Monday, 11 July 2016

Perfect Punishment (Levi Ackerman x Reader) - Chapter 08

BY Unknown IN 1 comment



Perfect Punishment
(My Editor is a Devil)

Cast : Levi Ackerman x Reader
Genre : Romance, Mature
Language : Mix (Bahasa Indonesia - English)

Chapter 8

Otakku masih belum bisa melepas ingatan tentang kejadian didalam ruangan Levi yang baru saja terjadi. Oke, dia menyerangku dengan sebuah ciuman dan aku tak melawan... am I stupid or what? Kutatap diriku didepan cermin kamar mandi setelah selesai menggosok gigiku. Bayangan tentang ekpresi wajahnya dan sentuhan bibirnya yang hangat masih membekas dalam ingatanku. Ini benar-benar buruk...

Esok paginya aku baru saja sampai di kantor setelah melalui perang hebat dengan hujan lebat diluar sana. Setengah coatku basah karena aku tak bawa payung, saat sedang berada di dalam bus hujan tiba-tiba mengguyur kota.

“It looks like you need help (Name) If you don’t mind can I escort you to the office?” tegur seseorang saat aku sedang berusaha mengeringkan coatku didekat lift.

“Ah! Erwin!” sambutku ceria saat melihat sosok Erwin. “Why are you here? I thought you were going to L.A,” sapaku sambil membalas pelukannya. Erwin terkekeh pelan.

“Yeah, aku akan tinggal beberapa hari ada beberapa hal yang harus kukerjakan disini jadi aku butuh bantuan Levi, shall we?” gumamnya saat melihat pintu lift terbuka, ia mengajakku masuk.

Aku mengikuti langkah Erwin masuk kedalam lift diikuti beberapa orang pekerja lainnya.

“Apa ada hubungannya dengan rumah produksimu?” tanyaku lagi.

Erwin mengangguk. “Hmmm, yeah... ada sedikit masalah dengan beberapa sponsor, aku dan Hanji mengalami sedikit kesulitan dalam masalah keuangan jadi kami harus memenangkan pertaruhan ini,”

“Apa Levi bisa menyelesaikan masalah kalian? Dia terlihat tidak terlalu berminat kan?”

“Kau berpikir begitu?” Pintu lift terbuka di lantai empat dan beberapa orang keluar, membuat box kecil itu terasa sedikit lega.

“Ya, biasanya dia akan mengeluh lalu setelah itu tiba-tiba saja semua pekerjaan sudah selesai karena dia merasa tak enak jika tidak membantu. Dia benar-benar menakjubkan bukan?” keluhku.

“Komentar yang menarik...” gumam Erwin, senyuman kecil tersungging dibibirnya.

Tentu saja, Levi adalah seorang perfeksionist tapi aku yakin dia tak akan segan untuk membantu bawahannya yang kesulitan. Meskipun begitu, aku tak ingin bertemu Levi sepagi ini, karena aku tahu apa yang akan dia lakukan jika melihatku datang terlambat.

Damn... sudah lewat dua puluh menit, Levi pasti akan menyiksaku. Seharusnya aku sudah mengecek ruangannya dan membuatkan sesuatu untuk diminum dipagi yang dingin ini.

“Aku penasaran... bagaimana hubungan kalian berdua? Sepertinya semua berjalan lancar-lancar saja,” gumam Erwin dengan senyuman mengejek.

“Apa maksudmu?” aku mengernyitkan dahi saat menatap Erwin. Pintu lift menjeblak terbuka di lantai sepuluh dan Erwin keluar tanpa menjawab pertanyaanku. Aku pun segera mengikutinya dan berjalan mengiringinya.

“Ah, kau memanggilnya dengan nama saja... bukankah itu kemajuan?” Erwin menyapa Eren dan Armin yang sedang sibuk mengatur lay-out di komputer mereka. Lalu kemudian menyapa Sasha, Ymir dan Christa yang tampak sedang santai di meja mereka.

“Dia tidak suka dengan panggilan ‘sir’ katanya terlalu formal, lagipula itu sedikit memudahkanku karena dia selalu mengkritik tulisanku, aku jadi merasa sedikit setara dengannya dan bisa balik menentangnya, tapi rasanya itu bukan sebuah kemajuan yang berarti,” protesku lagi.

“Jangan khawatir, Levi adalah yang terbaik dibidangnya kau tidak akan kecewa dengan hasilnya nanti..”

“Aku tak mengerti kenapa kau mengganti posisi Hanji, padahal sebelumnya cukup dengan bantuan Hanji saja aku sudah bisa membuat dua belas buku yang layak untuk dibaca kan?”

“Ah, sebenarnya aku hanya merasa kalau kau butuh sesuatu yang baru... tidak baik juga kalau kau terlalu lama bergelut dengan Hanji” gumam Erwin sambil terkekeh pelan dan langkahnya berhenti saat sampai didepan mejaku, ia menatapku dengan senyuman ramahnya. “... menurutku Levi bisa membantumu untuk memberi penyegaran, ada baiknya kau bisa menyesuaikan diri dengannya karena dia bisa memberimu ide-ide yang tak terduga,”

Ya, contohnya dia tiba-tiba langsung mengajak kencan, padahal gak ada guntur dan petir, bisakah aku menyebutnya sebagai ‘ide yang gila’?

“Okay, I got your point... standar menulisku sudah tidak sebaik dulu kan, lagipula aku sama sekali tak berniat menentangnya, aku masih sayang dengan nyawaku,” curhatku sambil menaruh tasku di atas meja dan melepas coatku. Erwin kembali tertawa.

“Kau terdengar seperti orang yang sangat putus asa,” gumamnya. “Kalian pasti terlihat seperti sepasang kekasih yang sering bertengkar mesra, bukan begitu?” lanjutnya dengan suara pelan.

“Entahla.... Hei! Stop laughing, akulah yang menderita disini dan kau malah menertawaiku,” gumamku sebal saat melihat Erwin tertawa.

“Sorry I just... Mikasa how are you?” sapanya saat gadis itu berjalan melewati kami, Mikasa membalas sapaan Erwin lalu pergi dengan alasan harus membantu Eren. “Sepertinya mereka berdua belum ada kemajuan...” keluh Erwin, yang ia maksud adalah hubungan Mikasa dan Eren. “Hei where are you going?” gumam Erwin saat melihatku pergi meninggalkannya.

“Ada yang harus kulakukan diruangan editorku, apa kau ingin menemuinya?” tanyaku.

“(Name) Kau mencari bos?” tegur Petra, aku membalasnya dengan anggukan. “Dia sedang ada urusan penting diluar kota dan aku tak tahu kapan dia akan kembali,”

“Really?” ulangku tak percaya dan Petra mengangguk.

Oh god... padahal aku sudah mempersiapkan diriku untuk bertatap muka dengannya setelah kejadian kemarin dan sekarang dia justru tak ada ditempat, sepertinya aku sudah menghabiskan banyak waktu hanya untuk memikirkan dirinya saja, aku sedikit menyesal. Tapi kabar baiknya, aku masih punya banyak waktu untuk membersihkan ruangan Levi.

“Oh, dia pasti sedang menghadiri rapat dengan sponsor baru kami...” gumam Erwin. “Apa kabar Petra?” sapanya, gadis itu tersenyum dan membalas sapaannya lalu mereka mulai mengobrol.

Kutatap Erwin dengan dahi mengernyit, seharusnya itu menjadi tugas Erwin bukan Levi kan? “Kau pasti ingin tahu kenapa aku memintanya untuk pergi menghadiri rapat itu sementara aku justru berada disini dan mencoba untuk bersenang-senang denganmu kan?” gumam Erwin.

“Tidak juga,” kilahku lalu membuang muka. “Aku tidak begitu ingin ikut campur dengan kegiatannya,” gumamku tak yakin.

Erwin tersenyum dan beranjak mendahuluiku meraih pintu kantor Levi lalu membukanya. “Masuklah... aku ingin tahu sudah sejauh apa perkembangan tulisanmu...”

“Apa kau yakin tidak apa-apa? Ruangan ini sudah bukan milikmu lagi kan?” tanyaku tak yakin. Petra juga memasang tampang ingin tahu.

Erwin tertawa dan melambai-lambaikan tangannya tanda tak perduli. “Tak masalah, dia tidak akan marah... lagipula dia tahu aku akan mengunjungimu,” gumam Erwin.

****

“Ah... sepertinya kau cukup bekerja keras dengan tulisanmu kali ini, aku menyukai perubahannya... bukan berarti yang sebelumnya tidak bagus sih,” gumam Erwin sambil menaruh kertas-kertas yang ia pegang ke atas meja tamu.

Ia sudah menghabiskan waktu hampir dua jam untuk membaca tulisanku sampai habis.  Aku sedang menuangkan teh untuknya lalu menyodorkan cangkir itu padanya. Erwin menatapku sambil tersenyum. “Ini pertama kalinya kau menuangkan teh untukku ya..”

“Benarkah? Sepertinya kau sedang beruntung hari ini, tidak biasanya aku memperlakukan seseorang selembut ini, sir..” gumamku.

Untuk beberapa orang, kata-kataku akan terdengar sedikit tak sopan tapi bagiku dan Erwin ini adalah hal yang biasa karena kami selalu bercanda dengan gaya yang sedikit aneh. Ia hanya tersenyum menanggapi kata-kataku.

“Bukankah ini seharusnya tugas Petra? Dia masih jadi sekertaris Levi kan?”

“Tentu saja,” desahku. “Dia adalah sekertaris kesayangan Levi, dia bahkan lebih tahu jadwal rapat dan jadwal bebas Levi dibandingkan siapapun dikantor ini,”

“Kau terdengar seperti pacar yang sedang cemburu, apa kalian sedang berkencan?” tanyanya lalu menyeruput tehnya lagi.

Aku berjengit mendengar kata-kata Erwin. Levi memang mengajakku kencan tapi bukan berarti dia suka padaku, lagipula aku masih tak percaya kalau wanita berambut merah itu bukan kekasih Levi dan juga bukannya aku merasa cemburu dengan Petra... aku cuma...

“Kudengar kalau kau sekarang jadi budak Levi,” gumamnya lagi.

Aku terkekeh pelan dengan perasaan sedikit gugup. “Kau dengar dari siapa? Sejak kapan aku jadi budaknya?” tukasku dengan ekspresi berusaha menganggapnya hanya candaan. Erwin benar, Levi memang menjadikanku pelayannya dalam batas-batas tertentu.

“Dia memberitahuku semuanya, Levi” serunya lalu terkekeh pelan. Sial! Aku tak percaya kalau Levi akan curhat pada pria alis tebal ini. “Aku tak bisa membayangkan apa yang dia lakukan padamu (Name),” ejeknya.

Aku mendesah pelan. “Kalau kau kemari hanya untuk mengejekku sebaiknya lupakan saja, aku tidak tertarik membahasnya... hmm... kenapa kau meminta Levi mengurus pekerjaan yang bahkan tak ada hubungan dengannya,”

“Nah... aku hanya meminta sedikit bantuan padanya untuk menghadiri rapat keuangan, dia adalah negosiator yang cukup handal, sementara aku bersenang-senang dengan para atasan dan minum anggur aku bisa membebankan urusan tetek bengek itu padanya,”

“Kau kejam sekali...” keluhku.

Erwin tersenyum penuh arti. “Yah, tak perlu kau perjelas dia juga sudah tahu kalau aku orang yang licik... pembicaraan rapat ini menyangkut tender produksi film yang cukup besar kuharap Levi bisa mengatasinya,”

“Lalu kenapa kau tidak membantunya? Seharusnya kau pergi bersamanya kan? Kehadiranmu pasti sangat penting jika itu menyangkut tender besar,”

“Tadinya aku ingin pergi dengannya, hanya saja aku juga harus bertemu dengan beberapa kolega penting lainnya dan Levi tak masalah jika pergi sendirian, aku merasa sangat tertolong karena dia bersedia membantu,”

Mendengar kata-kata Erwin membuatku teringat dengan kejadian yang pernah dialami Petra saat gadis itu tak sengaja menghilangkan file penting untuk presentasi. Levi membantunya menyelesaikan perkara itu.

“(Name)..” panggil Erwin saat dia melihatku tercenung sendirian dalam pikiranku, aku pun menatapnya. “Bagaimana dengan ideku dulu, apa kau sudah berkencan dengan seseorang?”

Pertanyaan ini lagi. “Not yet..” jawabku lesu. “Tapi kurasa aku akan mencobanya secepatnya... hanya saja aku tak mengerti kenapa kau begitu ingin tahu kehidupan percintaanku?”

“Sounds good!” gumam Erwin girang. “Tak ada alasan khusus.. Aku hanya khawatir kau akan menggila dengan pekerjaanmu ini, cobalah untuk bersenang-senang sedikit, kau bisa bersantai dengan mengencani Jean, Eren, Armin, Berthold atau...”

“Okay-okay...” Aku terkekeh pelan. “Stop joking around, kau tahu itu mustahil...”

“Kau hanya takut mencobanya dengan mereka, benar kan?” potong Erwin. “Ayolah kau terlalu banyak berpikir, kalau kau tak yakin dengan mereka aku bisa melakukannya untukmu penampilanku masih segar dan tidak setua umurku jadi kau tak perlu khawatir aku akan...”

“Apa kau menggodanya lagi, Eyebrow?” Pintu ruangan terbuka dan sosok yang kami kenal itu sedang berdiri diambang pintu. Ia tampak sedikit kesal.

“Oh finally you came, aku tidak menggodanya hanya memintanya untuk kencan denganku," jawab Erwin santai. "Bagaimana situasinya? Kau tampak sedikit tidak bersahabat Levi..” sapa Erwin. “Apa rapatnya tidak berjalan lancar sesuai keinginan kita?” tanyanya dengan nada santai dan playful.

Sekilas Levi menatapku dingin membuat jantungku seperti akan lompat dari tempatnya. Ia berjalan masuk dan menutup pintu dibelakangnya lalu membuka jas yang tersampir dibahunya dan menaruhnya ditiang gantungan khusus.

“Rapatnya berjalan lancar.. kita dapat dana yang cukup besar,” jawab Levi. Ia berjalan menuju sofa dan duduk di sofa yang berhadapan denganku dengan gaya yang elegan.

Aku tahu tak seharusnya mendengar percakapan mereka jadi kuputuskan untuk pergi, lagipula Levi tampak sedang tak enak hati.

“Where are you going?” tanya Levi saat melihatku bangkit dari dudukku.

“Ah... aku akan membuatkan secangkir teh untukmu,” gumamku.

Ia menatapku sejenak dengan dahi berkerut lalu kembali menyandarkan dirinya pada punggung sofa. “Oh, okay... thanks,” balasnya, ia tampak lelah. Kusambar nampan berisi teko kosong itu dan pergi meninggalkan mereka berdua.

“Lalu kenapa kau tampak kesal?” tanya Erwin. “Bukankah itu berita bagus?”

Levi mendesah pelan. “Masalahnya mereka mengajukan beberapa persyaratan...”

“Lalu?”

“Mereka juga ingin aku ikut andil untuk mengurusnya,”

“Apa seburuk itu? Kita akan mengerjakannya bersama jadi kau tak perlu khawatir, aku hanya memintamu untuk menghadiri rapat itu dan bernegosiasi sisanya serahkan padaku,” gumam Erwin.

“Ah, aku tidak mengkhawatirkan hal itu... aku sudah mengurusnya, aku akan memberimu print out-nya kalau sudah selesai kukerjakan...”

“Kau membuatku khawatir saja, kupikir sesuatu yang buruk terjadi padamu...”

****

Aku sedang mengaduk gula dalam cangkir earlgrey Levi saat Jean muncul dan menghampiriku. “(Name)? Kau punya waktu sore nanti?” tegurnya lalu berdiri didekatku sambil menyandarkan pantatnya pada sisi lemari penyimpanan..

“Ah, entahlah... ada apa?”

“Aku dan para gadis akan mampir ke cafe, mereka ingin membicarakan tentang agenda akhir pekan. Aku ingin kau ikut dengan kami,”

“Hanya para gadis?”

“Yeah tidak juga, si jelek Yeager dan yang lain juga akan ikut bergabung... bagaimana kau bisa kan, aku akan menunggumu jadi kita bisa naik mobilku,”

“Ah... ini hanya alasan supaya kau juga bisa mengajak Mikasa kan?”

Jean tersenyum sambil mengangkat alisnya. “Pokoknya aku akan menunggumu...” gumamnya memastikan lagi. Aku hanya mengangguk-angguk mengiyakan. “By the way... kau tahu tidak kalau Eren ingin mengajakmu keluar untuk makan malam?” bisiknya ditelingaku.

“Hah? W-what are you talking about?”

Jean terkekeh geli. “Aku yakin kau akan terkejut, sudah dulu ya aku masih ada kerjaan,” serunya lalu beranjak pergi.

“Hei horse face!! Ini Cuma lelucon kan?” pekikku. “Kirchtein!!” Namun aku hanya mendengar suara tawa Jean. Si muka kuda itu pasti sedang mengerjaiku lagi.

Setelah selesai membuat teh aku pun kembali keruangan Levi. Kuketuk pelan pintu ruangannya dan mendorong kenopnya pelan meskipun dia tak mempersilakanku masuk.

Kulihat Levi sedang duduk sendirian di sofa dan tampaknya Erwin sudah pergi. “Ini tehmu,” gumamku. Levi menyodorkan tangannya untuk menyambut cangkirnya sebelum kuletakkan cangkir itu diatas meja. “Dimana Erwin? Apa dia sudah pergi?”

“Yeah, ada beberapa hal yang harus dia kerjakan jadi dia langsung pergi saat mendapat panggilan telepon dari sekertarisnya,” gumam Levi lalu menyeruput minumannya. Ia tampak lebih tenang dibandingkan saat baru datang tadi.

“Oh...” Kulihat dipangkuannya ada lembaran kertas berisi tulisanku, sepertinya dia sedang membacanya. “Erwin memaksa untuk melihat tulisanku jadi aku menunjukkan itu padanya...” gumamku tanpa diminta.

Aku sendiri bingung kenapa tiba-tiba membicarakannya, pasti karena suasana diantara kami tiba-tiba menjadi kaku dan aku hanya sedang berusaha untuk mencari topik saja. “Ah, kalau tak ada lagi yang dibutuhkan aku akan pergi seka...”

“Stay here...” putus Levi dengan nada suara maskulin yang lembut. Ia meletakkan cangkir tehnya di meja lalu menatapku yang memasang wajah bingung. “Kemarin aku dan Erwin menghamburkan sesuatu, kau lihat sudut ruangan itu?” tunjuknya kesalah satu sudut ruangan.

Kulihat bertumpuk-tumpuk file berserakan diatas meja dan dibawahnya. Aku tak paham apa yang sedang mereka kerjakan hingga harus membongkar semua file ini. “Apa kau ingin aku membereskannya?” tanyaku iseng karena aku sudah tahu maksudnya.

“Yeah, aku sedang butuh pemandangan indah... kerjakan dengan benar sebelum kertas-kertas itu membuatku sakit kepala,” jawabnya dingin lalu mulai memeriksa kertas milikku.

“Yeah... aku yakin kau akan sangat menikmati pemandangannya kan? Melihatku mengerjakan semua ini pasti membuatmu merasa begitu senang,” protesku. Aku tak tahu kalau sebenarnya Levi hanya ingin aku berada lebih lama didalam ruangan yang sama dengannya.

Levi melirikkan matanya padaku, tatapannya dingin dengan dahi berkerut. “Sepertinya kau sudah sangat mahir membaca pikiranku. Sortir semuanya menurut abjad jangan sampai ada yang terlupa and no more question,” gumamnya lalu lanjut membaca.

Kutatap dirinya dengan perasaan kesal namun kutahan agar tidak meledak tanpa kontrol. “Kau tahu ini bukan pekerjaanku kan?” gumamku pelan sambil mulai membereskan file itu.

Levi menurunkan kertas yang ia baca dari pandangannya. “Tentu saja aku tahu,” jawabnya dingin.

Aku mengernyitkan dahi bingung saat mendengar jawabannya. “Lalu kenapa...?” tanyaku.

Levi mengernyitkan dahinya. “Kenapa harus kau?” ulangnya lagi. “Sudah jelas karena itu bagian dari hukumanmu kan? Kita sudah membicarakan ini di awal pertemuan kenapa kau malah baru mengungkitnya sekarang?”

Aku ingin menggeram namun kutahan emosiku agar tidak meledak padanya, aku tak tahu kenapa tiba-tiba menjadi sesensitif ini. “Aku hanya seorang penulis disin...”

“Kau pegawaiku...” putusnya. “Bukankah kau sekarang menggantikan Hanji untuk mengerjakan pekerjaannya? Aku membayarmu untuk itu dan membayarmu lebih untuk pekerjaan tambahan ini, so what’s the problem?”

Levi benar. Tapi tanpa jadi pegawai pun kurasa aku masih bisa bertahan hidup hanya dengan menjadi penulis... mungkin untuk kurun waktu tertentu. Aku tahu memiliki pekerjaan tetap juga sangat penting.

“Aku hanya ingin membantu tapi bukan berarti kau boleh memperlakukanku seperti pelayan...”

“Aku tidak memperlakukanmu seperti pelayan, aku hanya sedang memberimu pelajaran tentang kedisiplinan... pelajaran ini tidak hanya untukmu tapi juga untuk yang lainnya, kau tidak merasa pelajaran ini spesial kan?”

“Nonsense...”

“Apa kau ingin mengeluh sekarang?” gumam Levi dingin dahinya berkerut lagi, ia melempar kertas yang ia pegang keatas meja dan melonggarkan dasinya. “Bukankah Erwin memuji tulisanmu? Dia bilang sangat menyukai tulisanmu dan kau jadi lebih sering berada di kantor dibandingkan sebelumnya, bukankah itu perubahan yang bagus?”

“Aku bisa saja mencari editor lain...”

“Coba saja kalau kau bisa, aku bisa pastikan kau akan menemukan yang standarnya ada ribuan angka dibawahku,” gumamnya yakin, sangat arogan.

“Apa maksudmu? Kau mau bilang kalau kinerja Hanji tidak bagus?” gumamku kesal. Hanji kan temannya tapi kenapa dia malah menghina Hanji.

Levi beranjak dari sofa setelah melepas dasinya dan melemparnya keatas sofa, ia berjalan mendekatiku. “What happened to this beautiful lips, shitty brat? Kenapa kau tiba-tiba menentangku?” gumamnya dingin namun dengan nada yang maskulin, ada senyuman licik di wajahnya. Sikapnya membuat jantungku kembali berdebar keras. Harusnya aku tak melawannya tapi aku tak bisa menahan diriku sendiri.

“Kau bilang pada Erwin kalau aku ini budakmu,” gumamku dengan nada agak keras sambil terus menatap mata biru keabu-abuan Levi, rambut hitam legamnya menyapu kulit putihnya yang pucat,  sosoknya kini hanya berjarak beberapa senti saja dariku.

Ia berdecak lalu mendekatkan dirinya padaku membuatku mundur beberapa langkah. “Jadi kau merasa kesal karena hal itu? Kalau kau tak ingin kuanggap budak, aku bisa saja menganggapmu sebagai kekasihku... I’ve asked you for a date but you have not given the answer right, shitty brat?”

Kata-katanya bagai petir disiang bolong. Kugigit bibir bawahku dengan perasaan tak menentu. “Ini masalah yang berbeda! Jangan mencampur adukkannya,” gumamku mencoba tak menghiraukannya. “Lagipula kau tidak suka padaku kan?”

Levi menatapku diam untuk beberapa saat lalu ia menghela napas panjang. “Kau bilang tidak ingin menjalin hubungan jangka panjang kan? Aku telah menawarkan diri untuk membantumu agar kau bisa lebih baik dengan tulisanmu. Aku memberimu opsi yang bagus untuk pekerjaanmu karena kau tampak profesional tapi sekaligus bodoh dalam hal ini, bukan berarti kita harus saling jatuh cinta saat melakukannya,”

“Tapi bukan berarti kita bisa kencan begitu saja, setidaknya orang yang ingin kencan harusnya punya ketertarikan khusus satu sama lain. Mana mungkin kau bisa mengencani orang yang tidak membuatmu tertarik sedikit pun,” protesku mulai kesal. Aku ingin sekali menutup mulutku dengan selotip besar.

“Oh shit! Kenapa kau membuat semuanya jadi begitu rumit? Padahal kau Cuma harus bilang ‘iya’ dan kita bisa pergi melakukan kencan bodoh apapun yang kau ingin coba lakukan,” geramnya kesal.

“Aku tak bisa menelitimu kalau aku tidak benar-benar tertarik padamu!” geramku.

Punggungku membentur lemari saat ia menekankan tangannya pada berkas-berkas di kedua sisi tubuhku, mengurungku dalam kedua lengannya. “Le-Levi w-what are you doing...?”

Ciuman paksa itu mendarat dibibirku, basah dan hangat. Bibir Levi mengecup bagian bawah bibirku sebelum akhirnya lidahnya menelusup masuk dan membuka paksa bibirku, bibir Levi terasa begitu lembut. Ia tampak begitu menikmatinya, mencecap bibirku dan merasakan seluruh teksturnya yang terasa hangat dan panas. Kurasakan lidahnya mengait lidahku dan memainkannya dengan intensitas yang ahli.

Napasku terengah-engah saat Levi melepaskan tautan bibirnya dan memundurkan kepalanya dariku. Kulihat sorot tatapan lembut dimatanya. Ini adalah ciuman paling intens yang kurasakan meskipun tak begitu berbeda dengan ciuman pertama kami sebelumnya.

Ini ironis mengingat ia sudah memiliki kekasih yang sangat cantik dan bersahaja. Ciuman ini mungkin tak berarti apa-apa tapi dia berhasil membuatku tak bisa menolaknya.

“How does it feel? Do you like it?” Levi berbisik lembut ditelingaku, napasnya yang hangat menerpa kulitku membuatku tak berdaya menghadapinya. Aku tak bisa menampiknya, dia memang jago dalam hal ini.

Rambut hitam kelam milik Levi menyapu kulitku saat wajahnya tenggelam disisi kepalaku, aroma peachnya sangat menyegarkan, bisa kurasakan ia sedang mengecup dan menghisap kulit leherku.

“S-stop... we shouldn’t do this...” bisikku lemah sambil berusaha mendorongnya. Namun tangannya menangkap tanganku dan menekan keduanya ke susunan file box yang ada di belakangku. Terasa sedikit nyeri karena ia menggenggamnya begitu kuat.

“Why? It feels so good shitty brat.. I can’t stop.” Tolaknya.

“But... you hurt me...”

Suara dering ponsel menggema dalam ruangan itu. Bisa kurasakan getaran dari kantung blazer yang kukenakan. Levi tampak tak ingin berhenti namun ia melepas satu tanganku sementara tangannya mulai meraba bagian kantung blazerku.

“Levi please stop!” pintaku lagi. Suara dering ponsel itu berhenti dan Levi juga menghentikan kegiatannya, bisa kurasakan wajahku sudah terasa panas dan memerah karena malu dan marah saat menatap balik sosoknya yang masih tanpa ekspresi dan dingin.

Suara dering ponsel itu kembali menggaung memecah keheningan diantara kami. “Kalau kau tidak berniat untuk mengangkat teleponnya aku akan melanjutkan ciuman kita yang tertunda,” tegur Levi. Dengan perasaan terguncang kuterima panggilan itu.

“Ha-halo... mom?” aku tidak sedikit pun berusaha beranjak dari Levi saat menerima panggilan itu. Kakiku terasa lemah dan kabar yang kuterima juga tidak membuatku merasa lebih baik. Aku hanya bisa membalas dengan “Ada apa?” dan “Oke,” jawaban itu membuat Levi mengerutkan dahinya ingin tahu.

“What’s wrong?” tanyanya, ia tampak khawatir saat melihatku tidak memberi respon meledak-ledak seperti sebelumnya.

“Aku akan pergi dinner...” cetusku lalu memasukkan ponselku kembali ke dalam kantung blazerku.

Levi menatapku bingung, ia tak tahu harus bereaksi apa. “That’s a good news, bukankah harusnya kau merasa senang,” gumamnya lalu menyentuh pipiku dan menyapunya lembut dengan jari-jarinya. Aku merasa hangat karena sikap barunya ini. “Dengan siapa kau akan pergi?”

Kutelan liurku susah payah dan membuang muka dari Levi. “Calon tunanganku...”

****
Continued to Chapter 9



Diari Levi Ackerman Waifu~


Akhirnya setelah hiatus yang cukup lama chapter ini bisa dirilis juga. Maaf sudah membuat kalian menunggu lama reader chan ): Beberapa minggu ini aku sedang tidak dalam mood yang bagus untuk menulis, idenya ada tapi aku nggak yakin ingin memasukkannya dalam cerita atau tidak (galau).

Ah~ gomen-gomen... seharusnya aku mengupdate satu chapter per judul cerita setiap seminggu sekali tapi mau gimana lagi... hehehe, semoga saja penyakit kambuhan ini nggak bertahan lama ya jadi aku bisa update chapternya setiap seminggu sekali :)

Oh ya... tadinya aku ingin membuat tribute khusus untuk Armin Arlert semacam spin off story tapi gak jadi, soalnya di chapter 82 kemarin dia sempat ‘meninggal’ karena terkena asap panas Titan (aku sempat speechless karena sama sekali ga ngebayangin Armin akan mati). Aku juga sempat lumayan histeris (kekekeke) saat membayangkan Levi harus melawan begitu banyak Titan dilapangan terbuka dan seorang diri (Damn... dia pasti badass banget kalo bisa melawan Titan sendirian di chapter 82, surprisingly dia terlihat baik-baik saja di chapter 83 dan itu lumayan menenangkan perasaan dan membangkitkan mood untuk menulis).

Oke... aku memang habis baca chapter 83 dan agak sedikit memikirkan gimana kelanjutan chapter 84 nya, diending chapter 83 Levi harus dihadapkan pada sebuah pilihan dimana dia harus memilih salah satu diantara Erwin Smith dan Armin Arlert, manakah diantara kedua ini yang akan mendapat suntikan Titan. Erwin berada dalam kondisi kritis setelah kehilangan tangannya dan hampir kolaps saat melawan pasukan Titan, hal yang sama juga dialami oleh Armin yang ternyata masih hidup meskipun tubuhnya terbakar asap Titan Armornya si Berthold.

Meskipun Levi punya hasrat ingin membunuh Erwin dengan tangannya sendiri aku sempat kaget juga ternyata Levi memilih untuk menyuntikkan serum Titan pada Erwin dibandingkan Armin (di adegan ini dia akan berantem dengan Eren yang mencoba menyelamatkan Armin). Lalu siapakah yang akan dapat suntikan? Jujur aku galau (:p). 

Kalau dianalisis, sebenarnya Armin dan Erwin memiliki kesamaan. Dalam hal pengetahuan strategi perang dilapangan dan kepekaan terhadap situasi kritis yang mendesak, mereka mampu bersikap tenang dan ‘tidak perduli’ apapun konsekuensi yang harus diterima prajurit dan dirinya sendiri demi tercapainya tujuan dari ekspedisi. Perbedaan dan kesamaan antara Armin dan Erwin ini yang membuat mereka berdua sama pentingnya untuk diselamatkan.

Selain usianya yang masih muda, Armin punya otak yang cerdas, kemampuan bernegosiasinya sangat bagus, ia berani bertaruh terhadap pilihannya dan mampu memikirkan strategi selanjutnya disaat terdesak dimana Erwin juga memilikinya, tapi Squad Legion membutuhkan seorang pemimpin yang punya karakter kuat seperti Erwin Smith, untuk saat ini Armin belum memilikinya dan inilah perbedaan diantara keduanya.

Kalau mau diduga-duga, ada kemungkinan serum itu akan diberikan pada Armin Arlet tetapi Erwin Smith juga akan selamat meskipun nggak disuntik dengan serum Titan, ini Cuma pemikiranku sendiri sih tapi masih gak tahu Erwin akan disembuhin pakai obat apa. Bukan sok-sokan nebak... ini hanya insting wanita (wkwkwk) yah pokoknya semoga dua-duanya selamat sih (:p)

Sebenarnya chapter 82-83 ini bikin galau pake banget. Bisa-bisanya Iseyama senpai bikin konsprirasi yang makin parah, ceritanya juga dikit banget, dah gitu hiatusnya lamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!

Aaaakhhh apa yang harus kulakukan reader chaaannn~~~~ (T,T) sepertinya aku butuh next chapternya secepatnya!! (Plak!) #tampardirisendiri #noticemesenpai

Oke terima kasih sudah mampir kelaman ini, buat reader chan yang merayakan hari kemenangan “Selamat Hari Raya Idul Fitri Mohon Maaf Lahir Batin” ya!! Selamat membaca reader chan :)

Janneee!!! :)


1 comment:

  1. Thanks sudah mampir reader chan :D ditunggu ya lanjutannya :)

    ReplyDelete