Precious
Devil
Karakter : Jumin Han (Mystic Messenger) x Reader
Genre : Smut, Mature, Romance
Bahasa : Indonesia English Mix
Gambar : Credit to Cheritz
PS : Don’t take it serious,
cerita ini mengambil latar diluar negeri jadi mohon kebijaksanaan reader chan.
:3
Prev Part 3 <<
Part 4
Perlahan jari-jari
Jumin menyentuh kulit wanita itu, ia pun merintih kesakitan ketika merespon sentuhan Jumin. Dalam hati
Jumin merasa jantungnya seolah jatuh dari tempatnya, hasratnya pun telah
bangkit.
Wanita itu
menatapnya dengan raut wajah penuh permohonan, rintihan kecil keluar dari bibir
mungilnya entah mengapa dalam hatinya, Jumin merasa senang namun disisi lain ia
juga merasa bersalah. Tatapan dan rintihan erotis itu membuat Jumin menelan
liurnya dengan susah payah. Ia pun mendekatkan wajahnya pada wanita itu dan
mencium bibir ranumnya.
Terasa manis dan
menggairahkan, Jumin tak bisa menahan dirinya lagi karena saat disadarinya ia
telah melahap bibir lembut nan manis itu dengan penuh hasrat. Apalagi saat
wanita itu mulai membalas ciumannya dan mencengkeram rambutnya, menyentuh kulit
nya dengan jari-jari yang panas. Sesuatu dalam perutnya bergejolak hebat.
Pertama kalinya ia
merasa seperti ini pada seseorang.
Kimono yang
dipakai Jumin melorot sampai pinggangnya, bibir keduanya saling bertautan,
pertama kali Jumin benar-benar mencium bibir seorang wanita, ia sering
melihatnya dibeberapa film saat sedang bersantai di kondominium pribadinya,
atau ketika pesta di luar negeri berlangsung dimana orang asing dengan
santainya berciuman didepan umum.
Namun ini pertama
kalinya bagi Jumin, ia baru tahu jika rasanya ternyata sememabukkan ini dan ia
sangat menyukainya perasaan ini, lidahnya menerobos masuk bibir ranum itu,
menjilat, menghisapnya dan ciuman itu diakhiri dengan tarikan napas yang dalam
dan menyesakkan dada keduanya.
What the hell was
happening?
Jumin gemetar saat
menatap wajah wanita bersemu merah yang ada dibawahnya.
“Apa kau sudah
merasa lebih baik, huh?” gumam Jumin pelan, entah kenapa ia ingin sekali
mengerjainya. Ia tahu tentu saja ciuman adalah awalan yang sangat buruk jika
berada dalam kondisi berhasrat seperti ini, jangankan orang yang terkena
pengaruh obat bahkan dia yang masih waras saja tak mungkin merasa cukup lalu ingin
berhenti.
Jari-jari panas
itu kembali menyentuh dada Jumin lalu perlahan bergerak menuju Kimono yang
masih menutup sebagian tubuh indahnya.
Jumin tersenyum
“Ah... I know you want it...” bisiknya pelan, “...aku akan segera memberikannya
padamu... bersabarlah,”. Jumin beranjak diatas kasur memperbaiki posisinya dan
dengan rasa percaya diri yang tinggi ia melepas Kimononya dan melemparnya asal,
kimono itu jatuh teronggok diatas lantai.
****
“S-sakit!!”
Rasa sakit itu
menjalari tubuh bagai disengat listrik bertegangan tinggi. Terasa perih luar
biasa namun hangat didalam sana saat Jumin menusuk masuk miliknya. Air mata mengalir
dari sudut mata dan isakan itu tak mau berhenti. Wajah Jumin dihiasi rasa kaget
luar biasa, ia tahu akan mendapat reaksi seperti ini, namun melihat wanita itu
terisak di bawah sana membuat ia jadi merasa setengah hati untuk
melanjutkannya.
“A-are you okay?”
tanyanya berusaha terdengar tidak panik. Meskipun hasratnya telah sampai
diubun-ubun ia memutuskan untuk tidak melanjutkannya, jika ini memang sangat
menyakitkan. “Sorry! I’m gonna stop now...”
Genggaman kuat
jari-jari mungil dilengan Jumin membuatnya terkesima. Ia menatap nya lagi,
menimbang-nimbang karena ragu namun kemudian ia teringat lagi, ini bukan untuk
kepuasan pribadinya... wanita ini membutuhkannya.
Tubuh yang panas
dan basah oleh keringat yang ada dibawahnya menggeliat tak sabar. Membuat Jumin
berusaha setengah mati untuk mengontrol dirinya, jepitan dinding-dinding basah
dan panas itu mencengkeram miliknya sampai membuatnya ngilu, ia merasa pusing
jika tak segera menggerakkannya.
Tanpa menunggu
lama, Jumin kembali melumat bibir basah yang ranum dan manis itu dengan lahap,
perlahan ia menggerakkan pinggulnya, menusuk keluar masuk dengan ritme yang
lambat, ringan dan terkontrol.
This is bad...
rutuknya dalam hati.
“(Name)...hhhh...
a-aahh...” gumam Jumin samar berusaha menahan desahannya.
Tak ada sahutan,
sebagai balasannya hanya rintihan dan erangan erotis yang menghiasi gendang
telinganya. Entah kenapa berciuman sambil menggerakkan pinggulnya membuat Jumin
merasa sangat senang. Tubuhnya yang basah oleh keringat dipeluk erat-erat dan
desahan itu terdengar jelas ditelinganya membuatnya sangat bergairah.
Ia tak boleh
kalah! Pikirnya, bukan dia yang membutuhkan bantuan tapi wanita inilah yang
membutuhkannya, ia harus bisa bertahan sampai si wanita merasakan kepuasan yang
ia cari sejak tadi.
“A-I wanna...”
Mendengar suara
itu adalah pertanda bagi Jumin, ia pun mulai bersemangat memompa pinggulnya
dengan ritme yang lebih cepat.
“Come on babe...”
rintih Jumin. “Come on... you can do it...”
Ia bisa merasakan
bahwa tak hanya dirinya yang sedang bekerja keras, ia merasakan pinggul mungil
itu juga mempercepat ritmenya sendiri. Kini ia bisa berkonsentrasi dengan
kepuasannya, karena cengkraman kuat dan panas dibawahnya itu sudah tak bisa
diajak kompromi. Ia sudah siap meledak, hanya tinggal menunggu saat yang tepat.
“A-aahhh!!!”
Lengkingan
kepuasan itu memenuhi ruangan, Jumin menatap pemandangan dibawahnya dengan
perasaan lega luar biasa, tanpa ragu ia pun meledakkan dirinya jauh kedalam
sana, ia merasakan pijatan ekstrim dibawahnya dan ia pun melenguh puas. Menarik
napas dalam-dalam, mencoba mengontrol jantungnya yang berdentum tak karuan.
Jumin tersenyum
manis saat melihat raut wajah wanita itu, ia pun mencium keningnya dengan penuh
perasaan hangat yang tak pernah ia sadari, bahwa ternyata selama ini ia
memiliki perasaan seperti ini.
“(Name)...”
Jumin berpikir
bahwa ini telah berakhir, ia tak boleh meminta lebih dari ini meskipun ia
merasa masih sanggup melakukannya hingga tiga sampai lima kali. Perlahan ia
membaringkan tubuhnya disisi wanita itu.
Namun ternyata...
tidak hanya dia yang berpikir bahwa ini belum berakhir. Pengaruh obat yang
sangat keras itu tak cukup ditaklukkan hanya dengan sekali permainan saja. Ia
menyadarinya saat jari-jarinya mungil itu menyentuhnya dibawah sana dan ia pun
kembali mengeras dengan sangat cepat.
****
“Mr. Han...” Jaehee masuk ke dalam ruang kantor Jumin, ada beberapa berkas dalam
pelukannya. “... ini berkas-berkas yang harus anda tanda tangani,”
Jumin yang sedang
melamun sambil menatap bangunan diluar kaca transfaran itu tidak langsung
menoleh pada Jaehee, ditangannya ada segelas wine dan di meja tamu ada
sebotol wine yang isinya sudah tinggal setengah.
“Mr. Han? Anda
tidak berencana untuk mabuk di siang bolong kan? Setelah ini masih ada beberapa
rapat yang harus anda hadiri,” tegur Jaehee lagi. Jumin balik menatapnya dengan
tatapan tajam dan dingin lalu setelah itu menyeruput gelas wine yang ada
ditangannya.
“Sejak kapan kau
jadi cerewet seperti ini asisten Kang?” tegur Jumin lalu menaruh gelasnya diatas
meja kecil lainnya dan berjalan santai menuju meja kerjanya.
Jaehee menarik
napas dalam-dalam. Ini bukan pertama kalinya ia cerewet hampir setiap saat ia
selalu berargumen dengan bosnya, jadi kata-kata itu hanya ibarat angin lalu
bagi Jaehee.
“Mr. Han anda
sudah melewatkan rapat pagi yang diadakan di perusahaan N dan datang sangat terlambat
ke kantor, ini tidak seperti anda yang biasanya tidak suka melewatkan segala
sesuatu dan ingin semuanya perfek. Saya bisa memahami jika anda sakit... tapi
saya tak percaya anda akan menggunakan alasan ‘aku baru saja menemukan seekor
kucing manis yang butuh pertolongan medis dariku’, saya jadi harus mengcover anda
dengan alasan yang lebih baik dari itu,”
“Maka dari itu aku
mempekerjakanmu aisten Kang, aku suka cara berpikirmu dan tindakanmu yang
gesit, berkat hal itu perusahaan N masih mau melanjutkan kontrak dengan
perusahaan ini, benar kan?” gumam Jumin cuek sambil terus menandatangani
berkas.
Jaehee merasa
kesal, tapi ia tak bisa menjawab, perkataan bosnya ada benarnya juga. “Mr Han,
satu jam lagi akan ada rapat bersama...”
“Asisten Kang...”
potong Jumin. Jaehee langsung terdiam dan berdiri kaku ditempatnya. “Tolong
batalkan semua pertemuan hari ini, cek ulang jadwalku dan tukar pertemuannya di
lain hari...”
Jaehee terkesima,
ini pertama kalinya bosnya mengatakan ‘tolong’ padanya. “Tapi... dalam sebulan
ini jadwal anda sudah sangat penuh...”
“Aku punya urusan
penting...” Jumin menutup lagi ballpointnya dan membiarkan Jaehee mengurus
berkas-berkas yang setengah terhambur itu. “Aku harus pergi menemui Dr.
Choi...”
“Apa anda
benar-benar sakit Mr.Han?”
“Ya begitulah. Kurasa
aku sedang sakit, aku bahkan tak bisa berhenti memikirkan kucing manis itu...”
“Anda tidak sedang
bercanda kan...”
“Ah, bagaimana
dengan temanmu (Name)!! Apa dia sudah datang?” potong Jumin lagi, kali ini ada
nada excited dalam suaranya.
Jaehee menggeleng
pelan sambil memeluk berkas-berkas di dadanya. “Tampaknya hari ini dia tidak
bisa ke kantor, dia menelepon dan meminta ijin untuk tidak masuk hari ini.
Sepertinya dia sedang sakit dia bahkan menolak niat saya untuk menjenguknya”
Jumin mendesah
pelan. Wajar saja... gumam Jumin dalam hatinya.
Wajar saja, jika
dia tidak ingin ditemui... aku sendiri tak menyangka kami akan melakukannya
sampai delapan kali dan malam itu dia benar-benar tak bisa membuatku lepas
darinya.
Jumin
memijat-mijat dahinya pelan dengan mata yang masih tertutup, ada semburat merah
di wajahnya. “Apa anda baik-baik saja tuan? Jika ada yang ingin disampaikan aku
akan menyampaikannya pada (Name)...”
“Tidak perlu...
cukup batalkan saja pertemuannya, apa masih ada berkas lain yang harus kutanda
tangani?” tanyanya sambil beranjak lagi menuju meja kecil didekat kaca
transfaran. Ia mulai mengisi gelas itu dengan wine lagi.
Jaehee merasa ada
yang tak beres dengan tingkah bosnya, ia tampak galau sekali hari ini.
“Semuanya sudah ditanda tangani, aku akan mengatur ulang jadwal anda dan
menelepon Dr. Choi agar dia tahu anda akan pergi menemuinya,”
“Terima kasih,
asisten Kang,” gumam Jumin pelan lalu menatap Jaehee yang beranjak pergi
meninggalkannya.
Jumin menyeruput
lagi gelasnya dan menatap keluar jendela dengan pandangan nanar. “Setelah semua
yang terjadi... kau bahkan tidak ingat bahwa kita sudah melakukannya malam itu.
Padahal kau yang memulai lebih dulu, bukankah itu sangat keterlaluan...
(Name)?”
****
Tadi
pagi...
Suara alarm yang
berisik itu membuatku terbangun namun entah kenapa kepalaku pusing luar biasa
dan seluruh badan ini terasa sakit seperti habis dipukuli oleh banyak orang.
Bahkan ingin menggerakkan tangan untuk mencapai ponsel yang tergeletak diatas
meja tidur itu pun aku tak mampu, tubuh ini terasa sangat berat seperti ditimpa
oleh benda besar.
“Ngghh...”
Berusaha bangun
dengan kepala pusing lalu meraih ponsel yang berisik itu dan mematikan
alarmnya. Aku tak ingat apa yang sudah kulakukan hingga kepala dan tubuhku jadi
sakit semua seperti ini.
Pagi itu ada
pemandangan yang berbeda... ternyata semalam aku tidak tidur di dalam kamar
apartemenku. Ini pertama kalinya aku melihat ruangan serba putih ini... apa
yang terjadi semalam?
“Mhhhh...”
Suara itu
mengagetkanku dan tubuhku tiba-tiba saja dipeluk oleh seseorang dengan sangat
kuat, tidak, sebenarnya ia sudah memeluk bagian pinggangku sejak tadi namun aku
terlalu sakit untuk menyadarinya.
Jantungku berdebar
sangat cepat saat menoleh padanya, ia sedang tertidur disisiku sambil
memelukku, rasanya jantungku mencelos sampai kaki saat kulihat wajah Jumin
sedang tertidur damai tanpa mengenakan pakaian yang pantas.
Kenapa Jumin tidur
disini? Kenapa dia tak memakai pakaian? Pikiran dan pertanyaan itu berkecamuk
dalam otakku yang sakit. Aku tak ingat apa yang sudah terjadi. Detik berikutnya
akupun sadar, aku juga tak memakai pakaian.
Dimana pakaianku?
Dengan perasaan
panik perlahan kubuka selimut yang menutupi setengah tubuhku dan aku pun
mengerti dari mana rasa sakit itu berasal. Apa yang sudah kulakukan pada Jumin?
Apa yang terjadi?
Ada rasa cekat
didadaku yang menyesakkan, tapi fakta bahwa semalam aku bermain bersama Jumin
tak bisa kuhapus begitu saja, sayangnya aku tak begitu ingat apa yang terjadi
dan aku kecewa kenapa dia melakukannya saat aku tak bisa mengingat apapun.
“Hey...” tegur
Jumin. Suaranya lagi-lagi membuat jantungku seolah jatuh sampai kaki. “Kau
sudah bangun rupanya...” sapanya lalu bangkit dari tidurnya dan mencium bahuku
lembut. “Bagaimana tubuhmu apa kau sudah ba...”
“Jumin!” potongku
cepat. “A-aku harus pergi...”
“Hah?! Sekarang?!”
Mencoba menjauh
dari Jumin aku pun menarik selimut yang menutupi kami berdua dan turun dari
kasur. Sayangnya hal itu justru memberiku pemandangan yang tak akan bisa kulupakan
seumur hidup (mungkin). Jumin tampak santai meskipun tubuh full naked-nya terekspos
jelas, ia beranjak dari kasur dan meraih celana tidur yang teronggok di lantai
lalu memakainya begitu saja.
“Ya, aku sudah
terlambat berangkat ke kantor, aku membutuhkan pakaianku yang biasa,” jawabku.
Jumin menatapku
sambil berkacak pinggang.
“Tak bisakah kau
libur saja hari ini?”
“Aku cuma pegawai
biasa Jumin!” jawabku. “Aku bukan bos sepertimu, aku tak bisa seenaknya
mengambil libur,”
“Tak perlu
khawatir, kau bekerja di perusahaanku...”
“Tidak bisa!”
potongku lagi. Tak berani menatap Jumin, wajahku sudah terasa semakin panas,
aku tak ingin ia melihatku seperti ini.
Ia tampak malas
menanggapiku namun berjalan cepat menuju pintu, tubuh atasnya yang tidak
tertutup pakaian entah mengapa menarik perhatianku. “Pelayan!!” panggil Jumin
saat sudah berada dipintu kamar yang terbuka, tak lama kemudian beberapa
pelayan muncul dan ia mengatakan permintaannya pada mereka lalu kembali masuk
kedalam kamar, tepat saat aku baru saja memakai kimono tidur yang teronggok
diatas lantai.
“Tinggallah untuk
sarapan, oke? Aku sudah meminta mereka menyiapkannya untukmu...” gumam Jumin,
ia langsung memelukku yang sedang membelakanginya. Namun reaksiku rupanya tak
seperti yang ia harapkan, ia tampak kaget saat aku berjengit dan menjauh
darinya.
“What’s wrong?”
tanyanya bingung.
“a-I don’t know...
sorry I just... confused,”
“Confuse??”
ulangnya dengan dahi berkerut. “About what... what do you mean?” tanya Jumin,
ia tampak sangat serius.
Aku menatapnya
gundah untuk sesaat, rasa sakit dibawah sana ketika aku bergerak dan bercak merah dikasur itu memberitahuku
dengan sangat jelas apa yang sudah terjadi. Tapi aku sama sekali tak bisa
mengingat apapun, apa yang sudah kami lakukan dan kenapa aku melakukannya. Apa
aku sangat mabuk malam itu? Apa kami berdua melakukannya karena sama-sama
terbawa suasana dan menginginkannya?
“Aku... aku tidak
ingat apa yang sudah terjadi...”
Tok tok tok...
cklek...
Ketukan di pintu
itu membuyarkan kata-kataku, pelayan-pelayan itu masuk ke dalam kamar dengan
baju-bajuku. Jumin menatapku sesaat dan entah kenapa ia tampak terluka sekali.
“Jadi kau tidak
ingat? Huh?” gumamnya dingin lalu beranjak mendekatiku dan menarikku kesisinya,
ia tak ragu sedikitpun meskipun para maid sedang berada diruangan yang sama
bersama kami.
“Ju-Jumin!! What
are you do...mmhh...”
Ciuman kasar itu
mendarat dibibirku, ia melumatnya tanpa ampun dan lidah yang hangat dan basah itu memaksa memasuki rongga mulut untuk
meminta persetujuan lawannya. Tak bisa menolak kekuatan yang sangat besar itu,
aku malah menikmatinya seolah lidah Jumin telah terbiasa berada didalam rongga
mulutku.
“Jumin...
please... stop,”
Ia melepaskan
tautan bibir kami dan menarik napas panjang-panjang, wajah kami sudah panas dan
semerah tomat. Aku merasa sangat malu pada para maid, aku tak mengerti apa yang
sedang Jumin coba lakukan.
“Kau masih tidak
ingat?” tanyanya lagi.
Aku mendorongnya
dan mendekati para maid, mengambil bajuku lalu meminta mereka pergi. Dengan
sekali instruksi mereka pun segera keluar dari kamar putih itu. “Jumin maaf aku...”
“Aku akan meminta
maid mengantar makananmu kesini,” potong Jumin lalu beranjak menuju pintu. “Aku
tak akan mengganggumu, silakan ambil waktumu sendiri dan anggap saja tempat ini
seperti rumahmu. Kita bisa membicarakannya nanti saat perasaanmu sudah lebih
tenang oke? Kalauu ada sesuatu yang kau butuhkan panggil saja para maid dan kau
bisa menemuiku kapan pun kau mau. Aku juga akan bersiap, selamat pagi (Name),”
Terdengar suara
pintu tertutup dan pandanganku terpaku pada piyama satin putih yang teronggok di
lantai. Dengan perasaan sakit kupungut piyama itu dan memeluknya. Kenapa aku
jadi bingung sekali? Teman-temanku bahkan pernah tidur dengan strangers yang
baru mereka temui di bar bukankah aku sedikit beruntung? Karena aku tidur
dengan temanku sendiri yang seorang bos ditempatku bekerja?
****
“Jadi itu yang
membuatmu galau hingga menghabiskan sebotol wine sendirian? Kau lumayan juga,
masih bisa bicara normal meskipun sudah minum sebanyak itu..” puji Dr. Choi,
bukan lebih tepatnya ia sedang mengejek Jumin.
“Setidaknya wine
membuatku berpikir jernih...”
“Itu menurutmu...
pada kenyataannya hal itu justru bekerja sebaliknya, kau beruntung karena kuat
minum saja...” Jumin terdiam di kursinya, masih memikirkan pembicaraannya
barusan dengan Dr. Choi. “Sudahlah lupakan saja, seharusnya masalah itu tidak
menjadi hal besar untukmu... kau melakukannya semata untuk menolongnya dari
pengaruh obat, aku bisa memahaminya...”
Wajah Jumin
bersemu merah saat mendengar kata-kata Dr. Choi dan ia mengerutkan dahinya tak
senang. “Kau mengungkapkannya terlalu gamblang dokter. Aku hanya bingung, bagaimana
mungkin dia bisa begitu saja lupa... aku tak mengerti,”
Dr. Choi beranjak
dari kursinya dan membuka jendela ia mengeluarkan sebatang rokok dari kotak
rokok yang ada didalam sakunya lalu mulai merokok. Kepulan asap keluar dari
mulut dan hidungnya saat ia sedang menikmati nikotin ditengah pekerjaan yang
membuatnya stres.
“Harusnya kau
tidak merokok kan?” tegur Jumin saat mengalihkan perhatiannya pada Dr. Choi.
Dr. Choi tertawa.
“Seorang pemabuk sepertimu tak seharusnya berkata seperti itu padaku...”
“Tetap saja, kau
ini seorang dokter berilah contoh yang baik untuk para Junior mu...” gumam
Jumin kesal.
“Oke-oke baiklah,
kau terlihat sangat stres anak muda...” gumam Dr. Choi disela-sela tawanya.
“Kau bingung kenapa dia lupa?” Dr. Choi mengulang pertanyaan Jumin. “Bukankah kalian
melakukannya dibawah pengaruh obat yang sangat keras? Harusnya kau tahu dia
sedang berada dalam kondisi tidak bisa berpikir jernih jadi jangan terlalu
berharap dia akan terbangun disisimu lalu balas mencintaimu... ah aku lupa,
kalian hanya teman biasa. Seharusnya kau merasa senang karena dia tak menuntut
macam-macam padamu...”
“Dia bukan wanita
seperti itu...”
“Mungkin kau
bilang begitu karena kau kurang pengalaman dengan para wanita... biar
kuberitahu, hampir semua wanita itu sama, disaat terdesak mereka akan melakukan
apa saja untuk mendapat apa yang mereka inginkan. Kau tinggal menunggu hasil
dari perbuatanmu... lalu menyesalinya, tak kusangka orang yang bahkan menolak
untuk tinggal serumah sebelum menikah akan melakukan hal itu sebelum menikah,
kau benar-benar yang terburuk Jumin,”
Jumin memijat
pelan kepalanya, kata-kata Dr. Choi memang benar. Meskipun merasa kesal karena
Dr. Choi sedang menelanjangi harga dirinya, jauh didasar hatinya ia merasa ada
yang hilang.
“Kau beruntung
karena dia tak mengingatnya... jika dia minta pertanggung jawaban dikemudian
hari, kau tentu bisa memutuskan mana yang menguntungkanmu dan mana yang tidak,”
lanjut Dr. Choi.
“Kejam sekali...
bukankah kau ini seorang dokter?”
“Kita berada
didunia yang saat ini selalu menghitung untung dan rugi sebagai hasil akhir, maka
dari itu aku sangat mengerti dirimu dan keluargamu. Aku membantu orang dengan
tenaga dan pikiranku jadi meskipun kata-kataku terdengar kejam aku tak akan ragu
untuk menolong penjahat sekalipun. Bagiku mereka sama-sama manusia lemah yang
butuh pertolongan. Saat ini kau datang padaku untuk meminta bantuan, jadi aku berusaha
memberimu opsi untuk menjernihkan pemikiranmu... saat ini banyak orang yang
hanya bisa mengambil jalan pintas dan tak ingin bertanggung jawab, aku hanya
ingin tahu apa sisi kemanusiaanmu itu masih memiliki harga diri,”
“Aku tidak
membunuh orang dengan tanganku, aku kemari untuk menanyakan kenapa dia lupa...
kau malah bicara panjang lebar tentang untung rugi,”
Dr. Choi tertawa
dan mematikan rokoknya yang sudah hampir habis. “Aku bicara begini, karena kau
tampak kecewa sekali, aku hanya ingin tahu apa kau menyesalinya... itu saja,”
Ia beranjak menuju laci mejanya dan mengeluarkan beberapa disk tak bercover.
“Ini..” serunya sambil menyerahkan disk itu pada Jumin.
“Apa ini?”
“Ambil saja,
mengingat sikapmu yang kaku aku jadi sedikit kepikiran dan prihatin... kau tak
mungkin meminta asistenmu untuk mencarikan hal seperti ini jadi aku sudah
menyiapkan beberapa referensi video bagus yang bisa kau pelajari, kau akan sangat
menyukainya,” goda Dr. Choi.
“W-what!!!?? Are you sick...”
Wajah Jumin bersemu
merah, ia malu sekali mendengar kata-kata Dr. Choi. Namun Dr. Choi dengan
cueknya mengangsurkan disk-disk itu kedalam tas kerja Jumin.
“Kau sudah dapat
jawaban yang kau inginkan kan? Jika kau menginginkan pertemanan biasa seperti
sebelumnya biar kuperjelas saja... kalian berdua sudah tak bisa kembali seperti
dulu, keadaannya sudah berubah Jumin jadi kau harus menerimanya,”
Dengan kesal Jumin
bangkit dari duduknya dan memperbaiki jasnya. “Biar waktu yang menjawab
semuanya, terima kasih untuk waktumu kakek tua,” gumam Jumin dingin, ia
membungkuk hormat lalu menyambar tasnya dan pergi.
“Hhh... dasar anak
keras kepala...”
****
To Be Continued~
Hai dear reader
chan :) maaf ya updatenya lama nih,
btw kalau kalian baca chapter kali ini mungkin akan sedikit bingung ya? soalnya
aku masih agak kerepotan menentukan tipe penceritaan yang pas untuk
masing-masing karakter. Jadi cara penceritaannya akan agak aneh tapi kuharap
kalian bisa menikmati ceritanya. Thanks sudah mampir sampai ketemu di Chapter
selanjutnya :* Jannee~~ (Btw~ Minggu depan My Dilemma chapter 11 akan di upload :3)
>> Next Part 5
Lanjut
ReplyDeletePart 5 masih belum ada kah?
ReplyDelete