Perfect
Punishment
(My
Editor is a Devil)
Cast
: Levi Ackerman x Reader
Genre
: Romance, Mature
Language
: Mix (Bahasa Indonesia - English)
Chapter
7
Aku ingin
tahu siapa wanita yang bersama Levi dan aku juga penasaran dengan sesuatu yang
ingin Levi bicarakan nanti. Jika ia membahas masalah kencan itu meskipun telah
memiliki kekasih, kurasa aku akan menolaknya.
Kulihat
Petra sudah berada ditengah-tengah kerumunan teman-teman yang ingin mendengar
ceritanya. Kuputuskan untuk ikut bergabung bersama mereka agar otakku tidak
memikirkan tentang Levi Ackerman lebih dari ini.
“Bagaimana
rapatnya tadi?” tanya Mikasa. Ia menyandarkan dirinya disisi meja yang ada
disebelah kanan Petra.
“Apa kau
baik-baik saja?” tanya Connie ia tampak cukup antusias.
Jean
menghampiriku lalu menyilangkan tangannya didada dan menyandarkan tubuhnya
disisi meja. Ia menatap Petra dengan tatapan tajam. “Sebaiknya rapat itu
berjalan lancar, apa bos membuatmu ada dalam kesulitan?” gumamnya.
Petra tersenyum
lalu menggeleng pelan. “Kalian terlalu khawatir, aku baik-baik saja...”
“Tentu saja
kami khawatir!” gumam Bertholt dengan nada suara yang serius. “Kau
menghilangkan file penting dan tak punya back up nya, kami tak bisa
membayangkan apa yang bos lakukan padamu,”
Petra
tersenyum dengan wajah tampak merasa bersalah. “Uumm... kalian salah paham. Bos
tidak seburuk yang kalian pikirkan,” gumamnya dengan raut wajah yang terlihat
mulai memerah.
“What do you
mean?” gumamku ingin tahu.
Petra
menatapku dengan ekspresi agak terkejut. “Ah itu...” dia menggumam dan
tersenyum malu. “Sebenarnya bos membantuku membuat rekapan laporannya dan dia
tampak sangat menguasai data laporan itu saat menjelaskannya dalam rapat,”
“Dia nggak
marah?” tanya Christa dengan dahi berkerut.
Petra
menggeleng pelan. “Tidak, dia justru khawatir karena melihatku panik dan
sebagian besar perbaikan itu dia yang mengerjakannya,” jelas Petra.
Jean
memainkan dagunya, heran. “Hmmm... kau beruntung sekali, tapi ini benar-benar
aneh,”
“Apanya?”
celetuk Mikasa. Jean terkejut saat mendengar Mikasa mengomentari kata-katanya.
Wajahnya merona merah dan ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
“A-ah itu~
maksudku... bos pasti sedang dalam mood yang sangat baik, mengingat dia sering
menyiksa (Name),” jelas Jean.
“Oh, kalau
itu sih kau jangan heran..” gumam Annie. “(Name) memang selalu bikin gara-gara
wajar saja kalau bos merasa kesal padanya,”
“Sepertinya
dia benar-benar membencimu,” gumam Sasha yang sedari tadi asyik mengunyah Pocky
di mulutnya.
“Atau
sebaliknya... dia memang senang menyiksa gadis lugu seperti (Name) yang tak
pernah kencan satu kali pun,” gumam Reiner dengan wajah penuh senyuman
kepuasan.
“Aku tak
pernah bermasalah saat bekerja ketika Hanji masih jadi editorku, tapi ketika
Levi menggantikan posisinya semuanya terasa mulai memburuk. Ia tampak senang
mengoreksi semua kesalahanku bahkan yang terkecil sekali pun,” keluhku sambil
menyilangkan kedua lengan di dada.
“Tapi kau
cukup menikmatinya kan?” tanya Annie.
“Hmmm... dia
tak seburuk itu kok, setidaknya dia bekerja sesuai dengan porsinya,” pujiku.
“Meskipun
kau harus jadi pelayannya kau tetap tidak merasa keberatan? Apa itu tetap
menyenangkan buatmu?” gumam Mikasa dengan wajah tanpa ekspresi.
“Ah... aku
tak pernah sekalipun berpikir sejauh itu, aku hanya menjalankan tugasku saja
karena awalnya itu memang salahku, karena sudah membuatnya menunggu lama saat
pertemuan pertama kami,”
Kalau
dipikir lagi kata-kata Mikasa ada benarnya, tapi aku tak punya banyak pilihan
karena Levi Ackerman adalah editorku!!
“Yang begitu
sebaiknya lupakan saja, bukankah kejadian itu sudah lama berlalu,” gerutu Jean.
“Ayo kita mulai kerja saja, kalau bos melihat kita berkumpul seperti ini dia
pasti akan mulai memberi kita tugas tambahan lagi,” gumamnya sambil beranjak
menuju meja kerjanya.
“Petra, kau
harus lebih hati-hati lagi...” gumam Bertholt.
“Yeah, aku
juga tak mengerti kenapa filenya bisa hilang,” gumamnya penasaran. “Aku akan
mencarinya lagi nanti,”
“Sudahlah
jangan dipikirkan lagi! Bagaimana kalau malam ini kita pergi bersantai saja?
Ada pub yang baru buka mereka punya beberapa minuman yang enak,” ajak Annie.
“Ah! Aku
ikut!” pekik Sasha dan Connie. “Mikasa! Christa! (Name)! Kalian pergi kan? Ajak
Ymir, Eren, dan Armin juga!” seru Sasha ceria. Christa dan Mikasa mengangguk
setuju.
“Boleh juga,
aku akan ikut sudah lama aku tidak bersantai,” gumam Reiner. “Bertholt kau
punya waktu kan?” tanyanya.
“Aku bisa
saja ikut, kalian pastikan saja waktunya aku akan menyelesaikan beberapa
pekerjaanku dulu,” serunya lalu beranjak pergi.
“Bagaimana?”
tanya Annie lagi, ia menatap Petra untuk meminta persetujuan.
“Hmm, tak
masalah lagi pula aku bebas hari ini,” gumam Petra setuju. Telepon di meja
Petra berdering dan seketika saja ia tersentak kaget. “Ah! Aku harus kembali
bekerja!” gumamnya lalu beralari menuju meja kerjanya.
“Kau
bagaimana?” tanya Mikasa padaku yang masih diam memikirkan ide baru ini.
Aku harus
menolak ajakan ini karena Levi memintaku untuk menunggunya. Dia ingin membahas
sesuatu denganku dan aku sudah cukup penasaran dengan ‘sesuatu’ yang ingin dia
bahas.
“Umh, ada
beberapa pekerjaan yang harus kukerjakan...”
“Ayolaah~
jangan berkutat dengan pekerjaanmu terus,” rengek Christa. Ia bergelayut manja
dilenganku. “Akhir-akhir ini kau berubah, sekarang jadi sering ke kantor dan
tidak berkutat dalam apartemenmu lagi, jadi pergi ke Pub bukan masalah besar
kan?” ajaknya.
“Baiklah. Akan
kuusahakan menyelesaikannya secepat mungkin,” gumamku setuju. Kuharap
pembicaraanku dan Levi bisa segera selesai sebelum waktu kerja berakhir.
****
Hari telah
menjelang malam ketika wanita cantik berambut merah itu keluar dari dalam
ruangan Levi Ackerman. Ia mengantar wanita itu ke lift dan mereka mengobrol
santai sambil menunggu pintu lift terbuka.
Aku sedang
sibuk memikirkan plot novelku dan tanpa kusadari mataku terus menatap dua sosok
itu dengan tangan menopang kepala. Pintu lift akhirnya terbuka dan si wanita
memeluk Levi lalu menciumnya.
Napasku
tercekat ditenggorokan dan hampir membuatku tak bisa bernapas normal. Kucoba
untuk kembali fokus pada komputerku saat mengalihkan perhatianku dari keduanya
dan berusaha melupakan kejadian yang baru saja kulihat.
Damn..
kenapa aku malah melihat adegan yang tak seharusnya kulihat...
Teman-temanku
sudah menyelesaikan pekerjaan mereka dan satu persatu pergi. Saat itu hanya
tinggal Mikasa, Sasha, Connie, aku dan Jean. Jean menghampiri mejaku, ia sedang
menggulung lengan kemejanya. “Kau sudah selesai?” tanyanya.
“Hmm...”
kulirikkan mataku pada Levi Ackerman yang sedang menatapku dan Jean, ia
berjalan santai lalu menghampiri meja Mikasa dan mengobrol sebentar dengannya.
Aku sedang tak ingin melihat wajah Levi hari ini jadi kuputuskan untuk pergi.
“Yeah... aku sudah selesai, tunggu sebentar aku akan bersiap,” gumamku.
Jean
beranjak pergi ke mejanya lagi untuk mengambil barang-barangnya, aku sedang
memasukkan barang-barangku ke dalam tas dan mematikan komputer saat Levi
kembali melirik ke mejaku.
“Kau mau
kemana?” tegurnya saat melihatku menyampirkan tas dibahuku.
“Umh... aku
sudah menyelesaikan pekerjaanku dan sekarang sudah waktunya pulang kurasa
aku...”
“Aku butuh
bantuanmu diruanganku... sekarang!” serunya dingin lalu tanpa menunggu
persetujuanku dia pergi begitu saja menuju ruangannya.
Jean dan
Mikasa menatapku bingung. “Sorry guys, kalian pergi saja nanti aku akan
menyusul...” pintaku.
“Everythings
okay?” tanya Jean, ia tampak khawatir. “Kami bisa menunggumu di...”
“It’s okay,
pubnya dekat aku akan menyusul kalian setelah membantu Mr. Ackermann,” gumamku
berusaha meyakinkan mereka.
Jean tampak
ragu tapi ia akhirnya setuju untuk meninggalkanku berdua dengan Mr. Ackeman.
Aku tahu Jean akan sangat senang bisa semobil dengan Mikasa, jadi memberinya
sedikit waktu berduaan kurasa tak begitu buruk.
Kuketuk pintu
ruang kerja Levi lalu masuk setelah mendengar suaranya yang menyuruhku masuk.
Aku baru saja menutup pintu saat ia mulai berkomentar lagi.
“Apa kau sedang
menghindariku?” pertanyaan Levi membuatku tertegun. Aku pun berbalik untuk
menatapnya dan kulihat ia sedang berdiri dengan tangan bersilang didada sementara
bagian bawah tubuhnya bersandar pada sisi meja kerjanya, ia menatapku dengan
tatapan dingin yang mematikan.
“What do you
mean?” gumamku dengan senyuman tak meyakinkan. “Aku tidak berusaha menghidarimu
kok, so... apa yang ingin kau bahas denganku?”
Levi
melonggarkan dasinya lalu melepasnya dan melemparkan dasi itu ke atas mejanya.
“Tch, you liar... kemarilah,” gumamnya pelan lalu menggulung ke dua lengan
kemejanya.
“U-umm...
aku lebih suka disini, bos...”
Levi terdiam
menatapku lalu dia mendecakkan lidahnya. “Kau yang kesini... atau aku yang
kesana untuk menjemputmu? Kau boleh memilih,” serunya dengan senyuman jahil.
“W-what?? Katakan
saja apa yang ingin kau bahas, aku akan mendengarkanmu...” gumamku gugup.
Namun Levi
kembali diam dan melepas tiga kancing kemeja teratasnya. “Kau takut padaku,
hmm?” tanyanya dengan suara dalam yang lembut. Aku belum pernah mendengarnya sebelumnya.
“T-tentu
saja tidak,” gumamku bohong. Levi beranjak dari tempatnya dan berjalan pelan
kearahku. “Hei!! What do you want??”
Ia berjalan
dalam diam dan berhenti tepat didepanku saat jarak diantara kami hanya tinggal
beberapa senti saja. “Aku ingin dengar jawabanmu... apa kau mau kencan
denganku?”
Kata-katanya
membuat napasku kembali tercekat ditenggorokan. Aku tak percaya dengan
tindakannya saat ini. Kenapa bosku masih menanyakan kencan itu, padahal aku
sudah melihat pacarnya yang baru saja pulang tidak sampai sejam yang lalu.
“Hei...
answer me?” gumamnya lembut. Suaranya yang dalam menghanyutkanku.
“No! We
can’t...” jawabku pelan, aku tak berani menatap wajahnya dan menunduk menatap
kancing bajunya yang terbuka.
“Why?”
bisiknya lagi.
“Tak ada
alasan khusus... aku..”
“Shit!” Levi
menghela napas kesal lalu memasukkan kedua tangannya kedalam saku celananya.
“Apa kau dan Jean berhubungan?”
“Eh?? N-no
way!!! Kami hanya sahabat... tidak mungkin kami berdua... lagipula dia
suka....” Salah satu tangan Levi menekan bahuku kepintu. “W-what’s wrong?”
“Shut up
your mouth shitty brat...”
“Levi! What
...”
Perlahan
wajahnya mendekat dan bibirnya yang lembut menempel dibibirku. Bisa kurasakan
detak jantungku yang berdebar semakin cepat, dan rasa panas mulai mengaliri
kulitku saat kurasa tangan Levi menyentuh kulit leher dan bagian belakang
kepalaku. Perlahan lidahnya mencoba
untuk masuk lebih dalam melalui celah bibirku.
Kudorong
tubuhnya dengan tanganku, namun ia berhasil menahan tanganku dengan tangan satunya
yang bebas. Ia tak berencana untuk menjauhkan dirinya dariku saat ciumannya
mulai menggila. Aku pun mulai kehabisan napas karena ciuman penuh nafsu yang
membuatku hampir kehilangan akal sehatku.
“St..”
“Hmm...?”
“Stop!”
gumamku lemah. “We can’t do this,” kudorong tubuhnya dariku hingga ia
menghentikan ciuman itu, wajahnya tampak tak suka.
“What are
you talking about?” gumamnya, mencoba untuk mempermainkanku. “It feels so good...
kissing your lips...” gumamnya dengan dahi berkerut. Ia tampak sangat serius.
“But we...”
Levi kembali
mendekatkan wajahnya padaku dan perlahan mengecup bibirku lagi. “Tapi apa?”
gumamnya pelan disela-sela ciuman kecil itu.
“You already
have a girlfriend!” gumamku. Levi menghentikan ciumannya dan menatapku diam. “We
shouldn’t do this kind of stuff, I won’t!” tegasku lagi.
“What are
you talking about?” gumamnya dengan tatapan tajam.
“We’re not
going for a date, sir!” gumamku lagi, entah kenapa dadaku terasa sakit saat mengatakannya.
Padahal awalnya
aku ingin menerima ajakan kencan Levi dengan alasan penelitian untuk ceritaku
tapi sepertinya niat itu harus kuurungkan karena dia sudah punya kekasih. Lagipula
kupikir alasanku itu tidak masuk akal.
Levi
menatapku diam tanpa ekspresi, jemari tangan kirinya menyentuh helai rambut
yang menutupi sebagian wajahku. “Apa karena wanita tadi?” tanyanya lembut.
Aku kembali
menunduk menghindari tatapan matanya. “Maybe.. yes!”
“She’s not
my girlfriend...” gumamnya dingin.
“I’m not
sure...” gumamku yakin.
Perlahan jari-jarinya
mengangkat daguku hingga wajah kami kembali bertatapan. “She’s my client...”
gumamnya sambil tersenyum.
“Dia memeluk
dan mencium anda tega sekali kau bilang dia bukan kekasihmu,” protesku lagi.
Levi
menatapku diam dengan wajah tanpa ekspresi. “I’ve told you... ini hanya akan
jadi kencan biasa karena kita berdua tak ingin punya kekasih kan. Bukankah aku
sudah memberitahumu sebelumnya? And I tell you clearly... that she’s only my
client, we don’t have any relationship...”
Bunyi dering
handphone itu mengagetkan kami berdua. Levi mendecakkan lidahnya sebal saat
mengeluarkan ponselnya yang sedang berbunyi. “It’s Erwin...” gumamnya
memberitahuku lalu menerima panggilan itu dengan sikap malas-malasan. “What’s
wrong eyebrows?” sapanya.
“Hey Levi,
ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu apa kau masih di kantor?” gumam Erwin
cuek.
“Aku sedang
sibuk sekarang, bisa kah kau tunda itu minggu depan saja?” gumamnya sambil
menatapku dengan wajahtanpa ekspresi, salah satu tangannya terbentang
disampingku, menekan pintu dibelakang punggungku.
“Hei itu
terlalu lama. Aku lihat mobilmu masih di basement, tenang saja aku tak akan
lama aku sudah di lobby. Kau tunggu saja aku diruanganmu..”
“Damn...” Levi
mematikan ponselnya dengan wajah datar.
“W-what’s
wrong?” tanyaku, karena dia hanya diam dan menghela napas panjang.
“Erwin akan
mampir kesini...”
“Oh... that’s
a good news... is he okay?”
“Yeah...”
gumamnya lalu menatap jam tangannya. “Dia sudah ada disini...” gumamnya pelan.
“What??”
kudorong tubuh Levi dan merapikan diriku secepat mungkin.
“What’s
wrong?” tanyanya dengan dahi berkerut.
“Aku harus
pergi sekarang sebelum dia melihat kita...” gumamku panik.
“Hei calm down,
just don’t be panic...” gumamnya sambil tersenyum. “It’s okay...”
“Levi!! Are
you still there??” suara Erwin dan ketukan di pintu itu menggema di luar
ruangan sana.
Kutenangkan
diriku saat Levi mengamatiku untuk terakhir kalinya sebelum ia membuka pintu. Terdengar
suara ketukan dipintu lagi. “Aku akan masuk seka...”
Levi langsung
membuka pintu ruang kerjanya. Saat pintu itu terbuka kulihat ekspresi wajah
Erwin yang agak terkejut saat melihatku ada didalam ruangan itu bersama Levi. Namun
ia langsung tersenyum menyapaku. “Hai (Name) long time no see,” gumamnya
padaku. “You look great,”
“Thank you
sir!” gumamku sambil berusaha terlihat setenang mungkin. “Kau juga tampak
sangat baik, apa kau baru kembali dari dinas luar mu?”
“Yeah, aku sedang
mengurus beberapa hal disalah satu perusahaan baru disini dan kebetulan aku punya
waktu senggang beberapa hari jadi kuputuskan untuk kemari mengecek bos
barumu...” serunya lalu menatap Levi yang diam tak berkata-kata. “Apa aku
mengganggu kalian berdua?” tanyanya.
“Oh no, no,
no!!” gumamku keceplosan. “Aku dan Mr. Ackerman sedang membahas novelku dan
kebetulan kami sudah selesai,” jawabku bohong.
“Oh, kupikir
kalian berdua sedang...” Erwin tak melanjutkan kata-katanya dan membiarkannya
mengambang begitu saja.
“Stop Erwin
jangan menggoda bawahanku seperti itu atau dia akan salah sangka padamu,” gumam
Levi. “Masuklah! Kau bilang ada sesuatu yang ingin kau tunjukkan padaku kan?”
Erwin tersenyum
manis. “Oh ya! Sorry (Name) aku tak bermaksud untuk menggodamu, tapi aku
benar-benar tak bisa menahan diriku,” gumamnya dengan tatapan jahil lalu masuk
kedalam ruangan Levi.
Aku
tersenyum dan mencoba untuk tampak tenang. “It’s okay sir aku tak terlalu
memikirkan hal itu, karena kita sudah sering membahasnya... kalau begitu aku
akan pergi sekarang,”
“Kau mau pergi
sekarang? Hei... tetaplah disini sebentar, aku bisa sekalian mengantarmu nanti,”
pinta Erwin.
“Thank you
sir, tapi ada hal lain yang harus kulakukan setelah ini jadi aku akan pergi
sekarang,” tolakku. Aku harus segera pergi dari ruangan ini.
“Ah...
Okay... be carefull...” seru Erwin tersenyum, lalu ia beranjak menuju sofa dan
duduk.
Kutatap Levi
yang masih memandangku dengan wajah datarnya. “Kau tahu urusan kita masih belum
selesai kan?” gumamnya lagi memperjelas keadaan yang telah kami tinggalkan
beberapa saat lalu.
Aku merasa
wajahku memanas saat mengingat ciuman kami tadi. “Ah.. Kupikir aku sudah
menjelaskan semuanya padamu sir,” jawabku tenang. “Sebaiknya aku pergi
sekarang,” gumamku padanya.
Kulihat
ekspresi diwajahnya tampak sedikit berubah dan ia menyeringai dingin padaku. “Kau
kira aku akan begitu saja menerima penjelasan seperti itu, heh? Kau terlalu
cepat seratus tahun,” gumamnya lagi lalu mempersilakan ku untuk pergi dari
ruangannya.
****
Continued to Chapter 8
next kaak! serruuuu~~
ReplyDelete