Friday, 11 September 2015

Modern AoT : Chapter 3 [SECRET LESSON WITH MY BOSS]

BY Unknown IN No comments



SECRET LESSON WITH MY BOSS

Cast    : Levi Ackerman x Reader (In my case : Lucy Alsei)
Genre  : Romance, Mature
CHAPTER 3
          Jam sudah menunjuk angka enam dan hari sudah semakin pagi, tadi malam tidurku sama sekali tidak nyenyak dan aku sukses memejamkan mata selama tiga jam dengan hati yang terus merasa gelisah. What am i suppose to do? Ini sangat buruk kan, aku tak bisa tidur karena terus terbayang sosok bos ku yang sekarang masih tertidur nyenyak di dalam kamar tidur ku. Ia membuatku terdampar dengan sukses di atas sofa ruang tamu dengan tumpukan bantal dan selimut tebal.

          Aku bangkit dari sofa dan segera merapikan bantal dan selimut yang berantakan, aku tak ingin Levi melihat rumah yang berantakan juga sosokku yang sangat jelek saat bangun di pagi hari. Setidaknya aku harus mencuci muka dan menggosok gigi terlebih dahulu.

          Ku peluk gumpalan selimut tebal dan bantal yang tergeletak di atas sofa dan membawanya dengan susah payah masuk ke dalam kamar. Perlahan ku buka pintu kamarku dan masuk sambil mengendap-endap karena tak ingin membangunkan Levi, segera kuletakkan bantal dan selimut itu di atas salah satu kursi yang ada di dekat meja riasku. Rasanya seperti orang bodoh karena harus berkeliaran seperti maling dalam rumahku sendiri.

          Di atas kasurku yang empuk dan putih bersih tergeletak tubuh Levi yang masih tidur dengan nyenyak, jujur saja aku terkesima saat melihat ekspresi wajahnya yang sangat lembut ketika sedang tidur, tak ada tatapan tajam dan ekspresi datar yang dingin seperti yang biasa ia perlihatkan.

Dia benar-benar tampak.... sangat manis.

Hah?!

          Oh shit.. apa aku juga mabuk? Sepertinya aku harus gosok gigi dan cuci muka sekarang juga,” gumamku pelan sambil berjingkat-jingkat menuju toilet yang ada dikamarku.

          Ku pandangi wajahku di cermin kamar mandi dan aku merasa kacau.. sangat kacau. Ku sambar pasta gigi dan sikat gigiku lalu mulai melakukan sedikit ritual singkat di pagi hari, sebelum sikat gigi itu menempel di gigi pandanganku langsung tertuju pada bibirku. Kejadian tadi malam kembali muncul sekelebat dalam ingatanku yang sebenarnya telah berhasil kulupakan lima menit lalu.

          Setelah selesai menggosok gigi dan mencuci muka aku juga menyemprotkan cologne ketubuhku dan merapikan pakaian tidur yang ku pakai sejak semalam, pakaian itu terlihat agak kusut di beberapa sisi namun sangat nyaman bila di pakai. Aku sangat ingin mandi tapi hal itu sangat tidak mungkin mengingat Levi ada dalam kamarku.

          Dengan langkah pelan aku pun keluar dari kamar mandi dan mengendap-endap keluar dari dalam kamar. Hal selanjutnya yang harus kulakukan adalah membuatkan sarapan untuk bosku dan satu hal penting lainnya.. membuat seteko teh hangat. Levi sangat tergila-gila dengan teh dan favoritnya adalah teh hitam, sayang sekali aku tak memiliki teh hitam dalam lemari persediaanku.

          Untung saja pesta itu terjadi saat weekend karena aku yakin semua orang pasti masih berguling malas diatas kasur mereka setelah kejadian semalam yang benar-benar membuatku merasa hampir gila, bisa-bisanya semua orang mabuk parah karena game buatan Jean si Horse Face. Yang masih memiliki kesadaran penuh untuk bisa menyetir mobil hanya Sasha dan aku. Sasha harus menyetir mobilnya sendiri dan mengantar pulang para gadis, sementara aku harus menyetir mobil Levi dan membawa pulang para pria. Makanya Levi ada di kamarku.

          Kubuka lemari es dan memandangi isinya yang sangat minim. “Pancake sounds good right? Oke.. bikin pancake aja.. telur.. telur.. mana telurnyaa..”

* * *

          Terdengar pekikan yang sangat keras dari arah kamarku yang membuatku kaget luar biasa, mangkuk plastik berisi adonan Pancake yang sedang kubuat pun dengan sukses terjatuh kelantai, adonan itu menciprat ke segala arah dan mengotori kakiku. Aku sangat kenal suara itu, dia adalah orang yang sama sekali tak ku inginkan untuk datang hari ini dan dalam situasi ini!

          Ku letakkan sendok plastik yang kupegang di atas meja dan berlari menuju suara teriakan tadi. Kulihat pintu kamar telah terbuka.

          “Joy?” panggilku dan menarik tangan Joy agar segera mengikutiku keluar dari dalam kamar. “Kamu ngapain kesini sih?” pekikku lagi. Namun Joy tidak bergerak selangkah pun ia masih menatap kearah kasur.

          “Oh my god..” gumamnya pelan dengan ekspresi wajah terkesima.

          “Ap..”

          Aku bisa mengerti kenapa Joy sangat terkejut, tapi aku juga baru pertama kali melihat bos ku dalam sosok seperti ini. Untuk beberapa detik kami berdua terdiam mematung menatap sosok Levi.

          “Tck..” decak Levi sebal sambil memijat pelan kepalanya yang masih pusing. “Hhh.. kalian berdua berisik sekali sih..” lanjutnya lagi sambil menguap.

          Tak kusangka sama sekali bahwa bosku yang dingin, super kejam, penggila teh dan berpostur pendek ini justru.. memiliki bentuk tubuh yang sangat bagus?

          “(y/n)/(Lucy) Kenapa kamar ini panas sekali? Bajuku sampai basah begini..” gerutunya sambil terus membuka seluruh kancing bajunya.

          Aku baru ingat kalau semalam lupa menyalakan AC.

          Pandangan Joy teralih menatapku. “You’d never told me about your boyfriend..” gumamnya lagi.

          “No..” bisikku pelan dengan ekspresi wajah panik dan tak meyakinkan. “He’s not..”

          “Are you my sister boyfriend?” tanyanya pada Levi dengan tatapan tak percaya.

          “Hah?” Levi mengerutkan dahinya saat mencoba mencerna pertanyaan Joy, sebelum ia sempat menjawabnya aku menyela dengan panik.

          “No! He’s not my boyfriend.. He is my boss!” bisikku dengan nada meninggi. Joy kembali mengerutkan keningnya.

          “What the hell..” gumamnya sambil terkekeh pelan. “Jadi selama ini kau pacaran sama boss mu? Cool.. sekarang aku ngerti kenapa beberapa minggu ini sikapmu berubah,”

          “Sini ikut aku..”

          Ku tarik lengan Joy dengan keras dan ia berjalan mengikutiku keruang tengah, aku langsung menutup pintu kamarku. Saat berbalik menatap Joy aku benar-benar merasa marah padanya namun adikku justru terkekeh sambil memegangi perutnya.

          “Bercandamu keterlaluan tau,”

          “Sorry.. but i think he’s really cute and suit you.. that’s why..”

          Aku pun duduk di sofa tepat di sebelahnya dan mulai mendinginkan emosiku. “Kau bilang begitu karena melihatnya sedang berada di atas kasurku..”

          “Jadi aku salah? Pemikiranku sudah cukup halus lho.. bagaimana jika kuanggap kalian berdua hanya melewatkan cinta satu malam.. bukankah itu terdengar lebih kasar untukmu?”

          Stupid,” gumamku kesal sembari menjitak kepalanya. “Semalam teman-temanku “party hard” untuk menyambutnya dan dia benar-benar sangat mabuk, aku tak tahu password apartemennya, makanya kubawa dia pulang kesini..”

          Terdengar suara pintu terbuka dan Levi keluar dari dalam kamar ia sudah mengenakan lagi kemejanya yang kini terlihat sangat kusut.

          “(y/n)/(Lucy),” panggilnya, aku dan Joy kembali menatapnya. “Boleh kupinjam kamar mandimu? Aku ingin mandi, bau ini benar-benar membunuhku..” serunya lagi sembari mencium bau bajunya yang seperti kotoran kuda karena penuh keringat dan terkena tumpahan alkohol.

          “Ah, silakan pakai saja..” jawabku cepat sambil berdiri. “Kau perlu mengganti bajumu,” tambahku.

          “Mh, ide yang sangat bagus.. tapi aku hanya punya baju ini,” jawabnya datar.

          “Sebentar..”

          Aku berjalan memasuki kamar dan membongkar salah satu lemari, aku baru ingat pernah menyimpan beberapa pakaian santai untuk pria. “Kau bisa memakai kaos? Aku hanya punya ini,” kusodorkan padanya pakaian yang sudah kupilihkan namun ia menatap pakaian itu dengan tampang tak senang.

          “Apa ini punya pacarmu?” tanyanya.

          “Bukan, aku tak punya yang seperti itu dan pakaian ini milik adik laki-lakiku.. kau bebas memakainya karena dia jarang kesini,” jawabku.

          Levi menatapku sepersekian detik sebelum akhirnya mengambil pakaian yang sudah ku sodorkan. “Aku akan mandi kuharap kau tidak mencoba untuk mengintipku..” serunya sambil berjalan menuju kamar mandi.

          “Jangan khawatir, hal itu tak akan pernah terjadi..” gumamku lagi sebelum pintu kamar mandi tertutup sempurna.

          Ku lihat Joy berdiri diambang pintu kamarku dan ia sedang tersenyum iseng dengan kedua tangan terlipat didada. “Hmmm.. kuharap dia segera memberitahumu password apartemennya..”

          “Jangan bicara yang tidak-tidak atau aku akan benar-benar membunuhmu..” gumamku sambil berjalan melewatinya menuju dapur.

          “Aaahh, kau ini tidak bisa diajak bercanda..” rengek Joy sembari mengikuti langkahku menuju dapur.

          Aku pun mengambil sebuah lap dalam lemari penyimpanan dan mulai membersihkan bekas tumpahan adonan Pancake yang tercecer di lantai sementara Joy duduk di kursi makan dan mulai melahap apel. “Kenapa kau kemari tanpa memberitahuku?” tanyaku lagi sembari mengelap lantai.

          “Hmm, aku ingin memberimu kejutan kecil..”

          “Oke, kurasa kau sudah sukses besar dengan kejutan kecilmu itu..”

          Joy tertawa renyah sambil memperhatikanku. “Hmm, aku juga sedikit terkejut sih.. kau lihat lekukan ditubuhnya tadi? Dia punya abs!” pekik Joy setengah berbisik. “Abs yang sempurna.. meskipun tubuhnya pendek.. tapi pacarmu ternyata seksi, he’s so damn hot,” sambungnya lagi.

          Kotoran di lantai sudah hilang dan aku pun mencuci kain pel itu diwastafel cuci piring. “Apa kau berantem lagi dengan ibu makanya kabur kesini..?” tebakku.

          “Tidak, aku datang untuk mengantar beberapa barang.. setelah ini aku akan pergi ada janji dengan Collins, jadi.. aku akan dengan senang hati membiarkan kau berduaan dengan pacarmu,”

          “Kalian mau kemana?” tanyaku lagi berusaha mengalihkan pembicaraan.

          “Ada festival di kampus “M” dan grup kami diundang kesana untuk main musik.. aku dan teman-temanku mendapat penginapan dekat kampus itu, jadi tak bisa lama-lama disini,”

          “Kenapa tidak tidur disini saja sih?”

          “Jarak dari sini lumayan jauh dan acaranya juga lumayan padat, untuk menghemat waktu aku tak bisa menginap disini, lagipulaa.. aku tak ingin mengganggu kalian berdua..” jawab Joy sambil tersenyum iseng.

          “Hhh.. jika yang kau maksud Levi.. I’ve told you that he’s not my boyfriend..” gumamku cuek sambil kembali membuat adonan Pancake yang baru.

          “Oh, jadi namanya Levi.. aduh aku harus pergi sekarang, sis,” seru Joy melihat jam tangannya ia bangkit dari kursi dan menghampiriku lalu memelukku.

          “Kau membuatku kepanasan, Huss.. Huss..”

          “Kau yakin itu karena aku? Bisa saja karena boss-mu, kan?”

          “Whateveeeerr..”

          Joy terkekeh dan mencium pipiku sebelum akhirnya pergi. “Bye! Kalau kau senggang mampirlah ke kampus “M” pekiknya. “Ah! Paketmu ada di sofa ruang tamu ya!” tambahnya lagi, terdengar suara derap kaki disepanjang lantai ruang tamu dan tak lama kemudian keheningan kembali merayap lagi.

* * *

          Aku sedang sibuk membalik adonan Pancake setengah matang saat Levi muncul di dapurku. Aku memperhatikan sosoknya, wajahnya kini kembali penuh dengan ekspresi dingin. Namun pakaian yang dipakainya cukup cocok untuknya, sebuah kaos tangan panjang berwarna hitam dan celana jeans biru dongker yang tak kusangka akan cocok untuknya.

          “Ow.. you look.. fashionable?” seruku berusaha bercanda entah dia memahami maksudku atau tidak, biarlah.

          “Thanks, tak kusangka baju ini sedikit pas untukku..” jawabnya dengan nada datar. Tak ada dominasi berlebihan seperti ketika kami berada dikantor, enah kenapa hari ini aku merasa dia sedikit melembut. “Apa ini apartemenmu?” tanyanya lagi sambil melirik sekeliling ruangan.

          “Ya, maaf kalau tempatnya sedikit sempit..”

          “Kau tinggal sendiri.. atau bersama adikmu tadi?”

          “Hmm, kadang-kadang ketika weekend dia kesini untuk menginap..”

          “Oh, jadi pakaian kotor yang menumpuk disana itu semuanya milikmu? Apa kau tidak berniat untuk segera melaundrynya sebelum mereka semua membusuk seperti kotoran kuda?” seru Levi, entah kenapa aku merasa dia mulai kembali lagi ke mode awal seperti halnya ketika ia berada di kantor dan selalu dalam mode sibuk ketika menyuruh kami menyapu, mengelap dan menyikat banyak hal.

          “Seharusnya tumpukan itu sudah hilang hari ini, tapi karena pesta tadi malam aku tak sempat bersih-bersih rumah dan melaundry pakaianku..”

          “Bicara soal pesta tadi malam..”

          Levi terdiam sejenak membuatku kembali teringat dengan kejadian semalam. Oh man... seharusnya aku tak menyebut kata ‘semalam’, ‘pesta’, ‘party hard’ atau kata jenis lainnya jika tak ingin Levi membahas ini.

          “Kenapa kau membawaku ke apartemenmu dan menidurkanku di kamarmu?”

          Kuletakkan piring berisi tumpukan pancake dihadapan Levi dan berjalan menuju lemari lain untuk mengambil piring, sendok dan garpu. “Aku membongkar tasmu untuk mencari alamat apartemenmu, ketika ingin mengecek kamar apartemenmu aku dihadang oleh satpam dan dia bilang apartemen tempat kau tinggal itu memiliki password jadi percuma saja bila kubopong kau naik dengan tubuh teler seperti itu tapi aku tak bisa buka pintunya, jadi kuputuskan untuk membawamu kesini,”

          “Oh..” jawabnya singkat sambil meraih peralatan makan yang kusodorkan padanya. “Apa yang terjadi semalam setelah aku mabuk dan tidak sadarkan diri?” tanyanya lagi.

          Aku pun kembali teringat dengan ciuman lidah yang dilakukannya padaku semalam saat sedang membantunya masuk kedalam mobil.

          “Tidak terjadi apapun..”

          “Kau yakin?”

          “Hmm.. Ya,” jawabku ragu tanpa menatapnya. ”Apa kepalamu masih sakit? Aku akan merebus daun teh hijau untukmu, teh hijau baik untuk menyegarkan tubuh,”

          “Oi, kemari sebentar..” panggilnya aku mendekat dan ia menyodorkan potongan Pancake dengan garpunya.

          “Kenapa?”

          “Makan!” pintanya.

“Tapi..”

“Coba makan ini..” titahnya lagi, entah kenapa instingku langsung mengikuti perintah Levi. Ia menyuapkan potongan Pancake itu kemulutku, tak sedikit pun pandangannya teralih dariku. Hal ini membuat suasana jadi benar-benar awkward.

“Apa rasanya buruk?” tanyaku bingung sambil mengunyah Pancake dalam mulutku. Menurutku Pancake ini lumayan enak, setidaknya rasanya tidak buruk.

“Rasanya enak,” jawabnya singkat sambil menyuapkan lagi Pancake ke mulutnya. Membuatku benar-benar merasa sangat.. bingung. “Oh ya, kenapa kau setuju untuk menerima tantangan bodoh yang diberikan Jean?” tanyanya lagi.

Aku berpikir sejenak sebelum memberikan jawaban yang pantas untuknya. “Hmm.. kata-katamu malam itu seolah mengejekku..” aku mengambil sebuah teko kaca dan memasukkan air kedalamnya dan meletakkan teko itu ke atas mesin pemanas otomatis.

“Apa maksudmu?”

“Kau bicara seolah aku tak berani menerima tantangan kecil seperti itu..”

“Alasan yang bodoh, kalau tidak mau kau bisa menolaknya kan..” jawab Levi sambil mengunyah potongan terakhir Pancakenya.

It’s not a big deal.. lagipula itu hanya sebuah ciuman dan tidak berarti apa-apa, hanya bibir yang saling menempel.. dan itu hanya permainan,”

“Apa kau lupa? Kau sudah mencium Eren dan Armin..”

“Ciuman itu nggak ada artinya, itu hanya permainan.. satu ciuman untuk Armin dan Eren nggak begitu buruk.. kurasa mereka berdua cukup menikmatinya, wajah keduanya memerah dan sepanjang malam Mikasa terus memelototiku, semua orang mabuk dan kau tiba-tiba menerima tantangan untuk minum bir padahal sebelumnya kau sempat menolak untuk minum, benar-benar pesta yang sangat sukses..” ejekku.

Ku buka lemari yang ada diatas kepalaku. Sambil berjinjit aku mengecek situasi diatas sana, aku lupa dimana menaruh daun tehnya karena selama ini aku begitu addict dengan kopi dan jarang minum teh.

“Kapan terakhir kali kau berciuman? Tampaknya sudah lama kau tidak berciuman..” tanya Levi.

Kulihat botol kecil yang kucari ada disalah satu sudut yang sulit kujangkau membuatku terus berjinjit berusaha untuk menggapainya meski hanya ujung jari tengahku saja yang berhasil menyentuhnya.

Hello stranger, it’s not your problem!” gerutuku sebal. “Aku tak harus menjawab pertanyaan bodohmu itu, jangan seenaknya bicara seolah teknik berciumanmu lebih baik dariku..”

Kurasakan sesuatu yang hangat menempel dipunggungku dan wangi sampo yang biasa ku pakai tercium oleh hidungku. Aku melihat dua lengan itu sedang mengurungku dan sedetik kemudian Levi telah berhasil mengambil botol teh yang kubutuhkan.

Ia menyodorkan botol itu dengan keras hingga dengan refleks aku memeluk botol itu. “Terima kasih,” gumamku sembari tersenyum menatapnya dengan perasaan gugup. Tapi ucapan itu tak pernah terlontar dari bibirku, karena detik berikutnya saat kesadaran kembali sepenuhnya Levi telah menekan bibirnya ke bibirku. Tangan kirinya terbentang dari belakangku, jarinya menekan lemari diatas kepalaku sementara tangan kanannya menekan pinggiran wastafel dan dadanya menekan punggungku. Ia menciumku dari belakang.

Levi menekan lembut bibirku dengan bibirnya, ia mengecupnya lembut sebelum akhirnya secara perlahan mulai menggigit bagian bawah bibirku pelan lalu kembali menghisapnya lembut. Ciuman itu hanya berlangsung selama beberapa detik sebelum akhirnya ia menghentikan hisapannya dibibirku yang be.. tidak meresponnya. Ia menatap mataku dengan mata abu-abunya yang indah, aku bisa melihat diriku sendiri dalam pupil hitam matanya. Perlahan kutelan air liurku.

What did you do?” tanyaku lirih dengan dahi berkerut.

It’s not a big deal, right? Not a big problem.. kau bilang ciuman ini tak ada artinya kan?” jawabnya pelan.

Aku menangkap maksudnya, ya.. dia menciumku karena dia ingin mengerjaiku. Harusnya ciuman tadi memang tak berarti apa-apa, lagi pula dia bosku dan aku sudah bersumpah disetiap hari dalam hidupku bahwa aku takkan pernah jatuh cinta pada siapapun di kantor hanya karena hal kecil. Bahkan tak masalah jika aku harus memaksa diriku sendiri agar tidak jatuh cinta pada bosku meskipun kenyataannya aku...

Ku palingkan wajahku dengan sebal kembali menatap teko yang airnya mulai mendidih dan mulai fokus membuka tutup botol teh yang keras itu. Shit, disaat seperti ini tutupnya malah macet!

You right.. it’s no a big deal.. entah kau hanya mencoba mengerjaiku atau ‘benar-benar ingin menciumku’. Bagiku itu sama saja.. hanya bibir yang saling menyentuh dan.. shit! Tutupnya macet!” gumamku dengan nada santai namun sebenarnya aku merasa dongkol.

“Sini..” Levi merampas botol teh itu dari tanganku dengan tangan kanannya. Kurasa ia bisa membuka tutup macet itu karena dia punya otot perut yang bagus dan tentu saja bagiku ia kini terlihat sangat kuat, aku akan langsung mengejeknya jika ia tak bisa membuka tutup botol itu.

Ku lihat ia meletakkan botol teh itu diatas meja wastafel dan tangan kanannya teralih untuk meraih tengkukku dan ia mengarahkan jempolnya untuk menekan bagian bawah daguku dan mendorongnya ke arah atas sehingga dengan mudah ia mendaratkan ciuman keduanya dibibirku. Aku mencoba menjauh tapi kakiku terasa lemas dan dadanya masih menekan punggungku. Ciuman ini berbeda dengan ciuman sebelumnya.

Aku menarik napas dalam-dalam dan mataku langsung terpejam saat bibir Levi menerjang bibirku lagi. Aku tahu ini hanya permainan, Levi selalu bersikap seenaknya pada bawahannya tapi aku selalu yakin bahwa dia tak akan pernah berbuat sejauh ini pada staffnya, apa efek mabuknya masih tertinggal? Apa ia masih memikirkan permainan Jean dan sedang mengujiku?

Semua tetek bengek yang terlintas dipikiranku hilang seketika ketika Levi kembali menghisap bibirku dan kali ini ia melakukannya dengan hisapan yang agak keras, ia menarik bibir bawahku dan perlahan membuka mulutku, dengan cepat dan keras bibirnya mendorong bibirku yang telah terbuka. Aku bisa merasakan lidahnya bergerak pelan dalam mulutku. Aku tahu ini salah, aku tahu ia hanya mengerjaiku tapi aku tak bisa menghentikan bibirku sendiri yang kini mulai membalas kecupannya. Ini terasa salah tapi juga terasa benar disaat bersamaan.

Tririririring Triririririririiring..

Terdengar suara ponsel berdering namun Levi sama sekali tidak terganggu dan masih terus menciumiku. Sepuluh detik berlalu dan ia pun menghentikan ciuman kami dan menjauhkan bibirnya perlahan dari bibirku. Napasku terengah-engah tak beraturan, ia masih menatap bibirku dan jempolnya menyapu lembut bibirku yang telah basah oleh air liur kami.

“Ponselmu..” gumamku sembari mengalihkan pandangan darinya. Ia membebaskanku dari kurungan tangannya dan mengambil botol teh yang sempat terdiam begitu saja. Aku tak tahu berapa persen kekuatan yang dipakainya untuk membuka tutup botol itu, tapi hanya sebentar saja ia menyentuhnya tutupnya kini telah terbuka.

Ia meninggalkanku yang masih shock namun berpura-pura terlihat cuek dan ia berjalan menuju ruang tamu, tak lama suara ponsel itu berhenti dan terdengar suara Levi menyapa orang diseberang telepon.

Ku ambil botol teh itu dan menyendok beberapa daun teh menuangnya kedalam penyaringan air. Sembari menunggu air berubah warna aku kembali memikirkan kejadian tadi. Setiap orang suka bermain-main.. dan ciuman ini tak ada artinya sama sekali. Tapi... saat kupejamkan mataku, aku masih bisa merasakan sentuhan bibir Levi dibibirku. This is bad.. really bad.. Levi, you shouldn’t do it..

Aku pun menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya untuk mencoba menenangkan hatiku. “Okay.. okay.. okay.. just.. forget it,” gumamku lagi sambil mematikan mesin pemanas itu karena air telah berganti warna menjadi merah tua.

Setelah selesai membuat teh ku bawakan secangkir teh ke dalam ruang tamu untuk bosku, Levi sedang duduk di sofa dengan gayanya yang santai dan elegan. Satu tangan terbentang dipunggung sofa sementara tangan lainnya masih sibuk mengutak atik ponsel, salah satu kakinya tersampir elegan diatas kaki lainnya. Ia benar-benar terlihat seperti boneka klasik yang sempurna. Kini pandangannya teralih padaku.

“Apa kau punya sepatu yang cocok untuk kupakai dengan baju ini?” tanyanya sembari berdiri dan memasukkan ponselnya kedalam kantung celananya.

“Di rak sepatu ada sepatu adikku..”

Levi beranjak menuju rak sepatu yang ada didekat pintu dan mengambil sepasang sepatu olahraga warna hitam. Aku mengikutinya dengan perasaan bingung masih sambil memegang cangkir berisi teh.

“Ah, ukurannya sama dengan ukuran kakiku..” gumam Levi setelah selesai mengecek ukuran sepatu. “Boleh ku pinjam sebentar?” tanyanya, belum sempat ku jawab pertanyaannya ia telah duduk dilantai dan mulai memasang sepatu olahraga itu.

“Boleh saja.. apa kau sudah mau pulang?” tanyaku.

“Ya, ada pekerjaan yang harus kuselesaikan..”

“Oh.. ini tehmu sebaiknya kau minum dulu sebelum pergi..” kusodorkan cangkir teh itu pada Levi setelah melihatnya selesai memasang sepatunya dan bersiap pergi. Ia berbalik dan menatap cangkir ditanganku.

Levi meraih cangkir itu dan meminum isinya. “Thanks,” ucapnya lalu meletakkan lagi cangkir kosong itu dalam tatakan yang kupegang. Ia membuka pintu apartemenku lebar-lebar dan keluar begitu saja meninggalkan ku yang masih berdiri mematung melihat kepergiannya.

“Tck.. Dia bahkan tidak menutup pintu dan pergi begitu saja,” omelku sambil beranjak untuk menutup pintu.

Sebelum pintu tertutup sempurna, sosok Levi kembali muncul dan mendorong pintu yang hampir tertutup.

“Ada apa?” tanyaku kaget.

“Ada yang ketinggalan,” jawabnya singkat sambil menatap tajam mataku dan ia pun meraih sesuatu tepat di atas bufet yang ada di belakangku. Tangan kanannya mengambil kunci mobil yang tertinggal sementara tangan kirinya meraih tengkukku dan ia mendekatkan wajahnya sekali lagi ke wajahku meletakkan lagi bibirnya ke bibirku. Rasa ciuman ini mungkin sama seperti ketika manusia sedang menggunakan narkoba. Ciuman Levi seperti obat terlarang yang seharusnya tidak boleh diminum.

Namun kenyataannya saat ini Levi melumat bibirku, mengecup dan menghisapnya lembut, tanpa bisa kusadari aku justru telah menutup mataku dengan jantung semakin berdegup keras. Aku berjengit pelan saat Levi menyelipkan lidahnya kedalam mulutku dan memainkannya hingga akhirnya ia pun mengakhiri ciuman itu dengan napas tak beraturan.

“Taste better..” gumamnya pelan sambil menatap mataku dan berkata...

“Thank you for this special tea,” lalu ia pergi meninggalkanku lagi yang masih mematung dengan tangan masih memegang cangkir teh kosong. Kali ini Levi tak lupa menutup pintu apartemenku.  

Shit.. dia berhasil mengerjaiku.

* * *


0 comments:

Post a Comment