SECRET
LESSON WITH MY BOSS
Cast : Levi Ackerman x Reader (In my case : Lucy
Alsei)
Genre : Romance, Mature
CHAPTER 3
Jam sudah menunjuk angka enam dan hari
sudah semakin pagi, tadi malam tidurku sama sekali tidak nyenyak dan aku sukses
memejamkan mata selama tiga jam dengan hati yang terus merasa gelisah. What am i suppose to do? Ini sangat
buruk kan, aku tak bisa tidur karena terus terbayang sosok bos ku yang sekarang
masih tertidur nyenyak di dalam kamar tidur ku. Ia membuatku terdampar dengan
sukses di atas sofa ruang tamu dengan tumpukan bantal dan selimut tebal.
Aku bangkit dari sofa dan segera
merapikan bantal dan selimut yang berantakan, aku tak ingin Levi melihat rumah
yang berantakan juga sosokku yang sangat jelek saat bangun di pagi hari.
Setidaknya aku harus mencuci muka dan menggosok gigi terlebih dahulu.
Ku peluk gumpalan selimut tebal dan
bantal yang tergeletak di atas sofa dan membawanya dengan susah payah masuk ke dalam
kamar. Perlahan ku buka pintu kamarku dan masuk sambil mengendap-endap karena
tak ingin membangunkan Levi, segera kuletakkan bantal dan selimut itu di atas
salah satu kursi yang ada di dekat meja riasku. Rasanya seperti orang bodoh
karena harus berkeliaran seperti maling dalam rumahku sendiri.
Di atas kasurku yang empuk dan putih
bersih tergeletak tubuh Levi yang masih tidur dengan nyenyak, jujur saja aku
terkesima saat melihat ekspresi wajahnya yang sangat lembut ketika sedang
tidur, tak ada tatapan tajam dan ekspresi datar yang dingin seperti yang biasa
ia perlihatkan.
Dia
benar-benar tampak.... sangat manis.
Hah?!
“Oh
shit.. apa aku juga mabuk? Sepertinya aku harus gosok gigi dan cuci muka
sekarang juga,” gumamku pelan sambil berjingkat-jingkat menuju toilet yang ada dikamarku.
Ku pandangi wajahku di cermin kamar
mandi dan aku merasa kacau.. sangat kacau. Ku sambar pasta gigi dan sikat
gigiku lalu mulai melakukan sedikit ritual singkat di pagi hari, sebelum sikat
gigi itu menempel di gigi pandanganku langsung tertuju pada bibirku. Kejadian tadi
malam kembali muncul sekelebat dalam ingatanku yang sebenarnya telah berhasil
kulupakan lima menit lalu.
Setelah selesai menggosok gigi dan
mencuci muka aku juga menyemprotkan cologne ketubuhku dan merapikan pakaian tidur
yang ku pakai sejak semalam, pakaian itu terlihat agak kusut di beberapa sisi
namun sangat nyaman bila di pakai. Aku sangat ingin mandi tapi hal itu sangat
tidak mungkin mengingat Levi ada dalam kamarku.
Dengan langkah pelan aku pun keluar
dari kamar mandi dan mengendap-endap keluar dari dalam kamar. Hal selanjutnya
yang harus kulakukan adalah membuatkan sarapan untuk bosku dan satu hal penting
lainnya.. membuat seteko teh hangat. Levi sangat tergila-gila dengan teh dan
favoritnya adalah teh hitam, sayang sekali aku tak memiliki teh hitam dalam
lemari persediaanku.
Untung saja pesta itu terjadi saat
weekend karena aku yakin semua orang pasti masih berguling malas diatas kasur
mereka setelah kejadian semalam yang benar-benar membuatku merasa hampir gila,
bisa-bisanya semua orang mabuk parah karena game buatan Jean si Horse Face.
Yang masih memiliki kesadaran penuh untuk bisa menyetir mobil hanya Sasha dan
aku. Sasha harus menyetir mobilnya sendiri dan mengantar pulang para gadis,
sementara aku harus menyetir mobil Levi dan membawa pulang para pria. Makanya
Levi ada di kamarku.
Kubuka lemari es dan memandangi isinya
yang sangat minim. “Pancake sounds good
right? Oke.. bikin pancake aja.. telur.. telur.. mana telurnyaa..”
*
* *
Terdengar pekikan yang sangat keras
dari arah kamarku yang membuatku kaget luar biasa, mangkuk plastik berisi
adonan Pancake yang sedang kubuat pun dengan sukses terjatuh kelantai, adonan
itu menciprat ke segala arah dan mengotori kakiku. Aku sangat kenal suara itu,
dia adalah orang yang sama sekali tak ku inginkan untuk datang hari ini dan
dalam situasi ini!
Ku letakkan sendok plastik yang
kupegang di atas meja dan berlari menuju suara teriakan tadi. Kulihat pintu
kamar telah terbuka.
“Joy?” panggilku dan menarik tangan
Joy agar segera mengikutiku keluar dari dalam kamar. “Kamu ngapain kesini sih?”
pekikku lagi. Namun Joy tidak bergerak selangkah pun ia masih menatap kearah
kasur.
“Oh
my god..” gumamnya pelan dengan ekspresi wajah terkesima.
“Ap..”
Aku bisa mengerti kenapa Joy sangat
terkejut, tapi aku juga baru pertama kali melihat bos ku dalam sosok seperti
ini. Untuk beberapa detik kami berdua terdiam mematung menatap sosok Levi.
“Tck..” decak Levi sebal sambil
memijat pelan kepalanya yang masih pusing. “Hhh.. kalian berdua berisik sekali
sih..” lanjutnya lagi sambil menguap.
Tak kusangka sama sekali bahwa bosku
yang dingin, super kejam, penggila teh dan berpostur pendek ini justru..
memiliki bentuk tubuh yang sangat bagus?
“(y/n)/(Lucy) Kenapa kamar ini panas
sekali? Bajuku sampai basah begini..” gerutunya sambil terus membuka
seluruh kancing bajunya.
Aku baru ingat kalau semalam lupa
menyalakan AC.
Pandangan Joy teralih menatapku. “You’d never told me about your boyfriend..”
gumamnya lagi.
“No..”
bisikku pelan dengan ekspresi wajah panik dan tak meyakinkan. “He’s not..”
“Are
you my sister boyfriend?” tanyanya pada Levi dengan tatapan tak percaya.
“Hah?” Levi mengerutkan dahinya saat
mencoba mencerna pertanyaan Joy, sebelum ia sempat menjawabnya aku menyela
dengan panik.
“No!
He’s not my boyfriend.. He is my boss!” bisikku dengan nada meninggi. Joy
kembali mengerutkan keningnya.
“What
the hell..” gumamnya sambil terkekeh pelan. “Jadi selama ini kau pacaran
sama boss mu? Cool.. sekarang aku ngerti
kenapa beberapa minggu ini sikapmu berubah,”
“Sini ikut aku..”
Ku tarik lengan Joy dengan keras dan
ia berjalan mengikutiku keruang tengah, aku langsung menutup pintu kamarku.
Saat berbalik menatap Joy aku benar-benar merasa marah padanya namun adikku
justru terkekeh sambil memegangi perutnya.
“Bercandamu keterlaluan tau,”
“Sorry..
but i think he’s really cute and suit you.. that’s why..”
Aku pun duduk di sofa tepat di
sebelahnya dan mulai mendinginkan emosiku. “Kau bilang begitu karena melihatnya
sedang berada di atas kasurku..”
“Jadi aku salah? Pemikiranku sudah
cukup halus lho.. bagaimana jika kuanggap kalian berdua hanya melewatkan cinta
satu malam.. bukankah itu terdengar lebih kasar untukmu?”
“Stupid,”
gumamku kesal sembari menjitak kepalanya. “Semalam teman-temanku “party hard” untuk menyambutnya dan dia
benar-benar sangat mabuk, aku tak tahu password apartemennya, makanya kubawa
dia pulang kesini..”
Terdengar suara pintu terbuka dan Levi
keluar dari dalam kamar ia sudah mengenakan lagi kemejanya yang kini terlihat
sangat kusut.
“(y/n)/(Lucy),” panggilnya, aku dan
Joy kembali menatapnya. “Boleh kupinjam kamar mandimu? Aku ingin mandi, bau ini
benar-benar membunuhku..” serunya lagi sembari mencium bau bajunya yang seperti
kotoran kuda karena penuh keringat dan terkena tumpahan alkohol.
“Ah, silakan pakai saja..” jawabku
cepat sambil berdiri. “Kau perlu mengganti bajumu,” tambahku.
“Mh, ide yang sangat bagus.. tapi aku
hanya punya baju ini,” jawabnya datar.
“Sebentar..”
Aku berjalan memasuki kamar dan
membongkar salah satu lemari, aku baru ingat pernah menyimpan beberapa pakaian
santai untuk pria. “Kau bisa memakai kaos? Aku hanya punya ini,” kusodorkan
padanya pakaian yang sudah kupilihkan namun ia menatap pakaian itu dengan
tampang tak senang.
“Apa ini punya pacarmu?” tanyanya.
“Bukan, aku tak punya yang seperti itu
dan pakaian ini milik adik laki-lakiku.. kau bebas memakainya karena dia jarang
kesini,” jawabku.
Levi menatapku sepersekian detik
sebelum akhirnya mengambil pakaian yang sudah ku sodorkan. “Aku akan mandi
kuharap kau tidak mencoba untuk mengintipku..” serunya sambil berjalan menuju
kamar mandi.
“Jangan khawatir, hal itu tak akan
pernah terjadi..” gumamku lagi sebelum pintu kamar mandi tertutup sempurna.
Ku lihat Joy berdiri diambang pintu
kamarku dan ia sedang tersenyum iseng dengan kedua tangan terlipat didada.
“Hmmm.. kuharap dia segera memberitahumu password apartemennya..”
“Jangan bicara yang tidak-tidak atau
aku akan benar-benar membunuhmu..” gumamku sambil berjalan melewatinya menuju
dapur.
“Aaahh, kau ini tidak bisa diajak
bercanda..” rengek Joy sembari mengikuti langkahku menuju dapur.
Aku pun mengambil sebuah lap dalam
lemari penyimpanan dan mulai membersihkan bekas tumpahan adonan Pancake yang
tercecer di lantai sementara Joy duduk di kursi makan dan mulai melahap apel.
“Kenapa kau kemari tanpa memberitahuku?” tanyaku lagi sembari mengelap lantai.
“Hmm, aku ingin memberimu kejutan
kecil..”
“Oke, kurasa kau sudah sukses besar
dengan kejutan kecilmu itu..”
Joy tertawa renyah sambil
memperhatikanku. “Hmm, aku juga sedikit terkejut sih.. kau lihat lekukan
ditubuhnya tadi? Dia punya abs!” pekik Joy setengah berbisik. “Abs yang sempurna..
meskipun tubuhnya pendek.. tapi pacarmu ternyata seksi, he’s so damn hot,”
sambungnya lagi.
Kotoran di lantai sudah hilang dan aku
pun mencuci kain pel itu diwastafel cuci piring. “Apa kau berantem lagi dengan
ibu makanya kabur kesini..?” tebakku.
“Tidak, aku datang untuk mengantar
beberapa barang.. setelah ini aku akan pergi ada janji dengan Collins, jadi..
aku akan dengan senang hati membiarkan kau berduaan dengan pacarmu,”
“Kalian mau kemana?” tanyaku lagi
berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Ada festival di kampus “M” dan grup kami
diundang kesana untuk main musik.. aku dan teman-temanku mendapat penginapan
dekat kampus itu, jadi tak bisa lama-lama disini,”
“Kenapa tidak tidur disini saja sih?”
“Jarak dari sini lumayan jauh dan
acaranya juga lumayan padat, untuk menghemat waktu aku tak bisa menginap
disini, lagipulaa.. aku tak ingin mengganggu kalian berdua..” jawab Joy sambil
tersenyum iseng.
“Hhh.. jika yang kau maksud Levi.. I’ve told you that he’s not my boyfriend..”
gumamku cuek sambil kembali membuat adonan Pancake yang baru.
“Oh, jadi namanya Levi.. aduh aku
harus pergi sekarang, sis,” seru Joy melihat jam tangannya ia bangkit dari
kursi dan menghampiriku lalu memelukku.
“Kau membuatku kepanasan, Huss..
Huss..”
“Kau yakin itu karena aku? Bisa saja
karena boss-mu, kan?”
“Whateveeeerr..”
Joy terkekeh dan mencium pipiku
sebelum akhirnya pergi. “Bye! Kalau kau senggang mampirlah ke kampus “M”
pekiknya. “Ah! Paketmu ada di sofa ruang tamu ya!” tambahnya lagi, terdengar
suara derap kaki disepanjang lantai ruang tamu dan tak lama kemudian keheningan
kembali merayap lagi.
*
* *
Aku sedang sibuk membalik adonan
Pancake setengah matang saat Levi muncul di dapurku. Aku memperhatikan
sosoknya, wajahnya kini kembali penuh dengan ekspresi dingin. Namun pakaian
yang dipakainya cukup cocok untuknya, sebuah kaos tangan panjang berwarna hitam
dan celana jeans biru dongker yang tak kusangka akan cocok untuknya.
“Ow.. you look.. fashionable?” seruku
berusaha bercanda entah dia memahami maksudku atau tidak, biarlah.
“Thanks, tak kusangka baju ini sedikit
pas untukku..” jawabnya dengan nada datar. Tak ada dominasi berlebihan seperti
ketika kami berada dikantor, enah kenapa hari ini aku merasa dia sedikit
melembut. “Apa ini apartemenmu?” tanyanya lagi sambil melirik sekeliling
ruangan.
“Ya, maaf kalau tempatnya sedikit
sempit..”
“Kau tinggal sendiri.. atau bersama
adikmu tadi?”
“Hmm, kadang-kadang ketika weekend dia
kesini untuk menginap..”
“Oh, jadi pakaian kotor yang menumpuk
disana itu semuanya milikmu? Apa kau tidak berniat untuk segera melaundrynya
sebelum mereka semua membusuk seperti kotoran kuda?” seru Levi, entah kenapa
aku merasa dia mulai kembali lagi ke mode awal seperti halnya ketika ia berada
di kantor dan selalu dalam mode sibuk ketika menyuruh kami menyapu, mengelap
dan menyikat banyak hal.
“Seharusnya tumpukan itu sudah hilang
hari ini, tapi karena pesta tadi malam aku tak sempat bersih-bersih rumah dan
melaundry pakaianku..”
“Bicara soal pesta tadi malam..”
Levi terdiam sejenak membuatku kembali
teringat dengan kejadian semalam. Oh man... seharusnya aku tak menyebut kata
‘semalam’, ‘pesta’, ‘party hard’ atau kata jenis lainnya jika tak ingin Levi
membahas ini.
“Kenapa kau membawaku ke apartemenmu
dan menidurkanku di kamarmu?”
Kuletakkan piring berisi tumpukan
pancake dihadapan Levi dan berjalan menuju lemari lain untuk mengambil piring,
sendok dan garpu. “Aku membongkar tasmu untuk mencari alamat apartemenmu,
ketika ingin mengecek kamar apartemenmu aku dihadang oleh satpam dan dia bilang apartemen
tempat kau tinggal itu memiliki password jadi percuma saja bila kubopong kau
naik dengan tubuh teler seperti itu tapi aku tak bisa buka pintunya, jadi kuputuskan
untuk membawamu kesini,”
“Oh..” jawabnya singkat sambil meraih
peralatan makan yang kusodorkan padanya. “Apa yang terjadi semalam setelah aku
mabuk dan tidak sadarkan diri?” tanyanya lagi.
Aku pun kembali teringat dengan ciuman
lidah yang dilakukannya padaku semalam saat sedang membantunya masuk kedalam
mobil.
“Tidak terjadi apapun..”
“Kau yakin?”
“Hmm.. Ya,” jawabku ragu tanpa
menatapnya. ”Apa kepalamu masih sakit? Aku akan merebus daun teh hijau untukmu,
teh hijau baik untuk menyegarkan tubuh,”
“Oi, kemari sebentar..” panggilnya aku
mendekat dan ia menyodorkan potongan Pancake dengan garpunya.
“Kenapa?”
“Makan!” pintanya.
“Tapi..”
“Coba
makan ini..” titahnya lagi, entah kenapa instingku langsung mengikuti perintah
Levi. Ia menyuapkan potongan Pancake itu kemulutku, tak sedikit pun
pandangannya teralih dariku. Hal ini membuat suasana jadi benar-benar awkward.
“Apa
rasanya buruk?” tanyaku bingung sambil mengunyah Pancake dalam mulutku.
Menurutku Pancake ini lumayan enak, setidaknya rasanya tidak buruk.
“Rasanya
enak,” jawabnya singkat sambil menyuapkan lagi Pancake ke mulutnya. Membuatku
benar-benar merasa sangat.. bingung. “Oh ya, kenapa kau setuju untuk menerima
tantangan bodoh yang diberikan Jean?” tanyanya lagi.
Aku
berpikir sejenak sebelum memberikan jawaban yang pantas untuknya. “Hmm..
kata-katamu malam itu seolah mengejekku..” aku mengambil sebuah teko kaca dan
memasukkan air kedalamnya dan meletakkan teko itu ke atas mesin pemanas
otomatis.
“Apa
maksudmu?”
“Kau
bicara seolah aku tak berani menerima tantangan kecil seperti itu..”
“Alasan
yang bodoh, kalau tidak mau kau bisa menolaknya kan..” jawab Levi sambil
mengunyah potongan terakhir Pancakenya.
“It’s not a big deal.. lagipula itu hanya
sebuah ciuman dan tidak berarti apa-apa, hanya bibir yang saling menempel.. dan
itu hanya permainan,”
“Apa
kau lupa? Kau sudah mencium Eren dan Armin..”
“Ciuman
itu nggak ada artinya, itu hanya permainan.. satu ciuman untuk Armin dan
Eren nggak begitu buruk.. kurasa mereka berdua cukup menikmatinya, wajah
keduanya memerah dan sepanjang malam Mikasa terus memelototiku, semua orang
mabuk dan kau tiba-tiba menerima tantangan untuk minum bir padahal sebelumnya
kau sempat menolak untuk minum, benar-benar pesta yang sangat sukses..” ejekku.
Ku
buka lemari yang ada diatas kepalaku. Sambil berjinjit aku mengecek situasi
diatas sana, aku lupa dimana menaruh daun tehnya karena selama ini aku begitu
addict dengan kopi dan jarang minum teh.
“Kapan
terakhir kali kau berciuman? Tampaknya sudah lama kau tidak berciuman..” tanya
Levi.
Kulihat
botol kecil yang kucari ada disalah satu sudut yang sulit kujangkau membuatku
terus berjinjit berusaha untuk menggapainya meski hanya ujung jari tengahku
saja yang berhasil menyentuhnya.
“Hello stranger, it’s not your problem!”
gerutuku sebal. “Aku tak harus menjawab pertanyaan bodohmu itu, jangan
seenaknya bicara seolah teknik berciumanmu lebih baik dariku..”
Kurasakan
sesuatu yang hangat menempel dipunggungku dan wangi sampo yang biasa ku pakai
tercium oleh hidungku. Aku melihat dua lengan itu sedang mengurungku dan
sedetik kemudian Levi telah berhasil mengambil botol teh yang kubutuhkan.
Ia
menyodorkan botol itu dengan keras hingga dengan refleks aku memeluk botol itu.
“Terima kasih,” gumamku sembari tersenyum menatapnya dengan perasaan gugup.
Tapi ucapan itu tak pernah terlontar dari bibirku, karena detik berikutnya saat
kesadaran kembali sepenuhnya Levi telah menekan bibirnya ke bibirku. Tangan
kirinya terbentang dari belakangku, jarinya menekan lemari diatas kepalaku
sementara tangan kanannya menekan pinggiran wastafel dan dadanya menekan
punggungku. Ia menciumku dari belakang.
Levi
menekan lembut bibirku dengan bibirnya, ia mengecupnya lembut sebelum akhirnya
secara perlahan mulai menggigit bagian bawah bibirku pelan lalu kembali
menghisapnya lembut. Ciuman itu hanya berlangsung selama beberapa detik sebelum
akhirnya ia menghentikan hisapannya dibibirku yang be.. tidak meresponnya. Ia menatap
mataku dengan mata abu-abunya yang indah, aku bisa melihat diriku sendiri dalam
pupil hitam matanya. Perlahan kutelan air liurku.
“What did you do?” tanyaku lirih dengan
dahi berkerut.
“It’s not a big deal, right? Not a big
problem.. kau bilang ciuman ini tak ada artinya kan?” jawabnya pelan.
Aku
menangkap maksudnya, ya.. dia menciumku karena dia ingin mengerjaiku. Harusnya
ciuman tadi memang tak berarti apa-apa, lagi pula dia bosku dan aku sudah
bersumpah disetiap hari dalam hidupku bahwa aku takkan pernah jatuh cinta pada
siapapun di kantor hanya karena hal kecil. Bahkan tak masalah jika aku harus
memaksa diriku sendiri agar tidak jatuh cinta pada bosku meskipun kenyataannya
aku...
Ku
palingkan wajahku dengan sebal kembali menatap teko yang airnya mulai mendidih
dan mulai fokus membuka tutup botol teh yang keras itu. Shit, disaat seperti ini tutupnya malah macet!
“You right.. it’s no a big deal.. entah kau
hanya mencoba mengerjaiku atau ‘benar-benar ingin menciumku’. Bagiku itu sama
saja.. hanya bibir yang saling menyentuh dan.. shit! Tutupnya macet!” gumamku dengan nada santai namun sebenarnya
aku merasa dongkol.
“Sini..”
Levi merampas botol teh itu dari tanganku dengan tangan kanannya. Kurasa ia
bisa membuka tutup macet itu karena dia punya otot perut yang bagus dan tentu
saja bagiku ia kini terlihat sangat kuat, aku akan langsung mengejeknya jika ia
tak bisa membuka tutup botol itu.
Ku
lihat ia meletakkan botol teh itu diatas meja wastafel dan tangan kanannya
teralih untuk meraih tengkukku dan ia mengarahkan jempolnya untuk menekan
bagian bawah daguku dan mendorongnya ke arah atas sehingga dengan mudah ia
mendaratkan ciuman keduanya dibibirku. Aku mencoba menjauh tapi kakiku terasa
lemas dan dadanya masih menekan punggungku. Ciuman ini berbeda dengan ciuman
sebelumnya.
Aku
menarik napas dalam-dalam dan mataku langsung terpejam saat bibir Levi menerjang
bibirku lagi. Aku tahu ini hanya permainan, Levi selalu bersikap seenaknya pada
bawahannya tapi aku selalu yakin bahwa dia tak akan pernah berbuat sejauh ini
pada staffnya, apa efek mabuknya masih tertinggal? Apa ia masih memikirkan
permainan Jean dan sedang mengujiku?
Semua
tetek bengek yang terlintas dipikiranku hilang seketika ketika Levi kembali
menghisap bibirku dan kali ini ia melakukannya dengan hisapan yang agak keras,
ia menarik bibir bawahku dan perlahan membuka mulutku, dengan cepat dan keras
bibirnya mendorong bibirku yang telah terbuka. Aku bisa merasakan lidahnya
bergerak pelan dalam mulutku. Aku tahu ini salah, aku tahu ia hanya mengerjaiku
tapi aku tak bisa menghentikan bibirku sendiri yang kini mulai membalas
kecupannya. Ini terasa salah tapi juga terasa benar disaat bersamaan.
Tririririring
Triririririririiring..
Terdengar
suara ponsel berdering namun Levi sama sekali tidak terganggu dan masih terus
menciumiku. Sepuluh detik berlalu dan ia pun menghentikan ciuman kami dan
menjauhkan bibirnya perlahan dari bibirku. Napasku terengah-engah tak
beraturan, ia masih menatap bibirku dan jempolnya menyapu lembut bibirku yang
telah basah oleh air liur kami.
“Ponselmu..”
gumamku sembari mengalihkan pandangan darinya. Ia membebaskanku dari kurungan
tangannya dan mengambil botol teh yang sempat terdiam begitu saja. Aku tak tahu
berapa persen kekuatan yang dipakainya untuk membuka tutup botol itu, tapi
hanya sebentar saja ia menyentuhnya tutupnya kini telah terbuka.
Ia
meninggalkanku yang masih shock namun berpura-pura terlihat cuek dan ia
berjalan menuju ruang tamu, tak lama suara ponsel itu berhenti dan terdengar
suara Levi menyapa orang diseberang telepon.
Ku
ambil botol teh itu dan menyendok beberapa daun teh menuangnya kedalam
penyaringan air. Sembari menunggu air berubah warna aku kembali memikirkan
kejadian tadi. Setiap orang suka bermain-main.. dan ciuman ini tak ada artinya
sama sekali. Tapi... saat kupejamkan mataku, aku masih bisa merasakan sentuhan
bibir Levi dibibirku. This is bad..
really bad.. Levi, you shouldn’t do it..
Aku
pun menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya untuk mencoba menenangkan
hatiku. “Okay.. okay.. okay.. just..
forget it,” gumamku lagi sambil mematikan mesin pemanas itu karena air
telah berganti warna menjadi merah tua.
Setelah
selesai membuat teh ku bawakan secangkir teh ke dalam ruang tamu untuk bosku,
Levi sedang duduk di sofa dengan gayanya yang santai dan elegan. Satu tangan
terbentang dipunggung sofa sementara tangan lainnya masih sibuk mengutak atik
ponsel, salah satu kakinya tersampir elegan diatas kaki lainnya. Ia benar-benar
terlihat seperti boneka klasik yang sempurna. Kini pandangannya teralih padaku.
“Apa
kau punya sepatu yang cocok untuk kupakai dengan baju ini?” tanyanya sembari
berdiri dan memasukkan ponselnya kedalam kantung celananya.
“Di
rak sepatu ada sepatu adikku..”
Levi
beranjak menuju rak sepatu yang ada didekat pintu dan mengambil sepasang sepatu
olahraga warna hitam. Aku mengikutinya dengan perasaan bingung masih sambil
memegang cangkir berisi teh.
“Ah,
ukurannya sama dengan ukuran kakiku..” gumam Levi setelah selesai mengecek
ukuran sepatu. “Boleh ku pinjam sebentar?” tanyanya, belum sempat ku jawab
pertanyaannya ia telah duduk dilantai dan mulai memasang sepatu olahraga itu.
“Boleh
saja.. apa kau sudah mau pulang?” tanyaku.
“Ya,
ada pekerjaan yang harus kuselesaikan..”
“Oh..
ini tehmu sebaiknya kau minum dulu sebelum pergi..” kusodorkan cangkir teh itu
pada Levi setelah melihatnya selesai memasang sepatunya dan bersiap pergi. Ia
berbalik dan menatap cangkir ditanganku.
Levi
meraih cangkir itu dan meminum isinya. “Thanks,” ucapnya lalu meletakkan lagi
cangkir kosong itu dalam tatakan yang kupegang. Ia membuka pintu apartemenku
lebar-lebar dan keluar begitu saja meninggalkan ku yang masih berdiri mematung
melihat kepergiannya.
“Tck..
Dia bahkan tidak menutup pintu dan pergi begitu saja,” omelku sambil beranjak
untuk menutup pintu.
Sebelum
pintu tertutup sempurna, sosok Levi kembali muncul dan mendorong pintu yang
hampir tertutup.
“Ada
apa?” tanyaku kaget.
“Ada
yang ketinggalan,” jawabnya singkat sambil menatap tajam mataku dan ia pun
meraih sesuatu tepat di atas bufet yang ada di belakangku. Tangan kanannya
mengambil kunci mobil yang tertinggal sementara tangan kirinya meraih tengkukku
dan ia mendekatkan wajahnya sekali lagi ke wajahku meletakkan lagi bibirnya ke
bibirku. Rasa ciuman ini mungkin sama seperti ketika manusia sedang menggunakan
narkoba. Ciuman Levi seperti obat terlarang yang seharusnya tidak boleh
diminum.
Namun
kenyataannya saat ini Levi melumat bibirku, mengecup dan menghisapnya lembut,
tanpa bisa kusadari aku justru telah menutup mataku dengan jantung semakin
berdegup keras. Aku berjengit pelan saat Levi menyelipkan lidahnya kedalam
mulutku dan memainkannya hingga akhirnya ia pun mengakhiri ciuman itu dengan
napas tak beraturan.
“Taste
better..” gumamnya pelan sambil menatap mataku dan berkata...
“Thank
you for this special tea,” lalu ia pergi meninggalkanku lagi yang masih
mematung dengan tangan masih memegang cangkir teh kosong. Kali ini Levi tak
lupa menutup pintu apartemenku.
Shit..
dia berhasil mengerjaiku.
*
* *
0 comments:
Post a Comment