Monday, 30 May 2016

Perfect Punishment (Levi Ackerman x Reader) - Chapter 05

BY Unknown IN No comments




 Perfect Punishment
(My Editor is a Devil)

Cast : Levi Ackerman x Reader
Genre : Romance, Mature
Language : Mix (Bahasa Indonesia - English)

NB : Minna Hajimemashite!! Sorry banget karena telat posting, seharusnya chapter ini kuposting hari sabtu kemarin tapi karena ada beberapa trouble jadi terpaksa baru bisa diposting sekarang. Gomen ne :) Selamat dinikmati semoga kalian suka :)

Chapter 5

Aku baru saja duduk santai dikursiku setelah menyelesaikan pekerjaanku di ruangan Levi dan mengirim review yang telah kutulis untuk majalah Corps dan Titan tiga puluh menit sebelum jam delapan malam. Kantor sudah sepi karena semua orang sudah pulang kerja dan aku sedang menunggu bosku sendirian dalam ruangan itu. Tak lama kemudian sosok Levi Ackerman muncul dari dalam lift yang terbuka dan kehadirannya membuyarkan fokusku.
 
Ia berjalan cepat sambil melihat jam tangannya lalu menghampiri mejaku. “Did you finish your damn work?” serunya sambil meletakkan sesuatu diatas mejaku.

Aku pun mengangguk cepat. “Yup, all of them. By the way... what it is, sir?”

“Our dinner,” gumamnya sambil membuka jasnya dan melonggarkan dasinya.

“O-our dinner...?” ulangku gugup. Kutatap wajah Levi yang tak menyiratkan ekspresi apapun.

“Yeah, kau belum makan malam kan? Atau kau sudah makan sebelumnya?”

Aku menggeleng cepat. “Umm.. not yet!”

“Good, aku sedikit bingung ingin membeli apa jadi aku membeli makanan jepang, apa kau bisa memakannya?” gumamnya lalu melepas kancing lengan bajunya dan melipat setengah lengan bajunya.

“Of course! That’s my favorite one, thank you!” pekikku senang. Kulihat Levi tampak menyunggingkan senyuman kecil diwajahnya, dia terlihat cukup senang dengan reaksiku. Tapi tak kusangka dia akan bersikap semanis ini.

But... What the hell was going on?? Why he treats me with these kind of stuff??

“Jangan senyum-senyum sendiri seperti itu. Siapkan makan malamnya, aku akan menunggu diruanganku,” serunya sambil menatapku dengan tatapan datar sedingin es.

Geezz, dia kembali lagi kemode menyebalkannya. Tapi tak apa, kurasa aku sedikit menyukai sisi bosku yang seperti ini.

“Yes, Mr. President,”

****

Setelah selesai menyiapkan makan malam kami, akupun masuk kedalam ruangan Levi. Ia tampak sedang sibuk dengan beberapa hal diatas mejanya dan tak begitu memperdulikan kehadiranku. “Bos, makan malammu ingin kuletakkan dimana?” tanyaku.

“Taruh saja dimeja itu,” serunya tanpa sedikitpun menatapku, namun jari telunjuknya menunjuk kemeja sofa tamu yang ada ditengah ruangan.

Aku pun beranjak mendekati meja itu dan meletakkan makanan bagian Levi lalu beranjak keluar dari ruangannya. “Oi! Where are you going?” tanyanya saat aku baru saja membuka pintu kantor. Kulihat ia sedang menatapku dengan tatapan kematiannya sambil berkacak pinggang.

“Aku akan kembali kemejaku sir, kau bisa makan malam dulu sebelum kita membahas masalah pekerjaan...”

Levi menatap pekerjaannya yang ada diatas meja lalu menatapku lagi. “Kita akan membahasnya sambil makan malam... sepertinya aku lupa memberitahumu?” gumamnya lagi.

Aku terdiam untuk beberapa saat dan mencoba mencerna kata-katanya barusan. “O-okay... aku akan mengambil bagianku dulu lalu kembali,” gumamku gugup lalu keluar dari ruangannya dan berjalan cepat menuju mejaku, mengambil makan malam dan keperluan lainnya.

Saat masuk kedalam ruangan Levi kulihat ia telah duduk disofa namun masih melanjutkan pekerjaannya. Aku pun meletakkan barang-barangku disudut meja dan duduk agak jauh dari Levi. Meskipun dia bilang ingin makan malam bersama tapi tetap saja ia masih memprioritaskan pekerjaannya.

“Sorry (Name), aku harus menyelesaikan ini terlebih dulu. Kau bisa makan duluan,” gumamnya seolah membaca pikiranku tanpa memperhatikanku.

“Oh! It’s okay sir, aku akan menunggu sampai anda selesai,” gumamku. Levi melempar tatapan dingin dengan dahi berkerut padaku saat mendengarnya. “W-what...?”

“Kau tak perlu menungguku,” gumamnya.

“Bukankah kau  bilang kita akan makan malam bersama? Jadi aku akan menunggu hingga pekerjaanmu selesai,”

Levi mendesah panjang dan menghentikan pekerjaannya. “Maaf membuatmu harus menunggu, shitty brat,” gumamnya pelan. “Aku akan menyelesaikan ini secepatnya,” ujarnya lagi lalu melanjutkan pekerjaannya.

Aku mengangguk menyetujui pernyataannya. “Okay, sir,”

“Just stop being formal it kinda waste of time (Name), you can call me by my name at this time,” gerutunya tanpa menatapku.

“Hmm?” jawabku bingung. “Is it a good idea?”

Ia mendongakkan kepalanya dan menatapku dari balik kacamatanya. “Yeah, of course! Kau boleh memanggilku ‘Levi’ saat kita sedang berdua,”

Aku sedikit ragu karena malam ini ia bertingkah sangat berbeda dari biasanya. “Okay!” saat mengamati Levi yang sedang bekerja aku kembali teringat dengan kejadian kemarin malam, sebenarnya aku masih sangat penasaran dengan pria yang dimaksud Joy sebagai ‘pacar’. “Um.. about last night, terima kasih karena sudah meminjamiku jasmu... Levi,”

“It’s not a big deal, shitty brat,” tukasnya. Namun hanya dengan jawaban pendek itu aku langsung tahu siapa yang telah mengantarku ke apartemen tadi malam dan siapa orang yang disebut Joy sebagai pacarku.

Malam itu untuk pertama kalinya aku benar-benar memperhatikan sosok bos dan editorku yang seram, Mr. Levi Ackerman. Ia tampak serius dengan pekerjaannya dan sesekali ia memintaku untuk mengambilkan beberapa barang dari dalam laci meja kerjanya. Kurasa ia jadi sedikit lebih mempercayaiku.

Meskipun aku bukan sekretarisnya tapi entah kenapa aku jadi mulai terbiasa dengan pekerjaan sampinganku ini dan kupikir aku cukup menikmatinya, tentu saja  bagian bersih-bersih tak termasuk dalam list favoritku.

Sepuluh menit kemudian pekerjaannya selesai dan ia menyingkirkan tetek bengek itu dari hadapannya lalu melepas kacamatanya, ia tampak lelah. “Wanna have some tea?” tanyaku.

“No,” tolaknya. “Aku lapar sekali, sebaiknya kita habiskan makanan ini sebelum dingin,” serunya lagi.

“Tapi makanannya sudah dingin sejak tadi,” gumamku sambil terkekeh pelan. “Kalau kau mau menunggu sebentar, aku bisa memanaskannya untukmu,”

 “Tak perlu, aku akan langsung memakannya saja...”serunya santai lalu meraih makanan bagiannya.

Apa cuma perasaanku saja, tapi kurasa sikap bosku sedikit melunak malam ini tidak seperti ketika siang hari dimana ia akan dengan semangat meneriaki semua orang. Saat ini ia bersikap sangat lembut dan malah memakan makanannya dengan gaya yang cukup elegan, sikapnya itu membuatku terpana.

“Kenapa menatapku seperti itu? Apa hanya dengan menatapku kau akan kenyang, lazyass?” gumamnya tanpa menatapku. Sepertinya aura tatapanku sangat kuat dan ia bisa menyadarinya.

Kata-katanya membuyarkan lamunanku. Dengan cepat kuambil bagianku dan mulai memakannya. “No, aku hanya sedang melamun,” jawabku santai meskipun dalam hati aku masih merasa gugup.

“Tch, you weird...” gumamnya pelan lalu melahap makanannya lagi.

Hal ini benar-benar membuatku merasa frustrasi, apalagi setiap kali kulihat wajahnya aku selalu teringat dengan ciuman dalam mimpi itu. Aku tak bisa berhenti memikirkannya dengan sangat serius padahal itu cuma bunga tidur atau mungkin juga itu cuma khayalanku saja.

Oh shit! Kenapa aku malah mengkhayalkan bosku??? Aku bahkan tak tertarik padanya kan?!!

“Mana pekerjaanmu? Aku akan memeriksanya sekarang,” pintanya setelah kami menyelesaikan makan malam kami. Suara Levi membuyarkan pikiranku yang saat ini sedang dipenuhi oleh dirinya.

“Oh, okay...” Kukeluarkan notebookku dan menyalakannya sementara Levi menggeser duduknya agar bisa lebih dekat denganku. “Aku sudah memperbaiki beberapa plot yang kau minta dan menambahkan beberapa cerita sampingan, spin off story sounds good right?” jelasku sambil memperlihatkan pekerjaanku.

“Jangan menambahkan hal yang tak berguna, kau tak perlu membuat spin off atau cerita tambahan apapun kalau tulisanmu yang ini tidak bisa menarik perhatianku,” gumamnya dingin.

Geezzz.. Dia kembali menyebalkan seperti sebelumnya lagi. “Okay. Kau bisa lihat dibagian ini, aku sedikit merasa bingung dengan percakapan antara tokoh utamanya, apa kah sudah tepat dibagian klimaks atau sebaiknya kutahan dulu...?” gumamku lagi.

Levi tak berkomentar dan hanya menatap wajahku diam. Aku pun menghentikan ocehanku dan membiarkan dia merevisi pekerjaanku. Kupikir ia sedang merasa kesal tapi ternyata tidak, dia menaruh notebook itu dipangkuannya dan mulai mengecek.

Tak lama kemudian dia mulai berkomentar sambil memperbaiki posisi duduknya agar lebih santai. “Coba cek paragraf ini..” serunya sambil memperlihatkan layar notebook padaku membuatku harus menggeser pantatku semakin dekat agar bisa melihat tulisannya dengan jelas.

“Yang itu ya...?” tunjukku.

“Disini kau mulai menunjukkan tanda bahwa tokoh utama pria sebenarnya jatuh cinta pada si tokoh wanita, hanya saja wanita itu terlalu bodoh untuk menyadarinya... sampai sini sudah sangat bagus tapi sebaiknya kau menambah scene romantis untuk mereka berdua, cerita ini akan jadi sia-sia saja jika sudah sejauh ini namun hubungan mereka masih belum ada perkembangan sama sekali, kau akan membuat pembaca menutup buku ini setelah membacanya setengah jalan,” komentarnya pedas.

“Ummm... kurasa karena itulah kau jadi editorku kan? Sudah menjadi tugasmu untuk selalu mengawasi dan memeriksa pekerjaanku,” gumamku speechless. Levi hanya menatapku dengan ekspresi dingin lalu ia kembali melanjutkan membaca.

“Dan disini...” serunya lagi lalu memperlihatkan layar itu kembali padaku. “Sebaiknya scene ini dihapus saja, kupikir kau bisa meng-cutnya dan menukarnya diplot lain, carilah alur lain agar sesuai dengan scene ini, kalau kau masukkan sekarang jadinya akan seperti dipaksakan dan pembaca tidak akan begitu puas dengan endingnya,”

“Hmm, okay-okay kurasa aku mengerti...” gumamku sambil meminum air dari botol mineral. “Padahal aku cukup suka adegan kencan pertama ini...”

“Sudah kubilang, jangan memaksakan ceritanya. Kau bisa memangkasnya dan menaruhnya diplot selanjutnya, kurasa itu akan lebih bagus...”

“Yeah, kurasa kau benar... aku akan menggantinya,” putusku.

Sejauh ini ceritanya sudah semakin bagus, kurasa aku cukup menyukainya.. kau bisa memperbaikinya sekarang sebelum aku memeriksa bagian tambahan,” gumamnya sambil menyodorkan notebook itu kembali padaku.

“Really??” gumamku excited. “Thank you...” namun aku langsung terdiam saat tangan kami saling bersentuhan secara tak sengaja dan detik berikutnya akupun sadar bahwa jarak diantara kami berdua ternyata sudah sangat dekat. “I’m sorry...” gumamku lalu segera merampas notebook itu dari Levi.

“For what..?” gumam Levi santai ia menatapku sambil menyeringai kecil.

“Umm... nothing, just forget about that,” gumamku.

“Tch... another shit again, huh? Apa kau selalu segugup ini saat menyentuh tangan seorang pria?” tanyanya dengan intonasi yang sangat santai namun aku tau kalau dia sedang mengerjaiku.

“I’m not gonna tell you about my privacy life sir, lagipula aku tak sengaja menyentuh tanganmu bukankah itu bukan masalah besar?”

“Kau bilang itu bukan masalah besar, tapi kau sendiri terlihat gugup,” koreksi Levi. Aku tak bisa membalas Levi dan memutuskan untuk diam dan kembali fokus dengan pekerjaanku. “Jadi... kau sekarang masih belum berkencan dengan pria manapun kan?” tanya Levi.

Kata-katanya membuatku terperanjat. Aku tak bisa menoleh padanya dan ide yang muncul dalam kepalaku langsung buyar dan hilang seketika. Oh god, kenapa bosku menanyakan hal ini?

“I’m not interested with having a relationship, I think it kinda waste of time or something like that,”

Levi mengangguk-angguk kecil saat mendengar tanggapanku. “Good to hear that, because we have a same problem,” lanjutnya lagi.

“No way...” gumamku tak percaya.

“Why?” tanyanya dengan wajah serius.

“Ummm... kau memiliki daya tarik yang kuat aku yakin ada banyak wanita yang ingin bersamamu,”

“Really?” tanyanya, dari ekspresi yang terpancar diwajahnya aku tahu dia mulai tertarik dengan acara curhat kami malam ini. “It sounds interesting to hear you said something like this, tapi kenapa wanita yang duduk disebelahku ini justru terlihat tidak tertarik padaku?”

“Huh?” Kutatap wajah Levi dengan perasaan bingung, apa yang barusan dia katakan?

Levi membalas tatapanku dan kami bertatapan dalam diam untuk beberapa detik. Kupalingkan wajahku darinya secepat mungkin dan pura-pura menyibukkan diri dengan tulisanku. “What are you talking about? Are you joking on me?” gumamku sambil tersenyum kecil.

“I’m not joking on you. I just want to ask you for a date... can I?”

“W-what?” gumamku tak percaya lalu tersenyum santai. “Levi please... stop playing at me, I need to be focus,” lanjutku berusaha mengalihkan perhatian.

“Hei, aku serius Shitty brat...” gumam Levi. Kutatap wajahnya yang ekspresinya tak berubah sama sekali. “I’m asking you for a date, what’s your answer?” tanya Levi menghiraukan kata-kataku. Kutatap dirinya dan kulihat ia cukup serius dengan kata-katanya barusan.

“Umm... I don’t know. I think we can’t do this...”

“Of course we can... kenapa kau pesimis sekali?” sanggahnya lagi.

“Why you ask me something like this?”. Jantungku berdegup semakin cepat, Levi bertindak diluar kebiasaannya malam ini dan hal itu membuatku merasa bingung.

“Entahlah...” jawabnya lalu terdiam. Kata-katanya membuatku berpikir sejenak, aku tak tahu dia serius atau tidak dengan kata-katanya. Tapi semakin dipikir lagi, ini hanya satu kencan yang tak berarti apa-apa kan? “Jangan khawatir...” gumamnya pelan. “Kau tak harus jatuh cinta padaku hanya karena satu kali berkencan kan?”

“I know! It’s not what I mean!” pekikku panik. Levi mengatakan sesuatu yang terlintas dalam kepalaku.

Kami berdua kembali terdiam dan suara Levi kembali memecah keheningan diantara kami. “So... what’s your answer?”

“Hmm... Aku akan memikirkannya...”

“Tch,” decak Levi lalu ia menyandarkan dirinya pada punggung sofa. “Anggap saja kencan kali ini sebagai bahan penelitianmu, aku tahu kau selalu melakukan penelitian sendiri akan lebih baik kalau kau menelitinya langsung, kan?”

“Apa kau sedang bernegosiasi denganku?”

Levi menyunggingkan senyuman tipis dibibirnya. “Mungkin. Akan kulakukan apapun sampai kau mau kencan denganku,”

“Aku tak yakin bisa berkencan dengan mu, bos..”

“Tch...” Levi menatapku dingin, ia menghela napas panjang dan bangkit dari duduknya. Ia berjalan menjauh dariku dengan kedua tangan menyilang didada lalu kembali menyandarkan dirinya dipinggiran sisi meja kerjanya dan menatapku dingin. “Kutunggu jawabanmu besok, oke?” gumamnya pelan.

****

Malam itu Levi berhasil membuatku tak bisa memejamkan mataku. Aku tak bisa tidur dengan tenang dan berguling-guling tak jelas dikasurku. Kulihat jam diatas meja disamping kasurku, jarum pendeknya telah menunjuk angka tiga. Dengan perasaan sedikit putus asa aku pun beranjak dari kasurku dan menjauhkan selimut dari tubuhku.

Aku pun beranjak menuju dapur dan menghampiri kulkas lalu memeriksa isinya. Kulihat sekotak es krim yang sepertinya baru saja dibeli teronggok santai dalam freezer yang dingin. Sepertinya aku butuh mendinginkan kepalaku jadi kuambil es krim itu dan mengambil sendok lalu membawanya bersamaku.

Kunyalakan televisi dan duduk disofa panjang lalu mulai memakan es krim itu. Rasanya seperti surga, namun tentu saja efeknya tak bertahan lama. Tayangan televisi itu tak ada yang menarik hal itu membuatku kembali tenggelam dalam renunganku.

Kenapa aku merasa bingung saat Levi bilang dia ingin berkencan? Kalau tak mau harusnya aku menolaknya langsung kan? Tapi kenapa aku malah bilang akan memikirkannya????

Setiap hari kami bertemu dan dia selalu menyiksaku lalu apa yang membuatku menyukainya? Seharusnya tak ada.

“Damn... Levi... why you did this to me...??”

Pintu kamar Joy terbuka dan dia keluar sambil mengucek-ngucek matanya. Ia menatapku lalu menatap televisi yang tidak ku tonton. “(Name)? What are you doing at this late? It’s already 3.30 Am,” tegurnya lalu berjalan mendekatiku.

Kutatap wajahnya dengan pandangan nanar. “Aku tak bisa tidur...”

“Wait!!” pekiknya lalu menghampiriku cepat. “Kau memakan es krim ku ya?!” pekiknya lagi sambil mengamati cup es krim yang ada dalam pelukanku. Kuperlihatkan cup itu padanya dan dia menjerit tertahan. “No way!! Kau tahu tidak itu es krim edisi terbatas yang kudapatkan susah payah tadi sore! Aku menyimpannya untuk kumakan besok pagi!!” pekiknya lagi.

Es krim itu masih ada setengah dengan perasaan bersalah kusodorkan lagi es krim itu padanya. “I’m sorry... I don’t know,” gumamku.

“Kau ini...” Joy meraih cup itu dengan wajah sebal lalu beranjak menuju dapur dan memasukkan cup itu kembali kedalam kulkas, tak lama kemudian dia muncul lagi diruang tamu dan menatapku sebal sementara aku tak begitu memperhatikannya.

“Hei? Kenapa malah melamun sih? Sekarang sudah hampir jam empat pagi, sebaiknya kau segera tidur bukankah kau tak boleh telat masuk kantor?” tegurnya.

Ada sesuatu yang mengganjal hatiku saat mendengar kata-kata Joy. Aku pun bergelung pasrah dan meringkuk diatas sofa sambil memeluk kakiku. “Kurasa besok aku akan bolos,” putusku.

Joy menatapku dengan pandangan kasihan, ia pun berjalan mendekat dan duduk didekat kepalaku lalu ia mengelus kepalaku. “Kenapa lagi sih? Apa terjadi sesuatu dikantor?” gumamnya pelan.

“Nothing happened,”

Joy menghela napas panjang. “Terakhir kali tingkahmu begini saat kau stuck dengan cerita yang kau buat dan tak bisa menemukan ide baru. Saranku sebaiknya kau istirahat dan pergi jalan-jalan dengan pacarmu, kalian harus menghabiskan waktu berdua supaya kau semangat lagi,” sarannya.

Aku langsung mengerutkan dahiku saat mendengar kata-katanya. Apa yang dimaksud Joy adalah Levi Ackerman? Orang yang paling tak ingin kutemui saat ini?

“Sudah kubilang aku tak punya yang seperti itu,”

Joy berdecak sebal. “Kau selalu berkilah. Aku tak paham kenapa pria itu mau bersamamu. Padahal dia sudah sangat baik karena mau mengantarmu pulang saat kau mabuk berat, kau ini kan orangnya ceroboh,” omelnya.

Aku pun bangkit dari tidurku dan menatap Joy malas. “Kau selalu menyimpulkan kalau Levi itu pacarku. Dia itu editorku. Sudah kubilang aku nggak punya...”

“Oh jadi namanya Levi? Hmm... bukankah asyik bisa pacaran dengan editor sendiri? Come o~n tell m~e~ Pasti dia mengajarimu banyak hal nakal, kan?” goda Joy sambil mencubit pelan pinggangku.

“Joy please... he’s not my boyfriend!!” gumamku panik.

“Tch!!! Dia sendiri yang bilang kalau kalian pacaran!” gumam Joy sebal. “Are you stupid or what..?”

“But...”

“Sudah ah... sepertinya kau memang lebih memilih untuk dijodohkan dengan pria yang tidak kau kenal,” gumam Joy lalu bangkit dari sofa dan beranjak menuju kamarnya. “Aku mau tidur besok ada kuliah pagi sebaiknya kau juga segera tidur, stupido,” gumamnya lalu menutup pintu kamarnya.

****
 
Continued to Chapter 6

0 comments:

Post a Comment