Friday 20 May 2016

Perfect Punishment (Levi Ackerman x Reader) - Chapter 04

BY Unknown IN 1 comment



Perfect Punishment
(My Editor is a Devil)

Cast : Levi Ackerman x Reader
Genre : Romance, Mature
Language : Mix (Bahasa Indonesia - English)

NB: Disini ‘reader’ akan berperan sebagai ‘aku’ jadi jika ada tulisan (name) silakan masukkan namamu kedalam ceritanya ya :) Sorry banget karena bahasa inggrisku yang masih kacau balau :) I’m still learning, so please get easy on me :)


Chapter 4

Sejam berlalu sejak kami berdua terjebak dalam lift, entah apa yang sedang terjadi diluar saat ini kami berdua sama sekali tak tahu, kuharap para petugas itu bisa dengan cepat mengatasi situasi ini. Membayangkan kami berdua akan bermalam dalam lift kecil yang semakin dingin membuatku merasa cukup resah.

Kepalaku masih terasa sangat berat dan pening setiap kali aku mencoba untuk fokus. Hawa didalam lift pun terasa semakin dingin membuatku harus mengeratkan pelukan tangan ditubuhku sendiri dan menarik jas Levi erat agar menutupiku dengan sempurna. Kulihat Levi tampak berdiri tenang disudut lain lift itu. Ia hanya menyilangkan tangan didada, tampak kalem dengan wajah tanpa ekspresi.

“Kenapa kau tampak sangat tenang, sir?” cetusku, mulai merasa depresi dengan keheningan awkward yang terjadi diantara kami berdua.

Levi mengalihkan tatapannya padaku. “Apa kau tak sadar? Kau sudah sepuluh kali menanyakan hal yang sama,”

“Ah!” keluhku gusar sambil memijat pelan kepalaku yang masih terasa pening. “I forgot about that, aku tak tahu terjebak dalam lift kecil akan membuatku tak bisa berpikir jernih,” jawabku asal.

“Bukan karena liftnya...”

“Hmm..?”

“Kau jadi semakin bodoh karena kau sedang mabuk, drunkass,”

“Aku tidak mabuk, hanya sedikit pusing,” tukasku.

“Tch... orang mabuk tak akan pernah sadar bahwa mereka sedang mabuk,” gerutu Levi kemudian. Ia menggosok kedua tangannya dan menghangatkannya dengan uap dari mulutnya sendiri.

“Apa kau kedinginan?” tanyaku.

“I’m fine okay, don’t worry about me...” gumamnya tenang lalu kembali menyilangkan kedua tangannya didada. Aku merasa sedikit bersalah padanya karena membuatnya berada dalam situasi ini.

Aku beranjak kesisinya dan membuka jas yang menutupi tubuhku. “Hey? Kau tak perlu melakukannya!” cegah Levi tangannya menahan tanganku yang sedang menyodorkan jas itu kembali padanya, ia menatapku dengan dahi berkerut dan hal itu cukup membuatku merasa takut.

“This is my fault, sir... kalau kau tak keberatan kita bisa berbagi jas ini dan memakainya bersama,” gumamku pelan.

Levi menatapku sejenak saat kusodorkan jas itu padanya. “Why you do this? Bukankah kau takut padaku dan membenci pria?”

“Hmm yeah you right but I don’t know why sir... it’s true that I feel so scared when I’m with you but... honestly, I feel so much better when you around me right now. I don’t know what will happen to me if it Klaus join me in this situation,”

“Tch... kenapa malam ini kau bicara sangat jujur padaku, apa ini karena pengaruh alkohol? So you think that I wouldn’t do some freaky stuff to you right now, hah?”

Kusodorkan lagi jas itu padanya. “I hope your not sir,please... take this,” pintaku lagi sambil memegangi lenganku sendiri karena mulai merasa kedinginan.

“Tch... kuduga kau tak akan pernah mengatakan hal ini padaku saat kau tidak mabuk,” gerutunya lalu menyambut jas yang kupegang sejak tadi. “Come closer to me, lazyass” pintanya.

Aku pun beralih kesisinya dan bersandar pada dinding lift. Levi menyampirkan jas itu ditubuh kami berdua dan kami pun berdiri berdampingan dengan lengan saling menempel. Kami berdua kembali terdiam. “Apa kau tidak pernah mabuk, sir?” tanyaku lagi.

“Apa kau memang selalu banyak bicara saat mabuk?” keluhnya. “Aku tak pernah minum alkohol,” jawabnya.

“No way!” sentakku. Ia hanya menjawab dengan tatapan kematian. “Sorry... berbicara denganmu membuatku merasa sedikit lebih baik sir. Kurasa mendengar kau menceramahiku akan terasa lebih baik saat ini,”

“Apa kau sedang mengejekku?”

“Hmmm...” aku tersenyum saat mendengar kata-katanya dan memejamkan mataku saat kepalaku terasa pusing. “We never talk like this before because you’re always yelling at me. You’re always make me doing stuff like this and that, tell me for cleaning up your room and you suddenly force me to made a cup of tea when I’m busy playing my otome game, I wonder how much you hate me sir,”

“Tch... are you complaining me right now?”

“Yeah. Tapi aku tahu kau melakukannya untuk mendisiplinkan bawahanmu,” jawabku tanpa beban.

“Sepertinya kau sudah mengerti situasimu saat ini,”

“Hm, I want to know more about you sir...” gumamku, Levi melirik dari sudut matanya memperhatikan diriku yang sejak tadi berbicara dengan topik yang menurutnya aneh dan tak biasa. “What kind of hobby do you like sir?”

Levi menarik napas panjang dan kembali menyilangkan kedua tangannya didada. Ia mempersempit jarak diantara kami dan wajahnya semakin dekat dengan wajahku. “Should I tell you my hobby little shitty brat?” bisiknya ditelingaku.

Aku tersentak kaget mendengar suaranya yang tepat berada ditelingaku. “Don’t answer me back with a question sir...” gumamku keras sambil memberinya tatapan serius dengan dahi mengernyit.

“What?” Levi tampak sedikit terkejut mendengar kata-kataku. Biasanya dia akan meneriakiku atau mengataiku tapi malam ini ia tampak lebih tenang dan menanggapi santai semua komentar-komentarku, ia menyeringai kecil.

“Since you’re being a good girl tonight, I think I’m going to tell you my favorite one... let me think about it...” gumamnya lalu menjauhkan wajahnya dariku dan bersikap seolah-olah sedang berpikir keras sementara mataku terus terpana padanya.

Levi menatapku diam untuk beberapa saat, sementara aku menunggu jawabannya. “Maybe... teasing you all day as a servant is my favorite part of this job,”

Aku berjengit. “What? You have a weird hobby sir!” gumamku.

Levi tertawa. “I’m just joking, actually... I love reading some books and doing sporty stuff, cooking and of course...  teasing on you,”

Pertama kali melihatnya tersenyum semanis itu membuatku berpikir bahwa Levi Ackerman adalah orang yang sangat baik. Hal itu membuat jantungku jadi berdebar-debar dan entah kenapa kurasa wajahku akan memerah hanya karena melihat senyumannya. Namun senyuman itu tak bertahan lama, Levi kembali bersikap dingin lagi.

“Hmm... I wonder how much your friend if you’re always teasing them like that,” gumamku pelan.

“Aku tak begitu perduli dengan hal itu,”

“I got your point, sepertinya kau tak seburuk itu... karena sepertinya Hanji dan Irvin adalah teman baikmu,”

 “Haruskah aku berterima kasih karena kau memujiku?” gumamnya sambil menatapku dengan tatapan yang sangat menenangkan.

“You don’t need, just do it if you wanna thank me, if you’re not... please don’t tease me,”

Levi terdiam sejenak lalu memalingkan wajahnya dariku. “This is strange, why you look like idiotically cute when you say something like this? It makes me want to kiss your damn lips,”

“W-what? You want to kiss me..?”

Levi tampak terkejut lalu kembali bersikap dingin lagi. “Just forget about that... and go back to sleep, drunkass,” gerutunya lalu menekan kepalaku kebahunya.

Kami terdiam sejenak hingga akhirnya aku kembali mengoceh lagi. “I wonder what kind of girl do you like, sir?” tanyaku lagi tanpa berusaha menjauhkan kepalaku dari bahunya. Entah mengapa saat ini bahu Levi sungguh terasa sangat nyaman untuk kepalaku.

“It’s awesome you still asking a bunch of weird stuff to me...”

“I’m sorry...” gumamku lalu mengangkat kepalaku dari bahunya dan menyandar dengan benar kedinding yang ada dibelakangku.

“What’s wrong?”

“Hatsyiiii!!” aku pun bersin sekuat tenaga setelah menutupi wajahku dengan kedua tanganku.

Levi tampak syok namun ia kembali menenangkan dirinya. “You weird!” keluhnya lalu melepas jas dari tubuhnya dan memakaikan semua jas itu padaku.

“What are you doing sir?” gumamku saat menyadari Levi sedang memelukku setelah memaikaikan jas padaku.

“Make you warmth.. stop complaining me and be quite,” bisiknya lembut.

Aku kembali diam dan menyandarkan kepalaku yang terasa berat kedada Levi. Aroma tubuhnya yang lembut dan segar membuatku merasa nyaman, pelukannya benar-benar terasa hangat dan aku bisa mendengar suara detak jantungnya yang terdengar saling berkejaran. Apa sekarang dia sedang gugup? Kenapa jantungnya berdegup sangat cepat?

“Do you still wanna hear my answer..?” gumamnya.

“Hmm.. what?” gumamku lalu mendongak untuk menatap wajahnya.

Levi menatapku dengan sorot mata yang lembut. “Oh just forget about that...” gumamnya membatalkan keputusannya untuk memberitahuku.

Aku tertawa mendengar jawabannya. “What was that? Why you...”

“Berhentilah bicara,” keluhnya lagi lalu membuang muka. Tak pernah terpikirkan olehku kami berdua akan terjebak didalam sebuah lift dengan pose seperti ini. Ini memalukan namun aku cukup menyukainya. Berada dalam pelukan Levi tak terasa begitu buruk...

Keheningan itu kembali membunuhku. “I’m feelin’ dizzy... Can I hear your voice again sir...? It makes me feel comfortable,”

Levi menghela napas panjang namun ia tak komplain dengan permintaanku yang aneh. Jemarinya menyentuh daguku dan perlahan ia mengangkat daguku hingga wajahku mendongak untuk menatapnya lagi, lalu ia berbisik. “I’m sorry for doing this to you when you get drunk, little shitty brat...”

“Huh..?”

Aku tak tahu apa yang akan terjadi... but maybe not. Saat itu wajah Levi bergerak semakin dekat dengan wajahku dan begitu kusadari aku hanya bisa merasakan bibir Levi yang dingin dan lembut telah menempel erat dibibirku. Aku terkejut dengan tindakannya tapi kenapa aku tak menolak ciuman itu?

Kenapa dia menciumku? Hanya itu yang terlintas dipikiranku namun aku tak mencoba berontak. It feels so good when he forced me with bunch of small kiss on my lower lips. Ciuman yang hangat dan lembut itu membuatku merasa nyaman, Levi memberiku ciuman-ciuman lembut sebelum ia akhirnya menjauhkan bibirnya dariku.

“Look, this is the best way I can do to make you comfort and shut your damn mouth...” gumamnya lalu menekan kepalaku kedadanya lagi, sikapnya membuatku membatu. “Sepertinya ciuman itu bekerja dengan sangat efektif pada pemabuk sepertimu,”

****

Malam itu aku tidur sangat pulas tanpa mengetahui apa yang telah terjadi. Keesokan harinya aku terbangun kaget karena sebuah mimpi buruk yang benar-benar membuatku merasa sangat ketakutan.

Dengan napas terengah-engah aku terdiam sambil menatap ruangan tempatku tidur semalam dengan perasaan bertanya-tanya kenapa aku bermimpi tentang Levi Ackerman yang sedang menciumku? “(Name) what’s wrong? Are you alright?”

Suara yang sangat familiar itu langsung menyambutku. Kutatap sosok yang sedang berdiri dipintu yang baru saja terbuka itu. “Joy?”

Joy adikku masuk kedalam kamarku dan membukakan tirai jendela. “Wake up lazyass, apa kau tak ingin masuk kantor hari ini?” gumamnya. Sinar matahari yang menyeruak masuk melalui celah jendela membuat mataku sakit karena silau.

“Wajahmu pucat, apa kau habis mimpi buruk?” tanyanya dengan tangan berkacak pinggang.

“Apa yang kau lakukan disini Joy?” tanyaku sambil menutupi wajahku dengan tanganku.

Joy beranjak naik keatas kasurku. “I’m checking on you, come on wake up... bukankah hari ini kau ada pertemuan penting distudio S, kau harus cepat siap-siap kalau nggak mau terlambat,” serunya sambil menarik selimut dari tubuhku.

“Ah.. kau benar aku harus pergi kesana...” gumamku malas lalu beranjak duduk sambil memegangi kepalaku yang masih terasa pusing, rambutku sudah terlihat acak-acakan dan aku mengenakan baju tidur yang tak biasa. “Wait... darimana kau tahu kalau aku ada pertemuan hari ini?”

Joy beranjak turun dari kasurku dan berjalan menuju lemari pakaian lalu membongkar isinya. “Semalam pacarmu memberitahuku, dia memintaku untuk mengawasimu,”

“What..? Pacarku..? Maksudmu Jean?” gumamku tak percaya.

Seingatku, Jean lah yang bertugas untuk menjemputku pulang dari pesta penghargaan nobel tapi aku bahkan tak ingat kapan aku pulang dan dengan siapa aku pulang tadi malam.

“Nope. Dia bukan si horse face, aku belum pernah bertemu dengannya sebelumnya tapi tampaknya dia sangat khawatir padamu, dia bilang kau tak perlu datang kepertemuan di studio S kalau memang kau masih belum mendapat kesadaranmu kembali,”

“Hah..?”

Joy menatapku dengan senyuman usil. “Pacarmu tampan juga,”

“What are you talking about? I don’t have a boyfriend,” gumamku bingung lalu beranjak dari kasur dan kulihat diriku dicermin, aku masih mengenakan dress dan jas formal pria.

Aku bahkan tak ingat kapan aku memakai jas ini dan kenapa aku bisa memakainya, tapi tampaknya jas ini milik Levi Ackerman aku masih bisa mengingat setelannya saat pertama kali melihatnya di lobby hotel.

“Semalam kau sangat mabuk, wajar saja kau tak ingat. Tapi terlalu sekali kalau kau tak mengakui pacarmu sendiri,”

“I’ve already told you, he’s not my boyfriend... I don’t know him,” jawabku gusar. Meskipun aku mengatakannya tetap saja dalam hati aku merasa tak yakin dengan ingatanku sendiri. Entah kenapa aku tak ingin percaya bahwa orang yang sudah mengantarku saat aku mabuk semalam adalah bosku sendiri, Levi Ackerman.

“Okay! Okay! Terserah kau saja. Ini bajumu, sebaiknya kau mandi dan segera bersiap lalu sarapan.. ah, maksudku sebentar lagi waktunya makan siang,” gumam Joy sambil menaruh set pakaian diatas kasur lalu beranjak menuju pintu.

“Okay...”

“Hey... I just want you to know... sebentar lagi pria yang dijodohkan denganmu akan muncul, meskipun nantinya kau punya pacar, kau tau ibu tak akan dengan mudahnya menyetujui hubunganmu kan?”

Aku yang baru saja mengenakan piyama mandiku langsung mengernyit menatap Joy. “Kenapa kau selalu muncul dengan berita buruk.. Joy?”

“Hehehe... sebenarnya aku datang kemari karena nanti malam akan ada konser band kesukaanku didekat taman kota.... jadi, lupakan saja berita buruk itu, cepatlah mandi!”

****

Siang itu aku melewatkan pertemuan di studio S, aku masih merasa tak enak badan karena pengaruh alkohol yang kuminum tadi malam jadi kuputuskan untuk tidak menghadiri pertemuan dan langsung pergi kekantor.

Sebelumnya aku tak akan memprioritaskan kehadiranku di kantor dan lebih sering menghabiskan waktu di apartemen untuk menulis. Tapi baru kusadari kalau akhir-akhir ini aku jadi sangat rutin ke kantor dan bahkan bekerja dengan sangat rajin (maksudnya bekerja sebagai pembantu Levi Ackerman).

Ada beberapa pekerjaan yang harus kuselesaikan hari itu juga, namun fokusku langsung kacau saat aku berpapasan dengan Levi Ackerman di depan pintu lift kantor.

Ia menatapku dengan dead glarenya hal itu membuatku mematung untuk beberapa saat. “Good afternoon (Last Name),” tegurnya.

“G-good afternoon, sir...” balasku gugup. Entah kenapa saat itu aku merasa sangat malu saat melihatnya, tiba-tiba saja aku kembali teringat dengan sensasi bibir bosku.

Tak lama kemudian pintu lift menjeblak terbuka dan beberapa orang keluar dari dalam lift, setelah lift kosong kami berdua pun masuk kedalam dan saat itu hanya ada empat orang yang berada dalam lift.

Levi berdiri agak jauh dariku hal itu membuatku jadi leluasa mengamati sosoknya. Seperti biasa ia tampak rapi dengan jas dan setelan kemejanya, saat itu ia sedang sibuk mengetik sesuatu diponselnya dan tampak dingin seperti biasanya.

Tak lama kemudian pintu lift terbuka lagi dan kedua orang asing itu keluar dari lift meninggalkan kami berdua. Rasa gugup kembali menyelimutiku saat refleksi mimpiku tadi pagi kembali terputar dalam ingatanku.

“Bagaimana pertemuan di studio S?” suara Levi bergema dalam ruangan kecil itu dan tiba-tiba saja ia berbalik menatapku.

“A-aku melewatkannya, sir...” gumamku sambil mengalihkan pandanganku dari sosoknya. Damn! Kenapa aku jadi gugup? Aku pasti terlalu takut padanya saat ini, tapi ia tampak sangat tenang.

Lagipula ciuman itu hanya mimpi, wajar saja editorku yang seperti setan ini bersikap seolah tak terjadi apapun diantara kami berdua. Jadi aku juga harus bersikap santai seperti diriku yang sebelumnya.

“Sudah kuduga kau akan melewatkannya, karena kau datang terlambat aku akan membiarkanmu lembur sampai malam,”

“W-what...?”

“Aku butuh bantuanmu, ada beberapa pekerjaan yang aku ingin  kau lakukan,”

“Baiklah. Tapi... aku harus menyelesaikan beberapa review untuk majalah Corps dan Titan terlebih dulu, setelah itu aku akan membantumu,”

“Good to hear that, sepertinya kau cukup paham kalau aku tak akan bersikap lunak padamu hanya karena kejadian semalam,”

Kejadian semalam? Apa maksudmu... bos??

****

Hari telah menjelang sore saat aku menyelesaikan reviewku untuk majalah Corps dan majalah Titan. “Petra...” tegurku sambil berjalan menuju meja Petra dengan lembaran kertas yang telah kuprint untuknya. “Aku sudah menyelesaikan reviewnya bisa tolong kau cek sebentar sebelum kukirim ke email mereka?” pintaku.

“Oh, okay... berikan padaku,” Kusodorkan lembaran kertas itu lalu terduduk santai dikursi yang ada didekat petra sambil memijat-mijat leherku.

Mikasa keluar dari dalam ruangan Levi sambil membawa beberapa file berkas ditangannya. “Kau sudah menyelesaikan reviewmu?” tegurnya saat ia kembali kemejanya. “Kau harus mengirimnya sebelum jam delapan malam kan?” serunya lagi sambil melihat jam tangannya.

“Yeah... aku meminta Petra untuk mengeceknya sebentar, bagaimana pekerjaanmu? Kau tampak kacau, mana Eren? Bukankah tadi kalian masuk berdua?” gumamku sambil memperhatikan Mikasa.

“Eren masih diinspeksi,” serunya, ia melepas kacamatanya dan mendesah panjang lalu memijat dahinya. “Dia memberiku banyak pekerjaan dan semuanya harus sempurna.. kau lihat saja semua ini,” serunya sambil menunjuk file berkas yang tadi dibawanya. “Dia menyuruhku mengecek ulang semuanya sebelum dikirim. Hhh... Aku tak mengerti kenapa kau betah menjadikannya editormu,” bisik Mikasa.

Aku hanya bisa tersenyum miris. “Yeah... aku juga tak tahu kurasa karena aku tak punya pilihan lain, tapi menurutku cara kerjanya lumayan juga, ya kan?”

“Yeah kau benar... setidaknya dia tak membiarkan kita bersantai dikursi kita, jika itu yang kau maksud,”

Aku terkekeh pelan mendengar kata-kata Mikasa. Ya, Levi sangat suka kesempurnaan bahkan dia tak akan membiarkan satu debu pun ada dalam ruangannya dan akan menyuruh semua orang untuk membersihkan semua sudut tanpa ada sisa. Jika itu yang Mikasa maksud.

“(Name),” panggil Petra, aku menoleh padanya dan ia menyodorkan lembaran kertas itu kembali padaku. “Semuanya bagus, kau bisa mengirimnya sekarang,”

“Oh.. okay! Thank’s Petra, aku akan mengirimnya nanti.. aku ingin istirahat sebentar,” tukasku.

“Hey, nanti malam kami akan mampir untuk minum disebuah pub apa kau mau ikut?” ajak Mikasa.

“Ah ya, kudengar Reiner baru kembali dari tugas luarnya dia akan mentraktir semua orang,” seru Petra. “Kau harus ikut,”

“Ah, maaf aku tak bisa ikut hari ini aku lembur... ada beberapa tugas yang harus kuselesaikan malam ini ,lagipula bos memintaku untuk membantunya menyelesaikan pekerjaannya,”

“Hmmm, bukankah sekretarisnya adalah Petra? Kenapa dia malah memintamu untuk membantunya?” sergah Mikasa.

“Kau benar! Hei Petra! Kenapa kau tak membantu bos? Seharusnya itu tugasmu kan?” protesku.

Petra hanya tertawa. “I don’t know, dia tak mengatakan apapun padaku jika bos memintamu untuk membantunya berarti hanya kau orang yang bisa menyelesaikan tugas itu,” jawab Petra santai. 

Aku hanya bisa mendesah pelan, Petra benar kalau Levi memintaku masa aku bilang tidak? Bisa-bisa dia akan membantaiku saat revisi novel nanti. Aku tak punya pilihan lain selain menikmati pekerjaan itu

“Kurasa dia akan memintamu untuk bersih-bersih lagi,” gumam Mikasa.

“Hmm, yeah you right... I think I can't ignore his order when he ask me,”

Jean dan Armin muncul dari dalam lift mereka tampak sedang membicarakan sesuatu. Lalu Armin melempar pandang pada kami dan tersenyum ceria. “Sedang bersantai?” tanyanya kemudian saat ia berdiri didekat Mikasa dan menyodorinya berkas lainnya.

Aku mengangguk sambil tersenyum lesu padanya dan Jean menarik kursiku hingga aku bisa menatap wajahnya. “Oy... bagaimana pesta tadi malam?” tanyanya padaku, ia sedang mengurungku dengan kedua lengannya.

“Jean you scared me!” pekikku dengan suara hampir berbisik. Wajah Jean terpampang tepat didepanku dengan jarak yang cukup dekat.

“Aku menunggu teleponmu tapi kau sama sekali tak menelepon, apa yang terjadi?” protesnya.

“Nothing happen,”

“Kau belum cerita pada kami, siapa yang memenangkan penghargaan semalam?” tanya Mikasa.

Siapa? Jangankan pemenangnya aku bahkan tak ingat berapa lama aku berada dipesta malam itu. “Aku... lupa...” jawabku ragu.

“Lalu... bagaimana bos? Apa dia baik-baik saja ditengah keramaian itu, kau tahu kan apa maksudku?” tanya Armin.

“Yeah, dia tampak sangat menikmati pesta dan ia juga mengobrol dengan banyak kolega penting. Selebihnya aku tak begitu ingat dan rasanya aku berkenalan dengan seorang pria tapi karena terlalu mabuk aku lupa apa yang kami bicarakan,”

Jean menatapku dengan dahi berkerut. “Apa kalian akhirnya berkencan?” tanya Jean.

“Really?” pekik Petra tampak semangat. “It’s a good news (Name), I totally agree if you dated him, who is he?”

“I don’t know, I tried to remember his name but the only thing I know just something similiar like christmast... I think we’re not going to date or something like that,”

“You mean Santa Claus? Is he a fat guy with a white hair?” gumam Jean. Aku menggeleng tak yakin yang kuingat pria itu berwajah tampan.

“Maybe that guy sent you home, right?” gumam Mikasa.

“I don’t know... I can’t remember what’s really happen last night,”

“Hmmm... Kalau kau pulang bersama santa ini lalu apa yang terjadi dengan bos? Kau meninggalkannya sendirian di pesta itu, ya?” tanya Armin dengan wajah serius.

Tak mungkin aku bisa menjawab pertanyaan ini, aku bahkan tak tahu kronologinya. “I just... I think I...”

Kata-kataku terhenti saat melihat Eren muncul dari dalam ruangan Levi ia terlihat agak bersemangat. “Ah (Name)!” panggilnya. Kami semua menolah padanya. “Boss said he wants a cup of coffee,” serunya.

“It’s Christa’s job right?” gumam Jean.

Eren mengedikkan bahunya dan menggeleng pelan. “I don’t know... dia menyuruhku untuk memberitahu (Name) agar membuatkannya kopi, sepertinya dia akan begadang semalaman. Sebaiknya kau segera membuatnya (Name),”

****

Kuketuk pelan pintu ruangan Levi dengan tangan membawa nampan berisi secangkir kopi pesanannya. Sejujurnya aku merasa sedikit terbantu karena tugas ini, aku tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan teman-temanku tadi.

“Come in,” suara Levi terdengar menyuruhku masuk.

Aku pun masuk kedalam ruangannya dan lagi-lagi menangkap pemandangan tak biasa, ada banyak tumpukan buku dan kertas berserakan diatas meja di sudut ruangan.

“This is your favorite coffee sir,” gumamku kalem lalu meletakkan cangkir kopi dan tempat gula didekat Levi. Ia hanya menatapku diam tanpa ekspresi. “And... dont forget to add some sugar into it,” sambungku lagi sedikit mengejeknya.

“Tch,” decaknya lalu melepas kacamata yang ia pakai. “You seems okay right now... sepertinya kau sudah bisa memulai pekerjaan tambahanmu sekarang, kau lihat semua itu?” serunya sambil menunjuk sudut ruangan.

“Umm... do you want me to organize them, right?”

“Yeah... do it now!”

Tanpa banyak komentar aku langsung pergi kesudut ruangan dan membereskan buku-buku dan file yang berserakan diatas meja. Aku penasaran apa yang ia lakukan dengan semua buku-buku ini, apa dia benar-benar membacanya.

“Hey, kau menaruh buku itu terbalik,” tegur Levi. Aku sama sekali tak menyadari ia telah berdiri dibelakangku.

“Ah! sorry...” Tangan Levi terjulur untuk mengambil buku yang salah taruh itu, bisa kurasakan dadanya menekan punggungku ketika ia menjulurkan tangannya. Jantungku langsung berdegup kencang tak karuan saat itu dan entah kenapa aku pun langsung teringat kembali dengan mimpi burukku tadi pagi.

“Kerjakan dengan benar, okay? Jangan sampai aku memberitahumu berkali-kali,” gumamnya tepat didekatku.

“O-okay, sir,” gumamku pelan. Aku tak bisa menatapnya jika ia berdiri sedekat itu denganku.

Levi kembali menjauh dan berjalan menuju mejanya. Ia menyandarkan pantatnya pada sisi meja sambil melonggarkan dasinya, lalu menatapku dengan ekspresi datar. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku dengan perasaan gugup sementara Levi menyeruput kopinya dengan santai.

Aku jadi sedikit penasaran dengan kejadian semalam dan bertanya-tanya dalam hati apa aku bisa menanyakan tentang hal itu pada bosku yang tampak mengerikan ini. Aku ingin tahu siapa orang yang mengantarku ke apartemen tadi malam.

“Sir, about last night...”

“(Name) setelah pekerjaanmu selesai kita akan membahas lanjutan novelmu, aku akan keluar sebentar dan saat kembali nanti aku ingin semuanya sudah beres,” seru Levi. Ia memperbaiki dasinya dan menyambar jasnya lalu menatapku lagi. “Kita akan begadang malam ini,” serunya lalu pergi meninggalkanku sendirian dalam ruangan itu.

****

Continued to Chapter 5
 
 

1 comment: