Perfect
Punishment
(My
Editor is a Devil)
Cast
: Levi Ackerman x Reader
Genre
: Romance, Mature
Language
: Mix (Bahasa Indonesia - English)
NB:
Disini ‘reader’ akan berperan sebagai ‘aku’ jadi jika ada tulisan (name)
silakan masukkan namamu kedalam ceritanya ya :) Sorry banget karena bahasa inggrisku yang masih kacau
balau :) I’m still learning, so please get
easy on me :)
Chapter
4
Sejam
berlalu sejak kami berdua terjebak dalam lift, entah apa yang sedang terjadi
diluar saat ini kami berdua sama sekali tak tahu, kuharap para petugas itu bisa
dengan cepat mengatasi situasi ini. Membayangkan kami berdua akan bermalam
dalam lift kecil yang semakin dingin membuatku merasa cukup resah.
Kepalaku
masih terasa sangat berat dan pening setiap kali aku mencoba untuk fokus.
Hawa didalam lift pun terasa semakin dingin membuatku harus mengeratkan pelukan tangan
ditubuhku sendiri dan menarik jas Levi erat agar menutupiku dengan sempurna.
Kulihat Levi tampak berdiri tenang disudut lain lift itu. Ia hanya menyilangkan
tangan didada, tampak kalem dengan wajah tanpa ekspresi.
“Kenapa kau
tampak sangat tenang, sir?” cetusku, mulai merasa depresi dengan keheningan
awkward yang terjadi diantara kami berdua.
Levi
mengalihkan tatapannya padaku. “Apa kau tak sadar? Kau sudah sepuluh kali
menanyakan hal yang sama,”
“Ah!”
keluhku gusar sambil memijat pelan kepalaku yang masih terasa pening. “I forgot
about that, aku tak tahu terjebak dalam lift kecil akan membuatku tak bisa
berpikir jernih,” jawabku asal.
“Bukan
karena liftnya...”
“Hmm..?”
“Kau jadi
semakin bodoh karena kau sedang mabuk, drunkass,”
“Aku tidak
mabuk, hanya sedikit pusing,” tukasku.
“Tch...
orang mabuk tak akan pernah sadar bahwa mereka sedang mabuk,” gerutu Levi
kemudian. Ia menggosok kedua tangannya dan menghangatkannya dengan uap dari
mulutnya sendiri.
“Apa kau
kedinginan?” tanyaku.
“I’m fine
okay, don’t worry about me...” gumamnya tenang lalu kembali menyilangkan kedua
tangannya didada. Aku merasa sedikit bersalah padanya karena membuatnya berada
dalam situasi ini.
Aku beranjak
kesisinya dan membuka jas yang menutupi tubuhku. “Hey? Kau tak perlu
melakukannya!” cegah Levi tangannya menahan tanganku yang sedang menyodorkan
jas itu kembali padanya, ia menatapku dengan dahi berkerut dan hal itu cukup
membuatku merasa takut.
“This is my
fault, sir... kalau kau tak keberatan kita bisa berbagi jas ini dan memakainya
bersama,” gumamku pelan.
Levi
menatapku sejenak saat kusodorkan jas itu padanya. “Why you do this? Bukankah
kau takut padaku dan membenci pria?”
“Hmm yeah
you right but I don’t know why sir... it’s true that I feel so scared when I’m with
you but... honestly, I feel so much better when you around me right now. I
don’t know what will happen to me if it Klaus join me in this situation,”
“Tch...
kenapa malam ini kau bicara sangat jujur padaku, apa ini karena pengaruh
alkohol? So you think that I wouldn’t do some freaky stuff to you right now,
hah?”
Kusodorkan
lagi jas itu padanya. “I hope your not sir,please... take this,” pintaku lagi
sambil memegangi lenganku sendiri karena mulai merasa kedinginan.
“Tch...
kuduga kau tak akan pernah mengatakan hal ini padaku saat kau tidak mabuk,”
gerutunya lalu menyambut jas yang kupegang sejak tadi. “Come closer to me,
lazyass” pintanya.
Aku pun
beralih kesisinya dan bersandar pada dinding lift. Levi menyampirkan jas itu
ditubuh kami berdua dan kami pun berdiri berdampingan dengan lengan saling
menempel. Kami berdua kembali terdiam. “Apa kau tidak pernah mabuk, sir?” tanyaku
lagi.
“Apa kau
memang selalu banyak bicara saat mabuk?” keluhnya. “Aku tak pernah minum
alkohol,” jawabnya.
“No way!”
sentakku. Ia hanya menjawab dengan tatapan kematian. “Sorry... berbicara denganmu membuatku merasa
sedikit lebih baik sir. Kurasa mendengar kau menceramahiku akan terasa lebih baik
saat ini,”
“Apa kau
sedang mengejekku?”
“Hmmm...”
aku tersenyum saat mendengar kata-katanya dan memejamkan mataku saat kepalaku
terasa pusing. “We never talk like this before because you’re always yelling at
me. You’re always make me doing stuff like this and that, tell me for cleaning
up your room and you suddenly force me to made a cup of tea when I’m busy
playing my otome game, I wonder how much you hate me sir,”
“Tch... are
you complaining me right now?”
“Yeah. Tapi
aku tahu kau melakukannya untuk mendisiplinkan bawahanmu,” jawabku tanpa beban.
“Sepertinya
kau sudah mengerti situasimu saat ini,”
“Hm, I want
to know more about you sir...” gumamku, Levi melirik dari sudut matanya
memperhatikan diriku yang sejak tadi berbicara dengan topik yang menurutnya aneh
dan tak biasa. “What kind of hobby do you like sir?”
Levi menarik
napas panjang dan kembali menyilangkan kedua tangannya didada. Ia mempersempit
jarak diantara kami dan wajahnya semakin dekat dengan wajahku. “Should I tell
you my hobby little shitty brat?” bisiknya ditelingaku.
Aku
tersentak kaget mendengar suaranya yang tepat berada ditelingaku. “Don’t answer
me back with a question sir...” gumamku keras sambil memberinya tatapan serius
dengan dahi mengernyit.
“What?” Levi
tampak sedikit terkejut mendengar kata-kataku. Biasanya dia akan meneriakiku
atau mengataiku tapi malam ini ia tampak lebih tenang dan menanggapi santai
semua komentar-komentarku, ia menyeringai kecil.
“Since
you’re being a good girl tonight, I think I’m going to tell you my favorite one... let me think about it...” gumamnya lalu menjauhkan wajahnya dariku dan
bersikap seolah-olah sedang berpikir keras sementara mataku terus terpana
padanya.
Levi
menatapku diam untuk beberapa saat, sementara aku menunggu jawabannya.
“Maybe... teasing you all day as a servant is my favorite part of this job,”
Aku
berjengit. “What? You have a weird hobby sir!” gumamku.
Levi
tertawa. “I’m just joking, actually... I love reading some books and doing
sporty stuff, cooking and of course...
teasing on you,”
Pertama kali
melihatnya tersenyum semanis itu membuatku berpikir bahwa Levi Ackerman adalah
orang yang sangat baik. Hal itu membuat jantungku jadi berdebar-debar dan entah
kenapa kurasa wajahku akan memerah hanya karena melihat senyumannya. Namun
senyuman itu tak bertahan lama, Levi kembali bersikap dingin lagi.
“Hmm... I
wonder how much your friend if you’re always teasing them like that,”
gumamku pelan.
“Aku tak begitu
perduli dengan hal itu,”
“I got your
point, sepertinya kau tak seburuk itu... karena sepertinya Hanji dan Irvin
adalah teman baikmu,”
“Haruskah aku berterima kasih karena kau
memujiku?” gumamnya sambil menatapku dengan tatapan yang sangat menenangkan.
“You don’t
need, just do it if you wanna thank me, if you’re not... please don’t tease me,”
Levi terdiam
sejenak lalu memalingkan wajahnya dariku. “This is strange, why you look
like idiotically cute when you say something like this? It makes me want to kiss
your damn lips,”
“W-what? You want to kiss me..?”
Levi tampak
terkejut lalu kembali bersikap dingin lagi. “Just forget about that... and go
back to sleep, drunkass,” gerutunya lalu menekan kepalaku kebahunya.
Kami terdiam sejenak hingga akhirnya aku kembali mengoceh lagi. “I wonder
what kind of girl do you like, sir?” tanyaku lagi tanpa berusaha menjauhkan
kepalaku dari bahunya. Entah mengapa saat ini bahu Levi sungguh terasa sangat
nyaman untuk kepalaku.
“It’s
awesome you still asking a bunch of weird stuff to me...”
“I’m
sorry...” gumamku lalu mengangkat kepalaku dari bahunya dan menyandar dengan
benar kedinding yang ada dibelakangku.
“What’s
wrong?”
“Hatsyiiii!!”
aku pun bersin sekuat tenaga setelah menutupi wajahku dengan kedua tanganku.
Levi tampak
syok namun ia kembali menenangkan dirinya. “You weird!” keluhnya lalu melepas
jas dari tubuhnya dan memakaikan semua jas itu padaku.
“What are
you doing sir?” gumamku saat menyadari Levi sedang memelukku setelah
memaikaikan jas padaku.
“Make you
warmth.. stop complaining me and be quite,” bisiknya lembut.
Aku kembali
diam dan menyandarkan kepalaku yang terasa berat kedada Levi. Aroma tubuhnya
yang lembut dan segar membuatku merasa nyaman, pelukannya benar-benar terasa
hangat dan aku bisa mendengar suara detak jantungnya yang terdengar saling
berkejaran. Apa sekarang dia sedang gugup? Kenapa jantungnya berdegup sangat
cepat?
“Do you still
wanna hear my answer..?” gumamnya.
“Hmm.. what?”
gumamku lalu mendongak untuk menatap wajahnya.
Levi
menatapku dengan sorot mata yang lembut. “Oh just forget about that...” gumamnya membatalkan keputusannya untuk memberitahuku.
Aku tertawa
mendengar jawabannya. “What was that? Why you...”
“Berhentilah
bicara,” keluhnya lagi lalu membuang muka. Tak pernah terpikirkan olehku kami berdua akan terjebak didalam sebuah lift dengan pose seperti ini. Ini memalukan namun aku cukup menyukainya. Berada dalam pelukan Levi tak terasa begitu buruk...
Keheningan itu kembali membunuhku. “I’m feelin’
dizzy... Can I hear your voice again sir...? It makes me feel comfortable,”
Levi menghela napas panjang namun ia tak komplain dengan permintaanku yang aneh. Jemarinya
menyentuh daguku dan perlahan ia mengangkat daguku hingga wajahku
mendongak untuk menatapnya lagi, lalu ia berbisik. “I’m sorry for doing this to
you when you get drunk, little shitty brat...”
“Huh..?”
Aku tak tahu apa yang akan terjadi... but maybe not. Saat itu wajah Levi bergerak semakin dekat
dengan wajahku dan begitu kusadari aku hanya bisa merasakan bibir Levi yang
dingin dan lembut telah menempel erat dibibirku. Aku terkejut dengan tindakannya tapi kenapa aku tak menolak ciuman itu?
Kenapa dia menciumku? Hanya itu yang terlintas dipikiranku namun aku tak mencoba berontak. It feels so good when he forced me with bunch of small kiss on my lower lips. Ciuman yang hangat dan lembut
itu membuatku merasa nyaman, Levi memberiku ciuman-ciuman lembut sebelum ia
akhirnya menjauhkan bibirnya dariku.
“Look, this
is the best way I can do to make you comfort and shut your damn mouth...”
gumamnya lalu menekan kepalaku kedadanya lagi, sikapnya membuatku membatu.
“Sepertinya ciuman itu bekerja dengan sangat efektif pada pemabuk sepertimu,”
****
Malam itu
aku tidur sangat pulas tanpa mengetahui apa yang telah terjadi. Keesokan harinya
aku terbangun kaget karena sebuah mimpi buruk yang benar-benar membuatku merasa
sangat ketakutan.
Dengan napas
terengah-engah aku terdiam sambil menatap ruangan tempatku tidur semalam dengan
perasaan bertanya-tanya kenapa aku bermimpi tentang Levi Ackerman yang sedang
menciumku? “(Name) what’s wrong? Are you alright?”
Suara yang
sangat familiar itu langsung menyambutku. Kutatap sosok yang sedang berdiri
dipintu yang baru saja terbuka itu. “Joy?”
Joy adikku
masuk kedalam kamarku dan membukakan tirai jendela. “Wake up lazyass, apa kau
tak ingin masuk kantor hari ini?” gumamnya. Sinar matahari yang menyeruak masuk
melalui celah jendela membuat mataku sakit karena silau.
“Wajahmu
pucat, apa kau habis mimpi buruk?” tanyanya dengan tangan berkacak pinggang.
“Apa yang
kau lakukan disini Joy?” tanyaku sambil menutupi wajahku dengan tanganku.
Joy beranjak
naik keatas kasurku. “I’m checking on you, come on wake up... bukankah hari ini
kau ada pertemuan penting distudio S, kau harus cepat siap-siap kalau nggak mau
terlambat,” serunya sambil menarik selimut dari tubuhku.
“Ah.. kau
benar aku harus pergi kesana...” gumamku malas lalu beranjak duduk sambil
memegangi kepalaku yang masih terasa pusing, rambutku sudah terlihat
acak-acakan dan aku mengenakan baju tidur yang tak biasa. “Wait... darimana kau
tahu kalau aku ada pertemuan hari ini?”
Joy beranjak
turun dari kasurku dan berjalan menuju lemari pakaian lalu membongkar isinya.
“Semalam pacarmu memberitahuku, dia memintaku untuk mengawasimu,”
“What..?
Pacarku..? Maksudmu Jean?” gumamku tak percaya.
Seingatku,
Jean lah yang bertugas untuk menjemputku pulang dari pesta penghargaan nobel
tapi aku bahkan tak ingat kapan aku pulang dan dengan siapa aku pulang tadi
malam.
“Nope. Dia
bukan si horse face, aku belum pernah bertemu dengannya sebelumnya tapi
tampaknya dia sangat khawatir padamu, dia bilang kau tak perlu datang
kepertemuan di studio S kalau memang kau masih belum mendapat kesadaranmu
kembali,”
“Hah..?”
Joy
menatapku dengan senyuman usil. “Pacarmu tampan juga,”
“What are
you talking about? I don’t have a boyfriend,” gumamku bingung lalu beranjak
dari kasur dan kulihat diriku dicermin, aku masih mengenakan dress dan jas
formal pria.
Aku bahkan
tak ingat kapan aku memakai jas ini dan kenapa aku bisa memakainya, tapi
tampaknya jas ini milik Levi Ackerman aku masih bisa mengingat setelannya saat
pertama kali melihatnya di lobby hotel.
“Semalam kau
sangat mabuk, wajar saja kau tak ingat. Tapi terlalu sekali kalau kau tak mengakui
pacarmu sendiri,”
“I’ve
already told you, he’s not my boyfriend... I don’t know him,” jawabku gusar.
Meskipun aku mengatakannya tetap saja dalam hati aku merasa tak yakin dengan
ingatanku sendiri. Entah kenapa aku tak ingin percaya bahwa orang yang sudah
mengantarku saat aku mabuk semalam adalah bosku sendiri, Levi Ackerman.
“Okay! Okay!
Terserah kau saja. Ini bajumu, sebaiknya kau mandi dan segera bersiap lalu
sarapan.. ah, maksudku sebentar lagi waktunya makan siang,” gumam Joy sambil
menaruh set pakaian diatas kasur lalu beranjak menuju pintu.
“Okay...”
“Hey... I
just want you to know... sebentar lagi pria yang dijodohkan denganmu akan
muncul, meskipun nantinya kau punya pacar, kau tau ibu tak akan dengan mudahnya
menyetujui hubunganmu kan?”
Aku yang
baru saja mengenakan piyama mandiku langsung mengernyit menatap Joy. “Kenapa
kau selalu muncul dengan berita buruk.. Joy?”
“Hehehe...
sebenarnya aku datang kemari karena nanti malam akan ada konser band kesukaanku
didekat taman kota.... jadi, lupakan saja berita buruk itu, cepatlah mandi!”
****
Siang itu
aku melewatkan pertemuan di studio S, aku masih merasa tak enak badan karena
pengaruh alkohol yang kuminum tadi malam jadi kuputuskan untuk tidak menghadiri
pertemuan dan langsung pergi kekantor.
Sebelumnya
aku tak akan memprioritaskan kehadiranku di kantor dan lebih sering
menghabiskan waktu di apartemen untuk menulis. Tapi baru kusadari kalau
akhir-akhir ini aku jadi sangat rutin ke kantor dan bahkan bekerja dengan sangat
rajin (maksudnya bekerja sebagai pembantu Levi Ackerman).
Ada beberapa
pekerjaan yang harus kuselesaikan hari itu juga, namun fokusku langsung kacau
saat aku berpapasan dengan Levi Ackerman di depan pintu lift kantor.
Ia menatapku
dengan dead glarenya hal itu membuatku mematung untuk beberapa saat. “Good
afternoon (Last Name),” tegurnya.
“G-good
afternoon, sir...” balasku gugup. Entah kenapa saat itu aku merasa sangat malu saat melihatnya, tiba-tiba saja aku kembali teringat dengan sensasi bibir bosku.
Tak lama
kemudian pintu lift menjeblak terbuka dan beberapa orang keluar dari dalam
lift, setelah lift kosong kami berdua pun masuk kedalam dan saat itu hanya ada
empat orang yang berada dalam lift.
Levi berdiri
agak jauh dariku hal itu membuatku jadi leluasa mengamati sosoknya. Seperti
biasa ia tampak rapi dengan jas dan setelan kemejanya, saat itu ia sedang sibuk
mengetik sesuatu diponselnya dan tampak dingin seperti biasanya.
Tak lama
kemudian pintu lift terbuka lagi dan kedua orang asing itu keluar dari lift meninggalkan
kami berdua. Rasa gugup kembali menyelimutiku saat refleksi mimpiku tadi pagi
kembali terputar dalam ingatanku.
“Bagaimana
pertemuan di studio S?” suara Levi bergema dalam ruangan kecil itu dan
tiba-tiba saja ia berbalik menatapku.
“A-aku
melewatkannya, sir...” gumamku sambil mengalihkan pandanganku dari sosoknya.
Damn! Kenapa aku jadi gugup? Aku pasti terlalu takut padanya saat ini, tapi ia
tampak sangat tenang.
Lagipula
ciuman itu hanya mimpi, wajar saja editorku yang seperti setan ini bersikap
seolah tak terjadi apapun diantara kami berdua. Jadi aku juga harus bersikap
santai seperti diriku yang sebelumnya.
“Sudah
kuduga kau akan melewatkannya, karena kau datang terlambat aku akan
membiarkanmu lembur sampai malam,”
“W-what...?”
“Aku butuh
bantuanmu, ada beberapa pekerjaan yang aku ingin kau lakukan,”
“Baiklah. Tapi...
aku harus menyelesaikan beberapa review untuk majalah Corps dan Titan terlebih
dulu, setelah itu aku akan membantumu,”
“Good to
hear that, sepertinya kau cukup paham kalau aku tak akan bersikap lunak padamu
hanya karena kejadian semalam,”
Kejadian
semalam? Apa maksudmu... bos??
****
Hari telah
menjelang sore saat aku menyelesaikan reviewku untuk majalah Corps dan majalah
Titan. “Petra...” tegurku sambil berjalan menuju meja Petra dengan lembaran
kertas yang telah kuprint untuknya. “Aku sudah menyelesaikan reviewnya bisa
tolong kau cek sebentar sebelum kukirim ke email mereka?” pintaku.
“Oh, okay...
berikan padaku,” Kusodorkan lembaran kertas itu lalu terduduk santai dikursi
yang ada didekat petra sambil memijat-mijat leherku.
Mikasa
keluar dari dalam ruangan Levi sambil membawa beberapa file berkas ditangannya.
“Kau sudah menyelesaikan reviewmu?” tegurnya saat ia kembali kemejanya. “Kau
harus mengirimnya sebelum jam delapan malam kan?” serunya lagi sambil melihat
jam tangannya.
“Yeah... aku
meminta Petra untuk mengeceknya sebentar, bagaimana pekerjaanmu? Kau tampak
kacau, mana Eren? Bukankah tadi kalian masuk berdua?” gumamku sambil
memperhatikan Mikasa.
“Eren masih
diinspeksi,” serunya, ia melepas kacamatanya dan mendesah panjang lalu memijat
dahinya. “Dia memberiku banyak pekerjaan dan semuanya harus sempurna.. kau
lihat saja semua ini,” serunya sambil menunjuk file berkas yang tadi dibawanya.
“Dia menyuruhku mengecek ulang semuanya sebelum dikirim. Hhh... Aku tak
mengerti kenapa kau betah menjadikannya editormu,” bisik Mikasa.
Aku hanya
bisa tersenyum miris. “Yeah... aku juga tak tahu kurasa karena aku tak punya
pilihan lain, tapi menurutku cara kerjanya lumayan juga, ya kan?”
“Yeah kau
benar... setidaknya dia tak membiarkan kita bersantai dikursi kita, jika itu
yang kau maksud,”
Aku terkekeh
pelan mendengar kata-kata Mikasa. Ya, Levi sangat suka kesempurnaan bahkan dia
tak akan membiarkan satu debu pun ada dalam ruangannya dan akan menyuruh semua
orang untuk membersihkan semua sudut tanpa ada sisa. Jika itu yang Mikasa maksud.
“(Name),”
panggil Petra, aku menoleh padanya dan ia menyodorkan lembaran kertas itu
kembali padaku. “Semuanya bagus, kau bisa mengirimnya sekarang,”
“Oh.. okay!
Thank’s Petra, aku akan mengirimnya nanti.. aku ingin istirahat sebentar,”
tukasku.
“Hey, nanti
malam kami akan mampir untuk minum disebuah pub apa kau mau ikut?” ajak Mikasa.
“Ah ya,
kudengar Reiner baru kembali dari tugas luarnya dia akan mentraktir semua
orang,” seru Petra. “Kau harus ikut,”
“Ah, maaf
aku tak bisa ikut hari ini aku lembur... ada beberapa tugas yang harus kuselesaikan malam ini ,lagipula
bos memintaku untuk membantunya menyelesaikan pekerjaannya,”
“Hmmm,
bukankah sekretarisnya adalah Petra? Kenapa dia malah memintamu untuk
membantunya?” sergah Mikasa.
“Kau benar!
Hei Petra! Kenapa kau tak membantu bos? Seharusnya itu tugasmu kan?” protesku.
Petra hanya
tertawa. “I don’t know, dia tak mengatakan apapun padaku jika bos memintamu
untuk membantunya berarti hanya kau orang yang bisa menyelesaikan tugas itu,”
jawab Petra santai.
Aku hanya bisa mendesah pelan, Petra benar kalau Levi memintaku masa aku bilang tidak? Bisa-bisa dia akan membantaiku saat revisi novel nanti. Aku tak punya pilihan lain selain menikmati pekerjaan itu
“Kurasa dia
akan memintamu untuk bersih-bersih lagi,” gumam Mikasa.
“Hmm, yeah you right... I think I can't ignore his order when he ask me,”
Jean dan
Armin muncul dari dalam lift mereka tampak sedang membicarakan sesuatu. Lalu
Armin melempar pandang pada kami dan tersenyum ceria. “Sedang bersantai?”
tanyanya kemudian saat ia berdiri didekat Mikasa dan menyodorinya berkas
lainnya.
Aku
mengangguk sambil tersenyum lesu padanya dan Jean menarik kursiku hingga aku
bisa menatap wajahnya. “Oy... bagaimana pesta tadi malam?” tanyanya padaku, ia
sedang mengurungku dengan kedua lengannya.
“Jean you
scared me!” pekikku dengan suara hampir berbisik. Wajah Jean terpampang tepat
didepanku dengan jarak yang cukup dekat.
“Aku
menunggu teleponmu tapi kau sama sekali tak menelepon, apa yang terjadi?”
protesnya.
“Nothing
happen,”
“Kau belum
cerita pada kami, siapa yang memenangkan penghargaan semalam?” tanya Mikasa.
Siapa? Jangankan
pemenangnya aku bahkan tak ingat berapa lama aku berada dipesta malam itu. “Aku...
lupa...” jawabku ragu.
“Lalu...
bagaimana bos? Apa dia baik-baik saja ditengah keramaian itu, kau tahu kan apa
maksudku?” tanya Armin.
“Yeah, dia
tampak sangat menikmati pesta dan ia juga mengobrol dengan banyak kolega
penting. Selebihnya aku tak begitu ingat dan rasanya aku berkenalan dengan
seorang pria tapi karena terlalu mabuk aku lupa apa yang kami bicarakan,”
Jean
menatapku dengan dahi berkerut. “Apa kalian akhirnya berkencan?” tanya Jean.
“Really?”
pekik Petra tampak semangat. “It’s a good news (Name), I totally agree if you
dated him, who is he?”
“I don’t
know, I tried to remember his name but the only thing I know just something
similiar like christmast... I think we’re not going to date or something like
that,”
“You mean
Santa Claus? Is he a fat guy with a white hair?” gumam Jean. Aku menggeleng tak
yakin yang kuingat pria itu berwajah tampan.
“Maybe that
guy sent you home, right?” gumam Mikasa.
“I don’t
know... I can’t remember what’s really happen last night,”
“Hmmm...
Kalau kau pulang bersama santa ini lalu apa yang terjadi dengan bos? Kau
meninggalkannya sendirian di pesta itu, ya?” tanya Armin dengan wajah serius.
Tak mungkin
aku bisa menjawab pertanyaan ini, aku bahkan tak tahu kronologinya. “I just...
I think I...”
Kata-kataku
terhenti saat melihat Eren muncul dari dalam ruangan Levi ia terlihat agak
bersemangat. “Ah (Name)!” panggilnya. Kami semua menolah padanya. “Boss said he
wants a cup of coffee,” serunya.
“It’s
Christa’s job right?” gumam Jean.
Eren
mengedikkan bahunya dan menggeleng pelan. “I don’t know... dia menyuruhku untuk
memberitahu (Name) agar membuatkannya kopi, sepertinya dia akan begadang
semalaman. Sebaiknya kau segera membuatnya (Name),”
****
Kuketuk
pelan pintu ruangan Levi dengan tangan membawa nampan berisi secangkir kopi
pesanannya. Sejujurnya aku merasa sedikit terbantu karena tugas ini, aku tak tahu
bagaimana harus menjawab pertanyaan teman-temanku tadi.
“Come in,”
suara Levi terdengar menyuruhku masuk.
Aku pun
masuk kedalam ruangannya dan lagi-lagi menangkap pemandangan tak biasa, ada
banyak tumpukan buku dan kertas berserakan diatas meja di sudut ruangan.
“This is
your favorite coffee sir,” gumamku kalem lalu meletakkan cangkir kopi dan
tempat gula didekat Levi. Ia hanya menatapku diam tanpa ekspresi. “And... dont
forget to add some sugar into it,” sambungku lagi sedikit mengejeknya.
“Tch,”
decaknya lalu melepas kacamata yang ia pakai. “You seems okay right now... sepertinya
kau sudah bisa memulai pekerjaan tambahanmu sekarang, kau lihat semua itu?”
serunya sambil menunjuk sudut ruangan.
“Umm... do
you want me to organize them, right?”
“Yeah... do it now!”
Tanpa banyak
komentar aku langsung pergi kesudut ruangan dan membereskan buku-buku dan file
yang berserakan diatas meja. Aku penasaran apa yang ia lakukan dengan semua
buku-buku ini, apa dia benar-benar membacanya.
“Hey, kau
menaruh buku itu terbalik,” tegur Levi. Aku sama sekali tak menyadari ia telah
berdiri dibelakangku.
“Ah! sorry...”
Tangan Levi terjulur untuk mengambil buku yang salah taruh itu, bisa kurasakan
dadanya menekan punggungku ketika ia menjulurkan tangannya. Jantungku langsung berdegup kencang tak karuan saat itu dan entah kenapa
aku pun langsung teringat kembali dengan mimpi burukku tadi pagi.
“Kerjakan
dengan benar, okay? Jangan sampai aku memberitahumu berkali-kali,” gumamnya
tepat didekatku.
“O-okay,
sir,” gumamku pelan. Aku tak bisa menatapnya jika ia berdiri sedekat itu denganku.
Levi kembali
menjauh dan berjalan menuju mejanya. Ia menyandarkan pantatnya pada sisi meja
sambil melonggarkan dasinya, lalu menatapku dengan ekspresi datar. Aku kembali
melanjutkan pekerjaanku dengan perasaan gugup sementara Levi menyeruput kopinya
dengan santai.
Aku jadi
sedikit penasaran dengan kejadian semalam dan bertanya-tanya dalam hati apa aku
bisa menanyakan tentang hal itu pada bosku yang tampak mengerikan ini. Aku
ingin tahu siapa orang yang mengantarku ke apartemen tadi malam.
“Sir, about
last night...”
“(Name) setelah
pekerjaanmu selesai kita akan membahas lanjutan novelmu, aku akan keluar sebentar
dan saat kembali nanti aku ingin semuanya sudah beres,” seru Levi. Ia
memperbaiki dasinya dan menyambar jasnya lalu menatapku lagi. “Kita akan
begadang malam ini,” serunya lalu pergi
meninggalkanku sendirian dalam ruangan itu.
****
Continued to Chapter 5
Next ka chapter 05 nya jan lama lama ka
ReplyDelete