Perfect Punishment
(My Editor is a Devil)
Cast : Levi
Ackerman x Reader
Genre :
Romance, Mature
Language : Mix
(Bahasa Indonesia - English)
Chapter 9
“Oh Shit!!” decaknya.
Air
mukanya berubah datar tanpa ekspresi. “So.. this is the reason you’re not going
for a date?” tanyanya, ia berkacak
pinggang sambil menatapku tak percaya, seolah ia tak tahu ingin bereaksi apa.
Tenggorokanku
tercekat. Aku juga tak tahu ingin menjawab apa.
“You
have a fiance..?” suara Levi terdengar sangat dingin dan ia masih menatapku tak
percaya, menunggu jawaban.
“No.
Bukan begitu.. ini tidak seperti yang kau pikirkan, ini hanya permintaan
sepihak dari orang tuaku, aku belum pernah sekali pun bertemu dengan pria ini, jadi...
malam ini akan jadi pertemuan pertama kami,” gumamku. Entah kenapa aku malah menjelaskan
hal ini padanya.
Levi
menyunggingkan senyuman licik diwajahnya lalu beranjak menjauhiku. “Kau benar-benar
sangat beruntung, tidak hanya Erwin, orang tuamu juga merasa sangat khawatir
dengan hubungan percintaanmu, sampai-sampai mereka juga ikut mencarikanmu
seorang teman kencan, benar-benar ironis...” ejeknya.
Tadinya
aku sedikit merasa bersalah karena memberitahunya tentang dinner bersama calon
tunanganku, kukira tindakanku akan menyakitinya tapi tak kusangka dia akan
mengejekku lagi... seperti biasanya.
Kenapa
aku malah berpikir dia akan tersakiti toh sejak awal ajakan kencan itu juga tak
lebih dari sekedar ide untuk membantu pekerjaanku. Aku merasa kesal, tak
seharusnya dia menyudutkanku jika memang dia tidak perduli dengan situasiku.
Terdengar
ketukan dipintu lalu pintu itu terbuka dan Petra muncul dengan setumpuk berkas
dalam pelukannya. “Sir... aku sudah dapatkan file yang kau inginkan dan aku
sudah mengatur jadwal makan malam dengan klien dari perusahaan Armored, ada
sebuah restoran prancis yang bagus dengan anggur yang sangat enak...”
Kuletakkan
lagi file yang kupegang, menaruhnya ke atas meja dan beranjak keluar dari
ruangan Levi.
“Where
you think you’re going?” gumam Levi dengan suaranya yang maskulin tanpa
sedikitpun mengalihkan tatapan dari file yang ia baca. Langkahku terhenti dan
Petra terdiam, ia menatapku dengan ekspresi khawatir.
“I
had to go to the washroom... sir,” gumamku lalu secepatnya membuka pintu dan
keluar dari ruangannya.
****
Levi
adalah raja iblis yang sangat menyebalkan, itu pikirku. Dia arogan, suka
memaksa dan seenaknya, perfeksionis yang sangat gila kebersihan. Tapi... meskipun
ia sering membuatku berada dalam kesulitan entah kenapa aku selalu merasa
berdebar-debar saat bersamanya... akhir-akhir ini aku juga berpikir kalau sebenarnya
dia adalah orang yang lembut dan bisa diandalkan dalam situasi kritis.
Tapi
setelah kupikir lagi... itu pasti hanya khayalanku saja, bagaimana mungkin aku
kagum pada orang menyebalkan seperti dia. Perasaan berdebar-debar yang tadi
kurasakan juga... lebih karena aku merasa takut dan kesal bukan karena aku
menyukainya.
“(Name)
are you alright?” sapa Petra. Ia muncul dipintu toilet dengan wajah
khawatirnya.
Kutatap
Petra dengan perasaan sedikit terkejut. Tak kusangka dia akan menyusulku
ketempat ini. “Ah, ya... aku baik-baik saja...” gumamku ceria lalu mencuci
tanganku yang sejak tadi terus kusabuni.
“Apa
Cuma perasaanku saja atau kau memang sedang menyembunyikan sesuatu?” tanyanya
lagi, ia beranjak kedekatku dan ikut mencuci tangannya.
Aku
terkekeh pelan mendengar kata-katanya, mencoba terlihat santai. “Kenapa kau
berpikir seperti itu? Aku baik-baik saja sungguh,” gumamku sambil melap
tanganku yang basah dengan tisu.
“Setelah
kau keluar dari ruangan, bos mulai mengomel panjang lebar sepertinya mood-nya
sedang tidak bagus... aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja,” gumam
Petra.
Sudah
sewajarnya Levi merasa seperti itu, sikap memberontakku pasti membuatnya sangat
kesal. “Ya, seperti biasa dia memaksakan ide-idenya lagi padaku tapi itu bukan
masalah besar. Aku bisa mengatasinya, jangan khawatir...” gumamku mencoba
meyakinkannya.
Petra
menatapku sejenak. “Oke... kalau kau butuh sesuatu atau ingin cerita sesuatu kau
bisa mencariku, mungkin aku tak banyak membantu tapi aku bisa mendengarkan
ceritamu, oke?” serunya lalu tersenyum.
Bagaimana
mungkin aku bisa menceritakan pada Petra kalau Levi baru saja mendorong dan
menciumku. Ini pasti akan jadi skandal bukan?
“Oke...
tenang saja, aku pasti akan mencarimu jika berada dalam situasi darurat,”
gumamku, mencoba membuatnya yakin kalau aku baik-baik saja. “Sepertinya aku
harus segera kembali sebelum dia mengomel lagi,” putusku kemudian.
Petra
kembali ke mejanya dan aku kembali masuk ke dalam ruangan Levi. Berbeda seperti
sebelumnya, atmosfer dalam ruangan itu
terasa sedikit mencekam. Meskipun begitu Levi telah duduk di kursinya dan sibuk
dalam kegiatannya membaca berkas, dari raut wajahnya tak terlihat kalau ia
sedang merasa kesal. Ah.. itu pasti karena wajah dingin tanpa ekspresinya.
Levi
membiarkanku menyelesaikan pekerjaanku dengan semua file-file berantakan itu.
Ia tampak sangat tenang dan beberapa kali ia melakukan gerakan yang tak
terduga, seperti memperbaiki letak kacamata, membalik kertas yang dipegangnya dengan
suara yang keras, dan sikap tenangnya itu justru semakin membuatku merasa
berdebar-debar.
Sepertinya
aku memang benar-benar merasa takut, tapi sekarang itu sudah bukan masalah
penting lagi.
Aku
sedang merapikan tumpukan berkas terakhir saat merasa seseorang sedang
menatapku. Entah kenapa aku langsung melirik Levi Ackerman. “Why are you
looking at me?” gumamku akhirnya.
“I’m
looking for a little entertainment in this room. It looks like you’ve got the
qualifications for it...” jawabnya dingin.
“Ah
I got it, you look really enjoyed it but time for fun is over, I’ve finished my
work sir, and now... I’m going back to my seat,” balasku lalu beranjak menuju
pintu tanpa menunggu persetujuannya.
“Hei,
shitty brat..” panggilnya. Jantungku serasa akan lompat dari tempatnya dan kuurangkan
niatku untuk membuka kenop pintu yang sudah kupegang.
“Yes,
sir...?” gumamku lalu berbalik menatapnya.
“Aku
ingin kau mengecek berkas ini dan aku ingin datanya dalam bentuk soft copy...”
gumamnya lalu menyodorkan tumpukan berkas padaku.
Aku
tak ingin memprotesnya lagi seperti sebelumnya, menempatkan diriku sendiri
dalam situasi penuh emosi bersama Levi Ackerman bukanlah kebijakan yang bagus.
Jadi kuputuskan untuk mendekati mejanya dan melihat berkas-berkas itu.
“Baiklah
akan kukerjakan,” gumamku setelah melihat isinya ternyata adalah salah satu
bagian dari pekerjaan Hanji yang harus kukerjakan. Kali ini aku tak akan
protes.
“Aku
ingin datanya selesai hari ini juga...”
“What?”
“Why?
You don’t understand what I said?” gumamnya dingin sambil bersandar pada
kursinya, ia menatapku dengan dead glare favoritnya.
Kulihat
tumpukan file dalam pelukanku, sangat banyak... dan bukan sesuatu yang bisa
kuselesaikan hanya dalam sehari mengingat malam ini aku akan pergi kencan
dengan calon tunanganku. “But... you know I have an important...”
“What’s
your priority?” gumamnya lagi.
Saat
melihat wajahnya aku langsung paham kalau dia sedang berusaha mengintimidasiku
lagi. “Akan kucoba menyelesaikannya secepatnya...” gumamku lalu beranjak keluar
dari ruangannya.
Tak
ada protes... aku tak akan protes. Damn! Why his attitude so incredibly annoying?
“Fiuuhhh~~”
Aku
terduduk dikursiku dan hanya bisa menghela napas panjang saat melihat ke arah
tumpukan berkas di atas mejaku. Aku akan melewatkan jadwal makan siang agar
bisa mengerjakan semuanya sebelum sore, agar aku tidak harus lembur. Bukan
karena aku menantikan kencan butaku dengan orang yang tidak kukenal, aku hanya
ingin segera menyelesaikannya dan pulang.
“Seems
like you’ve got a lot of shit today...” gumam Eren saat ia lewat didekat
mejaku. “Mr. Ackerman must be really like you,”
“Oh
Stop saying strange things, Eren...”
Eren
terkekeh lalu menarik satu berkas dan membacanya. “Kau akan mengerjakan semua
ini...?”
Kuambil
berkas lainnya dan mulai menyalakan komputerku. “Aku harus menyelesaikannya
hari ini juga, aku akan lembur...”
“Sebanyak
ini?” ulang Eren.
Aku
mengangguk mengiyakan dan menatap Eren, teringat kata-kata Jean yang mengatakan
kalau Eren ingin mengajakku dinner. Tapi kalau semakin dipikir lagi, waktunya
terlalu tepat... apa Eren yang akan mengajakku kencan malam ini? Ah no way,
Jean pasti mengerjaiku lagi, Eren tak mungkin mengajakku dinner.
“You
need some help...” gumam Eren. “Aku akan mengambil sebagian, kebetulan
pekerjaanku sudah selesai dan aku sedang senggang,” gumamnya lalu mengambil
beberapa berkas dari tumpukannya.
Heh?
“No!”
cegahku. “Kau tidak harus melakukannya, karena ini pekerjaanku aku bisa
menyelesaikannya...” tolakku halus lalu mengambil berkas dari tangannya.
“What’s
happen?” tegur Mikasa. Ia menghampiriku dan Eren dan wajahnya juga terlihat
minus ekspresi.
Eren
menatap Mikasa sambil berkacak pinggang. “She looks tired, I wanna help her... but instead she turned me down”
protes Eren.
“A
lot of shit again, huh?” gumam Mikasa sambil menatap tumpukan berkas itu.
“Yeah...
he wants me to finish all of these shit,”
“Sounds like catastrophe...”
“Yup, you right... ada sesuatu yang harus kulakukan
nanti malam jadi aku akan menyelesaikannya sekarang,” gumamku lalu mulai sibuk
mengerjakan pekerjaanku.
“Sepertinya kau akan melewatkan makan siangmu lagi, jangan
khawatir kami akan membantumu...” gumam Mikasa. Ia menyambar beberapa berkas
dan langsung membawanya menuju mejanya tanpa menunggu protes dariku.
“Tapi... apa kau tahu apa yang harus kau lakukan..?”
gumamku. Mikasa berbalik dan menatapku.
“No. Sepertinya kau harus memberiku sedikit arahan...”
gumamnya lalu berbalik lagi beranjak menuju mejanya.
Aku menatap Eren, ia tersenyum manis. “Sepertinya kau
sering terjebak dalam situasi seperti ini jika menyangkut Mr. Ackerman...”
“You mean...?”
“Lembur dan melewatkan jam makan siangmu hanya karena permintaan
bos kita... sebaiknya jangan menolak aku hanya akan membantu kali ini saja,
jadi jangan terlalu senang,” serunya lalu menyambar beberapa berkas dan
beranjak menuju mejanya.
Sedetik tadi... kurasa Eren tampak sedikit keren.
****
Jam
menunjuk pukul enam lewat lima belas menit saat pekerjaanku akhirnya selesai.
Ponselku berdering dan saat kuterima panggilan itu terdengar suara manly
seorang pria yang tak kukenal dan ia balas menyapaku. “(Name) right?” gumamnya.
“U-umh...
yeah, who is it? Do I know you?” tanyaku bingung.
“Ah,
sorry ... aku belum mengenalkan diriku.” Gumamnya lalu terkekeh pelan. “Aku
Klaus Goldstein... aku dapat nomor ponsel ini dari ibumu, apa kau sudah tahu
bahwa aku ingin mengajakmu makan malam?”
“Ah...
Klaus Goldstein...?” gumamku pelan. Aku merasa pernah mendengar namanya tapi
aku lupa. “Wait... apa kita pernah bertemu sebelumnya...?” selidikku.
Klaus
tertawa dari seberang telepon. “Entahlah mungkin saja... aku akan menjemputmu
jam tujuh malam... bagaimana?”
Kulihat
jam tanganku, hanya tersisa waktu setengah jam untuk mempersiapkan semuanya dan
aku tak yakin dengan ajakan makan malam ini. “Ah, tapi... saat ini aku masih di
kantor dan kurasa kau tak akan mau makan malam dengan penampilanku saat ini,”
tolakku.
“Don’t
worry about that... aku tidak mengajak gaunmu untuk pergi makan malam denganku,
lagipula aku juga baru saja menyelesaikan pekerjaanku. Ini hanya makan malam
biasa kau tak perlu cemas dengan penampilanmu...”
Aku
berpikir sejenak dan melihat Levi sedang berjalan mendekati meja Petra. Langkah
kakinya yang ringan dan penampilannya yang maskulin menyita perhatianku. Ia sedang membahas sesuatu dengan Petra. “Ku
harap kau tidak menolak..” gumam Klaus lagi.
“Okay
baiklah, aku bekerja di...”
“I
know! Aku sedang dalam perjalanan menuju kantormu, see you later?”
“Yeah,
o-okay... see you later,”
Kantor
sudah mulai sepi, Mikasa dan Eren juga telah menyelesaikan bagian mereka dua
puluh menit yang lalu sebelum pergi untuk menghadiri acara kumpul bareng malam
itu. Aku baru saja mengakhiri tahapan akhir pekerjaanku dan mengirimkan soft
filenya pada Levi Ackerman.
Tepat
lima menit setelahnya, pintu ruangannya terbuka dan ia keluar dari dalam
ruangannya. “Kau sudah menyelesaikan semuanya?” tegurnya kemudian. Petra yang
masih berada di mejanya menatap Levi bingung sementara Levi sedang menatapku
dengan wajah kaku.
Sepertinya
yang dimaksud Levi adalah pekerjaanku. “Um, yeah... aku baru saja mengirimnya
ke emailmu, kau sudah bisa mengeceknya sekarang,” gumamku sambil tersenyum lembut
penuh kemenangan. “Kalau tak ada lagi yang harus kulakukan, bisakah aku pergi
sekarang?” tanyaku.
Aku
tahu harusnya tidak menanyakan hal ini, bisa saja dia akan memintaku melakukan
hal aneh lainnya.
Levi
kembali memperlihatkan wajah minus ekspresinya. “Yeah, you can go now...”
jawabnya. “Make sure that you eat all the meals and don’t get drunk,” jawabnya
santai.
“Heh?”
Aku tak pernah membayangkan akan mendengar hal ini darinya. Tapi Levi Ackerman
tampak lebih tenang dibanding tadi siang, tunggu... apa aku berharap dia akan
mencegahku? Ah, nonsense... dia tak mungkin melakukannya.
Ia
berbalik menatap Petra dan tak menghiraukanku. “Petra cek jadwalku malam ini?”
gumamnya.
“Ah
sir, malam ini kau ada janji makan malam dengan perwakilan dari perusahaan
Armored....”
Ponselku
kembali berdering dan memecah perhatianku. Sebuah sms muncul... dari Klaus
Goldstein. Ternyata dia telah sampai ditempat ini dan sedang menunggu di lobby.
“Thank
you sir, see you tomorrow...” gumamku pelan lalu beranjak pergi setelah
mengucapkan salam perpisahan pada Petra.
****
Klaus
Goldstein benar-benar pria idaman, tepat ketika aku baru saja keluar dari dalam
lift aku melihatnya tersenyum menyambutku, seolah dia sudah mengenalku
sebelumnya. Aku juga benar-benar merasa pernah melihatnya disuatu tempat,
wajahnya tampak sangat familiar.
Tidak
buruk, dia terlihat tampan, tinggi, rapi dan menawan. Beberapa wanita yang ada
di lobby bahkan turut mengamatinya, ia
berhasil mencuri perhatian banyak wanita.
“Are
you...”
“Klaus
Goldstein...” putus Klaus ia menyodorkan tangannya padaku untuk bersalaman dan
aku pun menyambutnya.
“Oh,
maaf membuatmu menunggu lama Mr. Goldstein...” gumamku kikuk.
“Are
you kidding?” serunya, senyuman manis muncul diwajahnya saat ia menatapku
ramah. “Jangan menyebutku Mr. Goldstein, kau bisa memanggilku Klaus saja,”
pintanya.
Kurasa
dia benar, jika kau ingin berkencan dengan seseorang setidaknya kau harus
membuat posisimu nyaman saat bersama dengannya. “Okay Klaus...” jawabku sambil
tersenyum ramah. Berusaha menampilkan sisi terbaikku.
“Shall
we go now?” ajaknya lagi dengan senyuman menawan. Kurasa keputusan untuk pergi
makan malam dengannya bukanlah ide buruk. Aku pun mengangguk dan kami berjalan
berbarengan menuju mobilnya.
Ia
mempersilakanku masuk kedalam mobilnya setelah membukakan pintu itu untukku. Ia
menutup pintu dan masuk kedalam mobil. “Kau bisa makan makanan prancis?”
tanyanya saat ia mulai menghidupkan mesin mobil dan menyetirnya menuju jalan
raya.
“Hmm...
tentu saja, tapi apa kau yakin mereka akan membiarkan kita masuk dengan
penampilan seperti ini,” tanyaku khawatir.
Klaus
tertawa renyah. “Oh, don’t worry... aku punya kenalan disana, mereka sudah
menyiapkan tempat khusus untuk kita berdua, aku yakin kau akan menikmati
suasana dan makanannya, tempat ini bagus dan terkenal dengan menu yang enak,”
serunya lagi.
Aku
hanya bisa mengangguk mengiyakannya. Sebenarnya... aku tidak begitu yakin akan
menikmatinya, aku tak begitu tahu tata cara makan makanan Prancis.
Ponselku
berdering, secepat kilat kusambar ponselku dan menatap layarnya. Jean
meneleponku, segera kuangkat telepon itu dan suara Jean terdengar dari seberang
telepon.
“Where
are you shorty?” geramnya sebal dari seberang telepon. “Kau sudah sangat
terlambat, pertemuannya sudah mulai sejak tiga puluh menit lalu, jangan bilang
penyakit malasmu kambuh lagi!”
Damn...
aku lupa, Jean mengajakku kumpul dengan teman-temanku yang lain. “Uh, sorry
Jean.. aku lupa memberitahumu, aku ada janji jadi sepertinya aku tak akan
sempat menemui kalian,” jelasku.
Jean
terdiam sejenak. “Apa kau pergi kencan?” tanyanya langsung.
“Um,
no... sorry Jean I have to go now, bye!”
Kumatikan
panggilan itu dan mematikan ponselku, aku sedang tak ingin diinterogasi oleh
Jean. Ia benar-benar akan menggangguku jika tahu aku sedang makan malam dengan
seseorang.
“What
happen?” tanya Klaus, rupanya ia terus memperhatikanku sejak tadi. “Are you
okay...?”
“No.
Nothing... I’m fine,” gumamku tak meyakinkan.
Klaus
tersenyum menanggapi kata-kataku yang tak meyakinkan lalu ia kembali fokus
menyetir mobilnya. Sesaat tadi kupikir Levi Ackermanlah yang akan meneleponku.
****
Kami
berdua tiba disebuah hotel berbintang yang mewah dan didalamnya ada restoran
Prancis yang dimaksud Klaus, ia menuju tempat resepsionis untuk melakukan
reservasi ulang dan tak lama kemudian seorang pelayan muncul untuk mengantar kami
menuju meja yang telah ia pesan.
Restoran
itu tampak sangat indah dan berkilau, agak sedikit kontras dengan pakaian
kerjaku yang terlihat agak santai. Seharusnya aku memakai sesuatu yang lebih
rapi dan glamor? Tapi kulihat Klaus juga mengenakan kemeja kerja yang terlihat
rapi dan kasual, tempat ini terlihat tidak cocok dengan penampilan kami berdua.
Kami
mendapat meja didekat jendela dengan pemandangan kota yang indah. Tempat itu
terlihat agak sepi dan pribadi, aku tak menyangka Klaus akan benar-benar
memesan tempat seromantis ini.
Seorang pramusaji muncul dan menyerahkan buku
menu pada kami berdua. Klaus mengamati buku itu dan mulai memilih-milih
makanan. Aku membuka buku menu dan mulai merasa kebingungan.
Foei
Grass? Aku bahkan tak tahu makanan ini terbuat dari apa dan bagaimana cara
menyebutkannya, bahasa Prancis memang cukup sulit untuk dilafalkan. Klaus
menyebutkan pesanannya dengan sangat lancar lalu ia menatapku. “Apa kau sudah
menentukan pilihanmu?” tanyanya.
Kututup
buku menu itu dan tersenyum. “Aku ingin makan yang ringan-ringan saja, tolong
kau pilihkan untukku,” gumamku. Klaus tampak mengerti ia pun menyebutkan
pesanan untukku. Setelah selesai memesan si pramusaji pun pergi meninggalkan
kami.
Klaus
tampak santai dan ia terlihat sangat menguasai medan pertempuran ini. Kami
berdua duduk dikursi masing-masing dan saling berhadapan. Ia mengutak-atik
ponselnya sebentar lalu memasukkannya lagi kedalam sakunya.
“Sorry
(Name) aku harus membalas email tentang pekerjaan. Jadi, bagaimana harimu?” tanyanya
kemudian karena aku terdiam untuk beberapa saat. Melihat ekspresi kagetku ia kembali
tersenyum. “Apa kau benar-benar tidak mengingatku?”
“Heh?
Aku sedikit tak yakin, maafkan aku tapi sepertinya aku sedikit lupa...” jawabku
jujur. “Hanya saja... aku merasa pernah melihatmu disuatu tempat,”
Ia
tersenyum ramah dan mengangguk pelan. “Sepertinya kau benar-benar tak ingin
mengingatku,” gumamnya setengah bercanda.
“What
do you mean?” selidikku. “It’s not like that...”
Seorang
pramusaji muncul dengan meja dorong berisi anggur. Ia menuangkannya ke
masing-masing gelas yang ada di meja kami.
“Kita
memang pernah bertemu sebelumnya tapi sebaiknya kau tak usah mengingat kejadian
saat itu, karena aku merasa sangat malu jika kau mengingatnya,” tolaknya halus.
Aku
mengerutkan dahiku bingung. Aku tak mengerti apa yang dimaksud Klaus. “Okay Mr.
Goldstein... sepertinya kau sudah berhasil membuatku merasa penasaran denganmu,
kuharap kau tak melakukannya sepanjang malam,” gumamku lalu meminum sedikit
anggur dari gelasku.
Aku
kembali teringat pesan Levi saat ia mengingatkanku agar tidak mabuk. Kurasa minum
sedikit anggur tak akan membuatku mabuk... lagi pula anggur ini sangat enak.
Klaus
terkekeh pelan. “I’m sorry... aku tak bermaksud begitu. Hanya saja... aku tak
yakin kau akan menyukai ceritaku. Tapi... aku senang sekali bisa bertemu
denganmu lagi, sungguh,” gumamnya.
Aku
berpikir sejenak, sepertinya Klaus memang tak ingin menceritakannya padaku
sekarang. Kurasa aku akan membiarkannya untuk kali ini dan menanyakannya lain
waktu saat kami sudah lebih dekat.
Tak
lama kemudian pesanan kami datang, rupanya Klaus memesan makanan yang sama
untuk kami berdua. Sejauh ini aku merasa baik-baik saja, tampaknya pembicaraan diantara
kami berdua tidak akan menjadi aneh.
“Makanan
ini sangat cocok dengan Wine, setelah memakannya jika kau minum anggur rasanya
akan terasa lebih nikmat,” jelas Klaus. “Martini Vermouth juga sangat enak
untuk dicoba,”
“Yeah
you right!” gumamku sambil mengikuti instruksi Klaus. Memakan makananku lalu
meminum anggurku sampai habis. Rasa panas anggur mengaliri tenggorokanku
membuat tubuhku jadi terasa hangat.
Kami
berbincang tentang hal-hal yang ringan dan tempat Klaus bekerja sebagai seorang
reporter. Selama perbincangan itu aku terus minum anggurku sedikit demi sedikit
hingga seorang pramusaji kembali muncul dan menuangkan anggur kedalam gelasku
lagi.
“(Name)
bagaimana hubunganmu dengan kekasihmu?” tanya Klaus.
Pertanyaannya
membuatku mengerutkan dahiku bingung. “Ah, maafkan aku karena menanyakan hal
ini tapi aku sedikit penasaran dengan hubungan kalian, kurasa dia bukan orang
yang gampang membiarkan kekasihnya pergi makan malam dengan pria lain, apa
hubungan kalian sudah berakhir?”
“Kau
juga pernah bertemu dengannya?” pancingku sambil mencoba fokus pada perkataan
Klaus. Lalu meminum anggur dari gelasku lagi, mencoba menghilangkan kegugupan.
“Tentu
saja. Dia pria pendek dengan rambut sehitam malam dan mata biru keabu-abuan, dipertemuan
pertama kami ia bahkan memberiku salam perpisahan yang cukup menyakitkan. Melihatmu
menerima ajakan makan malamku saat ini apa berarti kalian berdua sudah tidak
berhubungan lagi...?”
Aku
ingin memastikan apa yang dimaksud Klaus adalah Levi Ackerman? Bos dan
editorku? Dengan perasaan gusar kuteguk lagi anggurku.
Melihatku
terdiam membuat Klaus sadar bahwa aku sedang memikirkan hal lain. “Sorry, aku
tak bermaksud mengingatkanmu... sebaiknya kita membahas hal lain saja,”
“Don’t
worry Klaus it’s not a big deal anyway...” gumamku meyakinkannya.
Aku
dan Klaus akhirnya mencari topik lain untuk pembicaraan kami, meskipun
pembicaraan itu sangat menarik dan ia memperlakukanku sangat baik entah kenapa
aku tak bisa menjauhkan pikiranku dari Levi Ackerman.
Aku
jadi ingin tahu apa yang sedang ia lakukan malam ini, apa yang dia makan
sebagai menu makan malamnya dan apa dia berhasil membuat kesepakatan baru
dengan kliennya dari perusahaan Armored... apa gadis berambut merah itu juga
ikut menemaninya. Terlalu banyak pertanyaan yang muncul dalam kepalaku.
****
“Kau
yakin baik-baik saja?” tanya Klaus saat kami keluar dari pintu restoran dan aku
tanpa sengaja meraihnya. Ia memegangi tangan dan pinggangku wajahnya terlihat
khawatir.
“I’m
okay... kepalaku cuma sedikit pusing,” gumamku tak meyakinkan.
“Jangan
bilang kalau kau tidak kuat minum alkohol?” tanyanya lagi.
“Hmm,
it’s not like that... aku hanya sedikit pusing saja,” jawabku tak meyakinkan. Kutepis
tangan Klaus dan berjalan sempoyongan.
“You
know... bukan hal yang bijaksana jika kubiarkan kau pergi semaumu dengan
kondisi seperti ini, biarkan aku membantumu... oke?” pintanya sambil memegangi
tanganku. Aku hanya diam menatapnya.
Klaus
menuntunku untuk duduk di sofa lobby saat ia kembali menemui resepsionis. Kepalaku
berat dan aku merasa sekitarku berputar sangat cepat. Bos clean freak-ku itu
benar... seharusnya aku tak minum anggur beralkohol.
Tak
lama kemudian Klaus kembali menghampiriku dan membantuku berdiri, ia menuntunku
masuk kedalam lift. Beberapa kali aku terkulai dan ia memegangiku agar tidak
terjatuh.
Pintu
lift terbuka dan ia kembali menuntunku berjalan disepanjang lorong sambil terus
memeluk bahuku. “Kita sudah sampai...” serunya lalu ia membuka pintu kamar
dengan kartu khusus yang ada ditangannya.
Pintu
itu terbuka dan dia membawaku masuk kedalam membiarkanku berdiri sejenak lalu
ia beranjak untuk menutup lagi pintunya. “Ini
bukan kamar apartemenku...” gumamku pelan lalu beranjak pelan menuju
kasur yang tampak nyaman.
Klaus
menatapku lalu membuka jasnya dan menaruhnya pada sebuah gantungan jas ia juga
membuka beberapa kancing kemejanya. Aku duduk diatas kasur dan berbaring
diatasnya. Kepalaku yang terasa berat dan pusing akhirnya mulai terasa nyaman.
Klaus
beranjak menuju sebuah lemari pendingin dan mengeluarkan kaleng bir dari
dalamnya. “Ini memang bukan kamar apartemenmu, malam ini kita akan menginap di
hotel ini,” gumamnya lalu mengambil gelas dan beranjak menuju sofa yang ada
didekat jendela hotel.
“Huh?”
aku bangkit dan terduduk lagi dikasur itu. “What do you mean?” tanyaku dengan
kepala pening.
Klaus
menuang bir itu kedalam gelasnya lalu duduk di sofa dengan kaki terjulur keatas
meja yang ada didepan sofa. Ia menaruh kaleng kosong bir diatas meja yang ada
disebelah sofa itu lalu menatapku dingin.
“Aku
tak mungkin mengantarmu pulang dalam kondisi mabuk, mengertilah aku harus
melakukan ini agar kita berdua tidak mengalami malam yang buruk. Lagipula kau
harus segera mengistirahatkan dirimu,”
Aku
beranjak dari dudukku dan berjalan sempoyongan menuju pintu. “Where are you
going?” tanya Klaus, ia meletakkan gelasnya dan beranjak mendekatiku.
“I
wanna go home,” gumamku pelan.
“Hey,
kau tidak dengar kata-kataku barusan?” serunya sambil menarik tanganku.
“I’m
okay Klaus, please let me go...” gumamku tak jelas.
“We
can’t...” tolaknya. “Aku janji tak akan melakukan apa-apa jadi kau bisa tidur
semaumu okay?” pintanya, namun ia tampak ragu dengan kata-katanya sendiri.
Kutepis
tanganku darinya, tapi Klaus kembali menarikku dan mendudukkanku dikasur. “Listen
to me...”
Klaus
tak menyelesaikan kalimatnya saat mendengar ketukan di pintu kamar. Ia menatapku
sejenak lalu membiarkanku sendirian dan pergi memeriksa pintu. Aku beranjak
dari kasur dan berjalan menyusul Klaus. Pintu itu telah terbuka dan jantungku
berdebar cepat saat melihat tamu yang berdiri didepan pintu kamar hotel kami.
Ia
langsung nyelonong masuk dan menghampiriku. “It’s time to go home drunkass,”
gumam Levi lalu menarik tanganku.
“Hei,
what you think you’re doing?” tegur Klaus ia langsung beralih kesisiku.
“Apa
aku kurang jelas? Aku kemari untuk menjemputnya,” jawab Levi dingin.
“Kau
pikir aku akan membiarkannya begitu saja...? Lagipula kau tak punya hak karena dia
calon tunanganku,”
“Lalu...?
Kau pikir aku akan berubah pikiran?” gumam Levi dingin lalu kembali menarikku
kesisinya. “She’s mine..” gumamnya dingin. “Aku tak akan membiarkanmu
menyentuhnya...”
“Yang
benar saja... aku hanya membiarkannya istirahat, lagipula sebentar lagi kami
akan bertunangan, oke? Apa kau masih tidak mengerti? Aku akan menikahinya,”
Levi
terdiam menatap Klaus, bisa kurasakan ia menggenggam tanganku kuat. “Sepertinya
pernikahan itu akan dibatalkan...”
****
Levi
menarik tanganku sepanjang lobby hotel dan kami berdiri dalam diam diteras saat
menunggu mobil Levi diantar oleh petugas hotel. “I’m sorry...” gumamku pelan
saat melihatnya diam tanpa kata-kata.
Levi
melepas jasnya dan berbalik menatapku, ia memasangkan jas itu ditubuhku. “Come
on... kendaraan kita sudah datang,” ajaknya lalu menarikku agar mengikuti
langkahnya.
Dia
terlihat sangat dingin, aku yakin dia sangat marah. Aku masuk ke dalam mobilnya
dan petugas hotel menutupkan pintu mobil itu untukku. Kepalaku masih terasa
berat dan kepalaku masih terasa pusing, Levi masuk kedalam mobil dan
mengamatiku sejenak.
“Kenapa
kau tahu aku ada dihotel ini?” gumamku sambil memegangi kepalaku.
“Don’t
get me wrong... aku hanya kebetulan melihatmu saja aku punya urusanku sendiri,”
jawabnya dingin, lalu menyalakan mesin mobilnya dan menyetir mobil itu pergi
dari kawasan hotel.
Kata-katanya
membuatku merasa kesal. “Turunkan aku disini,” pintaku.
“The
hell are you talking about?” gumamnya. “I won’t do that, you know it very well,”
“I
don’t know anything about you, how can I knew it?” gumamku sambil melempar
tatapan ke jendela diluar mobil.
“So
you have to learn about me...”
“You
make me confuse...” geramku.
“Just
stop thinking... kita bisa membahasnya nanti saat kau sudah merasa lebih baik,”
“But
you’re always...”
“Shut
up... kau terlalu banyak minum alkohol,” geramnya, salah satu tangannya menekan
kepalaku agar menyandar pada punggung kursi.
Tangan
Levi terasa hangat saat mengenai kulitku. Kuputuskan untuk diam dan ia
menjauhkan tangannya dariku, kembali fokus menyetir mobil dalam diam.
****
Mobil
itu masuk kedalam basement apartemen yang tidak kukenal. Levi memarkir mobilnya
lalu mematikan mesin mobil. Saat itu aku tertidur dikursiku dan Levi berusaha
membangunkan namun ia gagal. Ia pun memutuskan untuk menggendongku dalam
pelukannya.
****
Continued to Chapter 10
0 comments:
Post a Comment