Perfect Punishment
(My
Editor is a Devil)
Cast
: Levi Ackerman x Reader
Genre
: Romance, Mature
Language
: Mix (Bahasa Indonesia - English)
Chapter
6
Jam menunjuk
pukul enam pagi dan matahari sudah muncul diufuk timur. Semalam aku tak bisa
tidur nyenyak. Aku hanya berbaring dan terus berguling diatas kasurku,
sepanjang malam menikmati jantungku yang berdebar kencang karena takut hari
akan menjelang pagi dengan cepat.
Aku masih
tak punya jawaban bagus untuk kuberikan pada Levi Ackerman. Aku ingin menolak
ajakan kencan itu namun ‘penelitian’ yang dimaksud Levi memancingku untuk
menerima ajakannya. Tapi saat aku merasa mantab untuk menerima ajakan kencan
itu aku kembali merasa was-was, damn... Levi Ackerman itu editor sekaligus
bosku kan?
Berkencan
dengan editor ataupun bos bukanlah sesuatu yang patut dicoba. Bagaimana kalau
hubungan kami tiba-tiba memburuk karena kencan yang tak berjalan lancar? Hal
itu akan mempengaruhi pekerjaan kami dan aku yakin dia akan menyiksaku lebih
dari yang sebelumnya.
Terdengar
ketukan dipintu kamarku dan pintu itu terbuka, Joy muncul diambang pintu dan
menatapku yang masih terbaring malas diatas kasurku. “Kau sudah bangun?”
tanyanya.
“Hmmm...
yeah, tepatnya aku terjaga semalaman,” gumamku lalu duduk dikasurku dan menguap
lebar.
“Geezzz... kau
ini, kalau kau butuh istirahat aku bisa menelepon kantormu dan bilang kalau kau
sakit...” tawarnya. Tampaknya Joy berubah pikiran dan mulai mengasihaniku.
“Tak perlu,
aku akan menelepon sendiri...” tolakku sambil mengamati jam wekerku. “Sebaiknya
kau cepat bersiap, bukankah pagi ini kau harus kembali ke asrama?”
“Hmm,
yeah... aku masih punya sedikit waktu mau kubuatkan sesuatu?” tawarnya lagi.
“Nope,”
tolakku sambil menggeleng pelan lalu beranjak menuju kearahnya. “Terakhir kali
kau menyuguhiku dengan pancake, aku harus terbaring selama seminggu di kamar dan
tak bisa melanjutkan tulisanku, kali ini biar aku yang buat sarapan,”
Aku pun
beranjak dan berjalan keluar dari kamarku sementara Joy memanyunkan bibirnya.
“Hei kau masih tak percaya padaku ya, aku sudah belajar memasak selama musim
panas ini... kalau hanya pancake aku bisa membuatnya...” rengeknya lagi sambil
berjalan mengikuti langkahku menuju dapur.
“Ah~ yah aku
percaya,” gumamku sambil mengeluarkan peralatan masak dan bahan dari dalam
lemari penyimpanan.
“Really?!”
pekik Joy senang. “Kalau begitu aku yang akan membuat...” serunya riang sambil
bergelayut manja dipunggungku.
“No...sebaiknya
kau segera bersiap, tiga puluh menit lagi bus mu datang,” tolakku lagi lalu
berbalik menatapnya dan mendorong punggungnya agar menjauh dariku. “Aku tak
ingin kau terlambat kembali ke asrama, sana mandi,”
“Tch...” Joy
memanyunkan bibirnya sambil menatapku tajam lalu beranjak menuju meja makan dan
meraih apel yang ada dalam keranjang kecil, ia menggigitnya. “Hei... kau tak
ingin cerita padaku tentang pria yang mengantarmu pulang saat kau mabuk?”
tanyanya.
Aku sedang
memecahkan telur sebagai campuran adonan pancake saat Joy mengungkit lagi
masalah itu. “No... it’s not your business, it’s our secret,” gumamku.
Joy tampak
tak perduli ia duduk dikursi sambil terus memakan apelnya. “Hmmm... he’s
handsome and look so nice, kalau kalian tak pacaran bisa kah kau mengenalkannya
padaku?”
Kutarik
napasku dalam-dalam saat mendengar kata-katanya. “What do you mean?”
“Ummm... kau
tahu, aku ingin mendekatinya,”
Kubayangkan
saat-saat Levi Ackerman menyiksaku sebagai pelayannya dan kubayangkan lagi jika
adikku yang ada dalam posisi itu. “Sebaiknya kau tidak berurusan dengan Levi
Ackerman, kau tak akan tahan dengannya,”
“Ow.. jadi
dia Mr. Ackerman? Bisa kau ceritakan padaku tentangnya....”
Kuletakkan
sendok adonan dimangkuk dan berjalan mendekati Joy. “No... I’m done with him,”
Ku ambil apel itu dari tangan Joy dan memaksanya berdiri. “Please stop
questioning me and you better go wash your self now, come on lazyass sana pergi
mandi!” gumamku lagi lalu mendorongnya keluar dari dapur.
“Aaah~~
(Name) please tell me...” rengeknya lagi namun kuputuskan untuk tidak menghiraukannya.
Aku sedang tak ingin memikirkan Levi Ackerman. Shit. Hanya karena ajakan kencan
itu, dia berhasil membuatku tak bisa tidur semalaman.
****
Aku baru
saja selesai mandi saat Joy berteriak dari ruang tamu apartemen. “(Name)! Aku
pergi dulu!” pekik Joy lalu terdengar suara langkah kakinya berlari disepanjang
koridor apartemen.
“Take care
on the way!!” gumamku saat keluar dari pintu kamarku untuk melepas
kepergiannya.
“Oh ya I almost
forgot about it, tadi saat kau mandi teman sekantormu telepon, kau diminta
meneleponnya balik,” gumam Joy sambil memasang sepatu ketsnya.
“Siapa?”
“Umm...
kalau tak salah namanya Petra!”
Petra? Kupikir
Levi yang meleponku, geeezz... kenapa aku malah mengharapkan sesuatu yang jauh
seperti itu??? Come on (Name) dia itu editormu apa yang kau harapkan darinya?
“Kalau gitu
aku pergi sekarang ya... byee!” pekiknya dari pintu apartemen lalu terdengar
bunyi pintu menutup.
“Okay, see
you next weekend!”
Aku pun
segera beranjak menuju sofa dan meraih telepon rumah lalu duduk santai sambil
memencet nomor telepon Petra. Terdengar bunyi telepon yang menyambung lalu tak
lama kemudian suara Petra terdengar dari seberang telepon.
“Hi Petra
what’s going on?” sapaku.
“(Name) I
need your help!” gumam Petra panik.
“O-okay. Ada
apa?”
“Bisakah kau
datang ke kantor pagi ini? Aku kehilangan file penting untuk rapat hari ini,
bos akan marah besar padaku, kemarin aku memakai notebookmu untuk mengerjakan
beberapa laporan dan menyimpan beberapa file disana, aku ingin memeriksanya
siapa tahu kau menyimpan backup-nya,”
“Kapan
rapatnya?
“Jam sebelas
ini, aku dan bos akan pergi ke divisi dua di lantai sebelas untuk mengikuti
rapat bulanan,”
“Oh, I got
it, aku akan segera berangkat, jangan khawatir,” Kututup telepon itu dan segera
beranjak menuju lemariku. Padahal aku berencana untuk tidak masuk kerja,
sekarang aku malah harus berangkat ke kantor sepagi ini.
****
Diperjalanan
menuju halte bis aku mampir disebuah cafe langgananku dan memesan kopi. Pagi yang
dingin dan tampak tak bersahabat. Hujan tadi pagi telah meninggalkan genangan
air diberbagai tempat dan saat sedang berjalan dengan santai disepanjang
trotoar sebuah mobil sport berhenti mendadak didekatku.
Genangan air
menyiprat kebagian bawah rokku dan membasahi sepatu juga stoking yang kupakai.
“Hai (Name)!” pekik Jean dari dalam mobil. Ia tersenyum lebar dengan wajah
kudanya itu.
“What you
think your doing to me horse face!!” gumamku tertahan setelah Jean menurunkan
jendela mobilnya.
“I’m
sorry...” gumam Jean cuek. “Hei... sepertinya kau sudah cukup basah dibawah
sana,” gumamnya iseng.
“Oh shut
up,” geramku sebal lalu mulai membersihkan stokingku dengan tisu.
Jean keluar
dari mobilnya dan menghampiriku, ia tampak kikuk. “Hei.. I’m sorry... are you
mad?”
“Kau pikir
apa?” geramku lagi dengan wajah berkerut sebal.
Jean mencubit
pipiku, saat kutepis tangannya dia hanya tersenyum lalu membukakan pintu
mobilnya. “Come on...” pintanya. “Sebagai permintaan maaf please...?”
“Tch, kau
pikir aku tak bisa membukanya sendiri?” gumamku.
“Ayolah
jangan marah terus, aku akan membantumu mengeringkannya jika kau masuk
kedalam,” gumamnya lagi lalu memaksaku masuk kedalam mobilnya.
Aku pun
mengikuti keinginan Jean dan masuk kedalam mobilnya. “Apa yang kau lakukan
disini?” tanyaku setelah Jean masuk kedalam mobil dan mulai menyetir mobilnya.
“Kebetulan aku
ada perlu disekitar sini lalu kulihat kau keluar dari cafe itu. Apa kau
berencana pergi ke kantor sepagi ini?” tanyanya.
“Hmm,
yeah... Petra memintaku untuk datang lebih pagi,” gumamku pelan lalu meminum
kopiku. “Wanna have some?” tanyaku sambil menyodorinya gelasku.
Jean yang
sedang menatapku langsung menggeleng. “Oh.. No, perutku lagi sensitif...”
tolaknya. Lalu kami berdua kembali terdiam. “Hey (Name)... are you okay?”
tanyanya lagi.
“I’m fine,
why?”
“Umm,
nothing I just... ah... just forget about that,”
“You
weird... what was that? Beritahu aku atau aku tak akan mau mendengar curhatmu
tentang Mikasa lagi,”
“What? Kau
kejam sekali,” Jean terkekeh pelan lalu kembali terdiam. “I have some quetion
for you? Umm... sebenarnya aku ingin tahu apa yang terjadi selama pesta
penghargaan kemarin,”
Kutolehkan
wajahku pada Jean, ia tampak fokus menatap jalan. “Why? Bukankah aku sudah
cerita pada kalian?”
“Hmmm...
yeah you right but... aku masih penasaran, apa benar tidak terjadi sesuatu
antara kau dan bos malam itu?”
“W-what do
you mean?”
“Hmmm,
kemarin kau bilang kalau kau mabuk berat... apa dia yang menyuruhmu meminum
semua bir itu? Aku terus memikirkannya dua hari ini, mengingat dia selalu memaksamu
mengerjakan berbagai hal, aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja,”
“Oh itu...
sebenarnya... aku meminum semua minuman beralkohol itu karena kemauanku sendiri
bos tak ada hubungannya dengan hal itu, setidaknya aku minum lima gelas... aku
sedikit lupa,”
“Oh shit...
seriously?” gumam Jean lalu terkekeh nyaring. “You moron, kau kan tak bisa
minum begituan, hahaha aku kasian pada bos...” pekiknya nyaring.
“Hei! Stop
laughing it’s not funny!”
“Ahahahaha.
I’m sorry... semoga saja kau tidak berbuat sesuatu yang dapat membuatnya shock.
Mengantarmu pulang saat mabuk pasti membuatnya kerepotan,”
“Aku tahu
sih itu salahku! Sebenarnya dia sudah memperingatkanku, tapi aku malah.... ah, mengingatnya
saja membuatku malu. Kuharap malam itu aku tak mengatakan sesuatu yang buruk
tentangnya,”
Jean
terkekeh lagi lalu membanting stir kekiri saat masuk pertigaan jalan. “Yeah
mengatakan sesuatu yang buruk pasti lebih baik dibanding menyerangnya, kalau
jadi kau aku tak akan berani menatap langsung wajahnya itu sungguh sangat
memalukan,” gumam Jean sambil terkikik geli.
“Shut up
horse face, aku bahkan tak memikirkan hal ini sebelumnya kenapa kau malah
mengungkitnya sekarang!”
“Sorry I
just can handle this... it sounds really fun,”
“Seems like
you really wanna taste this hot one,” gumamku sambil menyodorkan gelas kopiku
yang masih panas kearahnya.
Jean mulai
panik dan mendorong gelasku menjauh darinya. “Okay-okay, calm down please...
okay aku akan berhenti tertawa.. hmmpph!!” gumamnya namun wajahnya masih
terlihat seperti sedang mengejekku.
Kami berdua
terdiam lagi sementara aku mulai memikirkan lagi kejadian setelah pesta dimana
Levi justru mengajakku pergi kencan, kata-kata Jean sangat tak sesuai dengan
yang telah terjadi padaku. “Sebaiknya kau tidak membahas ini dengan yang lain,”
gumamku setelah kami terdiam selama delapan menit.
Jean
menatapku lalu tersenyum manis. “Dont worry, I’ll do anything you want... ah,
kita sudah sampai, sepertinya tepat waktu...” gumam Jean sambil memeriksa jam
tangannya. “Aku tak mau mendapat giliran membersihkan toilet, semoga bos belum
datang,”
Setelah
memarkir mobil, kami pun keluar dari mobil dan masuk kedalam kantor. Lobby
tampak masih lengang namun beberapa orang hilir mudik menuju kantornya
masing-masing. Aku dan Jean langsung menuju lift.
Kulihat
sosok yang sangat kukenal sedang berdiri didepan lift, ia tampak sedang
mengobrol dengan seorang pria yang tak kukenal. Meskipun sedang asyik bicara
dia menolehkan tatapan mematikannya kearahku dan Jean. Tatapannya seketika
membuatku hampir membatu.
“Hei, kau
melupakan bagelmu...” gumam Jean. Ia berjalan mengiringiku dengan sepotong
bagel terselip dimulutnya. “Sorry I’m hungry...” gumamnya lalu terkekeh saat
kami sedang berjalan menuju ke arah Levi Ackerman.
“Bukankah
kau bilang perutmu sedang sensitif?” keluhku lalu mengambil bungkusan yang
disodorkan Jean padaku.
“Aku tak
sempat sarapan, lagi pula tadi kau menawariku kopi... ah!” Jean segera menarik
bagel dari mulutnya lalu menegapkan tubuhnya ia menatap lurus ke arah Levi
Ackerman. “Good morning.. boss,” gumamnya gugup.
Levi
menatapku sekilas saat aku menyapanya lalu ia bergumam pelan. “Morning,”
jawabnya tanpa ekspresi.
Pintu lift
terbuka dan kami pun masuk kedalam box kecil itu dan Levi memencet tombol
dengan angka sepuluh. Kami terdiam awkward selama beberapa menit lalu pintu
lift terbuka dan koridor lantai lain dan beberapa orang yang naik lift bersama
kami segera keluar.
Begitu tiba
di lantai sepuluh pintu menjeblak terbuka dan Levi Ackerman keluar lebih dulu
diikuti aku dan Jean. Entah kenapa aku merasa sedikit aneh saat melihat tatapan
Levi sebelum kami naik lift tadi.
“(Name),”
panggil Levi suaranya membuat jantungku hampir melompat dari tempatnya. “Aku
ingin segelas kopi dimejaku lima menit lagi,” gumam Levi saat kami berjalan masuk
kedalam ruangan.
“Ah, okay
boss...”
“Kirschtein...
sepertinya hari ini Jaeger tidak masuk, gantikan tugasnya untuk membersihkan
dan menata ulang kabinet diruang arsip,”
“O-okay
boss, syukurlah bukan toilet,”
“Hmmm? Ah..
kau ingin membersihkan toilet juga? Kau boleh melakukannya karena hari ini
Arlert juga tidak masuk,”
Jean
menatapku dengan wajah bingung. “Shit,” bisiknya tanpa suara. Aku hanya bisa
terkekeh pelan tanpa suara.
Kulihat
Petra sedang duduk dikursinya dengan wajah panik dan Levi segera
menghampirinya. “Petra, segera siapkan bahan untuk rapat hari ini, aku ingin
membahasnya denganmu dulu pergilah ke ruanganku,” pintanya. Petra mengangguk
mengiyakan.
Setelah Levi
masuk kedalam ruangannya, aku segera menghampiri meja Petra. “Syukurlah kau
datang tepat waktu!” pekik Petra dengan suara tertahan.
“Ada apa?”
tanya Jean.
Kukeluarkan
notebook ku dan menyerahkannya pada Petra agar dia bisa membongkarnya. “Petra
menghilangkan file penting untuk rapat hari ini,” jawabku.
“Oh shit ...
bagaimana bisa? Apa kau tak sengaja menghapusnya?” gumam Jean ia tampak
khawatir dan mulai memeriksa komputer Petra.
“Entahlah,
aku sudah memeriksa semua file yang ada didalam sini tapi tak bisa
menemukannya, aku Cuma punya file kotornya saja... kalau kubuat ulang waktunya
tak akan sempat,” Petra tampak panik saat mencari-cari filenya di notebook
milikku.
“Calm down, apa
kau bisa menemukannya didalam sini..?” tanyaku sambil ikut mengamati kegiatan
Petra. Ia membuka beberapa folder file miliknya yang kadang ia simpan di
notebook ku.
“Oh my god,
there’s nothing here... I can’t find them!”
“Calm down,
cari saja pelan-pelan coba kau ingat-ingat lagi...”
“Hei (Name),
pergilah membuat kopi sebelum bos mencarimu, aku akan membantu Petra mencarinya,”
“Umm,
okay..”
Aku pun
pergi keruangan istirahat dan membuatkan secangkir kopi untuk Levi. Butuh waktu
sekitar lima menit untuk menyeduh kopinya dan waktu selama itu cukup untuk
membuat Levi Ackerman keluar dari sarangnya. Saat akan kembali ke ruangan kerja
kulihat Levi sudah ada di meja Petra sementara Jean telah kembali ke mejanya
sendiri.
Tak lama
kemudian Petra berjalan mengikuti Levi masuk kedalam ruangannya, aku pun
menghampiri Jean. “Ada apa? Kenapa bos mengajak Petra ke ruangannya, apa dia
sudah tahu situasinya?”
“Yeah... bos
sudah tahu kalau filenya hilang, mungkin Petra akan dieksekusi,”
“What? No
way! Stop joking horse face, it’s not funny!”
“I’m not
joking, just go ahead... tadi dia keluar dari ruangannya untuk mencarimu karena
kau lama membuat kopi untuknya,”
Aku pun
beranjak menuju ruangan Levi dan mengetuk pintunya, terdengar suara Levi
menyambutku. “Ah, akhirnya... apa kau perlu waktu sejuta tahun hanya untuk
membuat secangkir kopi saja? kau membuatku menunggu begitu lama,” gerutunya
sebal saat melihatku masuk kedalam ruangan kerjanya.
“I’m sorry
sir, aku harus memanaskan airnya dulu,” gumamku beralasan.
“Tch, bawa
kemari..” pinta Levi.
Kulihat ia
sedang berdiri dibelakang Petra yang sedang duduk disalah satu sofa, ia tampak
sedang mengetik sesuatu. Kusodorkan nampan berisi cangkir kopi itu pada Levi
dan ia meraihnya lalu langsung meminumnya tanpa babibu.
“What is it,
shitty brat? Are you trying to kill me? It tastes like shit, you know..”
gumamnya dengan dahi berkerut.
“It will
taste good if you put a little bit of sugar on your coffee, Mr. Ackerman...”
“Tch...”
decaknya lagi lalu meletakkan cangkir ke atas nampan. “Jangan lupa masukkan
tiga blok gula sebelum kau menyodorkannya padaku, oke?”
“Okay...
kalau tak ada sesuatu yang kau inginkan lagi, aku akan kembali ke mejaku,”
kuletakkan cangkir kopi dan memasukkan tiga blok gula kedalam cangkirnya
sebelum beranjak pergi.
“Hmmm,
cobalah untuk membuat cerita yang bagus... aku tak ingin memeriksa karyamu yang
jelek,” gumamnya sambil menatapku tajam.
“Okay don’t
worry!” gumamku santai lalu membuka
kenop pintu.
“Oi,”
panggil Levi. Aku berhenti sejenak dan berbalik menatap Levi. “Ada yang ingin
kubicarakan denganmu setelah pekerjaan hari ini selesai..”
Aku tertegun
saat mendengar kata-katanya. “Is that an important things... sir?”
Levi
beranjak menuju kearahku tanpa sedikit pun mengubah ekspresi wajahnya. “Something
like that,” gumamnya pelan. Aku pun terdiam dan hanya bisa menatap dasinya
karena teringat kata-kata Jean saat kami berada dimobil tadi pagi. “Kembali lah
bekerja, ah... aku ingin kau merapikan ruangan ini selama aku pergi, oke?”
“Okay, I’ll
organize them later,” gumamku lalu beranjak keluar dari ruangan Levi.
****
Aku baru
selesai membereskan ruangan Levi saat Reiner dan Bertholt muncul di kantor
siang itu, mereka baru saja kembali dari ekspedisi lapangan. Ia membuat
beberapa kegaduhan dan langsung menyapa Christa, gadis pujaannya.
Bertholt
sedang mengobrol dengan Mikasa, Jean, Conny, Sasha, Annie dan Ymir, saat itu sudah hampir waktunya istirahat makan siang.
Sudah dua jam berlalu sejak Levi dan Petra pergi untuk rapat bersama divisi dua
di lantai sebelas.
Kusapa
teman-temanku dan ikut bergabung untuk mengobrol bersama mereka. “Hari ini ada
rapat masalah keuangan di lantai sebelas kan?” gumam Bertholt.
“Hmm, yeah
Mr. Ackerman dan Petra pergi sebagai perwakilan,” jawab Annie. “Tapi tadi
kulihat wajah Petra tampak sedikit pucat, apa dia sakit?”
Jean
beranjak untuk menarik kursi yang ada didekat mejanya dan membawanya kedekat
mejaku lalu duduk sambil memeluk punggung kursi. “Itu karena Petra sudah
menghilangkan file penting untuk rapat, bagaimana nasibnya nanti ya?”
“Ah, file
penting keuangan yang sudah dia susun selama dua hari itu hilang?” pekik Conny.
“Apa Mr. Ackerman tahu soal ini?”
Jean mengguk
mengiyakan. “Dia tahu tapi tak bereaksi apapun, waktu keluar dari dalam
ruangannya untuk mencari (Name) dia langsung mendatangi meja Petra. Petra
hampir menangis saat melihat bos tapi bos malah menyuruhnya segera masuk ke ruangannya,
entah apa yang ia lakukan pada Petra,”
“You know...
Aku lebih suka melihat bos memarahi stafnya daripada melihatnya bersikap lebih
tenang dari biasanya,” gumam Mikasa. “Sikap diamnya malah kelihatan lebih mengerikan
daripada terkena lempar segumpal kotoran tepat diwajah,”
“Ow, what’s
that? You’re disgusting Mikasa!” pekik Sasha jijik, ia sedang memakan Pockynya.
Bertholt terkekeh pelan di kursinya.
“Maksudku
bukan kotoran sungguhan, bos memang sering mengatakan hal-hal yang tak pantas
untuk diucapkan, bahkan penulis saja susah payah berusaha untuk menyensor
kata-katanya, kau lupa ya?” jelas Mikasa.
Sasha
tertawa sambil menepuk-nepuk punggung Mikasa. “I know, I know... I’m just
joking around don’t be mad Mikasaa~”
“Kalau bos
tidak membantu dalam rapat itu, Petra pasti kena bantai,” gumam Conny.
“Yeah, ini
rapat pertamanya dengan Mr. Ackerman dan staff lain kan? Apa dia akan baik-baik
saja ya?” gumam Jean.
“Kalian
terlalu memikirkannya, dia pasti baik-baik saja,” gumamku pelan. Semua orang
terdiam dan menatapku dengan pandangan bingung. “Apa? Aku salah bicara ya?”
Jean, Mikasa
dan Sasha menggeleng cepat. “Kau adalah orang yang paling sering kena siksa,
tapi kau malah bilang Petra akan baik-baik saja, apa kau ini masokis?” gumam
Annie.
“Eh???
Kenapa mikir begitu sih? Pekerjaan Petra tak ada hubungannya denganku, lagi
pula Petra selalu bersikap baik mana mungkin Mr. Ackerman menyiksanya, meskipun
aku tak begitu yakin sih, tapi masa iya bos akan menjatuhkan stafnya di depan
divisi lain,”
“Kau benar
juga, masalah utamanya kenapa filenya bisa hilang? Petra tak pernah melalaikan
tugasnya apa mungkin ada yang menyabotase pekerjaannya?” gumam Annie.
“Hmmm...
kenapa kau berpikir begitu?” gumam Jean.
“Maksudmu...
salah satu dari kami kemungkinan menyabotase pekerjaan Petra, begitu?” gumam
Ymir yang sejak tadi hanya mendengarkan obrolan.
Annie
menatap Ymir dengan tatapan tajam yang mematikan. “Aaah~ ini kan hanya
kemungkinan saja, aku tak bermaksud menuduh kalian kok,” ralat Annie. Ymir
masih menatap Annie dingin.
“Okay guys,
sebaiknya kita berhenti membicarakan hal ini dan nanti tanyakan saja langsung
pada Petra... ah! Aku belum membereskan sisa pekerjaanku,” gumam Bertholt, ia
beranjak pergi meninggalkan obrolan kami yang masih menggantung.
Semua orang
mulai bubar namun Jean masih terduduk santai dikursinya. Aku tahu ia sangat
malas mengerjakan pekerjaannya. “Sebaiknya kau segera membereskan pekerjaanmu
Jean.. hari ini kau dapat dua tugas tambahan kan,” gumamku padanya.
“Damn.
Kenapa Jaeger dan Arlert harus bolos disaat seperti ini...” rutuknya lalu
bangkit dari kursinya.
“Mereka ada
tugas luar, apa kau lupa? Sudah jangan mengeluh lagi aku akan membantumu,”
gumamku lagi lalu beranjak pergi menuju meja Petra untuk mengambil notebook ku.
“Hei Ymir,
kau tidak bersama Christa?” tegur Jean saat ia mengembalikan kursi ketempatnya
semula.
“Ah dia
sedang membuat sesuatu di ruang istirahat, tapi kenapa lama sekali ya?”
“Sebaiknya kau pergi mengeceknya karena Reiner
tadi tampak sangat semangat saat mencarinya!” gumam Annie yang sedang
membereskan berkas-berkas yang ada dimejanya.
Ymir pun
beranjak pergi meninggalkan ruangan dengan wajah kesal. “Damn! Si mesum sialan
itu...”
Aku sedang
memeriksa beberapa file Petra dalam notebook saat mendengar suara pintu lift
menjeblak terbuka dan seorang gadis cantik berambut semerah darah muncul dari
dalamnya. Ia tersenyum manis dan langsung berjalan menuju ke arahku.
“Hai!”
sapanya.
“Hai, can I
help you?” tanyaku, aku terjebak dalam situasi dimana aku harus meladeni tamu
yang tak kukenal. Seharusnya ini tugas Petra.
“Umm, I’m
looking for Mr. Levi Ackerman ada hal penting yang harus kubicarakan dengannya,”
“Umm,
kebetulan sekali dia sedang keluar untuk mengikuti rapat penting. Apa keperluan
anda adalah sesuatu yang pribadi?” tanyaku lagi, kurasa aku tak begitu buruk
untuk bekerja sebagai seorang sekretaris.
“Hmm, yeah
some..”
Pintu lift
kembali menjeblak terbuka membuat gadis itu berhenti bicara dan menoleh ke arah
lift. Kulihat Levi dan Petra keluar dari dalam lift, mereka tampak sedang
mengobrol santai.
“Ah, itu dia!
Levi!” panggil si gadis, ia beranjak cepat menuju ke arah Levi dan langsung bergelayut
manja di lengannya.
“Isabel?!”
gumam Levi. “What are you doing in here?” Levi terlihat mulai panik.
“I need to
talk to you... We got a big trouble,”
Levi kembali
tampak tenang dan ia mengajak gadis bernama Isabel itu masuk ke dalam
ruangannya. Sebelum pergi ia menatapku. “Already finish your shitty work,
little brat?” tegurnya.
“Hmm yeah,
almost,” jawabku mencoba tampak santai.
****
Continued to Chapter 7
0 comments:
Post a Comment