SECRET LESSON WITH MY BOSS
Cast : Levi Ackerman x Reader (In my case : Lucy Alsei)
Genre : Romance, Mature
CHAPTER
2
Sebulan berlalu sejak pertemuan
pertamaku dengan bos baruku. Levi Ackerman seorang pria keturunan
Prancis yang kini bekerja di divisiku. Ia dapat dengan mudah dikenali karena
tinggi badannya yang dibawah rata-rata pria pada umumnya, dengan rambut sehitam
malam dan wajah pucat tanpa ekspresi. Menurutku.. dia lebih cocok bekerja di
karnaval rumah hantu dari pada menjadi salah satu bos di sebuah perusahaan
besar.
Perusahaan
kami memiliki tiga divisi yang berbeda yang secara umum bergerak di bidang
industri film, divisi pertama bertugas untuk mengatasi masalah hukum dan
mengatur keuangan perusahaan sudah sejak lama aku mendengar gosip bahwa
struktur dalam divisi itu sangat buruk dan begitu pula dengan orang-orangnya
yang.. mmhh.. yah, lebih baik tak kusebutkan. Kemudian divisi kedua menangani
bagian dalam perusahaan, secara khusus mereka membantu divisi satu mengatur
perusahaan, bisa dikatakan bahwa divisi ini lumayan bagus dan keberadaan mereka
sangat membantu kinerja divisi satu yang buruk. Lalu yang terakhir divisi ku
yang sering mengadakan survei lapangan dan secara teknis menyortir
naskah-naskah film yang masuk, kami adalah divisi paling penting dalam
perusahaan karena dedikasi yang sangat total untuk kemajuan perusahaan.
Aku beruntung bisa berada dalam divisi
ini, bos lamaku Erwin Smith adalah orang yang sangat baik dan sangat ku
hormati. Ia bahkan memperbolehkan stafnya untuk memanggilnya dengan namanya
saja dan bersikap seolah kami semua adalah temannya. Meskipun sikapnya sangat
santai kami tetap memperlakukannya dengan penuh rasa hormat, dia juga tak akan
mempermasalahkan cara bicara kami karena baginya kemampuan seseorang adalah hal
yang lebih penting dibanding cara berbicara.
Sikapnya sangat berbeda sekali dengan Levi si grumpy cat.. mmh..
maksudku bos baruku.
“Sir, ini berkas yang kau minta..
silakan dicek dulu,” Aku menyerahkan berkas yang tadi diminta Levi.
Levi memperbaiki letak kacamatanya dan
menatapku tajam dari balik lensanya, dia selalu melakukan hal itu.. mengambil
berkas dari tanganku dan mengamatiku selama sepuluh detik sebelum akhirnya
membaca berkas yang sudah kubuat. Sikapnya yang menyebalkan selalu membuatku
merasa tidak nyaman. Namun tampaknya dia beranggapan bahwa hal yang dilakukannya padaku sama sekali
tidak menggangguku.
Levi mendesah pelan. “Hhh.. tsk..”
decaknya sambil mengernyitkan dahinya, setiap kali dia mengernyitkan dahi entah
kenapa aku merasa khawatir. “Kau lihat paragraf dibaris ini?” serunya sembari
menyodorkan berkas itu memperlihatkannya padaku. Aku mendekatkan wajahku agar
bisa melihat paragraf yang dimaksudnya. “Kau lupa memakai huruf besar di depan
kata ini.. sebelum menyerahkan berkas apapun padaku kau harus mengecek ulang
semua isinya dan memastikan hal ini tak terulang lagi. Mengerti? Aku tak ingin
orang bodoh bekerja dalam divisi ini,”
“Baik, Sir..”
“Cek ulang dan perbaiki, setelah itu
kirim filenya ke email yang sudah kuberikan padamu, kurasa lima belas menit
cukup untuk merivisi isinya,”
“Hmm ya, Sir,” ujarku sembari
mengambil berkas yang ia sodorkan. Lihatkan? Dia selalu merevisi semua berkas
dan menolak jika ada satu saja kesalahan kecil, benar-benar merepotkan. Dia
juga selalu mengataiku idiot dan berbagai macam kata kasar lainnya, sebenarnya ia bersikap seperti ini tidak cuma padaku saja sih, staf yang lain juga sering kecipratan hal yang sama. Pada
awalnya kami merasa kesal dan jengkel, tapi sejak Hanji (sahabat Levi yang juga
seorang petinggi perusahaan) menjelaskan pada kami bahwa itu memang sifat
alaminya akhirnya kami mulai terbiasa dikatai dan tidak terlalu memperdulikan
sikap kasarnya.
“(your name)/Lucy,” panggilnya lagi
sebelum aku membuka pintu kantornya. Entah kenapa setiap kali dia menyebut
namaku dengan intonasi itu, jantungku selalu berdebar keras dan aku merasa tidak
ingin menatapnya. Namun aku harus berbalik dan melihat wajah tanpa ekspresinya
itu kan..? Aku tak punya pilihan lain.
“Ya, Sir?”
“Buatkan aku secangkir teh,” serunya,
matanya kembali menatap layar komputer dan dia kembali sibuk dengan tugasnya.
“Lagi?” celetukku, tak sengaja.
“Hmm?” Levi kembali mendongakkan
wajahnya menatapku, seolah berkata ‘apa kau memiliki masalah dengan secangkir
teh?’.
“Baik Sir, akan segera kubuatkan,”
jawabku cepat sebelum dia kembali mengataiku idiot dan segera keluar dari dalam
kantornya.
Segera kuperbaiki berkas yang
telah direvisinya. Di salah satu meja yang
terletak di seberang mejaku terlihat Eren, Armin dan Mikasa tengah mendiskusikan
sesuatu, tak lama kemudian Jean beralih dari kursinya dan berjalan mendekati
mejaku.
“Hei, hari ini kau senggang tidak?”
tegur Jean. Ia menarik sebuah kursi ke dekatku dan seperti biasa ia akan duduk
santai sambil bergosip disela kegiatannya mengerjakan tugas.
“Hmm, entahlah.. ada apa?”
“Pulang kerja nanti kami sudah membuat rencana pesta penyambutan bos Levi,”
Aku terkekeh mendengar jawaban Jean.
“Ini sudah lewat sebulan dan kita baru akan mengadakan pesta penyambutan untuk orang
itu? Aku yakin dia tidak akan tertarik dengan undangan ini, Jean,”
“Ah kau belum tau ya? Kami sudah
mengajaknya dan dia mau ikut gabung kok,” Eren yang barusan lewat ternyata
menguping pembicaraanku dan Jean, ia pun langsung nyeletuk ikut nimbrung.
“Apa yang kau lakukan disini Jeager
(baca: Yeager)? Sana, kembali kemejamu!” usir Jean dengan tampang sebal.
“Aku tidak berbicara padamu, muka
kuda,” balas Eren.
“Dia
mau ikut?” ulangku, aku tak percaya mendengar kata-kata Eren. Karena menurutku
Levi pasti akan menolak ajakan stafnya.
“Oh ya, lebih tepatnya Mikasa yang
mengajaknya ikut..” seru Jean yang kembali sibuk membaca file ditangan kanannya
sementara tangan kirinya berada dipunggung kursiku.
“Bagaimana apa kau akan ikut?” tanya
Eren lagi.
Aku memikirkan cucianku yang sudah
menumpuk selama seminggu dan memutuskan untuk tidak ikut dalam acara kali ini.
“Hhh.. maaf sepertinya aku tak bisa.. hari ini aku harus lembur dan aku harus..”
“Kau selalu mengatakan hal yang sama..
kau akan mencuci pakaian lagi, kan?” potong Eren. “Ayolah ikut! Kau tau.. kami
hanya bisa mengandalkanmu kalau nanti semua orang mabuk,”
“Kali ini aku setuju dengan cecunguk
ini,” celetuk Jean, kata-katanya membuat Eren jengkel. “Lagi pula bos bilang,
dia mau ikut asalkan semua staf ikut pergi.. kurasa kau tidak ingin membuatnya
marah kan shitty horse? Aku akan menyiksamu kalau dia sampai menyuruh kita
membersihkan toilet tiap hari selama sebulan! Karena aku tidak ingin
melakukannya,” ancam Jean.
“Bulshit! Hal itu tak akan terjadi
horse face, dia tak akan mempermasalahkan ketidakhadiran satu atau dua stafnya..”
“Tck! Apa yang sedang kalian lakukan,
little shitty brat?” Suara dalam dan menekan itu langsung menghakimi kami dan
membuat semuanya panik. Levi muncul dari balik pintu kantornya dan kali ini
dahinya berkerut dalam dengan ekspresi dingin menghiasi wajahnya.
“Sampai kapan kalian akan mengobrol
dan bersantai? Tempat ini adalah kantor bukan pasar, idiot..” serunya lagi
sembari menatap kami bertiga. Eren dan Jean meninggalkanku dan ngacir ke
meja masing-masing. “(your name)/Lucy,”
“Ya, Sir?”
“Apa kau lupa membuatkanku secangkir
teh?”
“Ah, maaf sir.. baru saja aku akan
membuatnya.. sebentar,”
“Tsk..,” decaknya
sembari menutup pintu kantornya.
Segera kubuatkan secangkir teh hitam
yang biasa diminumnya, aku tak habis pikir hampir tiap hari dia selalu minum
teh padahal tadi baru saja dia menghabiskan cangkir keempatnya. Aku sedikit
khawatir dengan kebiasaan Levi yang sering mengonsumsi teh hitam jadi ku putuskan
untuk membawakan segelas air putih untuknya. Saat masuk kedalam ruangannya ia terlihat sedang sibuk mengamati layar komputernya.
“Ini
teh anda, sir,” kuletakkan cangkir teh dan gelas air putih itu berdampingan
disalah satu sudut meja Levi. Ia melirik dan mengernyitkan dahinya saat melihat
deretan gelas itu.
“Aku tidak minta air putih,” serunya
sembari terus mengetik.
“Minum air putih baik untuk kesehatan
anda, sir,”
“Hhhh.. apa kau sedang mencoba
mengajariku bagaimana cara hidup sehat, huh?” gumam Levi.
“Tapi anda perlu meminum ini, sir!
Terlalu banyak mengonsumsi teh juga tidak baik untuk tubuh anda lagipula ini adalah
cangkir teh anda yang kelima kan? Ginjal anda akan menderita.. minum sedikit air
putih tidak akan merugikan anda kan?”
Ia melirikku dari sudut lensa kacamatanya,
dengan wajah tanpa ekspresi dan suasana hening yang ada diantara kami, kini aku
telah siap mendengar kata-kata pamungkas yang akan ia lontarkan. “Tsk..”
decaknya pelan lalu melepas kacamatanya dan menaruhnya diatas meja. “Kau ini
berisik sekali..” gumamnya pelan. Aku melihatnya mengambil gelas air putih itu dan
meminum isinya sampai habis hanya dengan sekali teguk.
“Anda langsung menghabiskannya?” tanyaku
tak percaya.
“Kau menyuruhku meminumnya kan?”
tanyanya balik, ia meletakkan gelas itu dan bersandar pada punggung kursinya.
Aku mengiyakan kata-katanya dengan gugup namun perasaanku sangat senang karena
pertama kalinya aku membuatnya mengikuti permintaanku.
Ku ambil gelas kosong itu dan berniat
untuk permisi pergi karena tak ingin dia menatapku dalam diam seperti biasanya.
“Apa kau akan ikut pergi ke pesta bodoh yang diadakan anak-anak itu?”
“Ha?”
“Apa pertanyaanku kurang jelas, shitty
brat?”
“Ah, itu..” aku kembali teringat pada
kata-kata Jean, membersihkan toilet selama sebulan benar-benar bukan pilihan
yang bagus tapi aku sama sekali tak ingin terlibat dengan Levi yang mabuk dan
cucianku juga menungguku. “Hmm.. sepertinya aku akan lembur.. jadi.. mungkin
aku akan datang setelah pekerjaanku selesai,”
“Begitu.. baguslah..” ujarnya lagi
sembari meraih kacamata dan memakainya lagi. “Oh ya.. bukankah sudah kukatakan
padamu untuk memanggilku dengan namaku saja?” serunya sembari menatap layar
komputernya dan mulai bekerja lagi.
“Hmm, tapi anda..”
“Ku rasa aku sudah pernah
memberitahumu namaku kan?” tanyanya lagi sembari menatapku tajam. Sikapnya
kembali membuatku gugup. “Apa kau selalu bersikap tegang dan kaku seperti ini? Cobalah
untuk sedikit santai, sikapmu itu sangat membosankan dan menggangguku! Ini
perintah, kau tidak boleh bersikap seperti ini.. karena jujur saja aku merasa
tidak nyaman, kau mengerti?”
“Baik, sir!”
“Tck..” decaknya sebal, tatapan
matanya masih setajam silet dan ekspresinya masih sepahit kopi dan sedingin es.
Aku menghela napas dalam sebelum
akhirnya berkata.. “Baiklah... Levi..” gumamku pelan.
“Hmm, terdengar cukup bagus.. kita
akan terus membiasakan ini mulai sekarang,”
*
* *
Aku kembali melanjutkan pekerjaanku yang
tertunda dan menyetel musik agak keras karena situasi kantor saat itu sangat
sepi dan sudah kosong. Suara derit pintu yang terbuka dibelakangku kini menarik
perhatianku. Levi muncul dari dalam kantor dan ia menutup pintu kantornya
sambil membalas tatapanku. “Kenapa kau masih disini, shitty brat?” tanyanya
sembari membuka kancing teratas bajunya lalu menggulung setengah lengan
bajunya. Ia berjalan menuju toilet.
“Sebentar lagi aku akan selesai..”
gumamku pelan sembari mengecilkan volume musik yang ku setel, aku lupa kalau
bosku ternyata masih ada dalam kantornya. Ku lihat layar monitorku dengan
perasaan hampa dan dengan segera melanjutkan kembali pekerjaanku.
Levi muncul dari arah toilet
sambil mengelap tangannya dengan tisu, berjalan pelan menuju kantornya dan
menghentikan langkahnya ketika membuang tisu kedalam tempat sampah yang ada di
dekat mejaku. “Kau tidak menyusul yang lain?” tanyanya lagi.
“Hmm.. sebentar lagi setelah aku
mengirim file ini ke email anda, oh ya.. apa anda akan datang ke acara mereka?”
tanyaku ingin tahu.
“Entahlah, sebenarnya aku tidak berminat datang ke pesta seperti itu.. mungkin aku akan menelepon
mereka dan bilang tidak jadi datang karena urusan mendadak,”
Ku tatap Levi yang kini telah duduk
diatas mejaku sambil membaca sebuah berkas. Ia tak menyadari bahwa kata-katanya
membuatku merasa kesal padanya. “Tapi anda sudah janji pada mereka untuk datang ke pesta itu kan? Mereka pasti kecewa kalau anda tidak
datang, ah.. seharusnya anda menolak dari awal kalau memang tidak ingin datang
ke pesta sederhana seperti itu,” protesku.
“Tck..” decaknya pelan sambil meletakkan
berkas yang dibacanya tadi ketempatnya semula. “Cepat selesaikan pekerjaanmu,”
titahnya dengan ekspresi dingin dan berjalan menuju kantornya lagi.
* * *
Levi keluar dari ruangannya dengan
pakaian rapi, jas tersampir di lengan dan tas kulit bermerek tertenteng
di tangan satunya. Ia telah melepas kacamata kerjanya dan tampak lebih santai. Ia
berjalan pergi melewatiku tanpa mengatakan sepatah kata pun. Aku beranggapan
bahwa ia pasti merasa kesal dan tersinggung dengan kata-kataku tadi.
Pekerjaanku selesai sepuluh menit
kemudian dan hanya aku orang yang tersisa dalam kantor. Menyadari bahwa
teman-temanku telah ditipu oleh bos kami membuatku merasa kasihan pada mereka
karena telah bersusah payah mengatur pesta penyambutan, Levi justru
mengabaikan mereka. Dengan perasaan sedikit kesal ku kenakan mantelku dan
memasukkan semua barang penting ke dalam tas lalu bergegas menuju lift, ku pencet tombol menuju lobby dengan perasaan sebal.
Ku pilih jalur
jalan di sebelah kanan gedung kantor Trost, perlu berjalan sekitar lima belas menit sebelum sampai
di sebuah pub yang telah dipesan teman-temanku. Ku percepat langkah kakiku
karena hari telah semakin gelap dan cuaca juga semakin dingin, kini lampu-lampu
jalan telah menyala dan menerangi jalanan dengan cahayanya yang remang-remang.
Sebuah mobil metalik hitam yang ada
disebelahku bergerak mengiringi langkahku, dengan perasaan sedikit terganggu ku
telengkan kepalaku ke arah mobil dan wajah dingin itu langsung menyambut
tatapanku. Aku harus menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya siap mendengar
suara Levi.
“Masuk,” pintanya sambil membukakan
pintu dari dalam.
Kupikir aku harus menolak ajakan ini sebelum
akhirnya ku putuskan untuk masuk kedalam mobilnya. “Bukankah seharusnya anda
sudah pulang dan berada di rumah?” tebakku. Sementara aku memasang seat belt ia
pun kembali menjalankan mobilnya.
“Mh, seharusnya.. tapi aku berubah
pikiran, apa kau tahu dimana tempat mereka mengadakan pesta itu? Aku masih
belum mengenal daerah ini,”
Aku melirik Levi dari sudut mataku dan
sedikit tidak percaya dengan pernyataannya barusan. “Hmm.. lurus saja di depan
lalu belok di belokan itu,”
Levi mengikuti arahanku dan kembali
fokus mencari tempat yang akan kami tuju. Ku perhatikan isi dalam mobil itu
dan cukup merasa terkejut, aroma jeruk yang segar tercium oleh hidungku, tak
ada debu dan kotoran yang menempel dalam mobil, bahkan barang-barang yang ada
didalamnya tertata sangat rapi. Terlalu rapi untuk ukuran seorang pria pekerja
keras seperti Levi.
Tujuh menit berlalu dalam keheningan
hingga akhirnya mobil Levi masuk ke dalam basement parkir sebuah pub, ia
memarkir mobilnya dengan sangat rapi dan hati-hati. Kami pun keluar dari mobil.
“Kenapa anda berubah pikiran?” tanyaku lagi saat kami berdua berjalan
beriringan menuju lift.
“Sudah ku bilang jangan bersikap
formal, aku membencinya..” jawab Levi sambil menggulung lengan bajunya.
“Ah ya baiklah... aku masih belum
terbiasa, hmm.. Levi kenapa kau berubah pikiran?”
“Aku ingin sedikit bersantai,
lagipula aku ingin tahu apa yang anak-anak bodoh itu rencanakan,”
“Anak-anak?” ulangku sambil memicingkan
mata kearahnya dan berusaha menahan senyum, Levi melirikku dengan tatapan
tajamnya.
“Tck..
apa kau sedang meledekku?“ decaknya sebal, ia tahu bahwa aku sekarang sedang
mengejek tinggi badannya yang hanya 160cm untuk ukuran seorang pria dewasa.
Kami berdua masuk kedalam lift yang
kosong, aku mengirim pesan pendek pada Petra sementara Levi memencet tombol lift
menuju lobby. Keheningan menyelimuti kami sementara lift terus bergerak naik,
ketika pintu lift terbuka terlihat Petra telah menunggu kedatangan kami.
“Syukurlah kau datang!” bisik Petra
saat kami berjalan menuju tempat bersantai yang sudah dipesan khusus oleh Jean,
meja kami ada di dekat bar dan jaraknya juga cukup dekat dengan tempat dansa.
“Tapi bos, kenapa kalian berdua bisa datang berbarengan? Apa (y/n)/(Lucy)
menumpang mobil anda?” selidiknya. Levi menatap Petra sejenak.
“K-kebetulan kami bertemu diluar,”
jawabku cepat. Levi hanya diam menatap sekelilingnya dan tidak mengoreksi
jawabanku.
“Oohh!” gumam Petra sambil tersenyum
jahil ia menyenggol lenganku. Saat melihat kedatangan kami semuanya menyambut
gembira, Jean berdiri dari duduknya dan menarikku agar duduk di dekatnya Petra
juga memilih untuk duduk di sebelahku dan bos kami, Levi, duduk diantara Eren
dan Reiner.
Teman-temanku
bergerak menuju lantai dansa dan mulai bergerak mengikuti irama musik. Petra juga
mengajakku agar segera mengikutinya turun kelantai dansa, karena masih sedikit
lelah kuputuskan untuk menyusulnya nanti saja. Ternyata selain diriku masih ada
seorang lagi yang tidak berniat untuk berdansa. Ia sedang menatap kerumunan
orang dengan ekspresi dinginnya. “Kau tidak ingin berdansa?” tanyaku, berusaha
untuk berbasa basi dengan Levi.
Levi
mengalihkan pandangannya padaku dan terdiam sejenak sebelum menjawab.. “Tidak..
aku benci keramaian,”
“Oh,
tadinya kupikir karena kau tidak bisa berdansa,”
“Hmph..”
sekilas aku merasa melihat senyuman kecil di wajah Levi namun saat benar-benar
mengamatinya, ekspresi dingin itu tergambar lebih jelas diwajahnya. “Kau terlalu jauh menyimpulkan segala hal tentangku,”
“Sorry
kalau aku salah menafsirkanmu, hm kenapa kau tidak meminum wisky itu?”
“Aku
tidak suka minuman seperti ini,” jawabnya dengan ekspresi tegang di wajahnya.
“Oh,
sayang sekali disini tidak ada teh kesukaanmu, sepertinya kau cuma bisa minum
teh saja tiada hari tanpa teh..”
“Teh
lebih baik dari pada mabuk-mabukan, aku tak akan meminum minuman seperti ini,”
Tak
ku sangka akan mendengar hal ini dari mulut Levi, tapi.. ku rasa dia berhasil
membuatku terpesona dengan sikapnya. “Aku ingin berdansa, apa kau mau ikut?”
ajakku.
“Kau
saja.. aku akan menunggu disini,”
“Ayolah,
aku yakin kau adalah seorang pedansa yang sangat mahir,” godaku.
Ia
menatapku untuk beberapa saat sebelum akhirnya menghela napas panjang. “Pergilah
bersenang-senang dengan mereka, aku akan menunggumu disini,”
Menunggumu
disini? Apa aku salah dengar?
“Hmm,
okay.. bersantailah,” Aku meninggalkannya dan berdansa selama sepuluh menit
sebelum akhirnya memutuskan untuk berhenti dan duduk di kursi bar, tiba-tiba saja aku merasa tak
ingin duduk di dekat Levi.
“Kau
ingin minum apa nona?” sapa bartender pub itu. Aku menggeleng keras dan
menolaknya. Aku tidak ingin minum-minuman keras di tempat seperti ini, bahkan
seumur hidupku aku belum pernah meminumnya. Sepupuku adalah seorang peminum dan
setiap kali mabuk dia selalu bersikap diluar kendali, aku tak suka melihatnya
tapi meskipun begitu aku selalu bersikap toleran pada teman-temanku yang
minum-minuman keras.
“Hai,”
sapa seseorang yang tidak ku kenal.
“Oh,
hai..” balasku sambil menyunggingkan senyuman ramah.
“Aku
Daniel..” ujarnya sembari menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan.
“(y/n)/(Lucy)”
“Tidak
ingin berdansa?” tanyanya dengan nada setengah berteriak karena suara musik
yang sangat keras menenggelamkan suaranya.
“No..
Aku baru saja selesai berdansa,”
“Oh..
Lucy aku merasa pernah melihatmu disuatu tempat,” serunya sembari merangkul
pundakku. Sikapnya membuatku merasa tidak nyaman karena aku sama sekali tidak
pernah bertemu orang ini sebelumnya.
“Oh
ya? Mungkin kau salah orang, Daniel! Karena ini pertama kalinya aku melihatmu,”
balasku sembari menjauhkan tangannya dari pundakku namun ia kembali merangkul
pundakku.
“Kau
yakin? Karena aku merasa sebaliknya, hei Lucy.. boleh aku minta nomor
teleponmu?” tanyanya lagi berusaha menarikku agar merapat dengannya.
“Sorry
Daniel, aku harus pergi,” tolakku sembari melepas rangkulannya dan berjalan
cepat menuju toilet. Namun Daniel masih mengikutiku dan masih mengajakku
bicara, karena tidak menghiraukannya sama sekali ia pun merasa kesal dan
menarik lenganku hingga aku berbalik dan menghadap padanya.
“Levi?”
gumamku dengan napas terengah karena ketakutan. Wajah penuh ekspresi dingin itu
sedang menatapku tajam.
“Hei,
bung apa yang kau lakukan pada nona ini?” Daniel yang sudah setengah
mabuk akhirnya muncul di hadapan Levi.
Levi
merangkulku dan setengah memelukku, aku bisa melihat wajahnya dengan jelas
karena tinggi kami berdua hampir sama. “Dia kekasihku, apa kau memiliki masalah
dengannya, bung?” jawab Levi dengan intonasi datar.
“Hoo
ya?” Daniel terkekeh sembari mencibir Levi. “Lucy.. pria cebol ini mengaku
kalau dia kekasihmu, kau yakin ingin bersama si cebol ini?” tanya Daniel
sembari menatapku.
“Maaf
Daniel, kami harus pergi,” jawabku sembari menarik tubuh Levi agar bergerak dan
mengikutiku. Kata-kata Daniel terlalu menusuk dan sangat menyinggung perasaan.
“Tck,
kau ini idiot ya? Kenapa malah berkenalan dengan pria tidak jelas semacam itu?
Bagaimana kalau aku tidak ada disana?” omelnya sembari melepas rangkulannya
ketika kami berjalan ke arah meja kami.
“Makasih
sudah menolongku,” ucapku, namun Levi hanya membalasnya dengan decakan lidah
dan ia mengambil posisi duduk tepat di sebelahku.
“Kau
darimana saja?” tanya Sasha.
“Toilet,”
jawabku sambil tersenyum lebar.
“Apa
semuanya sudah berkumpul?” pekik Connie. “Ayo kita mulai permainan yang sudah
dibuat susah payah oleh Jean,” ternyata Jean telah memesan beberapa botol wisky
dan ia juga telah menyiapkan beberapa permainan untuk kami. Ia menyebutnya
sebagai permainan untuk mengakrabkan diri.
“Aku akan menjelaskan permainan ini
terlebih dahulu,” ujarnya mulai menjelaskan, ditangannya ada sebuah mangkuk kaca yang
berisi kertas kecil yang telah di lipat dan dicampur dengan serbuk sterofoam. Ia menunjukkan wadah itu kepada kami.
“Aku telah menulis beberapa hukuman dalam gulungan kertas ini, permainannya juga
sangat mudah..” Jean menghentikan penjelasannya dan mengambil sebuah botol
minuman yang telah kosong, ia meletakkan botol itu dengan posisi terbaring di
atas meja. “..kita akan mendapat giliran masing-masing untuk memutar botol ini,
setelah melakukan suit ‘gunting, batu, kertas’ yang kalah harus mengambil
kertas yang ada dalam wadah dan menerima hukuman yang tertulis didalamnya, kita
akan menunjuk tiga orang penantang pertama dengan memutar botol ini,”
“Apa hukuman yang sudah kau tulis,
Jean?” gumam Ymir dengan sikap dinginnya. Disebelahnya duduk Christa yang
sedang fokus mendengarkan Jean.
“Kalau kukatakan sekarang permainan
ini tidak akan menyenangkan lagi,” jawab Jean.
“Paling-paling kau membuat hukuman
yang tidak masuk akal seperti sebelumnya..” gumam Annie. “Aku ingin tahu otakmu
itu terbuat dari apa sih sebenarnya,”
“Shut Up Annie!” geram Jean. “Setidaknya
aku menggunakan otakku untuk berusaha menghidupkan suasana pesta ini,”
“Hmm, yaaahh.. kau memang yang
terbaik, Jean..” cibir Reiner.
“Sebaiknya permainannya kita mulai
saja sekarang sebelum bos merasa bosan..” gumam Christa.
“Oke sebelum mulai kita harus suit
gunting, batu, kertas dulu..” tambah Jean sambil mempersiapkan botol yang akan
di pakai sebagai penunjuk.
“Bos, apa anda akan ikut bergabung
dalam permainan ini?” tanya petra. Semua orang menatap Levi yang masih terdiam
membisu dengan tangan terlipat di dada.
Ia menghela napas panjang dan memperbaiki
duduknya. “Aku ikut...”
*
* *
“Ahahahaha! Seperti biasa dia selalu
mendapat sial!” pekik Jean senang.
“Gimana Chris? Tebakanku benarkan?”
pekik Ymir sambil merangkul Christa.
“Berhentilah menertawakan dia,” gumam
Chris.
“Ayo (y/n)/Lucy cepat ambil kertas
yang ada dalam mangkuk kaca itu, pastikan kau tidak mengintip tulisannya,” seru
Reiner dengan senyuman lebar menghiasi wajahnya.
“Sebaiknya kau memilih kertasnya sehati-hati
mungkin,” celetuk Annie.
“Hati-hati? Ini cuma permainan Annie
bukan medan perang,” gumam Armin menjawab celetukan Annie.
“Medan perang? Bocah.. kita hanya
sedang bersenang-senang,” gumam Jean. “Ayo shitty horse, ambil kertas
pilihanmu..”
“Calm down Jean..” gumam Petra.
“Bisa kalian hentikan ocehan itu, dia tampak ketakutan setengah
mati..” tambah Mikasa.
“Apa akan sama seperti tahun lalu?” celetuk
Eren sambil tersenyum lebar. "Ku harap dia sedikit berubah,"
“Tenanglah, aku akan mengambilnya,”
jawabku tenang.
Aku hanya bisa menanggapi komentar
semua orang dengan ekspresi tenang, meskipun merasa sedikit kesal dengan Jean
karena membuat permainan ini namun tanganku tetap masuk ke dalam mangkuk kaca dan mengaduk pelan isinya. Memilih
kertas mana yang akan ku ambil dan ku harap Jean tidak membuat tantangan yang
aneh-aneh.
Di tanganku sudah ada secarik kertas
yang masih terlipat rapi, ku serahkan kertas itu pada Jean agar dia bisa
membacakannya. Jean membaca tulisan di kertas itu dan ia memekik lagi. Senyum
lebar menghiasi wajahnya. Ia memperlihatkan isi tulisan itu pada semua orang. “Guys!!
French kiss untuk dua orang yang beruntung!!!!” pekiknya girang.
“Oh shit,”
“Wow!! Kau benar-benar menulis ini
Jean?!!” pekik Reiner dan Armin bersamaan.
“Are you okay?” tanya Petra padaku. Aku melihat
ekspresi khawatir di wajahnya.
“I will kill him,” gumamku.
“Kalau tidak mau kau bisa..”
“Ini kan cuma permainan,” Annie
bergumam pelan tapi aku bisa mendengarnya diantara riuh bahagia para cowok. “Jangan
terlalu dibawa perasaan,” mendengar kata-kata ini darinya seperti mendapat pukulan telak dari sebuah palu raksasa. Harusnya aku yang mengatakan hal itu padanya.
“Jangan senang dulu,” celetuk Mikasa.
“Dia nggak akan mau melakukannya, apa kalian lupa kejadian tahun kemarin?”
tambahnya.
Seketika semuanya kembali terduduk
tegang. “Bukankah kau sudah setuju ikut permainan ini, kau harus melakukan tiap
tantangan yang di berikan,” gumam Connie.
“Kau bilang begitu karena kau berharap
botol itu memilihmu sebagai pasangan ciuman (y/n)/Lucy kan?” tebak Sasha.
“Siapa bilang! Aku tidak tertarik
dengan hal itu!” pekiknya lagi.
“Benarkan dugaanku, dia memang
mengincar posisi itu,” gumam Sasha pada Reiner yang duduk di sebelahnya.
“Sejujurnya aku juga menginginkan
posisi itu,” tambah Reiner dengan senyum merekah diwajahnya.
“Oh, dasar mesum,” gumam Sasha.
Aku nggak akan pernah melakukan hal
ini! Bulshit dengan semua cemoohan anak-anak ini, aku akan menolak rencana brutal
Jean dan membunuhnya diam-diam besok pagi. Secangkir kopi beracun terdengar
cukup menarik untuk menjadi hidangan terakhir dalam hidupnya.
“Sampai
kapan kau mau berpikir? Mereka terus mengolokmu,” gumam Levi dengan tampang
bosan. “Kau akan melakukannya atau menolaknya?”
“Aku
nggak akan melakukannya, Jean memang sinting..” aku hanya bisa tersenyum miris
ketika menjawab Levi.
“Sudah
kuduga kau memang pengecut,” tambah Levi.
Ku
telengkan kepalaku pada Levi dan menatapnya tajam. “Apa maksudmu? Aku
memang menolaknya tapi bukan berarti aku pengecut..”
“Oh,
begitukah.. katakan saja kau menolaknya supaya kita bisa menyelesaikan
permainan bodoh ini,” gumam Levi lagi sambil menyandarkan tubuhnya pada
punggung sofa. “Seharusnya aku memang tidak datang kemari kupikir aku bisa
sedikit bersantai malam ini, tapi tampaknya aku hanya buang-buang waktu,”
Entah
apa yang Levi pikirkan tapi aku membenci kata-katanya. “Kau benar, aku memang
seorang pengecut,” gumamku lalu meraih botol yang ada ditengah meja dan
memutarnya, semua orang langsung terdiam melihatku yang sedang sibuk mengigit
bibir.
Botol
yang berputar itu akhirnya berhenti dan menunjuk Armin. Para cowok bersorak
sorai sambil menepuk punggung Armin yang terdiam dengan tampang kaget. Aku
berjalan mendekati Armin dan menarik tangannya agar berdiri lalu mencium cepat
bibir mungilnya yang dingin. Para pria kecuali Levi, kini terkekeh senang. “Dia
tidak bergerak,” ledek Reiner.
“Jangan
menggigit bibirnya (y/n)/Lucy!” pekik Jean.
“Apa
kau menghisap darahnya sampai habis? Armin benar-benar pucat!” tambah Connie.
Ciuman
itu berlangsung selama lima detik dan aku bisa melihat Armin masih berdiri
mematung. “Are you okay?” tanyaku bingung sambil menggigit bibir karena
khawatir. Armin menatapku dan mengangguk pelan lalu perlahan kembali duduk
sementara yang lain kembali terdiam dengan ekspresi tegang.
“Ayo
(y/n)/Lucy arahkan botol itu padaku!” seru Reiner. Dasar cowok mesum pshyco.
Jean
terlihat sangat tegang saat memperhatikan botol yang kini telah berputar lagi.
Connie juga terlihat serius. Botol ini bisa saja berhenti dan menunjuk sosok
teman-teman perempuanku, atau... bisa saja botol itu akan mengarah pada Levi
yang sedang duduk diam dan tidak bereaksi sama sekali. Ku harap botol itu tidak
mengarah padanya.
Botol
itu berhenti dan menunjuk... Eren.
Aku
bisa melihatnya, Mikasa tampak langsung membeku dan mematung di tempat duduknya. Sementara
wajah Eren justru memerah padahal aku belum mendekatinya. Shit, Mikasa
akan membunuhku. Entah kenapa aku melihat Jean terpaku ditempat duduknya. Rencana
ini benra-benar tak terduga dan sangat menguntungkan Jean. Sebagai sahabatnya mungkin aku bisa
memberinya sedikit ruang dan kesempatan untuk mendekati Mikasa. “Apa kau yakin?”
tanya Eren saat kami berdua berdiri berhadapan, aku harus mendongak saat menatapnya.
Karena tubuhku hanya setinggi 158cm sementara tinggi Eren 170cm.
“Make
it fast..” gumamku padanya.
Eren
menyentuh daguku dengan jari-jarinya lalu bibirnya dengan cepat menghujam
bibirku. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran Eren, tapi aku bisa melihat
matanya terpejam saat menciumku dan ciuman itu.. sangat lembut. Apa dia
menikmati permainan ini? Ku harap Mikasa tak akan membunuhku karena tampaknya
ia telah siap melakukannya.
Sepuluh
detik berlalu, Eren menghentikan ciumannya dan tersenyum lembut. Akhirnya permainan
itu berakhir, aku nggak akan pernah mau melakukannya lagi. Selamanya. “It’s
really good.. sweet lips,” bisik Eren sebelum aku kembali ketempat dudukku.
* *
*
“Tak ku sangka kau akan meminum semua
bir itu, bukankah kau bilang tidak mau minum? Tck.. kenapa sekarang kau malah
mabuk berat?” Dengan langkah pelan ku bopong tubuh Levi di pundakku. Tak ku
sangka dia akan mabuk malam ini. Padahal dia menolak minum wisky tapi kenapa
tiba-tiba saja dia jadi meminum semua wisky yang dituang untuknya. Moron.
“Aku... tidak mabuk... idiot!”
“Hhhhh... katakan itu pada dirimu
sendiri idiot,” gumamku membalasnya. Ku buka pintu mobilnya dan mendudukkan
Levi di kursi depan. Ia terlihat sangat mengenaskan dan bau minuman keras itu
menguar kuat dari tubuhnya. “Calm down, aku akan pasangkan seat beltmu,”
kutarik seat belt itu dan memasangkannya di tubuh Levi.
“(y/n)/Lucy..” panggilnya.
“Hmm?” Levi menyentuh kepalaku dan
meletakan bibirnya di bibirku. Bau minuman keras memenuhi hidungku saat Levi
menciumku, lidahnya menerobos masuk bibirku dengan cepat. Ini adalah deep kiss
pertama kami. “Stop it, idiot!” Ku dorong tubuh Levi hingga tubuhnya terhempas
di punggung kursi dan melap bibirku dengan perasaan kesal.
“Lucy are you okay?” sapa Sasha yang
baru saja muncul dengan Reiner, Jean dan Connie yang mengikutinya sambil berjalan
sempoyongan dan berbicara tak jelas satu sama lain. Mikasa terlihat membantu
Eren yang juga sedang mabuk.
“Yeah... I’m okay,”
“Supaya tidak terlalu repot antar saja
mereka ke rumah Jean lalu kau bisa mengantar bos pulang,”
“Yeah okay, sounds good..”
* *
*
0 comments:
Post a Comment