Sunday 15 May 2016

Perfect Punishment (Levi Ackerman x Reader) - Chapter 03

BY Unknown IN 4 comments




Perfect Punishment
(My Editor is a Devil)

Cast : Levi Ackerman x Reader
Genre : Romance, Mature
Language : Mix (Bahasa Indonesia - English)

NB: Disini ‘reader’ akan berperan sebagai ‘aku’ jadi jika ada tulisan (name) silakan masukkan namamu kedalam ceritanya ya :) Sorry banget karena bahasa inggrisku yang masih kacau balau :) I’m still learning, so please get easy on me :)

Chapter 3

Mengikuti instruksi Levi untuk datang kepesta penghargaan para novelis, membuatku terdampar di apartemenku bersama Annie, Christa dan Petra. Mereka memutuskan untuk menginap di apartemenku malam ini saat mengetahui aku tak bisa mendapatkan sesuatu yang bagus untuk pergi keacara pesta besok malam.

“Kau yakin, ingin pakai blouse dan rok span itu?” tanya Annie dengan mulut sibuk menggigiti camilan Pocky.

“Bukankah ini terlihat cukup rapi?” gumamku sambil bergerak-gerak didepan cermin memeriksa lekuk tubuhku.

“You should try another thing, we have a lot of choice in my bag... ummm, how about this?” Christa bangkit berdiri dan mendekatiku, ditangannya ada beberapa gaun cantik miliknya yang khusus ia bawa untukku.

Aku menatap gaun-gaun itu dengan dahi berkerut. “No... dia bilang padaku untuk mengenakan sesuatu yang ‘rapi’,”

“Jika memakai pakaian itu kau lebih mirip asisten pribadinya daripada seorang novelis elegan,” cetus Annie.

Petra muncul dari arah dapur dengan nampan berisi teko minuman dan camilan. “Yeah, kau harus tampil sedikit berbeda ini acara yang penting, bagaimana jika kau yang terpilih dan harus naik keatas podium?”

Aku berbalik dan menatap Petra dengan senyuman pasrah. “Kau tahu itu tak akan terjadi,”

“Why?” sela Annie.

“Karena penghargaan nobel diperuntukkan untuk novelis yang lebih baik dariku, kau tahu Vladimir Nobokov? Dia adalah orang yang..”

“Ow, ow, ow.. don’t hurt my ear with those shit,” potong Annie. “Jangan samakan dirimu dengan legenda seperti dia (Name), sekarang kau hidup dijaman millenium berhentilah bercanda,”

“Annie benar,” Christa mendekatiku dan menyodorkan gaun-gaun itu padaku. “Paling tidak kau harus mencoba semua ini, dapat penghargaan atau tidak itu tak penting...”

“Yang pasti kau tidak boleh terlihat seperti orang bodoh saat berada didekat Mr. Ackerman,” gumam Petra.

Kutatap gaun itu dengan perasaan bingung. “Urgh!! Kalian akan tetap memaksa meskipun kubilang tidak, benarkan?” gumamku kemudian, lalu mengambil semua gaun dari tangan Christa.

“You already knoww!!” gumam mereka bertiga.

Annie tersenyum dan beranjak dari duduknya. “Aku akan mengurus makeupmu,”

****

Keesokannya, tepat pukul 06.30 sore hari...

Aku baru saja selesai memasang anting saat ponselku berbunyi. Telepon itu dari Jean.

“Halo Jean?”

“Kutunggu kau dibawah,” pekiknya dari seberang telepon.

“Okay, aku segera turun,” gumamku sambil menyambar tas tangan lalu cepat-cepat memakai high heelsku.

Saat sedang berada di lift kuperhatikan lagi pantulan penampilanku yang tampak lebih baik dari sebelumnya. Semua ini berkat Christa, Petra dan Annie. Sepertinya aku harus mentraktir mereka makan siang setelah acara ini berakhir.

Pintu elevator terbuka saat tiba di lobby, aku bergegas keluar mencari-cari sosok Jean. Kulihat ia sedang menelepon dan tubuhnya membelakangiku. “Sorry Jean, aku lama...”

Jean berbalik dan terdiam menatapku. “O-okay... akan kukerjakan malam ini, jangan khawatir,” gumamnya terbata-bata pada orang yang sedang berbicara dengannya ditelepon.

“Bagaimana penampilanku?” tanyaku padanya lalu berputar sambil tersenyum malu.

Ia terdiam sejenak sambil memperhatikan. “Mmm... y-you look... great, yeah!” gumamnya lembut lalu tersenyum. “Come on, kita harus pergi sekarang, sebentar lagi jam tujuh,” ajaknya.

Saat kami berada didalam mobil, Jean tidak banyak bicara dia juga hanya bicara saat ditanya saja. Aku bahkan menangkap ia sedang mencuri pandang saat menatapku.

“Stop starring at me! It looks kinda weird, am I look really stupid?” tegurku kemudian.

Jean mengalihkan tatapannya kejalan, fokus. “Yeah... you look different, I mean... in a good way, you’re... beautiful,” ralatnya.

“Aku akan berusaha untuk mempercayainya,”

Jean tersenyum, harus kuakui ia tampak sangat tampan jika sedang santai. “Trust me... you look beautiful, Mr. Ackerman pasti akan jatuh cinta saat melihatmu,”

Aku langsung tertawa saat mendengar kata-katanya. “Aku pasti akan sangat ketakutan jika hal itu terjadi... dan kau tahu hal itu sangat mustahil terjadi,”

“Kita lihat saja..” Jean tertawa renyah. “Pastikan saja kau tidak akan jatuh dari sepatu runcingmu itu, sepatu itu terlihat sangat berbahaya, jangan sampai kau menginjak kakinya saat kalian berdansa” gumamnya.

“No way~”

Dua puluh menit kemudian kami sampai ditempat tujuan. Mobil Jean masuk kepekarangan sebuah hotel bintang lima yang terlihat cukup megah, dalam hati aku bersyukur telah mengenakan gaun putih elegan yang simple ini.

“Dimana kau akan menunggu bos?”

“Kurasa aku akan masuk dan menunggunya didalam,”

“Kau yakin tak apa..?” tanya Jean, ia tampak cemas. Jean tahu aku sering merasa gugup saat berada ditempat yang penuh dengan orang yang tidak kukenal.

Memikirkan bahwa Levi akan berada disana menemaniku membuatku merasa sedikit lega. “It’s okay... I can do this,” gumamku lalu keluar dari mobil saat seorang pelayan membukakan pintu mobil untukku.

“Call me if you wanna leave this place (Name)!” serunya sebelum aku pergi.

“Okay, thanks Jean”

“Good luck!”

Kuputuskan untuk segera masuk kedalam hotel namun saat menaiki tangga hotel kulihat sosok yang sangat kukenal sedang berdiri sambil mengobrol dengan beberapa orang didepan pintu hotel. Ia menatapku dengan tatapan yang sangat dingin. Aku pun berjalan menghampirinya.

“Sorry sir, I’m late..”

Levi menatapku dan sejenak dia terdiam. Aku sedikit gugup memikirkan dia akan mengatakan sesuatu yang aneh tentang penampilanku. “Aku menyesal memintamu datang kesini tak kusangka kau akan datang dengan penampilan seperti ini,” gumamnya dingin.

“Wh-why? Am I look that bad?”

Levi menyodorkan tangannya padaku. “Not really,” gumamnya.

“Not really? it’s mean..?” Kusambut tangannya dan Levi mengalungkan tanganku dilengannya. Sikapnya membuatku merasa heran.

“Follow me and be quite no more question,” jawabnya datar tak memperdulikan keingintahuanku.

Levi bersikap agak sedikit aneh, ia beberapa kali menatapku dengan wajah tanpa ekspresi. Sikapnya yang sangat berbeda dari biasanya membuatku sedikit penasaran dan bingung. “Is it okay? Um... apa tidak apa-apa kita masuk kedalam seperti ini?”

“What do you mean by that? Apa kau tak suka berada didekatku?”

“No, no, its not like that... aku hanya khawatir kau akan tampak buruk jika bersamaku,”

“Are you an idiot? Bukankah hal yang wajar seorang pria menggandeng wanita jika ke pesta dansa?”

“Tapi... kita bukan pasangan-kan? Kau tak harus menggandengku...”

Levi menatapku diam saat kami berdua berdiri didepan lift yang masih tertutup. Ia tampak sedang berpikir.

“Kau tahu... kurasa ini saat yang tepat untuk memberimu pelajaran khusus tentang kencan,”

“Hah? What are you talking about?”

Pintu lift menjeblak terbuka dan beberapa orang keluar dari dalamnya. Kulihat Levi menyeringai kecil sebelum menarik tanganku dan masuk kedalam lift.

“Malam ini kita akan kencan,”

****

“Hei.. can I ask you  something?” tegurku, saat kami berdua menunggu lift sampai ditempat tujuan kami.

Levi menatapku sejenak. “Like what?”

“Tell me about your plan, apa Irvin yang memintamu untuk mendekatiku?”

Levi mengernyitkan dahinya, ia tampak sedikit bingung. “Irvin tak pernah memintaku melakukan apa pun, ia mempromosikanku untuk pekerjaan ini dan aku menerimanya,”

“Lalu kenapa kau ingin mengatasi phobiaku terhadap kencan?”

“Bukankah aku editormu? Perlu kau tahu, aku selalu bertindak profesional terhadap pekerjaanku. Aku melakukannya karena itu memang suatu keharusan, tidak ada alasan khusus,”

“Really..? I mean... aku masih.. tiba-tiba saja kau...”

Aku terdiam dan Levi menunggu lanjutan kalimatku, namun aku tak bisa menemukan kalimat yang pas untuk menampik kata-kata Levi.

“Jangan khawatir... kita tidak benar-benar berkencan, kau boleh menganggap ini hanya permainan,”

“Hah? Game?” aku menggelengkan kepalaku tak percaya dan tersenyum kecewa. “Thank you Mr. Ackerman, tapi kurasa malam ini aku akan mencoba berbaur dengan para tamu,”

Kulepaskan tautan tangan kami berdua, Levi tak mengatakan apa pun ia tampak sangat tenang dan menerima penolakanku. Aku tak mengerti apa yang ia pikirkan, kenapa malam ini dia bertindak tak seperti biasanya.

Kami berdua terdiam dan tak lama kemudian pintu lift menjeblak terbuka. Sebuah koridor dengan pintu aula besar terbuka lebar dan para tamu yang terlihat glamor langsung menyambut kedatangan kami. Levi mengajakku masuk dalam keramaian itu dan hanya dalam sekejap saja ia telah beralih untuk mengobrol dengan kenalan yang menyapanya.

Tadi ia bilang ingin mengencaniku malam ini, tapi kenapa sekarang ia malah tampak sangat menikmati pesta? Gosh! Ternyata ia hanya membual. Levi mengobrol akrab dengan beberapa orang yang kuyakin memiliki kedudukan setara Irvin. Tak kusangka ia orang yang sociable.

Orang-orang yang berbicara dan sibuk berlalu lalang itu seketika saja membuatku kehabisan energi. Lelah mengobrol dengan para kolega membuatku merasa haus, kuputuskan untuk pergi mengambil minuman.

“Sebaiknya kau tidak mabuk..” suara Levi menegurku lembut ketika ia melihatku menjauh dari sisinya.

Apa ini hanya perasaanku tapi sejak tadi ia tampak terus mengawasi gerak-gerikku. Namun kuputuskan untuk tidak memperdulikannya, Levi hanya mencoba untuk melakukan pekerjaannya dengan sangat profesional.

Ada banyak jenis minuman malam itu dan kuputuskan untuk memilih minuman secara acak dan mengambil gelas berisi minuman dari nampan para pramusaji. Seorang pria tinggi berambut blonde dan bermata biru langsung menghampiriku ketika aku baru saja menghabiskan segelas vodka dan mengambil gelas selanjutnya.

“Hey, You’re (Complete Name) right?” tegurnya. Pria itu tersenyum cerah padaku.

“Yeah,” jawabku, pria itu langsung mengulurkan tangannya padaku.

“I’m your fans, Klaus Goldstein...” kusambut tangannya dan kami bersalaman. “Can’t believe I can find you in this crowded...”

“Hmm, nice to meet you Klaus... dan thanks karena sudah menyukai karyaku, tak kusangka ada pria yang mau membacanya,”

Pria bernama Klaus itu tertawa renyah. “Sedikit dari ras kami cukup suka membaca beberapa buku cinta, kalau merasa bosan dengan buku literatur aku akan beralih membaca hal lainnya dan bukumu salah satunya,” jelasnya.

Mendengar kata-kata pria ini membuatku merasa lebih bersemangat untuk menulis dibanding sebelumnya.

“Thank you, aku akan berusaha lebih baik untuk karyaku yang selanjutnya, kuharap kau tak keberatan untuk membacanya lagi,”

“Of course!” serunya dengan penuh keyakinan. “Aku akan membeli cetakan pertamanya kalau perlu,” gumamnya dengan senyuman menawan.

Aku terkekeh pelan menanggapi respon antusiasnya. “Good to hear that, meskipun itu cuma candaan aku tetap merasa senang Mr. Goldstein,”

“I’m not joking on you (Name), aku benar-benar akan membeli bukumu yang selanjutnya,” serunya.

Aku tak percaya pria yang baru kukenal ini berjanji padaku bahwa ia akan membaca karyaku lagi. Dia mungkin sedang berbual, aku tak akan percaya begitu saja pada pria yang baru saja kukenal.

“Okay... thank’s for your kindness,”

“Wajahmu berkata seolah kau tak percaya padaku,” gumamnya pelan dengan senyuman manis menawan. Ia tampak sangat santai saat mengatakannya seolah itu hanya candaan.

“Ah! Um.. okay, kuakui aku sempat tak percaya kuharap kau tidak tersinggung,”

Klaus tersenyum dan menggeleng pelan. “No! Aku sama sekali tidak tersinggung, wajar kalau kau tak percaya ada seorang pria yang membaca buku karyamu. Tapi asal kau tahu baru-baru ini aku telah selesai membaca dua bukumu dan aku tak bermaksud untuk pamer padamu,” gumamnya sambil tertawa lembut.

Klaus sangat baik dan ia membuatku nyaman ketika kami bersama. Ia sangat friendly dan kami berbicara tentang buku yang sudah ia baca sambil minum. Kupikir aku sedikit terpesona padanya. Sedikit? No way! Klaus sangat tampan mana mungkin aku hanya ‘sedikit terpesona’ padanya.

Tanpa sadar aku terus membiarkan alkohol itu melewati celah bibirku sambil mengaati Klaus yang terus bercerita panjang lebar. “Okay Klaus... Umm, so who are you? I mean... apa kau juga seorang novelis?”

Klaus menggelengkan kepalanya. “No.. aku seorang reporter, malam ini aku bertugas untuk meliput berita disini dan saat ini aku sedikit penasaran, siapakah orang yang akan mendapat penghargaan juga hadiah nobelnya..”

“Wow, pekerjaanmu sangat menarik, kau pasti sudah mengenal banyak orang... aku juga merasa sedikit gugup menunggu pengumumannya,”

“Yeah pekerjaan ini cukup membantuku mengenal banyak orang, tapi... aku tak pernah menemukan yang seperti dirimu. Kuharap kau yang memenangkan penghargaan itu...”

“What..? Why?”

“Yeah! Kuharap kau memenangkannya jadi aku bisa mendapat kesempatan lebih lama mengobrol denganmu dan... mengenal dirimu lebih jauh lagi..”

Aku sedikit tak yakin, tapi... apa pria ini sedang mencoba untuk merayuku?

Kurasa aku sedikit gugup malam itu dan tanpa sadar meminum alkohol kelimaku. Kepalaku terasa berat dan pandanganku mulai tak bisa fokus. Sebenarnya aku terlalu takut tak bisa santai malam itu dan hal itu membuatku banyak minum alkohol. Tapi aku lupa memikirkan dampak setelahnya karena pada dasarnya tubuhku tak terbiasa dengan alkohol.

“Kau baik-baik saja?” tanya Klaus.

Aku mengangguk dengan kepala berat, kutopang kepalaku dengan tanganku yang bebas.

“Apa kau ingin istirahat? Kau perlu duduk dan mencari udara segar,”

“No, I’m fine..”

“You’re not, come on aku akan mengantarmu ketempat yang lebih tenang,” gumamnya, ia merampas gelas dari tanganku dan menarikku agar mengikutinya.

Aku tak bisa merasakan apa-apa lagi bahkan saat Klaus menarik tanganku aku hanya bisa berjalan mengikutinya. Aku tak menolak karena sebenarnya aku merasa sangat ingin keluar dari keramaian itu. Meskipun pesta dansa sudah mulai saat itu namun kami berdua terus keluar dari aula.

“Klaus... where are we going?” tanyaku saat kami berjalan disepanjang koridor sepi.

“Aku tahu tempat yang bisa dipakai untuk istirahat,”

“I’m okay..” gumamku sambil menyentak tangannya dariku. Saat tangannya terlepas dari tanganku tubuhku langsung oleng karena efek mabuk. Sebelum terjatuh Klaus menangkap tubuhku dalam pelukannya.

“You can see that...? Kau bahkan tak bisa berdiri lagi, I just wanna help you... come on,” bisiknya lalu merangkulku dan kami kembali berjalan sepanjang koridor.

Tubuhku tak berusaha untuk mengelak dengan kepala yang terasa berat dan bumi terasa berada diatas gelombang ombak aku hanya teringat dengan kata-kata Levi yang memperingatkanku agar tidak mabuk.

“Levi...”

“Hmm?”

“Can you help me to find my boss? Levi Ackerman? Kau bisa mengantarku padanya,” gumamku pelan.

Klaus menatapku dengan dahi berkerut. “Okay, I will... setelah mengantarmu ke ruang istirahat aku akan mencarinya...”

“Thank you...” gumamku lagi lalu menyandarkan tubuhku pada Klaus.

“You smell good...” gumam Klaus, kurasa ia sedang menempalkan wajahnya didekat leherku saat ini, hal itu membuatku merasa cukup panik.

“The hell are you doing?!” cetusku lalu mendorong Klaus agar menjauh dariku.

“Calm down! I do nothing! Kalau kau terus berontak kau akan tambah pusing...” gumamnya lalu menarikku lagi kedalam pelukannya. “I just want to help you...”

“No!! Let me go!!” cetusku sambil terus berontak, namun Klaus justru mempererat pelukannya. “Let me go Klaus, I need to find my boss,” gumamku lagi sambil terus berontak.

“What are you talking about? Bukankah kau datang sendirian kepesta ini...” gumam Klaus. “Just relax... I wouldn’t hurt you...”

“No!! I wanna see my boss, you better don’t do something stupid on me or he would give you a pain in the ass!”

“Are you joking?”

Seseorang menarik Klaus dariku dan ia memberi Klaus sebuah pukulan keras tepat diwajah. Klaus mundur beberapa langkah dan sudut bibirnya berdarah. Tubuhku terhempas kedinding koridor yang dingin, otakku langsung memaksa untuk fokus dengan keadaan yang sedang terjadi.

Kulihat Levi sedang menatapku dengan tatapan mematikan yang mengerikan. Dia tampak sangat marah. Levi kembali memalingkan tatapannya pada Klaus yang sedang memegangi bibirnya yang luka.

“Kenapa kau memukulku, shorty?” gumam Klaus kesal.

“Harusnya aku yang bertanya, kau mau pergi kemana dengan wanita ceroboh ini?”

“It’s not your business, ini tak ada hubungannya denganmu,”

Levi menarik tanganku. “Of course this is my business, she’s my girl and I can’t let your dirty hand touch her. If you have a problem you can talk to me and solve our shit with man manners,”

“Kau pikir aku tak bisa memukulmu?” tanya Klaus santai.

“I’d never say that....” balas Levi tenang.

“You...”

“Levi,” gumamku sambil mencegahnya. “I’m okay... this is my fault, I just want to leave this place, please take me home,”

Levi menatapku sejenak lalu menatap Klaus yang tampak tak ingin membalas pukulan yang ia terima barusan. “Come on,” ajakku dengan tubuh oleng sambil terus menarik tangannya dan ia mulai melangkah mengikutiku.

“It’s not over...” gumam Klaus santai.

“It’s already over,” bisikku lemah sambil terus mendorong Levi agar masuk kedalam lift yang telah terbuka.

Selama berada didalam lift kami berdua berdiri berjauhan, Levi melipat kedua tangannya didada sementara ia menyandar pada dinding lift sambil menatapku dengan pandangan kejam.

“Kau tahu apa yang akan terjadi jika aku tak muncul?” gumamnya dingin.

“I know... I’m sorry sir,”

“Tch...” decaknya lalu berdiri tegak dan beranjak melepas jasnya, ia berjalan mendekatiku dan memakaikan jasnya ketubuhku. “Harusnya aku tak memaksamu ketempat ini,”

“It’s okay sir, this is my fault. Harusnya aku menolak rencanamu dengan keras meskipun kau akan menyiksaku lagi,”

“Menyiksamu? What do you mean by that?” gumamnya sambil menatapku bingung. Ia masih berada didekatku dan tak beranjak untuk menjauh.

Aku hanya terkekeh pelan menanggapi reaksinya. “You’re always starring at me with those eyes, I can’t help it because it’s too scary,”

“You scared of me...?”

“A little...”

“Hmmm... jadi sekarang kau tak merasa takut padaku?”

“A little...”

“What?” gumamnya tak percaya.

“I think... Because you saved me... I...”

Lift itu berguncang dan ruangan kecil itu langsung gelap gulita. Aku langsung berteriak ketakutan dan memeluk asal objek yang sedang berdiri didepanku. Seandainya saja lampu darurat tidak segera menyala aku tak akan bisa melihat wajah Levi yang tampak pucat karena terguncang dengan situasi saat itu.

“What happen?” gumamku panik sambil terus memeluk bosku.

Levi memeriksa tombol-tombol dinding yang ada didekatku lalu membuat sebuah panggilan darurat dari panel suara yang ada. Terdengar suara balasan dari operator lift. Setelah pembicaraan antara Levi dan operator berakhir Levi mengelus kepalaku lembut lalu mendorongku agar menjauh darinya.

Ia berbalik menjauh dengan tubuh membelakangiku. “Shit. Sepertinya malam ini kita akan menghabiskan waktu berdua saja sementara lift ini diperbaiki...”

****
Continued to Chapter 4


4 comments:

  1. Replies
    1. ditunggu yaa :) minggu depan baru update lanjutannya, keep watching!!

      Delete
  2. Kaka chpternya dilanjut donk kk

    ReplyDelete
  3. Ternyata anda tau game Wizardess Heart juga.*terharu* I'm not alone

    ReplyDelete