Precious Devil
Part 3
Karakter : Jumin Han (Mystic Messenger) x Reader
Genre : Smut, Romance
Language : Bahasa Indonesia Mix
Gambar : Cheritz
“Bagaimana dengan
kamarnya?” suara Jumin Han mengiang dikepalaku.
“Kami sudah
menyiapkan kamar didekat kolam renang, biar kami bantu tuan...” jawab si
pelayan.
“Tak perlu...”
tolaknya.
Aroma cologne
yang lembut menyapu hidungku, ia membantuku berjalan, berada dalam pelukan
Jumin Han tak kusangka akan senyaman ini. “Bagaimana dengan dokter Choi? Apa dia belum datang?”
“Sedang dalam
perjalanan tuan,”
Karena lambat
berjalan Jumin pun menggendongku dengan gaya bridal style dan langsung
membawaku masuk kedalam sebuah kamar bercat putih yang sisi luarnya hanya
dilapisi kaca besar yang dapat dibuka, kamar itu memiliki akses langsung ke
kolam renang yang ada disebelahnya.
Jumin meletakkan
tubuhku di atas kasur dengan sangat hati-hati. “Tuan apa yang terjadi?” tanya
seorang pelayan.
“Tolong ganti
bajunya dengan piyamaku, aku harus menelepon,” gumam Jumin lalu beranjak
meninggalkanku bersama pelayan wanitanya.
Seorang pelayan muncul
sambil membawakan piyama milik Jumin. Piyama tidur itu terbuat dari kain satin
yang lembut dan terasa dingin dengan warna putih yang sangat bersih.
Pelayan itu
membantu mengganti bajuku saat melihatku kesulitan menggerakkan anggota tubuhku
sendiri. Baju yang kukenakan memiliki ukuran yang dua kali lebih besar dariku,
celana panjang Jumin yang kupakai juga kedodoran ditubuhku.
“Apa kepala anda
sakit nona?” tegur pelayan itu. Aku hanya menggeleng, yang kurasakan bukanlah
rasa sakit seperti sakit kepala yang sering dialami banyak orang. “Apa anda
ingin sesuatu? Akan saya ambilkan?” tanyanya lagi. Aku kembali menggeleng
dengan kepala berat lalu berbaring asal diatas kasur yang terasa sangat nyaman
itu. “Nona anda harus berbaring dengan benar...” tegurnya lagi saat melihatku
mengerang kesakitan.
“Bagaimana
keadaannya?”
Suara Jumin
terdengar dari arah pintu, langkah kakinya yang ringan terdengar menggaung pelan
dalam ruangan itu. Membayangkan ia sedang berjalan mendekatiku membuatku
sedikit panik namun aku tak bisa berbuat apa-apa selain berbaring dengan posisi
aneh yang menurutku sangat nyaman ini.
Si pelayan tidak
berani menjawab Jumin, ia hanya mundur dan mempersilakan Jumin agar mendekati
kasur. Ia mendekatiku dan memeriksa suhu tubuhku lagi. “Name... kalau berbaring
seperti ini besok pagi lehermu bisa sakit...” tegur Jumin. Tangannya yang
hangat menyentuh dahiku, membuat jantungku berdebar kencang.
Kutepis tangannya
agar menjauh dariku, ia pun tampak terkejut. Meskipun rasanya sangat nyaman
tapi aku tak boleh membiarkan hasrat menguasai tubuhku.
“Tuan, dokter
Choi sudah datang...” seorang pelayan muncul bersama seorang pria tua berkacamata. Dokter Choi adalah dokter
pribadi keluarga Han yang sudah lama menolong kebutuhan medis keluarga ini.
“Jumin, apa yang
terjadi?” tanya dokter Choi, ia berjalan dengan wajah penasaran saat melihatku
meringkuk gelisah diatas kasur, merintih kesakitan. “Apa yang kau perbuat padanya?”
tuduh dokter Choi.
“Kalian semua
boleh pergi,” gumam Jumin pada para pelayannya, setelah semua pelayan pergi ia
kembali menatap dokter Choi.
“Aku tak tahu apa
yang terjadi padanya, kami baru saja pulang dari pesta tapi tiba-tiba saja dia
bertingkah aneh.” Jelas Jumin.
Dokter Choi
langsung beralih kesisiku dan memeriksa nadiku.
“Dokter tolong
jelaskan padaku, apa ini penyakit masuk angin jenis baru? Tadi dia memakai
pakaian yang agak terbuka sih... aku jadi khawatir dia...”
“Jumin, ini tak
ada hubungannya dengan pakaian yang ia kenakan...” gumam dokter Choi.
Jumin mengerutkan
dahinya saat menatap dokter Choi yang sedang memperbaiki letak kacamatanya.
“Lalu... kenapa dia seperti kesakitan?”
“Aku ingin kau
jujur, apa kau membubuhkan sesuatu pada makanan atau minumannya?”
Jumin menggeleng
bingung. “Tidak, aku tidak memberinya apapun... rasanya kami makan dan minum
seperti biasa...”
“Ini aneh,
menurut pengalamanku kondisinya saat ini benar-benar berbahaya untuk tubuhnya,
napas yang tak beraturan, detak jantung yang cepat, suhu tubuh yang naik dan sikapnya
yang gelisah ketika kulitnya disentuh, ahh... ia juga pasti sangat kesakitan
dan...”
“Tolong singkat
saja..” potong Jumin.
Dokter Choi
beranjak dari kasur dan menarik Jumin agar menjauh dari kasur. Ia bahkan
berbicara dengan suara yang sangat pelan. “Kupikir kau memberinya sesuatu
seperti... obat perangsang? Sepertinya ini tipe baru yang memiliki efek cukup
kuat...”
“What?! No!!” Jumin
memekik saking kagetnya. Ia bahkan tak bisa menutup mulutnya yang sedang
terbuka.
“Oh... melihat
reaksimu sepertinya memang bukan kau yang melakukannya, kalau dilihat dari
kondisinya kurasa ini obat yang cukup kuat...”
“La-lalu
ba-bagaimana...?” Jumin tampak gugup.
Dokter Choi
menarik napas dalam-dalam. “Seperti yang kau lihat, jika tidak segera
dibereskan dia akan merasa gelisah dan kesakitan selama beberapa jam, dia akan
terus seperti ini hingga efek obatnya hilang dengan sendirinya..”
“Kapan tepatnya?”
“Entah lah, bisa
semalaman... tergantung jenis obat dan kondisi tubuhnya...”
“Kalau begitu
suntik dia atau beri dia obat dan semacamnya...”
Dokter Choi
terkekeh geli. “Tak kusangka akan mendengar hal ini darimu, tadinya kupikir kau
memang sengaja membawanya kesini supaya kau bisa bersenang-senang denganya
hingga matahari muncul..”
“Dokter Choi!!
Kata-kata anda... A-aku memang sengaja membawanya kesini karena kupikir tak
aman membiarkannya sendirian di apartemen dengan kondisi sakit, tapi aku tak
tahu sama sekali soal obat... yang kau maksud barusan,” Jumin menelan liurnya
dengan susah payah.
“Ah, tak perlu
khawatir... dia akan tenang setelah mendapat apa yang ia butuhkan...”
“Apa maksudmu?”
geram Jumin.
Dokter Choi
menatap Jumin dengan tatapan bingung. “Setelah semua penjelasan panjang lebar tadi
kau masih tak paham dengan maksudku?” selidik dokter Choi, dari nada suaranya
ia seolah sedang bercanda.
“Kau akan
memberinya obat kan?” selidik Jumin.
Dokter Choi
menggeleng sambil tersenyum penuh arti. “Obatnya cuma ada satu Jumin... kau
akan melakukan hal itu padanya, atau kau bisa membiarkan dia seperti ini sampai
besok pagi, tentu saja efek obat yang dirasakan setiap orang berbeda-beda kita
lihat saja kondisinya besok, jika obatnya terlalu keras dia akan terus
menderita selama efek obatnya belum hilang,”
“Apa tak ada cara
lain?”
“Sudah kubilang,
kau bisa membiarkannya saja, ini bukan sesuatu yang berbahaya kok kau tak perlu
khawatir... kalau kau tidak mau melakukan s**s dengannya aku tak akan memaksamu...”
“Dokter!! I-ini
bukan saat dimana kau pantas mengatakan hal seperti itu didepan pasienmu!” bentak
Jumin gusar. Jumin melonggarkan dasi yang ia kenakan, ada semburat merah
dipipinya. “Saranmu sungguh tidak masuk akal, apalagi kau seorang dokter...”
“Oh tadinya kupikir
dia kekasih yang akan kau nikahi makanya kuberi saran yang lebih mudah...
kurasa s**s bukan hal baru bagimu kan...”
Jumin mengerutkan
dahinya geram, wajahnya sudah berubah merah. Dokter Choi berdeham sebelum
melanjutkan kalimatnya.
“Hmm aku tak akan
berkomentar macam-macam lagi, kalau begitu kau sudah memutuskan keinginanmu
untuk tidak menyentuhnya, jadi aku tak perlu mengkhawatirkan gadis ini...”
Dokter Choi
beranjak menjauhi Jumin lalu menatap kearah kasur.
“Aku harus pergi,
beberapa jam lagi aku harus mengoperasi pasien... tolong kau urus dia dengan
baik, dia akan mengerang kesakitan dan gelisah sepanjang malam, dia juga akan
merasa lemas tak berdaya, kau harus mengawasinya dengan hati-hati...”
“Kau memberiku
pilihan yang sulit...” gumam Jumin dengan dahi berkerut.
“Aku hanya memberi
masukan, kalau kau tahu kenyataannya kau jadi lebih mudah menimbang saat
mengambil keputusan... kalau begitu aku pergi,”
“Terima kasih
dokter, aku akan minta driver Kim mengantarmu kembali ke rumah sakit... aku
juga harus menelepon seseorang,” gumam Jumin lalu beranjak mengikuti dokter
Choi keluar dari dalam kamar, membiarkanku terbaring lemas tak berdaya sambil
menahan rasa sakit tak jelas yang menjalar disekujur tubuhku.
****
Malam itu Jumin Han
terus berjalan mondar mandir didalam kamar kerjanya. Ditangannya ada segelas
penuh wine dan ia sudah mengenakan kimono tidurnya. Tanpa disadarinya jam sudah
menunjuk pukul dua pagi tapi ia justru masih terjaga, ia tak bisa tidur,
perasaannya gelisah dan ia merasa sangat khawatir dan juga merasa stress.
“Damn! Sampai
kapan obat itu akan terus bekerja.. jika terus mengerang seperti itu dia bisa
melukai tenggorokannya sendiri,” gumam Jumin pada dirinya sendiri.
Ia telah
menghabiskan setengah botol wine namun tidak menunjukkan tanda mabuk sedikit
pun. Ia sedang berpikir dan menimbang-nimbang. Setelah mengantar dokter Choi ke
depan pintu rumah tadi Jumin langsung menelepon pihak hotel, ia telah meminta
orang-orangnya untuk melakukan investigasi khusus dan para penyidik berhasil
menemukan sebuah gelas yang tercemar oleh obat perangsang yang dimaksud dokter
Choi.
Ini ulah Damian, ia
sangat yakin, ia merasa marah dan kesal saat membayangkan rencana apa yang
ingin Damian lakukan dengan memberi seorang wanita obat seperti itu. Dia tak
tahu motif jelasnya, apakah hal ini ada sangkut pautnya dengan permasalahan
diantara mereka atau memang Damian memilih targetnya secara acak. Yang jelas
dia tak punya bukti kuat untuk menyalahkan Damian.
Damian memang
terkenal sebagai seorang playboy jenius. Banyak wanita yang sudah jatuh kedalam
pelukannya lalu ditinggalkan begitu saja setelah dia merasa bosan. Mengingat
hal ini membuat Jumin merasa kecolongan dan semakin geram. Jika saja saat
itu ia tidak cepat muncul, dia pasti
akan merasa sangat bersalah dan menyesal seumur hidupnya.
Tanpa
disadarinya, kakinya justru sudah membawanya ke depan pintu kamar dimana
erangan itu berasal, ia merasa gundah, ragu dengan keinginannya untuk masuk
kedalam kamar atau tidak padahal ia sangat ingin masuk kedalam, memeriksa dan
menjaga. Suara kesakitan itu membuatnya berdebar-debar, karena ia merasa
khawatir namun disaat bersamaan juga merasa... excited.
“Jumi~n...”
Suara serak itu memanggilnya
dan saat mendengar namanya disebut ia pun membuka pintu itu tanpa pikir
panjang. Kakinya melangkah cepat menyebrangi ruangan gelap yang hanya diterangi
sedikit cahaya bulan yang menerobos masuk dari balik tirai kamar yang berwarna
putih.
“Jumin~” rintihku
dengan suara serak yang kelu dan napas yang berat terengah-engah.
“(Name),” suara
datar Jumin terdengar didekatku. Meskipun ruangan itu gelap namun cahaya redup
bulan membuatku bisa melihat sosok Jumin yang berjalan pelan mendekatiku dan ia
duduk disisi kasurku. “Aku disini... ada apa?” gumamnya dengan suara manly yang
terdengar lembut dan menentramkan.
“Kau... darimana
saja? ... what happened with me... Jumin~” rintihku. Selimut yang tadinya
menyelimuti tubuhku kini telah berserakan dilantai. Jumin menatap onggokan
selimut itu dengan pandangan mata nanar.
“Kau... kesakitan...”
gumam Jumin dengan nada datar, ia tak berani menatap wajahku.
“I know!!!”
rengekku hampir terisak. “Aku... tubuhku... panas... can you... can you help
me?” detik berikutnya aku pun terisak pelan. Merasa tak kuat dengan kondisiku
saat ini, tanganku hanya bisa menarik lengan kimono Jumin yang menjuntai
didekatku, memohon pertolongannya.
“I don’t...
hhh...” Jumin menelan liurnya dengan perasaan susah. “I-I don’t know (Name)...”
gumamnya datar.
“What... do you
mean with... ‘I don’t know’?” rengekku lagi sambil menarik lengan kimononya
hingga kimono itu tertarik dan bahunya terekspos.
“(Name)...”
“Jumin~
please...” rintihku sambil bergelung gelisah dan kesakitan ditempatku, berusaha
menatap wajah Jumin yang kini beralih menatapku juga, ia tampak sedih. “...
help me~”
“Stop...”
bisiknya sambil memejamkan matanya tangannya yang besar dan manly menyentuh
tanganku, menggenggamnya kuat, membuat tubuhku bergetar karena perasaan ini.
“Don’t do this to me (Name)...” geramnya. “Stop staring at me with those
eyes...”
“I can’t...
Jumin... what should I do?” rintihku lagi “Aku tak tahan lagi... rasa sakit ini
menyiksaku, aku tak mengerti.... apa yang... terjadi padaku?”
Jumin menarik
napas dalam-dalam lalu menatapku lagi, ia telah memindahkan tangannya ke kedua
sisi tubuhku, mengurungku.
“Dengar... kau
ingat Damian?” gumamnya pelan. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan. “Dia...
dia sudah mencampur minumanmu... dengan obat perangsang,”
“What...?”
“Ya, menurut dokter
choi ini obat tipe baru yang efeknya cukup kuat, kau akan seperti ini terus
hingga waktu yang aku tak tahu... bisa saja beberapa jam atau mungkin sampai
besok, kau harus menunggu sampai efek obat ini hilang...”
“Kenapa... Damian
memberiku... obat?”
“Aku tak tahu
motivasinya apa dan aku tak bisa mendapatkan bukti kuat untuk menyalahkannya...
maafkan aku,”
Sebutir air mata
mengalir dari sudut mataku. “Dia akan.... memperko... ku...”
“Shhh~ dia tak
akan melakukannya, aku janji tak akan kubiarkan dia menyentuhmu...” bisik Jumin
lirih.
“I can’t...”
rintihku lagi. “Beri aku obat atau apapun... apapun Jumin, please... do
something!” rengekku disela-sela erangan dan rasa sakit yang semakin jadi dan
terus menjalari tubuh ini.
Jumin menundukkan
wajahnya dan tampak berpikir keras. Ia tahu konsekuensinya, ia tahu ia pasti
akan dibenci tapi ia juga telah memutuskan untuk bertanggung jawab sepenuhnya..
apapun yang terjadi, karena jauh dalam hatinya, Jumin sebenarnya...
“(Name)... aku...
aku bisa meredakan rasa sakitmu...” putusnya kemudian. Ia menatapku dengan
tatapan datar.
“R-really...?
How...?” gumamku disela isakanku.
Jumin
mencondongkan tubuhnya padaku dan bibirnya yang hangat mengecup lembut bibirku.
Kecupan singkat itu membuatku terkejut dan kurasakan sesuatu dalam diriku
bergetar hebat. Perasaan ini sangat liar dan sekelebat perasaan liar ini
membuatku sangat ingin mencengkram Jumin.
Memeluknya...
tapi tak bisa... dia... bosku. Aku takut dia membenciku yang seperti ini...
membenci diriku yang sangat menginginkannya.
“Kau... tidak
suka?” bisik Jumin lembut.
“I... dont
know...”
Jari-jarinya
menyentuh pipiku, membelainya lembut, membuatku kembali mengerang dan
menggeliat saat merasakan getaran aneh dalam diriku. “So... how it feels?”
bisiknya lagi, setengah menikmati.
Jumin menelan
liurnya dengan perasaan gelisah, malam ini ia merasakan hasrat yang besar dan
ia juga menginginkan hal yang sama. Namun kali ini dia merasa sangat takut
dengan keputusan yang akan diambilnya... Jumin tidak takut dengan akibat fisik
yang akan ia terima, ia hanya takut... dibenci. Ia tak ingin dibenci dan
ditinggalkan oleh satu-satunya orang yang paling dekat dengannya.
“I-i don’t know...
Jumin,” rintihku, jauh didalam hatiku, aku ingin Jumin melakukannya lagi.
Untuk sesaat ia
menatapku dalam diam lalu perlahan ia mendekatkan bibirnya lagi ke bibirku dan
mengecupnya. Perasaan hangat yang diberikan Jumin padaku membuatku refleks
memeluk dan mencengkram rambutnya erat. Membalas ciuman itu dengan penuh
hasrat, lidahnya menerobos kedalam bibirku sementara jari-jarinya yang bebas
mulai menari-nari diatas tubuhku, perlahan menelusuri perut lalu perlahan beralih
kedada... meremasnya lembut, sentuhan jari-jarinya yang hangat membuatku
gemetar dan merintih hebat
Jumin menjauhkan
bibirnya dari bibirku dan ia kembali menegakkan tubuhnya. Sejenak menyaksikan
pemandangan liar yang membuatnya takut sekaligus bergairah. Ia merasa bersalah
karena telah mengambil keuntungan dalam kejadian tak disengaja ini.
Tapi... Jumin juga
merasa bahwa ia tak sepenuhnya salah... ia telah mendapatkan sebuah permohonan,
sebuah ijin tak langsung, ia pun telah memutuskan akan menerima semuanya, apapun
yang akan terjadi nantinya. Ia tak ingin apa yang hampir ia miliki saat ini
nantinya akan dimiliki oleh Damian atau orang lain.
“Aku akan
membantumu (Name)...” gumam Jumin sambil melepas ikatan tali kimono yang ada
dipinggangnya. “Aku akan segera menghilangkan rasa sakitmu...”
****
To Be Continue~
Ps : Maaf ya reader chan
chapter kali ini singkat sekali hhuehee T v T. Btw Secret Lesson With My Boss
chapter 11 dan Mystic Messenger: My Sweet Fiancee #Part 02 [Zen x MC] akan rilis minggu depan, buat reader chan yang sudah menunggu lama
lanjutan ceritanya selamat membaca dan semoga aja nanti kamu suka ;) Jannee~
Semangat nulisnya ka!!
ReplyDelete