Tuesday, 14 June 2016

Perfect Punishment (Levi Ackerman x Reader) - Chapter 07

BY Unknown IN 1 comment


Perfect Punishment
(My Editor is a Devil)

Cast : Levi Ackerman x Reader
Genre : Romance, Mature
Language : Mix (Bahasa Indonesia - English)

Chapter 7

Aku ingin tahu siapa wanita yang bersama Levi dan aku juga penasaran dengan sesuatu yang ingin Levi bicarakan nanti. Jika ia membahas masalah kencan itu meskipun telah memiliki kekasih, kurasa aku akan menolaknya.
Kulihat Petra sudah berada ditengah-tengah kerumunan teman-teman yang ingin mendengar ceritanya. Kuputuskan untuk ikut bergabung bersama mereka agar otakku tidak memikirkan tentang Levi Ackerman lebih dari ini.

“Bagaimana rapatnya tadi?” tanya Mikasa. Ia menyandarkan dirinya disisi meja yang ada disebelah kanan Petra.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Connie ia tampak cukup antusias.

Jean menghampiriku lalu menyilangkan tangannya didada dan menyandarkan tubuhnya disisi meja. Ia menatap Petra dengan tatapan tajam. “Sebaiknya rapat itu berjalan lancar, apa bos membuatmu ada dalam kesulitan?” gumamnya.

Petra tersenyum lalu menggeleng pelan. “Kalian terlalu khawatir, aku baik-baik saja...”

“Tentu saja kami khawatir!” gumam Bertholt dengan nada suara yang serius. “Kau menghilangkan file penting dan tak punya back up nya, kami tak bisa membayangkan apa yang bos lakukan padamu,”

Petra tersenyum dengan wajah tampak merasa bersalah. “Uumm... kalian salah paham. Bos tidak seburuk yang kalian pikirkan,” gumamnya dengan raut wajah yang terlihat mulai memerah.

“What do you mean?” gumamku ingin tahu.

Petra menatapku dengan ekspresi agak terkejut. “Ah itu...” dia menggumam dan tersenyum malu. “Sebenarnya bos membantuku membuat rekapan laporannya dan dia tampak sangat menguasai data laporan itu saat menjelaskannya dalam rapat,”

“Dia nggak marah?” tanya Christa dengan dahi berkerut.

Petra menggeleng pelan. “Tidak, dia justru khawatir karena melihatku panik dan sebagian besar perbaikan itu dia yang mengerjakannya,” jelas Petra.

Jean memainkan dagunya, heran. “Hmmm... kau beruntung sekali, tapi ini benar-benar aneh,”

“Apanya?” celetuk Mikasa. Jean terkejut saat mendengar Mikasa mengomentari kata-katanya. Wajahnya merona merah dan ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

“A-ah itu~ maksudku... bos pasti sedang dalam mood yang sangat baik, mengingat dia sering menyiksa (Name),” jelas Jean.

“Oh, kalau itu sih kau jangan heran..” gumam Annie. “(Name) memang selalu bikin gara-gara wajar saja kalau bos merasa kesal padanya,”

“Sepertinya dia benar-benar membencimu,” gumam Sasha yang sedari tadi asyik mengunyah Pocky di mulutnya.

“Atau sebaliknya... dia memang senang menyiksa gadis lugu seperti (Name) yang tak pernah kencan satu kali pun,” gumam Reiner dengan wajah penuh senyuman kepuasan.

“Aku tak pernah bermasalah saat bekerja ketika Hanji masih jadi editorku, tapi ketika Levi menggantikan posisinya semuanya terasa mulai memburuk. Ia tampak senang mengoreksi semua kesalahanku bahkan yang terkecil sekali pun,” keluhku sambil menyilangkan kedua lengan di dada.

“Tapi kau cukup menikmatinya kan?” tanya Annie.

“Hmmm... dia tak seburuk itu kok, setidaknya dia bekerja sesuai dengan porsinya,” pujiku.

“Meskipun kau harus jadi pelayannya kau tetap tidak merasa keberatan? Apa itu tetap menyenangkan buatmu?” gumam Mikasa dengan wajah tanpa ekspresi.

“Ah... aku tak pernah sekalipun berpikir sejauh itu, aku hanya menjalankan tugasku saja karena awalnya itu memang salahku, karena sudah membuatnya menunggu lama saat pertemuan pertama kami,”

Kalau dipikir lagi kata-kata Mikasa ada benarnya, tapi aku tak punya banyak pilihan karena Levi Ackerman adalah editorku!!

“Yang begitu sebaiknya lupakan saja, bukankah kejadian itu sudah lama berlalu,” gerutu Jean. “Ayo kita mulai kerja saja, kalau bos melihat kita berkumpul seperti ini dia pasti akan mulai memberi kita tugas tambahan lagi,” gumamnya sambil beranjak menuju meja kerjanya.

“Petra, kau harus lebih hati-hati lagi...” gumam Bertholt.

“Yeah, aku juga tak mengerti kenapa filenya bisa hilang,” gumamnya penasaran. “Aku akan mencarinya lagi nanti,”

“Sudahlah jangan dipikirkan lagi! Bagaimana kalau malam ini kita pergi bersantai saja? Ada pub yang baru buka mereka punya beberapa minuman yang enak,” ajak Annie.

“Ah! Aku ikut!” pekik Sasha dan Connie. “Mikasa! Christa! (Name)! Kalian pergi kan? Ajak Ymir, Eren, dan Armin juga!” seru Sasha ceria. Christa dan Mikasa mengangguk setuju.

“Boleh juga, aku akan ikut sudah lama aku tidak bersantai,” gumam Reiner. “Bertholt kau punya waktu kan?” tanyanya.

“Aku bisa saja ikut, kalian pastikan saja waktunya aku akan menyelesaikan beberapa pekerjaanku dulu,” serunya lalu beranjak pergi.

“Bagaimana?” tanya Annie lagi, ia menatap Petra untuk meminta persetujuan.

“Hmm, tak masalah lagi pula aku bebas hari ini,” gumam Petra setuju. Telepon di meja Petra berdering dan seketika saja ia tersentak kaget. “Ah! Aku harus kembali bekerja!” gumamnya lalu beralari menuju meja kerjanya.

“Kau bagaimana?” tanya Mikasa padaku yang masih diam memikirkan ide baru ini.

Aku harus menolak ajakan ini karena Levi memintaku untuk menunggunya. Dia ingin membahas sesuatu denganku dan aku sudah cukup penasaran dengan ‘sesuatu’ yang ingin dia bahas.

“Umh, ada beberapa pekerjaan yang harus kukerjakan...”

“Ayolaah~ jangan berkutat dengan pekerjaanmu terus,” rengek Christa. Ia bergelayut manja dilenganku. “Akhir-akhir ini kau berubah, sekarang jadi sering ke kantor dan tidak berkutat dalam apartemenmu lagi, jadi pergi ke Pub bukan masalah besar kan?” ajaknya.

“Baiklah. Akan kuusahakan menyelesaikannya secepat mungkin,” gumamku setuju. Kuharap pembicaraanku dan Levi bisa segera selesai sebelum waktu kerja berakhir.

****

Hari telah menjelang malam ketika wanita cantik berambut merah itu keluar dari dalam ruangan Levi Ackerman. Ia mengantar wanita itu ke lift dan mereka mengobrol santai sambil menunggu pintu lift terbuka.

Aku sedang sibuk memikirkan plot novelku dan tanpa kusadari mataku terus menatap dua sosok itu dengan tangan menopang kepala. Pintu lift akhirnya terbuka dan si wanita memeluk Levi lalu menciumnya.

Napasku tercekat ditenggorokan dan hampir membuatku tak bisa bernapas normal. Kucoba untuk kembali fokus pada komputerku saat mengalihkan perhatianku dari keduanya dan berusaha melupakan kejadian yang baru saja kulihat.

Damn.. kenapa aku malah melihat adegan yang tak seharusnya kulihat...

Teman-temanku sudah menyelesaikan pekerjaan mereka dan satu persatu pergi. Saat itu hanya tinggal Mikasa, Sasha, Connie, aku dan Jean. Jean menghampiri mejaku, ia sedang menggulung lengan kemejanya. “Kau sudah selesai?” tanyanya.

“Hmm...” kulirikkan mataku pada Levi Ackerman yang sedang menatapku dan Jean, ia berjalan santai lalu menghampiri meja Mikasa dan mengobrol sebentar dengannya. Aku sedang tak ingin melihat wajah Levi hari ini jadi kuputuskan untuk pergi. “Yeah... aku sudah selesai, tunggu sebentar aku akan bersiap,” gumamku.

Jean beranjak pergi ke mejanya lagi untuk mengambil barang-barangnya, aku sedang memasukkan barang-barangku ke dalam tas dan mematikan komputer saat Levi kembali melirik ke mejaku.

“Kau mau kemana?” tegurnya saat melihatku menyampirkan tas dibahuku.

“Umh... aku sudah menyelesaikan pekerjaanku dan sekarang sudah waktunya pulang kurasa aku...”

“Aku butuh bantuanmu diruanganku... sekarang!” serunya dingin lalu tanpa menunggu persetujuanku dia pergi begitu saja menuju ruangannya.

Jean dan Mikasa menatapku bingung. “Sorry guys, kalian pergi saja nanti aku akan menyusul...” pintaku.

“Everythings okay?” tanya Jean, ia tampak khawatir. “Kami bisa menunggumu di...”

“It’s okay, pubnya dekat aku akan menyusul kalian setelah membantu Mr. Ackermann,” gumamku berusaha meyakinkan mereka.

Jean tampak ragu tapi ia akhirnya setuju untuk meninggalkanku berdua dengan Mr. Ackeman. Aku tahu Jean akan sangat senang bisa semobil dengan Mikasa, jadi memberinya sedikit waktu berduaan kurasa tak begitu buruk.

Kuketuk pintu ruang kerja Levi lalu masuk setelah mendengar suaranya yang menyuruhku masuk. Aku baru saja menutup pintu saat ia mulai berkomentar lagi.

“Apa kau sedang menghindariku?” pertanyaan Levi membuatku tertegun. Aku pun berbalik untuk menatapnya dan kulihat ia sedang berdiri dengan tangan bersilang didada sementara bagian bawah tubuhnya bersandar pada sisi meja kerjanya, ia menatapku dengan tatapan dingin yang mematikan.

“What do you mean?” gumamku dengan senyuman tak meyakinkan. “Aku tidak berusaha menghidarimu kok, so... apa yang ingin kau bahas denganku?”

Levi melonggarkan dasinya lalu melepasnya dan melemparkan dasi itu ke atas mejanya. “Tch, you liar... kemarilah,” gumamnya pelan lalu menggulung ke dua lengan kemejanya.

“U-umm... aku lebih suka disini, bos...”

Levi terdiam menatapku lalu dia mendecakkan lidahnya. “Kau yang kesini... atau aku yang kesana untuk menjemputmu? Kau boleh memilih,” serunya dengan senyuman jahil.

“W-what?? Katakan saja apa yang ingin kau bahas, aku akan mendengarkanmu...” gumamku gugup.

Namun Levi kembali diam dan melepas tiga kancing kemeja teratasnya. “Kau takut padaku, hmm?” tanyanya dengan suara dalam yang lembut. Aku belum pernah mendengarnya sebelumnya.

“T-tentu saja tidak,” gumamku bohong. Levi beranjak dari tempatnya dan berjalan pelan kearahku. “Hei!! What do you want??”

Ia berjalan dalam diam dan berhenti tepat didepanku saat jarak diantara kami hanya tinggal beberapa senti saja. “Aku ingin dengar jawabanmu... apa kau mau kencan denganku?”

Kata-katanya membuat napasku kembali tercekat ditenggorokan. Aku tak percaya dengan tindakannya saat ini. Kenapa bosku masih menanyakan kencan itu, padahal aku sudah melihat pacarnya yang baru saja pulang tidak sampai sejam yang lalu.

“Hei... answer me?” gumamnya lembut. Suaranya yang dalam menghanyutkanku.

“No! We can’t...” jawabku pelan, aku tak berani menatap wajahnya dan menunduk menatap kancing bajunya yang terbuka.

“Why?” bisiknya lagi.

“Tak ada alasan khusus... aku..”

“Shit!” Levi menghela napas kesal lalu memasukkan kedua tangannya kedalam saku celananya. “Apa kau dan Jean berhubungan?”

“Eh?? N-no way!!! Kami hanya sahabat... tidak mungkin kami berdua... lagipula dia suka....” Salah satu tangan Levi menekan bahuku kepintu. “W-what’s wrong?”

“Shut up your mouth shitty brat...”

“Levi! What ...”

Perlahan wajahnya mendekat dan bibirnya yang lembut menempel dibibirku. Bisa kurasakan detak jantungku yang berdebar semakin cepat, dan rasa panas mulai mengaliri kulitku saat kurasa tangan Levi menyentuh kulit leher dan bagian belakang kepalaku. Perlahan lidahnya  mencoba untuk masuk lebih dalam melalui celah bibirku.

Kudorong tubuhnya dengan tanganku, namun ia berhasil menahan tanganku dengan tangan satunya yang bebas. Ia tak berencana untuk menjauhkan dirinya dariku saat ciumannya mulai menggila. Aku pun mulai kehabisan napas karena ciuman penuh nafsu yang membuatku hampir kehilangan akal sehatku.

“St..”

“Hmm...?”

“Stop!” gumamku lemah. “We can’t do this,” kudorong tubuhnya dariku hingga ia menghentikan ciuman itu, wajahnya tampak tak suka.

“What are you talking about?” gumamnya, mencoba untuk mempermainkanku. “It feels so good... kissing your lips...” gumamnya dengan dahi berkerut. Ia tampak sangat serius.

“But we...”

Levi kembali mendekatkan wajahnya padaku dan perlahan mengecup bibirku lagi. “Tapi apa?” gumamnya pelan disela-sela ciuman kecil itu.

“You already have a girlfriend!” gumamku. Levi menghentikan ciumannya dan menatapku diam. “We shouldn’t do this kind of stuff, I won’t!” tegasku lagi.

“What are you talking about?” gumamnya dengan tatapan tajam.

“We’re not going for a date, sir!” gumamku lagi, entah kenapa dadaku terasa  sakit saat mengatakannya.

Padahal awalnya aku ingin menerima ajakan kencan Levi dengan alasan penelitian untuk ceritaku tapi sepertinya niat itu harus kuurungkan karena dia sudah punya kekasih. Lagipula kupikir alasanku itu tidak masuk akal.

Levi menatapku diam tanpa ekspresi, jemari tangan kirinya menyentuh helai rambut yang menutupi sebagian wajahku. “Apa karena wanita tadi?” tanyanya lembut.

Aku kembali menunduk menghindari tatapan matanya. “Maybe.. yes!”

“She’s not my girlfriend...” gumamnya dingin.

“I’m not sure...” gumamku yakin.

Perlahan jari-jarinya mengangkat daguku hingga wajah kami kembali bertatapan. “She’s my client...” gumamnya sambil tersenyum.

“Dia memeluk dan mencium anda tega sekali kau bilang dia bukan kekasihmu,” protesku lagi.

Levi menatapku diam dengan wajah tanpa ekspresi. “I’ve told you... ini hanya akan jadi kencan biasa karena kita berdua tak ingin punya kekasih kan. Bukankah aku sudah memberitahumu sebelumnya? And I tell you clearly... that she’s only my client, we don’t have any relationship...”

Bunyi dering handphone itu mengagetkan kami berdua. Levi mendecakkan lidahnya sebal saat mengeluarkan ponselnya yang sedang berbunyi. “It’s Erwin...” gumamnya memberitahuku lalu menerima panggilan itu dengan sikap malas-malasan. “What’s wrong eyebrows?” sapanya.

“Hey Levi, ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu apa kau masih di kantor?” gumam Erwin cuek.

“Aku sedang sibuk sekarang, bisa kah kau tunda itu minggu depan saja?” gumamnya sambil menatapku dengan wajahtanpa ekspresi, salah satu tangannya terbentang disampingku, menekan pintu dibelakang punggungku.

“Hei itu terlalu lama. Aku lihat mobilmu masih di basement, tenang saja aku tak akan lama aku sudah di lobby. Kau tunggu saja aku diruanganmu..”

“Damn...” Levi mematikan ponselnya dengan wajah datar.

“W-what’s wrong?” tanyaku, karena dia hanya diam dan menghela napas panjang.

“Erwin akan mampir kesini...”

“Oh... that’s a good news... is he okay?”

“Yeah...” gumamnya lalu menatap jam tangannya. “Dia sudah ada disini...” gumamnya pelan.

“What??” kudorong tubuh Levi dan merapikan diriku secepat mungkin.

“What’s wrong?” tanyanya dengan dahi berkerut.

“Aku harus pergi sekarang sebelum dia melihat kita...” gumamku panik.

“Hei calm down, just don’t be panic...” gumamnya sambil tersenyum. “It’s okay...”

“Levi!! Are you still there??” suara Erwin dan ketukan di pintu itu menggema di luar ruangan sana.

Kutenangkan diriku saat Levi mengamatiku untuk terakhir kalinya sebelum ia membuka pintu. Terdengar suara ketukan dipintu lagi. “Aku akan masuk seka...”

Levi langsung membuka pintu ruang kerjanya. Saat pintu itu terbuka kulihat ekspresi wajah Erwin yang agak terkejut saat melihatku ada didalam ruangan itu bersama Levi. Namun ia langsung tersenyum menyapaku. “Hai (Name) long time no see,” gumamnya padaku. “You look great,”

“Thank you sir!” gumamku sambil berusaha terlihat setenang mungkin. “Kau juga tampak sangat baik, apa kau baru kembali dari dinas luar mu?”

“Yeah, aku sedang mengurus beberapa hal disalah satu perusahaan baru disini dan kebetulan aku punya waktu senggang beberapa hari jadi kuputuskan untuk kemari mengecek bos barumu...” serunya lalu menatap Levi yang diam tak berkata-kata. “Apa aku mengganggu kalian berdua?” tanyanya.

“Oh no, no, no!!” gumamku keceplosan. “Aku dan Mr. Ackerman sedang membahas novelku dan kebetulan kami sudah selesai,” jawabku bohong.

“Oh, kupikir kalian berdua sedang...” Erwin tak melanjutkan kata-katanya dan membiarkannya mengambang begitu saja.

“Stop Erwin jangan menggoda bawahanku seperti itu atau dia akan salah sangka padamu,” gumam Levi. “Masuklah! Kau bilang ada sesuatu yang ingin kau tunjukkan padaku kan?”

Erwin tersenyum manis. “Oh ya! Sorry (Name) aku tak bermaksud untuk menggodamu, tapi aku benar-benar tak bisa menahan diriku,” gumamnya dengan tatapan jahil lalu masuk kedalam ruangan Levi.

Aku tersenyum dan mencoba untuk tampak tenang. “It’s okay sir aku tak terlalu memikirkan hal itu, karena kita sudah sering membahasnya... kalau begitu aku akan pergi sekarang,”

“Kau mau pergi sekarang? Hei... tetaplah disini sebentar, aku bisa sekalian mengantarmu nanti,” pinta Erwin.

“Thank you sir, tapi ada hal lain yang harus kulakukan setelah ini jadi aku akan pergi sekarang,” tolakku. Aku harus segera pergi dari ruangan ini.

“Ah... Okay... be carefull...” seru Erwin tersenyum, lalu ia beranjak menuju sofa dan duduk.

Kutatap Levi yang masih memandangku dengan wajah datarnya. “Kau tahu urusan kita masih belum selesai kan?” gumamnya lagi memperjelas keadaan yang telah kami tinggalkan beberapa saat lalu.

Aku merasa wajahku memanas saat mengingat ciuman kami tadi. “Ah.. Kupikir aku sudah menjelaskan semuanya padamu sir,” jawabku tenang. “Sebaiknya aku pergi sekarang,” gumamku padanya.

Kulihat ekspresi diwajahnya tampak sedikit berubah dan ia menyeringai dingin padaku. “Kau kira aku akan begitu saja menerima penjelasan seperti itu, heh? Kau terlalu cepat seratus tahun,” gumamnya lagi lalu mempersilakan ku untuk pergi dari ruangannya.

****
Continued to Chapter 8

1 comment: