Perfect
Punishment
(My
Editor is a Devil)
Cast
: Levi Ackerman x Reader
Genre
: Romance, Mature
Language
: Mix (Bahasa Indonesia - English)
NB:
Disini ‘reader’ akan berperan sebagai ‘aku’ jadi jika ada tulisan (name)
silakan masukkan namamu kedalam ceritanya ya :) Sorry banget karena bahasa inggrisku yang masih kacau
balau :) I’m still learning, so please get
easy on me :)
Chapter
3
Mengikuti
instruksi Levi untuk datang kepesta penghargaan para novelis, membuatku
terdampar di apartemenku bersama Annie, Christa dan Petra. Mereka memutuskan
untuk menginap di apartemenku malam ini saat mengetahui aku tak bisa
mendapatkan sesuatu yang bagus untuk pergi keacara pesta besok malam.
“Kau yakin,
ingin pakai blouse dan rok span itu?” tanya Annie dengan mulut sibuk menggigiti
camilan Pocky.
“Bukankah
ini terlihat cukup rapi?” gumamku sambil bergerak-gerak didepan cermin
memeriksa lekuk tubuhku.
“You should
try another thing, we have a lot of choice in my bag... ummm, how about this?”
Christa bangkit berdiri dan mendekatiku, ditangannya ada beberapa gaun cantik
miliknya yang khusus ia bawa untukku.
Aku menatap
gaun-gaun itu dengan dahi berkerut. “No... dia bilang padaku untuk mengenakan
sesuatu yang ‘rapi’,”
“Jika
memakai pakaian itu kau lebih mirip asisten pribadinya daripada seorang novelis
elegan,” cetus Annie.
Petra muncul
dari arah dapur dengan nampan berisi teko minuman dan camilan. “Yeah, kau harus
tampil sedikit berbeda ini acara yang penting, bagaimana jika kau yang terpilih
dan harus naik keatas podium?”
Aku berbalik
dan menatap Petra dengan senyuman pasrah. “Kau tahu itu tak akan terjadi,”
“Why?” sela
Annie.
“Karena
penghargaan nobel diperuntukkan untuk novelis yang lebih baik dariku, kau tahu
Vladimir Nobokov? Dia adalah orang yang..”
“Ow, ow,
ow.. don’t hurt my ear with those shit,” potong Annie. “Jangan samakan dirimu
dengan legenda seperti dia (Name), sekarang kau hidup dijaman millenium
berhentilah bercanda,”
“Annie
benar,” Christa mendekatiku dan menyodorkan gaun-gaun itu padaku. “Paling tidak
kau harus mencoba semua ini, dapat penghargaan atau tidak itu tak penting...”
“Yang pasti
kau tidak boleh terlihat seperti orang bodoh saat berada didekat Mr. Ackerman,”
gumam Petra.
Kutatap gaun
itu dengan perasaan bingung. “Urgh!! Kalian akan tetap memaksa meskipun
kubilang tidak, benarkan?” gumamku kemudian, lalu mengambil semua gaun dari
tangan Christa.
“You already
knoww!!” gumam mereka bertiga.
Annie
tersenyum dan beranjak dari duduknya. “Aku akan mengurus makeupmu,”
****
Keesokannya,
tepat pukul 06.30 sore hari...
Aku baru
saja selesai memasang anting saat ponselku berbunyi. Telepon itu dari Jean.
“Halo Jean?”
“Kutunggu
kau dibawah,” pekiknya dari seberang telepon.
“Okay, aku
segera turun,” gumamku sambil menyambar tas tangan lalu cepat-cepat memakai
high heelsku.
Saat sedang
berada di lift kuperhatikan lagi pantulan penampilanku yang tampak lebih baik
dari sebelumnya. Semua ini berkat Christa, Petra dan Annie. Sepertinya aku
harus mentraktir mereka makan siang setelah acara ini berakhir.
Pintu
elevator terbuka saat tiba di lobby, aku bergegas keluar mencari-cari sosok
Jean. Kulihat ia sedang menelepon dan tubuhnya membelakangiku. “Sorry Jean, aku
lama...”
Jean
berbalik dan terdiam menatapku. “O-okay... akan kukerjakan malam ini, jangan
khawatir,” gumamnya terbata-bata pada orang yang sedang berbicara dengannya
ditelepon.
“Bagaimana
penampilanku?” tanyaku padanya lalu berputar sambil tersenyum malu.
Ia terdiam
sejenak sambil memperhatikan. “Mmm... y-you look... great, yeah!” gumamnya
lembut lalu tersenyum. “Come on, kita harus pergi sekarang, sebentar lagi jam
tujuh,” ajaknya.
Saat kami
berada didalam mobil, Jean tidak banyak bicara dia juga hanya bicara saat
ditanya saja. Aku bahkan menangkap ia sedang mencuri pandang saat menatapku.
“Stop
starring at me! It looks kinda weird, am I look really stupid?” tegurku
kemudian.
Jean mengalihkan
tatapannya kejalan, fokus. “Yeah... you look different, I mean... in a good
way, you’re... beautiful,” ralatnya.
“Aku akan
berusaha untuk mempercayainya,”
Jean
tersenyum, harus kuakui ia tampak sangat tampan jika sedang santai. “Trust
me... you look beautiful, Mr. Ackerman pasti akan jatuh cinta saat melihatmu,”
Aku langsung
tertawa saat mendengar kata-katanya. “Aku pasti akan sangat ketakutan jika hal
itu terjadi... dan kau tahu hal itu sangat mustahil terjadi,”
“Kita lihat
saja..” Jean tertawa renyah. “Pastikan saja kau tidak akan jatuh dari sepatu
runcingmu itu, sepatu itu terlihat sangat berbahaya, jangan sampai kau
menginjak kakinya saat kalian berdansa” gumamnya.
“No way~”
Dua puluh
menit kemudian kami sampai ditempat tujuan. Mobil Jean masuk kepekarangan
sebuah hotel bintang lima yang terlihat cukup megah, dalam hati aku bersyukur
telah mengenakan gaun putih elegan yang simple ini.
“Dimana kau
akan menunggu bos?”
“Kurasa aku
akan masuk dan menunggunya didalam,”
“Kau yakin
tak apa..?” tanya Jean, ia tampak cemas. Jean tahu aku sering merasa gugup saat
berada ditempat yang penuh dengan orang yang tidak kukenal.
Memikirkan
bahwa Levi akan berada disana menemaniku membuatku merasa sedikit lega. “It’s
okay... I can do this,” gumamku lalu keluar dari mobil saat seorang pelayan
membukakan pintu mobil untukku.
“Call me if
you wanna leave this place (Name)!” serunya sebelum aku pergi.
“Okay,
thanks Jean”
“Good luck!”
Kuputuskan
untuk segera masuk kedalam hotel namun saat menaiki tangga hotel kulihat sosok
yang sangat kukenal sedang berdiri sambil mengobrol dengan beberapa orang
didepan pintu hotel. Ia menatapku dengan tatapan yang sangat dingin. Aku pun
berjalan menghampirinya.
“Sorry sir,
I’m late..”
Levi
menatapku dan sejenak dia terdiam. Aku sedikit gugup memikirkan dia akan
mengatakan sesuatu yang aneh tentang penampilanku. “Aku menyesal memintamu
datang kesini tak kusangka kau akan datang dengan penampilan seperti ini,”
gumamnya dingin.
“Wh-why? Am
I look that bad?”
Levi
menyodorkan tangannya padaku. “Not really,” gumamnya.
“Not really?
it’s mean..?” Kusambut tangannya dan Levi mengalungkan tanganku dilengannya.
Sikapnya membuatku merasa heran.
“Follow me
and be quite no more question,” jawabnya datar tak memperdulikan
keingintahuanku.
Levi
bersikap agak sedikit aneh, ia beberapa kali menatapku dengan wajah tanpa
ekspresi. Sikapnya yang sangat berbeda dari biasanya membuatku sedikit
penasaran dan bingung. “Is it okay? Um... apa tidak apa-apa kita masuk kedalam
seperti ini?”
“What do you
mean by that? Apa kau tak suka berada didekatku?”
“No, no, its
not like that... aku hanya khawatir kau akan tampak buruk jika bersamaku,”
“Are you an
idiot? Bukankah hal yang wajar seorang pria menggandeng wanita jika ke pesta
dansa?”
“Tapi...
kita bukan pasangan-kan? Kau tak harus menggandengku...”
Levi
menatapku diam saat kami berdua berdiri didepan lift yang masih tertutup. Ia
tampak sedang berpikir.
“Kau tahu...
kurasa ini saat yang tepat untuk memberimu pelajaran khusus tentang kencan,”
“Hah? What
are you talking about?”
Pintu lift
menjeblak terbuka dan beberapa orang keluar dari dalamnya. Kulihat Levi
menyeringai kecil sebelum menarik tanganku dan masuk kedalam lift.
“Malam ini
kita akan kencan,”
****
“Hei.. can I
ask you something?” tegurku, saat kami
berdua menunggu lift sampai ditempat tujuan kami.
Levi
menatapku sejenak. “Like what?”
“Tell me
about your plan, apa Irvin yang memintamu untuk mendekatiku?”
Levi
mengernyitkan dahinya, ia tampak sedikit bingung. “Irvin tak pernah memintaku melakukan
apa pun, ia mempromosikanku untuk pekerjaan ini dan aku menerimanya,”
“Lalu kenapa
kau ingin mengatasi phobiaku terhadap kencan?”
“Bukankah
aku editormu? Perlu kau tahu, aku selalu bertindak profesional terhadap pekerjaanku.
Aku melakukannya karena itu memang suatu keharusan, tidak ada alasan khusus,”
“Really..? I
mean... aku masih.. tiba-tiba saja kau...”
Aku terdiam
dan Levi menunggu lanjutan kalimatku, namun aku tak bisa menemukan kalimat yang
pas untuk menampik kata-kata Levi.
“Jangan khawatir...
kita tidak benar-benar berkencan, kau boleh menganggap ini hanya permainan,”
“Hah? Game?”
aku menggelengkan kepalaku tak percaya dan tersenyum kecewa. “Thank you Mr.
Ackerman, tapi kurasa malam ini aku akan mencoba berbaur dengan para tamu,”
Kulepaskan
tautan tangan kami berdua, Levi tak mengatakan apa pun ia tampak sangat tenang
dan menerima penolakanku. Aku tak mengerti apa yang ia pikirkan, kenapa malam
ini dia bertindak tak seperti biasanya.
Kami berdua
terdiam dan tak lama kemudian pintu lift menjeblak terbuka. Sebuah koridor
dengan pintu aula besar terbuka lebar dan para tamu yang terlihat glamor
langsung menyambut kedatangan kami. Levi mengajakku masuk dalam keramaian itu
dan hanya dalam sekejap saja ia telah beralih untuk mengobrol dengan kenalan
yang menyapanya.
Tadi ia bilang
ingin mengencaniku malam ini, tapi kenapa sekarang ia malah tampak sangat
menikmati pesta? Gosh! Ternyata ia hanya membual. Levi mengobrol akrab dengan
beberapa orang yang kuyakin memiliki kedudukan setara Irvin. Tak kusangka ia
orang yang sociable.
Orang-orang
yang berbicara dan sibuk berlalu lalang itu seketika saja membuatku kehabisan
energi. Lelah mengobrol dengan para kolega membuatku merasa haus, kuputuskan
untuk pergi mengambil minuman.
“Sebaiknya
kau tidak mabuk..” suara Levi menegurku lembut ketika ia melihatku menjauh dari
sisinya.
Apa ini
hanya perasaanku tapi sejak tadi ia tampak terus mengawasi gerak-gerikku. Namun
kuputuskan untuk tidak memperdulikannya, Levi hanya mencoba untuk melakukan
pekerjaannya dengan sangat profesional.
Ada banyak
jenis minuman malam itu dan kuputuskan untuk memilih minuman secara acak dan
mengambil gelas berisi minuman dari nampan para pramusaji. Seorang pria tinggi
berambut blonde dan bermata biru langsung menghampiriku ketika aku baru saja
menghabiskan segelas vodka dan mengambil gelas selanjutnya.
“Hey, You’re
(Complete Name) right?” tegurnya. Pria itu tersenyum cerah padaku.
“Yeah,”
jawabku, pria itu langsung mengulurkan tangannya padaku.
“I’m your
fans, Klaus Goldstein...” kusambut tangannya dan kami bersalaman. “Can’t
believe I can find you in this crowded...”
“Hmm, nice
to meet you Klaus... dan thanks karena sudah menyukai karyaku, tak kusangka ada
pria yang mau membacanya,”
Pria bernama
Klaus itu tertawa renyah. “Sedikit dari ras kami cukup suka membaca beberapa
buku cinta, kalau merasa bosan dengan buku literatur aku akan beralih membaca
hal lainnya dan bukumu salah satunya,” jelasnya.
Mendengar
kata-kata pria ini membuatku merasa lebih bersemangat untuk menulis dibanding
sebelumnya.
“Thank you,
aku akan berusaha lebih baik untuk karyaku yang selanjutnya, kuharap kau tak
keberatan untuk membacanya lagi,”
“Of course!”
serunya dengan penuh keyakinan. “Aku akan membeli cetakan pertamanya kalau
perlu,” gumamnya dengan senyuman menawan.
Aku terkekeh
pelan menanggapi respon antusiasnya. “Good to hear that, meskipun itu cuma
candaan aku tetap merasa senang Mr. Goldstein,”
“I’m not
joking on you (Name), aku benar-benar akan membeli bukumu yang selanjutnya,”
serunya.
Aku tak
percaya pria yang baru kukenal ini berjanji padaku bahwa ia akan membaca
karyaku lagi. Dia mungkin sedang berbual, aku tak akan percaya begitu saja pada
pria yang baru saja kukenal.
“Okay...
thank’s for your kindness,”
“Wajahmu
berkata seolah kau tak percaya padaku,” gumamnya pelan dengan senyuman manis
menawan. Ia tampak sangat santai saat mengatakannya seolah itu hanya candaan.
“Ah! Um..
okay, kuakui aku sempat tak percaya kuharap kau tidak tersinggung,”
Klaus
tersenyum dan menggeleng pelan. “No! Aku sama sekali tidak tersinggung, wajar
kalau kau tak percaya ada seorang pria yang membaca buku karyamu. Tapi asal kau
tahu baru-baru ini aku telah selesai membaca dua bukumu dan aku tak bermaksud
untuk pamer padamu,” gumamnya sambil tertawa lembut.
Klaus sangat
baik dan ia membuatku nyaman ketika kami bersama. Ia sangat friendly dan kami
berbicara tentang buku yang sudah ia baca sambil minum. Kupikir aku sedikit
terpesona padanya. Sedikit? No way! Klaus sangat tampan mana mungkin aku hanya
‘sedikit terpesona’ padanya.
Tanpa sadar
aku terus membiarkan alkohol itu melewati celah bibirku sambil mengaati Klaus
yang terus bercerita panjang lebar. “Okay Klaus... Umm, so who are you? I
mean... apa kau juga seorang novelis?”
Klaus
menggelengkan kepalanya. “No.. aku seorang reporter, malam ini aku bertugas
untuk meliput berita disini dan saat ini aku sedikit penasaran, siapakah orang
yang akan mendapat penghargaan juga hadiah nobelnya..”
“Wow,
pekerjaanmu sangat menarik, kau pasti sudah mengenal banyak orang... aku juga
merasa sedikit gugup menunggu pengumumannya,”
“Yeah
pekerjaan ini cukup membantuku mengenal banyak orang, tapi... aku tak pernah
menemukan yang seperti dirimu. Kuharap kau yang memenangkan penghargaan itu...”
“What..?
Why?”
“Yeah! Kuharap
kau memenangkannya jadi aku bisa mendapat kesempatan lebih lama mengobrol
denganmu dan... mengenal dirimu lebih jauh lagi..”
Aku sedikit
tak yakin, tapi... apa pria ini sedang mencoba untuk merayuku?
Kurasa aku
sedikit gugup malam itu dan tanpa sadar meminum alkohol kelimaku. Kepalaku
terasa berat dan pandanganku mulai tak bisa fokus. Sebenarnya aku terlalu takut
tak bisa santai malam itu dan hal itu membuatku banyak minum alkohol. Tapi aku
lupa memikirkan dampak setelahnya karena pada dasarnya tubuhku tak terbiasa
dengan alkohol.
“Kau
baik-baik saja?” tanya Klaus.
Aku
mengangguk dengan kepala berat, kutopang kepalaku dengan tanganku yang bebas.
“Apa kau
ingin istirahat? Kau perlu duduk dan mencari udara segar,”
“No, I’m
fine..”
“You’re not,
come on aku akan mengantarmu ketempat yang lebih tenang,” gumamnya, ia merampas
gelas dari tanganku dan menarikku agar mengikutinya.
Aku tak bisa
merasakan apa-apa lagi bahkan saat Klaus menarik tanganku aku hanya bisa
berjalan mengikutinya. Aku tak menolak karena sebenarnya aku merasa sangat
ingin keluar dari keramaian itu. Meskipun pesta dansa sudah mulai saat itu
namun kami berdua terus keluar dari aula.
“Klaus...
where are we going?” tanyaku saat kami berjalan disepanjang koridor sepi.
“Aku tahu
tempat yang bisa dipakai untuk istirahat,”
“I’m okay..”
gumamku sambil menyentak tangannya dariku. Saat tangannya terlepas dari
tanganku tubuhku langsung oleng karena efek mabuk. Sebelum terjatuh Klaus
menangkap tubuhku dalam pelukannya.
“You can see
that...? Kau bahkan tak bisa berdiri lagi, I just wanna help you... come on,”
bisiknya lalu merangkulku dan kami kembali berjalan sepanjang koridor.
Tubuhku tak
berusaha untuk mengelak dengan kepala yang terasa berat dan bumi terasa berada
diatas gelombang ombak aku hanya teringat dengan kata-kata Levi yang
memperingatkanku agar tidak mabuk.
“Levi...”
“Hmm?”
“Can you
help me to find my boss? Levi Ackerman? Kau bisa mengantarku padanya,” gumamku
pelan.
Klaus
menatapku dengan dahi berkerut. “Okay, I will... setelah mengantarmu ke ruang
istirahat aku akan mencarinya...”
“Thank
you...” gumamku lagi lalu menyandarkan tubuhku pada Klaus.
“You smell
good...” gumam Klaus, kurasa ia sedang menempalkan wajahnya didekat leherku
saat ini, hal itu membuatku merasa cukup panik.
“The hell
are you doing?!” cetusku lalu mendorong Klaus agar menjauh dariku.
“Calm down!
I do nothing! Kalau kau terus berontak kau akan tambah pusing...” gumamnya lalu
menarikku lagi kedalam pelukannya. “I just want to help you...”
“No!! Let me
go!!” cetusku sambil terus berontak, namun Klaus justru mempererat pelukannya.
“Let me go Klaus, I need to find my boss,” gumamku lagi sambil terus berontak.
“What are
you talking about? Bukankah kau datang sendirian kepesta ini...” gumam Klaus.
“Just relax... I wouldn’t hurt you...”
“No!! I
wanna see my boss, you better don’t do something stupid on me or he would give
you a pain in the ass!”
“Are you
joking?”
Seseorang
menarik Klaus dariku dan ia memberi Klaus sebuah pukulan keras tepat diwajah.
Klaus mundur beberapa langkah dan sudut bibirnya berdarah. Tubuhku terhempas
kedinding koridor yang dingin, otakku langsung memaksa untuk fokus dengan
keadaan yang sedang terjadi.
Kulihat Levi
sedang menatapku dengan tatapan mematikan yang mengerikan. Dia tampak sangat
marah. Levi kembali memalingkan tatapannya pada Klaus yang sedang memegangi
bibirnya yang luka.
“Kenapa kau
memukulku, shorty?” gumam Klaus kesal.
“Harusnya
aku yang bertanya, kau mau pergi kemana dengan wanita ceroboh ini?”
“It’s not
your business, ini tak ada hubungannya denganmu,”
Levi menarik
tanganku. “Of course this is my business, she’s my girl and I can’t let your
dirty hand touch her. If you have a problem you can talk to me and solve our
shit with man manners,”
“Kau pikir
aku tak bisa memukulmu?” tanya Klaus santai.
“I’d never
say that....” balas Levi tenang.
“You...”
“Levi,”
gumamku sambil mencegahnya. “I’m okay... this is my fault, I just want to leave
this place, please take me home,”
Levi
menatapku sejenak lalu menatap Klaus yang tampak tak ingin membalas pukulan
yang ia terima barusan. “Come on,” ajakku dengan tubuh oleng sambil terus menarik
tangannya dan ia mulai melangkah mengikutiku.
“It’s not
over...” gumam Klaus santai.
“It’s
already over,” bisikku lemah sambil terus mendorong Levi agar masuk kedalam
lift yang telah terbuka.
Selama
berada didalam lift kami berdua berdiri berjauhan, Levi melipat kedua tangannya
didada sementara ia menyandar pada dinding lift sambil menatapku dengan
pandangan kejam.
“Kau tahu
apa yang akan terjadi jika aku tak muncul?” gumamnya dingin.
“I know...
I’m sorry sir,”
“Tch...”
decaknya lalu berdiri tegak dan beranjak melepas jasnya, ia berjalan
mendekatiku dan memakaikan jasnya ketubuhku. “Harusnya aku tak memaksamu
ketempat ini,”
“It’s okay
sir, this is my fault. Harusnya aku menolak rencanamu dengan keras meskipun kau
akan menyiksaku lagi,”
“Menyiksamu?
What do you mean by that?” gumamnya sambil menatapku bingung. Ia masih berada
didekatku dan tak beranjak untuk menjauh.
Aku hanya
terkekeh pelan menanggapi reaksinya. “You’re always starring at me with those
eyes, I can’t help it because it’s too scary,”
“You scared
of me...?”
“A
little...”
“Hmmm...
jadi sekarang kau tak merasa takut padaku?”
“A
little...”
“What?”
gumamnya tak percaya.
“I think... Because
you saved me... I...”
Lift itu
berguncang dan ruangan kecil itu langsung gelap gulita. Aku langsung berteriak
ketakutan dan memeluk asal objek yang sedang berdiri didepanku. Seandainya saja
lampu darurat tidak segera menyala aku tak akan bisa melihat wajah Levi yang
tampak pucat karena terguncang dengan situasi saat itu.
“What
happen?” gumamku panik sambil terus memeluk bosku.
Levi
memeriksa tombol-tombol dinding yang ada didekatku lalu membuat sebuah
panggilan darurat dari panel suara yang ada. Terdengar suara balasan dari
operator lift. Setelah pembicaraan antara Levi dan operator berakhir Levi
mengelus kepalaku lembut lalu mendorongku agar menjauh darinya.
Ia berbalik
menjauh dengan tubuh membelakangiku. “Shit. Sepertinya malam ini kita akan menghabiskan
waktu berdua saja sementara lift ini diperbaiki...”
****
Continued to Chapter 4
Next donk chapter 04 nya
ReplyDeleteditunggu yaa :) minggu depan baru update lanjutannya, keep watching!!
DeleteKaka chpternya dilanjut donk kk
ReplyDeleteTernyata anda tau game Wizardess Heart juga.*terharu* I'm not alone
ReplyDelete