Perfect
Punishment
(My
Editor is a Devil)
Cast
: Levi Ackerman x Reader
Genre
: Romance, Mature
Language
: Mix (Bahasa Indonesia - English)
Chapter
8
Otakku masih belum bisa melepas ingatan tentang kejadian didalam ruangan Levi yang baru saja terjadi. Oke, dia menyerangku
dengan sebuah ciuman dan aku tak melawan... am I stupid or what? Kutatap diriku
didepan cermin kamar mandi setelah selesai menggosok gigiku. Bayangan tentang
ekpresi wajahnya dan sentuhan bibirnya yang hangat masih membekas dalam
ingatanku. Ini benar-benar buruk...
Esok paginya
aku baru saja sampai di kantor setelah melalui perang hebat dengan hujan lebat
diluar sana. Setengah coatku basah karena aku tak bawa payung, saat sedang
berada di dalam bus hujan tiba-tiba mengguyur kota.
“It looks
like you need help (Name) If you don’t mind can I escort you to the office?”
tegur seseorang saat aku sedang berusaha mengeringkan coatku didekat lift.
“Ah! Erwin!”
sambutku ceria saat melihat sosok Erwin. “Why are you here? I thought you were
going to L.A,” sapaku sambil membalas pelukannya. Erwin terkekeh pelan.
“Yeah, aku
akan tinggal beberapa hari ada beberapa hal yang harus kukerjakan disini jadi
aku butuh bantuan Levi, shall we?” gumamnya saat melihat pintu lift terbuka, ia
mengajakku masuk.
Aku
mengikuti langkah Erwin masuk kedalam lift diikuti beberapa orang pekerja
lainnya.
“Apa ada
hubungannya dengan rumah produksimu?” tanyaku lagi.
Erwin
mengangguk. “Hmmm, yeah... ada sedikit masalah dengan beberapa sponsor, aku dan
Hanji mengalami sedikit kesulitan dalam masalah keuangan jadi kami harus
memenangkan pertaruhan ini,”
“Apa Levi
bisa menyelesaikan masalah kalian? Dia terlihat tidak terlalu berminat kan?”
“Kau
berpikir begitu?” Pintu lift terbuka di lantai empat dan beberapa orang keluar,
membuat box kecil itu terasa sedikit lega.
“Ya,
biasanya dia akan mengeluh lalu setelah itu tiba-tiba saja semua pekerjaan
sudah selesai karena dia merasa tak enak jika tidak membantu. Dia benar-benar
menakjubkan bukan?” keluhku.
“Komentar
yang menarik...” gumam Erwin, senyuman kecil tersungging dibibirnya.
Tentu saja,
Levi adalah seorang perfeksionist tapi aku yakin dia tak akan segan untuk
membantu bawahannya yang kesulitan. Meskipun begitu, aku tak ingin bertemu Levi
sepagi ini, karena aku tahu apa yang akan dia lakukan jika melihatku datang
terlambat.
Damn...
sudah lewat dua puluh menit, Levi pasti akan menyiksaku. Seharusnya aku sudah mengecek
ruangannya dan membuatkan sesuatu untuk diminum dipagi yang dingin ini.
“Aku
penasaran... bagaimana hubungan kalian berdua? Sepertinya semua berjalan
lancar-lancar saja,” gumam Erwin dengan senyuman mengejek.
“Apa
maksudmu?” aku mengernyitkan dahi saat menatap Erwin. Pintu lift menjeblak
terbuka di lantai sepuluh dan Erwin keluar tanpa menjawab pertanyaanku. Aku pun
segera mengikutinya dan berjalan mengiringinya.
“Ah, kau
memanggilnya dengan nama saja... bukankah itu kemajuan?” Erwin menyapa Eren dan
Armin yang sedang sibuk mengatur lay-out di komputer mereka. Lalu kemudian
menyapa Sasha, Ymir dan Christa yang tampak sedang santai di meja mereka.
“Dia tidak
suka dengan panggilan ‘sir’ katanya terlalu formal, lagipula itu sedikit
memudahkanku karena dia selalu mengkritik tulisanku, aku jadi merasa sedikit
setara dengannya dan bisa balik menentangnya, tapi rasanya itu bukan sebuah
kemajuan yang berarti,” protesku lagi.
“Jangan
khawatir, Levi adalah yang terbaik dibidangnya kau tidak akan kecewa dengan
hasilnya nanti..”
“Aku tak
mengerti kenapa kau mengganti posisi Hanji, padahal sebelumnya cukup dengan
bantuan Hanji saja aku sudah bisa membuat dua belas buku yang layak untuk
dibaca kan?”
“Ah,
sebenarnya aku hanya merasa kalau kau butuh sesuatu yang baru... tidak baik
juga kalau kau terlalu lama bergelut dengan Hanji” gumam Erwin sambil terkekeh
pelan dan langkahnya berhenti saat sampai didepan mejaku, ia menatapku dengan
senyuman ramahnya. “... menurutku Levi bisa membantumu untuk memberi penyegaran,
ada baiknya kau bisa menyesuaikan diri dengannya karena dia bisa memberimu
ide-ide yang tak terduga,”
Ya,
contohnya dia tiba-tiba langsung mengajak kencan, padahal gak ada guntur dan
petir, bisakah aku menyebutnya sebagai ‘ide yang gila’?
“Okay, I got
your point... standar menulisku sudah tidak sebaik dulu kan, lagipula aku sama
sekali tak berniat menentangnya, aku masih sayang dengan nyawaku,” curhatku
sambil menaruh tasku di atas meja dan melepas coatku. Erwin kembali tertawa.
“Kau
terdengar seperti orang yang sangat putus asa,” gumamnya. “Kalian pasti
terlihat seperti sepasang kekasih yang sering bertengkar mesra, bukan begitu?”
lanjutnya dengan suara pelan.
“Entahla....
Hei! Stop laughing, akulah yang menderita disini dan kau malah menertawaiku,”
gumamku sebal saat melihat Erwin tertawa.
“Sorry I
just... Mikasa how are you?” sapanya saat gadis itu berjalan melewati kami,
Mikasa membalas sapaan Erwin lalu pergi dengan alasan harus membantu Eren.
“Sepertinya mereka berdua belum ada kemajuan...” keluh Erwin, yang ia maksud
adalah hubungan Mikasa dan Eren. “Hei where are you going?” gumam Erwin saat
melihatku pergi meninggalkannya.
“Ada yang
harus kulakukan diruangan editorku, apa kau ingin menemuinya?” tanyaku.
“(Name) Kau
mencari bos?” tegur Petra, aku membalasnya dengan anggukan. “Dia sedang ada
urusan penting diluar kota dan aku tak tahu kapan dia akan kembali,”
“Really?”
ulangku tak percaya dan Petra mengangguk.
Oh god... padahal
aku sudah mempersiapkan diriku untuk bertatap muka dengannya setelah kejadian
kemarin dan sekarang dia justru tak ada ditempat, sepertinya aku sudah
menghabiskan banyak waktu hanya untuk memikirkan dirinya saja, aku sedikit
menyesal. Tapi kabar baiknya, aku masih punya banyak waktu untuk membersihkan
ruangan Levi.
“Oh, dia
pasti sedang menghadiri rapat dengan sponsor baru kami...” gumam Erwin. “Apa
kabar Petra?” sapanya, gadis itu tersenyum dan membalas sapaannya lalu mereka
mulai mengobrol.
Kutatap
Erwin dengan dahi mengernyit, seharusnya itu menjadi tugas Erwin bukan Levi
kan? “Kau pasti ingin tahu kenapa aku memintanya untuk pergi menghadiri rapat
itu sementara aku justru berada disini dan mencoba untuk bersenang-senang
denganmu kan?” gumam Erwin.
“Tidak
juga,” kilahku lalu membuang muka. “Aku tidak begitu ingin ikut campur dengan kegiatannya,” gumamku tak yakin.
Erwin
tersenyum dan beranjak mendahuluiku meraih pintu kantor Levi lalu membukanya.
“Masuklah... aku ingin tahu sudah sejauh apa perkembangan tulisanmu...”
“Apa kau
yakin tidak apa-apa? Ruangan ini sudah bukan milikmu lagi kan?” tanyaku tak
yakin. Petra juga memasang tampang ingin tahu.
Erwin
tertawa dan melambai-lambaikan tangannya tanda tak perduli. “Tak masalah, dia
tidak akan marah... lagipula dia tahu aku akan mengunjungimu,” gumam Erwin.
****
“Ah...
sepertinya kau cukup bekerja keras dengan tulisanmu kali ini, aku menyukai perubahannya...
bukan berarti yang sebelumnya tidak bagus sih,” gumam Erwin sambil menaruh
kertas-kertas yang ia pegang ke atas meja tamu.
Ia sudah
menghabiskan waktu hampir dua jam untuk membaca tulisanku sampai habis. Aku sedang menuangkan teh untuknya lalu
menyodorkan cangkir itu padanya. Erwin menatapku sambil tersenyum. “Ini pertama
kalinya kau menuangkan teh untukku ya..”
“Benarkah? Sepertinya
kau sedang beruntung hari ini, tidak biasanya aku memperlakukan seseorang
selembut ini, sir..” gumamku.
Untuk
beberapa orang, kata-kataku akan terdengar sedikit tak sopan tapi bagiku dan
Erwin ini adalah hal yang biasa karena kami selalu bercanda dengan gaya yang
sedikit aneh. Ia hanya tersenyum menanggapi kata-kataku.
“Bukankah
ini seharusnya tugas Petra? Dia masih jadi sekertaris Levi kan?”
“Tentu
saja,” desahku. “Dia adalah sekertaris kesayangan Levi, dia bahkan lebih tahu
jadwal rapat dan jadwal bebas Levi dibandingkan siapapun dikantor ini,”
“Kau
terdengar seperti pacar yang sedang cemburu, apa kalian sedang berkencan?”
tanyanya lalu menyeruput tehnya lagi.
Aku
berjengit mendengar kata-kata Erwin. Levi memang mengajakku kencan tapi bukan
berarti dia suka padaku, lagipula aku masih tak percaya kalau wanita berambut
merah itu bukan kekasih Levi dan juga bukannya aku merasa cemburu dengan
Petra... aku cuma...
“Kudengar
kalau kau sekarang jadi budak Levi,” gumamnya lagi.
Aku terkekeh
pelan dengan perasaan sedikit gugup. “Kau dengar dari siapa? Sejak kapan aku
jadi budaknya?” tukasku dengan ekspresi berusaha menganggapnya hanya candaan.
Erwin benar, Levi memang menjadikanku pelayannya dalam batas-batas tertentu.
“Dia
memberitahuku semuanya, Levi” serunya lalu terkekeh pelan. Sial! Aku tak percaya
kalau Levi akan curhat pada pria alis tebal ini. “Aku tak bisa membayangkan apa
yang dia lakukan padamu (Name),” ejeknya.
Aku mendesah
pelan. “Kalau kau kemari hanya untuk mengejekku sebaiknya lupakan saja, aku
tidak tertarik membahasnya... hmm... kenapa kau meminta Levi mengurus pekerjaan
yang bahkan tak ada hubungan dengannya,”
“Nah... aku
hanya meminta sedikit bantuan padanya untuk menghadiri rapat keuangan, dia adalah
negosiator yang cukup handal, sementara aku bersenang-senang dengan para atasan
dan minum anggur aku bisa membebankan urusan tetek bengek itu padanya,”
“Kau kejam
sekali...” keluhku.
Erwin tersenyum
penuh arti. “Yah, tak perlu kau perjelas dia juga sudah tahu kalau aku orang
yang licik... pembicaraan rapat ini menyangkut tender produksi film yang cukup
besar kuharap Levi bisa mengatasinya,”
“Lalu kenapa
kau tidak membantunya? Seharusnya kau pergi bersamanya kan? Kehadiranmu pasti
sangat penting jika itu menyangkut tender besar,”
“Tadinya aku
ingin pergi dengannya, hanya saja aku juga harus bertemu dengan beberapa kolega
penting lainnya dan Levi tak masalah jika pergi sendirian, aku merasa sangat
tertolong karena dia bersedia membantu,”
Mendengar
kata-kata Erwin membuatku teringat dengan kejadian yang pernah dialami Petra
saat gadis itu tak sengaja menghilangkan file penting untuk presentasi. Levi
membantunya menyelesaikan perkara itu.
“(Name)..”
panggil Erwin saat dia melihatku tercenung sendirian dalam pikiranku, aku pun
menatapnya. “Bagaimana dengan ideku dulu, apa kau sudah berkencan dengan
seseorang?”
Pertanyaan
ini lagi. “Not yet..” jawabku lesu. “Tapi kurasa aku akan mencobanya secepatnya...
hanya saja aku tak mengerti kenapa kau begitu ingin tahu kehidupan
percintaanku?”
“Sounds good!” gumam Erwin girang. “Tak ada alasan khusus.. Aku hanya khawatir kau
akan menggila dengan pekerjaanmu ini, cobalah untuk bersenang-senang sedikit,
kau bisa bersantai dengan mengencani Jean, Eren, Armin, Berthold atau...”
“Okay-okay...”
Aku terkekeh pelan. “Stop joking around, kau tahu itu mustahil...”
“Kau hanya
takut mencobanya dengan mereka, benar kan?” potong Erwin. “Ayolah kau terlalu
banyak berpikir, kalau kau tak yakin dengan mereka aku bisa melakukannya
untukmu penampilanku masih segar dan tidak setua umurku jadi kau tak perlu
khawatir aku akan...”
“Apa kau
menggodanya lagi, Eyebrow?” Pintu ruangan terbuka dan sosok yang kami kenal itu
sedang berdiri diambang pintu. Ia tampak sedikit kesal.
“Oh finally
you came, aku tidak menggodanya hanya memintanya untuk kencan denganku," jawab Erwin santai. "Bagaimana situasinya? Kau tampak sedikit tidak bersahabat Levi..”
sapa Erwin. “Apa rapatnya tidak berjalan lancar sesuai keinginan kita?”
tanyanya dengan nada santai dan playful.
Sekilas Levi
menatapku dingin membuat jantungku seperti akan lompat dari tempatnya. Ia
berjalan masuk dan menutup pintu dibelakangnya lalu membuka jas yang tersampir
dibahunya dan menaruhnya ditiang gantungan khusus.
“Rapatnya berjalan lancar.. kita dapat dana yang cukup besar,” jawab
Levi. Ia berjalan menuju sofa dan duduk di sofa yang berhadapan denganku dengan
gaya yang elegan.
Aku tahu tak
seharusnya mendengar percakapan mereka jadi kuputuskan untuk pergi, lagipula
Levi tampak sedang tak enak hati.
“Where are
you going?” tanya Levi saat melihatku bangkit dari dudukku.
“Ah... aku
akan membuatkan secangkir teh untukmu,” gumamku.
Ia menatapku
sejenak dengan dahi berkerut lalu kembali menyandarkan dirinya pada punggung
sofa. “Oh, okay... thanks,” balasnya, ia tampak lelah. Kusambar nampan berisi
teko kosong itu dan pergi meninggalkan mereka berdua.
“Lalu kenapa
kau tampak kesal?” tanya Erwin. “Bukankah itu berita bagus?”
Levi
mendesah pelan. “Masalahnya mereka mengajukan beberapa persyaratan...”
“Lalu?”
“Mereka juga
ingin aku ikut andil untuk mengurusnya,”
“Apa seburuk
itu? Kita akan mengerjakannya bersama jadi kau tak perlu khawatir, aku hanya
memintamu untuk menghadiri rapat itu dan bernegosiasi sisanya serahkan padaku,”
gumam Erwin.
“Ah, aku
tidak mengkhawatirkan hal itu... aku sudah mengurusnya, aku akan memberimu
print out-nya kalau sudah selesai kukerjakan...”
“Kau
membuatku khawatir saja, kupikir sesuatu yang buruk terjadi padamu...”
****
Aku sedang
mengaduk gula dalam cangkir earlgrey Levi saat Jean muncul dan menghampiriku. “(Name)? Kau
punya waktu sore nanti?” tegurnya lalu berdiri didekatku sambil menyandarkan
pantatnya pada sisi lemari penyimpanan..
“Ah,
entahlah... ada apa?”
“Aku dan
para gadis akan mampir ke cafe, mereka ingin membicarakan tentang agenda akhir
pekan. Aku ingin kau ikut dengan kami,”
“Hanya para
gadis?”
“Yeah tidak
juga, si jelek Yeager dan yang lain juga akan ikut bergabung... bagaimana kau
bisa kan, aku akan menunggumu jadi kita bisa naik mobilku,”
“Ah... ini
hanya alasan supaya kau juga bisa mengajak Mikasa kan?”
Jean
tersenyum sambil mengangkat alisnya. “Pokoknya aku akan menunggumu...” gumamnya
memastikan lagi. Aku hanya mengangguk-angguk mengiyakan. “By the way... kau
tahu tidak kalau Eren ingin mengajakmu keluar untuk makan malam?” bisiknya
ditelingaku.
“Hah? W-what
are you talking about?”
Jean
terkekeh geli. “Aku yakin kau akan terkejut, sudah dulu ya aku masih ada
kerjaan,” serunya lalu beranjak pergi.
“Hei horse
face!! Ini Cuma lelucon kan?” pekikku. “Kirchtein!!” Namun aku hanya mendengar
suara tawa Jean. Si muka kuda itu pasti sedang mengerjaiku lagi.
Setelah
selesai membuat teh aku pun kembali keruangan Levi. Kuketuk pelan pintu
ruangannya dan mendorong kenopnya pelan meskipun dia tak mempersilakanku masuk.
Kulihat Levi
sedang duduk sendirian di sofa dan tampaknya Erwin sudah pergi. “Ini tehmu,”
gumamku. Levi menyodorkan tangannya untuk menyambut cangkirnya sebelum
kuletakkan cangkir itu diatas meja. “Dimana Erwin? Apa dia sudah pergi?”
“Yeah, ada
beberapa hal yang harus dia kerjakan jadi dia langsung pergi saat mendapat
panggilan telepon dari sekertarisnya,” gumam Levi lalu menyeruput minumannya.
Ia tampak lebih tenang dibandingkan saat baru datang tadi.
“Oh...” Kulihat
dipangkuannya ada lembaran kertas berisi tulisanku, sepertinya dia sedang
membacanya. “Erwin memaksa untuk melihat tulisanku jadi aku menunjukkan itu
padanya...” gumamku tanpa diminta.
Aku sendiri
bingung kenapa tiba-tiba membicarakannya, pasti karena suasana diantara kami
tiba-tiba menjadi kaku dan aku hanya sedang berusaha untuk mencari topik saja. “Ah,
kalau tak ada lagi yang dibutuhkan aku akan pergi seka...”
“Stay
here...” putus Levi dengan nada suara maskulin yang lembut. Ia meletakkan
cangkir tehnya di meja lalu menatapku yang memasang wajah bingung. “Kemarin aku
dan Erwin menghamburkan sesuatu, kau lihat sudut ruangan itu?” tunjuknya
kesalah satu sudut ruangan.
Kulihat
bertumpuk-tumpuk file berserakan diatas meja dan dibawahnya. Aku tak paham apa
yang sedang mereka kerjakan hingga harus membongkar semua file ini. “Apa kau
ingin aku membereskannya?” tanyaku iseng karena aku sudah tahu maksudnya.
“Yeah, aku
sedang butuh pemandangan indah... kerjakan dengan benar sebelum kertas-kertas
itu membuatku sakit kepala,” jawabnya dingin lalu mulai memeriksa kertas
milikku.
“Yeah... aku
yakin kau akan sangat menikmati pemandangannya kan? Melihatku mengerjakan semua
ini pasti membuatmu merasa begitu senang,” protesku. Aku tak tahu kalau
sebenarnya Levi hanya ingin aku berada lebih lama didalam ruangan yang sama
dengannya.
Levi
melirikkan matanya padaku, tatapannya dingin dengan dahi berkerut. “Sepertinya kau
sudah sangat mahir membaca pikiranku. Sortir semuanya menurut abjad jangan
sampai ada yang terlupa and no more question,” gumamnya lalu lanjut membaca.
Kutatap
dirinya dengan perasaan kesal namun kutahan agar tidak meledak tanpa kontrol.
“Kau tahu ini bukan pekerjaanku kan?” gumamku pelan sambil mulai membereskan
file itu.
Levi
menurunkan kertas yang ia baca dari pandangannya. “Tentu saja aku tahu,”
jawabnya dingin.
Aku
mengernyitkan dahi bingung saat mendengar jawabannya. “Lalu kenapa...?”
tanyaku.
Levi
mengernyitkan dahinya. “Kenapa harus kau?” ulangnya lagi. “Sudah jelas karena
itu bagian dari hukumanmu kan? Kita sudah membicarakan ini di awal pertemuan
kenapa kau malah baru mengungkitnya sekarang?”
Aku ingin
menggeram namun kutahan emosiku agar tidak meledak padanya, aku tak tahu kenapa
tiba-tiba menjadi sesensitif ini. “Aku hanya seorang penulis disin...”
“Kau
pegawaiku...” putusnya. “Bukankah kau sekarang menggantikan Hanji untuk
mengerjakan pekerjaannya? Aku membayarmu untuk itu dan membayarmu lebih untuk
pekerjaan tambahan ini, so what’s the problem?”
Levi benar. Tapi
tanpa jadi pegawai pun kurasa aku masih bisa bertahan hidup hanya dengan
menjadi penulis... mungkin untuk kurun waktu tertentu. Aku tahu memiliki pekerjaan
tetap juga sangat penting.
“Aku hanya
ingin membantu tapi bukan berarti kau boleh memperlakukanku seperti pelayan...”
“Aku tidak
memperlakukanmu seperti pelayan, aku hanya sedang memberimu pelajaran tentang
kedisiplinan... pelajaran ini tidak hanya untukmu tapi juga untuk yang lainnya,
kau tidak merasa pelajaran ini spesial kan?”
“Nonsense...”
“Apa kau
ingin mengeluh sekarang?” gumam Levi dingin dahinya berkerut lagi, ia melempar
kertas yang ia pegang keatas meja dan melonggarkan dasinya. “Bukankah Erwin
memuji tulisanmu? Dia bilang sangat menyukai tulisanmu dan kau jadi lebih sering
berada di kantor dibandingkan sebelumnya, bukankah itu perubahan yang bagus?”
“Aku bisa
saja mencari editor lain...”
“Coba saja
kalau kau bisa, aku bisa pastikan kau akan menemukan yang standarnya ada ribuan
angka dibawahku,” gumamnya yakin, sangat arogan.
“Apa
maksudmu? Kau mau bilang kalau kinerja Hanji tidak bagus?” gumamku kesal. Hanji
kan temannya tapi kenapa dia malah menghina Hanji.
Levi
beranjak dari sofa setelah melepas dasinya dan melemparnya keatas sofa, ia
berjalan mendekatiku. “What happened to this beautiful lips, shitty brat? Kenapa
kau tiba-tiba menentangku?” gumamnya dingin namun dengan nada yang maskulin, ada
senyuman licik di wajahnya. Sikapnya membuat jantungku kembali berdebar keras. Harusnya
aku tak melawannya tapi aku tak bisa menahan diriku sendiri.
“Kau bilang
pada Erwin kalau aku ini budakmu,” gumamku dengan nada agak keras sambil terus
menatap mata biru keabu-abuan Levi, rambut hitam legamnya menyapu kulit
putihnya yang pucat, sosoknya kini hanya
berjarak beberapa senti saja dariku.
Ia berdecak
lalu mendekatkan dirinya padaku membuatku mundur beberapa langkah. “Jadi kau merasa
kesal karena hal itu? Kalau kau tak ingin kuanggap budak, aku bisa saja menganggapmu
sebagai kekasihku... I’ve asked you for a date but you have not given the
answer right, shitty brat?”
Kata-katanya
bagai petir disiang bolong. Kugigit bibir bawahku dengan perasaan tak menentu. “Ini
masalah yang berbeda! Jangan mencampur adukkannya,” gumamku mencoba tak menghiraukannya.
“Lagipula kau tidak suka padaku kan?”
Levi
menatapku diam untuk beberapa saat lalu ia menghela napas panjang. “Kau bilang
tidak ingin menjalin hubungan jangka panjang kan? Aku telah menawarkan diri
untuk membantumu agar kau bisa lebih baik dengan tulisanmu. Aku memberimu opsi
yang bagus untuk pekerjaanmu karena kau tampak profesional tapi sekaligus bodoh
dalam hal ini, bukan berarti kita harus saling jatuh cinta saat melakukannya,”
“Tapi bukan
berarti kita bisa kencan begitu saja, setidaknya orang yang ingin kencan
harusnya punya ketertarikan khusus satu sama lain. Mana mungkin kau bisa
mengencani orang yang tidak membuatmu tertarik sedikit pun,” protesku mulai
kesal. Aku ingin sekali menutup mulutku dengan selotip besar.
“Oh shit! Kenapa
kau membuat semuanya jadi begitu rumit? Padahal kau Cuma harus bilang ‘iya’ dan
kita bisa pergi melakukan kencan bodoh apapun yang kau ingin coba lakukan,”
geramnya kesal.
“Aku tak
bisa menelitimu kalau aku tidak benar-benar tertarik padamu!” geramku.
Punggungku
membentur lemari saat ia menekankan tangannya pada berkas-berkas di kedua sisi
tubuhku, mengurungku dalam kedua lengannya. “Le-Levi w-what are you doing...?”
Ciuman paksa
itu mendarat dibibirku, basah dan hangat. Bibir Levi mengecup bagian bawah
bibirku sebelum akhirnya lidahnya menelusup masuk dan membuka paksa bibirku,
bibir Levi terasa begitu lembut. Ia tampak begitu menikmatinya, mencecap
bibirku dan merasakan seluruh teksturnya yang terasa hangat dan panas. Kurasakan
lidahnya mengait lidahku dan memainkannya dengan intensitas yang ahli.
Napasku
terengah-engah saat Levi melepaskan tautan bibirnya dan memundurkan kepalanya
dariku. Kulihat sorot tatapan lembut dimatanya. Ini adalah ciuman paling intens
yang kurasakan meskipun tak begitu berbeda dengan ciuman pertama kami
sebelumnya.
Ini ironis
mengingat ia sudah memiliki kekasih yang sangat cantik dan bersahaja. Ciuman ini
mungkin tak berarti apa-apa tapi dia berhasil membuatku tak bisa menolaknya.
“How does it
feel? Do you like it?” Levi berbisik lembut ditelingaku, napasnya yang hangat
menerpa kulitku membuatku tak berdaya menghadapinya. Aku tak bisa menampiknya,
dia memang jago dalam hal ini.
Rambut hitam
kelam milik Levi menyapu kulitku saat wajahnya tenggelam disisi kepalaku, aroma
peachnya sangat menyegarkan, bisa kurasakan ia sedang mengecup dan menghisap
kulit leherku.
“S-stop...
we shouldn’t do this...” bisikku lemah sambil berusaha mendorongnya. Namun tangannya
menangkap tanganku dan menekan keduanya ke susunan file box yang ada di belakangku.
Terasa sedikit nyeri karena ia menggenggamnya begitu kuat.
“Why? It
feels so good shitty brat.. I can’t stop.” Tolaknya.
“But... you
hurt me...”
Suara dering
ponsel menggema dalam ruangan itu. Bisa kurasakan getaran dari kantung blazer
yang kukenakan. Levi tampak tak ingin berhenti namun ia melepas satu tanganku
sementara tangannya mulai meraba bagian kantung blazerku.
“Levi please
stop!” pintaku lagi. Suara dering ponsel itu berhenti dan Levi juga
menghentikan kegiatannya, bisa kurasakan wajahku sudah terasa panas dan memerah
karena malu dan marah saat menatap balik sosoknya yang masih tanpa ekspresi dan
dingin.
Suara dering
ponsel itu kembali menggaung memecah keheningan diantara kami. “Kalau kau tidak
berniat untuk mengangkat teleponnya aku akan melanjutkan ciuman kita yang tertunda,”
tegur Levi. Dengan perasaan terguncang kuterima panggilan itu.
“Ha-halo...
mom?” aku tidak sedikit pun berusaha beranjak dari Levi saat menerima panggilan
itu. Kakiku terasa lemah dan kabar yang kuterima juga tidak membuatku merasa
lebih baik. Aku hanya bisa membalas dengan “Ada apa?” dan “Oke,” jawaban itu
membuat Levi mengerutkan dahinya ingin tahu.
“What’s
wrong?” tanyanya, ia tampak khawatir saat melihatku tidak memberi respon
meledak-ledak seperti sebelumnya.
“Aku akan
pergi dinner...” cetusku lalu memasukkan ponselku kembali ke dalam kantung
blazerku.
Levi menatapku
bingung, ia tak tahu harus bereaksi apa. “That’s a good news, bukankah harusnya
kau merasa senang,” gumamnya lalu menyentuh pipiku dan menyapunya lembut dengan
jari-jarinya. Aku merasa hangat karena sikap barunya ini. “Dengan siapa kau
akan pergi?”
Kutelan
liurku susah payah dan membuang muka dari Levi. “Calon tunanganku...”
****
Continued to Chapter 9
Diari
Levi Ackerman Waifu~
Akhirnya
setelah hiatus yang cukup lama chapter ini bisa dirilis juga. Maaf sudah
membuat kalian menunggu lama reader chan ): Beberapa minggu ini aku sedang
tidak dalam mood yang bagus untuk menulis, idenya ada tapi aku nggak yakin
ingin memasukkannya dalam cerita atau tidak (galau).
Ah~
gomen-gomen... seharusnya aku mengupdate satu chapter per judul cerita setiap
seminggu sekali tapi mau gimana lagi... hehehe, semoga saja penyakit kambuhan
ini nggak bertahan lama ya jadi aku bisa update chapternya setiap seminggu
sekali :)
Oh ya...
tadinya aku ingin membuat tribute khusus untuk Armin Arlert semacam spin off
story tapi gak jadi, soalnya di chapter 82 kemarin dia sempat ‘meninggal’ karena
terkena asap panas Titan (aku sempat speechless karena sama sekali ga
ngebayangin Armin akan mati). Aku juga sempat lumayan histeris (kekekeke) saat
membayangkan Levi harus melawan begitu banyak Titan dilapangan terbuka dan
seorang diri (Damn... dia pasti badass banget kalo bisa melawan Titan sendirian
di chapter 82, surprisingly dia terlihat baik-baik saja di chapter 83 dan itu
lumayan menenangkan perasaan dan membangkitkan mood untuk menulis).
Oke... aku
memang habis baca chapter 83 dan agak sedikit memikirkan gimana kelanjutan
chapter 84 nya, diending chapter 83 Levi harus dihadapkan pada sebuah pilihan
dimana dia harus memilih salah satu diantara Erwin Smith dan Armin Arlert,
manakah diantara kedua ini yang akan mendapat suntikan Titan. Erwin berada
dalam kondisi kritis setelah kehilangan tangannya dan hampir kolaps saat
melawan pasukan Titan, hal yang sama juga dialami oleh Armin yang ternyata
masih hidup meskipun tubuhnya terbakar asap Titan Armornya si Berthold.
Meskipun
Levi punya hasrat ingin membunuh Erwin dengan tangannya sendiri aku sempat
kaget juga ternyata Levi memilih untuk menyuntikkan serum Titan pada Erwin
dibandingkan Armin (di adegan ini dia akan berantem dengan Eren yang mencoba
menyelamatkan Armin). Lalu siapakah yang akan dapat suntikan? Jujur aku galau
(:p).
Kalau
dianalisis, sebenarnya Armin dan Erwin memiliki kesamaan. Dalam hal pengetahuan
strategi perang dilapangan dan kepekaan terhadap situasi kritis yang mendesak,
mereka mampu bersikap tenang dan ‘tidak perduli’ apapun konsekuensi yang harus
diterima prajurit dan dirinya sendiri demi tercapainya tujuan dari ekspedisi.
Perbedaan dan kesamaan antara Armin dan Erwin ini yang membuat mereka berdua
sama pentingnya untuk diselamatkan.
Selain
usianya yang masih muda, Armin punya otak yang cerdas, kemampuan
bernegosiasinya sangat bagus, ia berani bertaruh terhadap pilihannya dan mampu
memikirkan strategi selanjutnya disaat terdesak dimana Erwin juga memilikinya,
tapi Squad Legion membutuhkan seorang pemimpin yang punya karakter kuat seperti
Erwin Smith, untuk saat ini Armin belum memilikinya dan inilah perbedaan
diantara keduanya.
Kalau mau
diduga-duga, ada kemungkinan serum itu akan diberikan pada Armin Arlet tetapi
Erwin Smith juga akan selamat meskipun nggak disuntik dengan serum Titan, ini
Cuma pemikiranku sendiri sih tapi masih gak tahu Erwin akan disembuhin pakai
obat apa. Bukan sok-sokan nebak... ini hanya insting wanita (wkwkwk) yah
pokoknya semoga dua-duanya selamat sih (:p)
Sebenarnya
chapter 82-83 ini bikin galau pake banget. Bisa-bisanya Iseyama senpai bikin
konsprirasi yang makin parah, ceritanya juga dikit banget, dah gitu hiatusnya
lamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!
Aaaakhhh apa
yang harus kulakukan reader chaaannn~~~~ (T,T) sepertinya aku butuh next
chapternya secepatnya!! (Plak!) #tampardirisendiri #noticemesenpai
Oke terima
kasih sudah mampir kelaman ini, buat reader chan yang merayakan hari kemenangan
“Selamat Hari Raya Idul Fitri Mohon Maaf Lahir Batin” ya!! Selamat membaca
reader chan :)
Janneee!!! :)
Thanks sudah mampir reader chan :D ditunggu ya lanjutannya :)
ReplyDelete