-masing gelas yang ada di meja kami.

“Kita memang pernah bertemu sebelumnya tapi sebaiknya kau tak usah mengingat kejadian saat itu, karena aku merasa sangat malu jika kau mengingatnya,” tolaknya halus.

Aku mengerutkan dahiku bingung. Aku tak mengerti apa yang dimaksud Klaus. “Okay Mr. Goldstein... sepertinya kau sudah berhasil membuatku merasa penasaran denganmu, kuharap kau tak melakukannya sepanjang malam,” gumamku lalu meminum sedikit anggur dari gelasku.

Aku kembali teringat pesan Levi saat ia mengingatkanku agar tidak mabuk. Kurasa minum sedikit anggur tak akan membuatku mabuk... lagi pula anggur ini sangat enak.

Klaus terkekeh pelan. “I’m sorry... aku tak bermaksud begitu. Hanya saja... aku tak yakin kau akan menyukai ceritaku. Tapi... aku senang sekali bisa bertemu denganmu lagi, sungguh,” gumamnya.

Aku berpikir sejenak, sepertinya Klaus memang tak ingin menceritakannya padaku sekarang. Kurasa aku akan membiarkannya untuk kali ini dan menanyakannya lain waktu saat kami sudah lebih dekat.

Tak lama kemudian pesanan kami datang, rupanya Klaus memesan makanan yang sama untuk kami berdua. Sejauh ini aku merasa baik-baik saja, tampaknya pembicaraan diantara kami berdua tidak akan menjadi aneh.

“Makanan ini sangat cocok dengan Wine, setelah memakannya jika kau minum anggur rasanya akan terasa lebih nikmat,” jelas Klaus. “Martini Vermouth juga sangat enak untuk dicoba,”

“Yeah you right!” gumamku sambil mengikuti instruksi Klaus. Memakan makananku lalu meminum anggurku sampai habis. Rasa panas anggur mengaliri tenggorokanku membuat tubuhku jadi terasa hangat.

Kami berbincang tentang hal-hal yang ringan dan tempat Klaus bekerja sebagai seorang reporter. Selama perbincangan itu aku terus minum anggurku sedikit demi sedikit hingga seorang pramusaji kembali muncul dan menuangkan anggur kedalam gelasku lagi.

“(Name) bagaimana hubunganmu dengan kekasihmu?” tanya Klaus.

Pertanyaannya membuatku mengerutkan dahiku bingung. “Ah, maafkan aku karena menanyakan hal ini tapi aku sedikit penasaran dengan hubungan kalian, kurasa dia bukan orang yang gampang membiarkan kekasihnya pergi makan malam dengan pria lain, apa hubungan kalian sudah berakhir?”

“Kau juga pernah bertemu dengannya?” pancingku sambil mencoba fokus pada perkataan Klaus. Lalu meminum anggur dari gelasku lagi, mencoba menghilangkan kegugupan.

“Tentu saja. Dia pria pendek dengan rambut sehitam malam dan mata biru keabu-abuan, dipertemuan pertama kami ia bahkan memberiku salam perpisahan yang cukup menyakitkan. Melihatmu menerima ajakan makan malamku saat ini apa berarti kalian berdua sudah tidak berhubungan lagi...?”

Aku ingin memastikan apa yang dimaksud Klaus adalah Levi Ackerman? Bos dan editorku? Dengan perasaan gusar kuteguk lagi anggurku.

Melihatku terdiam membuat Klaus sadar bahwa aku sedang memikirkan hal lain. “Sorry, aku tak bermaksud mengingatkanmu... sebaiknya kita membahas hal lain saja,”

“Don’t worry Klaus it’s not a big deal anyway...” gumamku meyakinkannya.

Aku dan Klaus akhirnya mencari topik lain untuk pembicaraan kami, meskipun pembicaraan itu sangat menarik dan ia memperlakukanku sangat baik entah kenapa aku tak bisa menjauhkan pikiranku dari Levi Ackerman.

Aku jadi ingin tahu apa yang sedang ia lakukan malam ini, apa yang dia makan sebagai menu makan malamnya dan apa dia berhasil membuat kesepakatan baru dengan kliennya dari perusahaan Armored... apa gadis berambut merah itu juga ikut menemaninya. Terlalu banyak pertanyaan yang muncul dalam kepalaku.

****

“Kau yakin baik-baik saja?” tanya Klaus saat kami keluar dari pintu restoran dan aku tanpa sengaja meraihnya. Ia memegangi tangan dan pinggangku wajahnya terlihat khawatir.

“I’m okay... kepalaku cuma sedikit pusing,” gumamku tak meyakinkan.

“Jangan bilang kalau kau tidak kuat minum alkohol?” tanyanya lagi.

“Hmm, it’s not like that... aku hanya sedikit pusing saja,” jawabku tak meyakinkan. Kutepis tangan Klaus dan berjalan sempoyongan.

“You know... bukan hal yang bijaksana jika kubiarkan kau pergi semaumu dengan kondisi seperti ini, biarkan aku membantumu... oke?” pintanya sambil memegangi tanganku. Aku hanya diam menatapnya.

Klaus menuntunku untuk duduk di sofa lobby saat ia kembali menemui resepsionis. Kepalaku berat dan aku merasa sekitarku berputar sangat cepat. Bos clean freak-ku itu benar... seharusnya aku tak minum anggur beralkohol.

Tak lama kemudian Klaus kembali menghampiriku dan membantuku berdiri, ia menuntunku masuk kedalam lift. Beberapa kali aku terkulai dan ia memegangiku agar tidak terjatuh.

Pintu lift terbuka dan ia kembali menuntunku berjalan disepanjang lorong sambil terus memeluk bahuku. “Kita sudah sampai...” serunya lalu ia membuka pintu kamar dengan kartu khusus yang ada ditangannya.

Pintu itu terbuka dan dia membawaku masuk kedalam membiarkanku berdiri sejenak lalu ia beranjak untuk menutup lagi pintunya. “Ini  bukan kamar apartemenku...” gumamku pelan lalu beranjak pelan menuju kasur yang tampak nyaman.

Klaus menatapku lalu membuka jasnya dan menaruhnya pada sebuah gantungan jas ia juga membuka beberapa kancing kemejanya. Aku duduk diatas kasur dan berbaring diatasnya. Kepalaku yang terasa berat dan pusing akhirnya mulai terasa nyaman.

Klaus beranjak menuju sebuah lemari pendingin dan mengeluarkan kaleng bir dari dalamnya. “Ini memang bukan kamar apartemenmu, malam ini kita akan menginap di hotel ini,” gumamnya lalu mengambil gelas dan beranjak menuju sofa yang ada didekat jendela hotel.

“Huh?” aku bangkit dan terduduk lagi dikasur itu. “What do you mean?” tanyaku dengan kepala pening.

Klaus menuang bir itu kedalam gelasnya lalu duduk di sofa dengan kaki terjulur keatas meja yang ada didepan sofa. Ia menaruh kaleng kosong bir diatas meja yang ada disebelah sofa itu lalu menatapku dingin.

“Aku tak mungkin mengantarmu pulang dalam kondisi mabuk, mengertilah aku harus melakukan ini agar kita berdua tidak mengalami malam yang buruk. Lagipula kau harus segera mengistirahatkan dirimu,”

Aku beranjak dari dudukku dan berjalan sempoyongan menuju pintu. “Where are you going?” tanya Klaus, ia meletakkan gelasnya dan beranjak mendekatiku.

“I wanna go home,” gumamku pelan.

“Hey, kau tidak dengar kata-kataku barusan?” serunya sambil menarik tanganku.

“I’m okay Klaus, please let me go...” gumamku tak jelas.

“We can’t...” tolaknya. “Aku janji tak akan melakukan apa-apa jadi kau bisa tidur semaumu okay?” pintanya, namun ia tampak ragu dengan kata-katanya sendiri.

Kutepis tanganku darinya, tapi Klaus kembali menarikku dan mendudukkanku dikasur. “Listen to me...”

Klaus tak menyelesaikan kalimatnya saat mendengar ketukan di pintu kamar. Ia menatapku sejenak lalu membiarkanku sendirian dan pergi memeriksa pintu. Aku beranjak dari kasur dan berjalan menyusul Klaus. Pintu itu telah terbuka dan jantungku berdebar cepat saat melihat tamu yang berdiri didepan pintu kamar hotel kami.

Ia langsung nyelonong masuk dan menghampiriku. “It’s time to go home drunkass,” gumam Levi lalu menarik tanganku.

“Hei, what you think you’re doing?” tegur Klaus ia langsung beralih kesisiku.

“Apa aku kurang jelas? Aku kemari untuk menjemputnya,” jawab Levi dingin.

“Kau pikir aku akan membiarkannya begitu saja...? Lagipula kau tak punya hak karena dia calon tunanganku,”

“Lalu...? Kau pikir aku akan berubah pikiran?” gumam Levi dingin lalu kembali menarikku kesisinya. “She’s mine..” gumamnya dingin. “Aku tak akan membiarkanmu menyentuhnya...”

“Yang benar saja... aku hanya membiarkannya istirahat, lagipula sebentar lagi kami akan bertunangan, oke? Apa kau masih tidak mengerti? Aku akan menikahinya,”

Levi terdiam menatap Klaus, bisa kurasakan ia menggenggam tanganku kuat. “Sepertinya pernikahan itu akan dibatalkan...”

****

Levi menarik tanganku sepanjang lobby hotel dan kami berdiri dalam diam diteras saat menunggu mobil Levi diantar oleh petugas hotel. “I’m sorry...” gumamku pelan saat melihatnya diam tanpa kata-kata.

Levi melepas jasnya dan berbalik menatapku, ia memasangkan jas itu ditubuhku. “Come on... kendaraan kita sudah datang,” ajaknya lalu menarikku agar mengikuti langkahnya.

Dia terlihat sangat dingin, aku yakin dia sangat marah. Aku masuk ke dalam mobilnya dan petugas hotel menutupkan pintu mobil itu untukku. Kepalaku masih terasa berat dan kepalaku masih terasa pusing, Levi masuk kedalam mobil dan mengamatiku sejenak.

“Kenapa kau tahu aku ada dihotel ini?” gumamku sambil memegangi kepalaku.

“Don’t get me wrong... aku hanya kebetulan melihatmu saja aku punya urusanku sendiri,” jawabnya dingin, lalu menyalakan mesin mobilnya dan menyetir mobil itu pergi dari kawasan hotel.

Kata-katanya membuatku merasa kesal. “Turunkan aku disini,” pintaku.

“The hell are you talking about?” gumamnya. “I won’t do that, you know it very well,”

“I don’t know anything about you, how can I knew it?” gumamku sambil melempar tatapan ke jendela diluar mobil.

“So you have to learn about me...”

“You make me confuse...” geramku.

“Just stop thinking... kita bisa membahasnya nanti saat kau sudah merasa lebih baik,”

“But you’re always...”

“Shut up... kau terlalu banyak minum alkohol,” geramnya, salah satu tangannya menekan kepalaku agar menyandar pada punggung kursi.

Tangan Levi terasa hangat saat mengenai kulitku. Kuputuskan untuk diam dan ia menjauhkan tangannya dariku, kembali fokus menyetir mobil dalam diam.

****

Mobil itu masuk kedalam basement apartemen yang tidak kukenal. Levi memarkir mobilnya lalu mematikan mesin mobil. Saat itu aku tertidur dikursiku dan Levi berusaha membangunkan namun ia gagal. Ia pun memutuskan untuk menggendongku dalam pelukannya.

**** 

 Continued to Chapter 10

0 comments:

Post a Comment