Perfect Punishment
(My
Editor is a Devil)
Cast
: Levi Ackerman x Reader
Genre
: Romance, Mature
Language
: Mix (Bahasa Indonesia - English)
NB
: Minna Hajimemashite!! Sorry banget karena telat posting, seharusnya chapter
ini kuposting hari sabtu kemarin tapi karena ada beberapa trouble jadi terpaksa
baru bisa diposting sekarang. Gomen ne :)
Selamat dinikmati semoga kalian suka :)
Chapter
5
Aku baru
saja duduk santai dikursiku setelah menyelesaikan pekerjaanku di ruangan Levi
dan mengirim review yang telah kutulis untuk majalah Corps dan Titan tiga puluh
menit sebelum jam delapan malam. Kantor sudah sepi karena semua orang sudah
pulang kerja dan aku sedang menunggu bosku sendirian dalam ruangan itu. Tak
lama kemudian sosok Levi Ackerman muncul dari dalam lift yang terbuka dan kehadirannya
membuyarkan fokusku.
Ia berjalan
cepat sambil melihat jam tangannya lalu menghampiri mejaku. “Did you finish
your damn work?” serunya sambil meletakkan sesuatu diatas mejaku.
Aku pun
mengangguk cepat. “Yup, all of them. By the way... what it is, sir?”
“Our
dinner,” gumamnya sambil membuka jasnya dan melonggarkan dasinya.
“O-our
dinner...?” ulangku gugup. Kutatap wajah Levi yang tak menyiratkan ekspresi
apapun.
“Yeah, kau
belum makan malam kan? Atau kau sudah makan sebelumnya?”
Aku
menggeleng cepat. “Umm.. not yet!”
“Good, aku
sedikit bingung ingin membeli apa jadi aku membeli makanan jepang, apa kau bisa
memakannya?” gumamnya lalu melepas kancing lengan bajunya dan melipat setengah
lengan bajunya.
“Of course!
That’s my favorite one, thank you!” pekikku senang. Kulihat Levi tampak
menyunggingkan senyuman kecil diwajahnya, dia terlihat cukup senang dengan
reaksiku. Tapi tak kusangka dia akan bersikap semanis ini.
But... What
the hell was going on?? Why he treats me with these kind of stuff??
“Jangan
senyum-senyum sendiri seperti itu. Siapkan makan malamnya, aku akan menunggu
diruanganku,” serunya sambil menatapku dengan tatapan datar sedingin es.
Geezz, dia
kembali lagi kemode menyebalkannya. Tapi tak apa, kurasa aku sedikit menyukai
sisi bosku yang seperti ini.
“Yes, Mr.
President,”
****
Setelah
selesai menyiapkan makan malam kami, akupun masuk kedalam ruangan Levi. Ia
tampak sedang sibuk dengan beberapa hal diatas mejanya dan tak begitu
memperdulikan kehadiranku. “Bos, makan malammu ingin kuletakkan dimana?”
tanyaku.
“Taruh saja
dimeja itu,” serunya tanpa sedikitpun menatapku, namun jari telunjuknya
menunjuk kemeja sofa tamu yang ada ditengah ruangan.
Aku pun
beranjak mendekati meja itu dan meletakkan makanan bagian Levi lalu beranjak
keluar dari ruangannya. “Oi! Where are you going?” tanyanya saat aku baru saja
membuka pintu kantor. Kulihat ia sedang menatapku dengan tatapan kematiannya
sambil berkacak pinggang.
“Aku akan
kembali kemejaku sir, kau bisa makan malam dulu sebelum kita membahas masalah pekerjaan...”
Levi menatap
pekerjaannya yang ada diatas meja lalu menatapku lagi. “Kita akan membahasnya
sambil makan malam... sepertinya aku lupa memberitahumu?” gumamnya lagi.
Aku terdiam
untuk beberapa saat dan mencoba mencerna kata-katanya barusan. “O-okay... aku
akan mengambil bagianku dulu lalu kembali,” gumamku gugup lalu keluar dari
ruangannya dan berjalan cepat menuju mejaku, mengambil makan malam dan
keperluan lainnya.
Saat masuk
kedalam ruangan Levi kulihat ia telah duduk disofa namun masih melanjutkan
pekerjaannya. Aku pun meletakkan barang-barangku disudut meja dan duduk agak
jauh dari Levi. Meskipun dia bilang ingin makan malam bersama tapi tetap saja
ia masih memprioritaskan pekerjaannya.
“Sorry
(Name), aku harus menyelesaikan ini terlebih dulu. Kau bisa makan duluan,”
gumamnya seolah membaca pikiranku tanpa memperhatikanku.
“Oh! It’s
okay sir, aku akan menunggu sampai anda selesai,” gumamku. Levi melempar
tatapan dingin dengan dahi berkerut padaku saat mendengarnya. “W-what...?”
“Kau tak
perlu menungguku,” gumamnya.
“Bukankah
kau bilang kita akan makan malam
bersama? Jadi aku akan menunggu hingga pekerjaanmu selesai,”
Levi
mendesah panjang dan menghentikan pekerjaannya. “Maaf membuatmu harus menunggu,
shitty brat,” gumamnya pelan. “Aku akan menyelesaikan ini secepatnya,” ujarnya
lagi lalu melanjutkan pekerjaannya.
Aku
mengangguk menyetujui pernyataannya. “Okay, sir,”
“Just stop
being formal it kinda waste of time (Name), you can call me by my name at this
time,” gerutunya tanpa menatapku.
“Hmm?”
jawabku bingung. “Is it a good idea?”
Ia
mendongakkan kepalanya dan menatapku dari balik kacamatanya. “Yeah, of course!
Kau boleh memanggilku ‘Levi’ saat kita sedang berdua,”
Aku sedikit
ragu karena malam ini ia bertingkah sangat berbeda dari biasanya. “Okay!” saat
mengamati Levi yang sedang bekerja aku kembali teringat dengan kejadian kemarin
malam, sebenarnya aku masih sangat penasaran dengan pria yang dimaksud Joy
sebagai ‘pacar’. “Um.. about last night, terima kasih karena sudah meminjamiku
jasmu... Levi,”
“It’s not a
big deal, shitty brat,” tukasnya. Namun hanya dengan jawaban pendek itu aku
langsung tahu siapa yang telah mengantarku ke apartemen tadi malam dan siapa
orang yang disebut Joy sebagai pacarku.
Malam itu
untuk pertama kalinya aku benar-benar memperhatikan sosok bos dan editorku yang
seram, Mr. Levi Ackerman. Ia tampak serius dengan pekerjaannya dan sesekali ia
memintaku untuk mengambilkan beberapa barang dari dalam laci meja kerjanya. Kurasa
ia jadi sedikit lebih mempercayaiku.
Meskipun aku
bukan sekretarisnya tapi entah kenapa aku jadi mulai terbiasa dengan pekerjaan
sampinganku ini dan kupikir aku cukup menikmatinya, tentu saja bagian bersih-bersih tak termasuk dalam list
favoritku.
Sepuluh
menit kemudian pekerjaannya selesai dan ia menyingkirkan tetek bengek itu dari
hadapannya lalu melepas kacamatanya, ia tampak lelah. “Wanna have some tea?”
tanyaku.
“No,”
tolaknya. “Aku lapar sekali, sebaiknya kita habiskan makanan ini sebelum
dingin,” serunya lagi.
“Tapi
makanannya sudah dingin sejak tadi,” gumamku sambil terkekeh pelan. “Kalau kau
mau menunggu sebentar, aku bisa memanaskannya untukmu,”
“Tak perlu, aku akan langsung memakannya
saja...”serunya santai lalu meraih makanan bagiannya.
Apa cuma
perasaanku saja, tapi kurasa sikap bosku sedikit melunak malam ini tidak
seperti ketika siang hari dimana ia akan dengan semangat meneriaki semua orang.
Saat ini ia bersikap sangat lembut dan malah memakan makanannya dengan gaya
yang cukup elegan, sikapnya itu membuatku terpana.
“Kenapa
menatapku seperti itu? Apa hanya dengan menatapku kau akan kenyang, lazyass?” gumamnya
tanpa menatapku. Sepertinya aura tatapanku sangat kuat dan ia bisa
menyadarinya.
Kata-katanya
membuyarkan lamunanku. Dengan cepat kuambil bagianku dan mulai memakannya. “No,
aku hanya sedang melamun,” jawabku santai meskipun dalam hati aku masih merasa
gugup.
“Tch, you
weird...” gumamnya pelan lalu melahap makanannya lagi.
Hal ini
benar-benar membuatku merasa frustrasi, apalagi setiap kali kulihat wajahnya
aku selalu teringat dengan ciuman dalam mimpi itu. Aku tak bisa berhenti
memikirkannya dengan sangat serius padahal itu cuma bunga tidur atau mungkin
juga itu cuma khayalanku saja.
Oh shit! Kenapa
aku malah mengkhayalkan bosku??? Aku bahkan tak tertarik padanya kan?!!
“Mana
pekerjaanmu? Aku akan memeriksanya sekarang,” pintanya setelah kami
menyelesaikan makan malam kami. Suara Levi membuyarkan pikiranku yang saat ini
sedang dipenuhi oleh dirinya.
“Oh,
okay...” Kukeluarkan notebookku dan menyalakannya sementara Levi menggeser
duduknya agar bisa lebih dekat denganku. “Aku sudah memperbaiki beberapa plot
yang kau minta dan menambahkan beberapa cerita sampingan, spin off story sounds
good right?” jelasku sambil memperlihatkan pekerjaanku.
“Jangan
menambahkan hal yang tak berguna, kau tak perlu membuat spin off atau cerita
tambahan apapun kalau tulisanmu yang ini tidak bisa menarik perhatianku,”
gumamnya dingin.
Geezzz.. Dia
kembali menyebalkan seperti sebelumnya lagi. “Okay. Kau bisa lihat dibagian
ini, aku sedikit merasa bingung dengan percakapan antara tokoh utamanya, apa
kah sudah tepat dibagian klimaks atau sebaiknya kutahan dulu...?” gumamku lagi.
Levi tak
berkomentar dan hanya menatap wajahku diam. Aku pun menghentikan ocehanku dan
membiarkan dia merevisi pekerjaanku. Kupikir ia sedang merasa kesal tapi
ternyata tidak, dia menaruh notebook itu dipangkuannya dan mulai mengecek.
Tak lama
kemudian dia mulai berkomentar sambil memperbaiki posisi duduknya agar lebih
santai. “Coba cek paragraf ini..” serunya sambil memperlihatkan layar notebook
padaku membuatku harus menggeser pantatku semakin dekat agar bisa melihat
tulisannya dengan jelas.
“Yang itu
ya...?” tunjukku.
“Disini kau
mulai menunjukkan tanda bahwa tokoh utama pria sebenarnya jatuh cinta pada si
tokoh wanita, hanya saja wanita itu terlalu bodoh untuk menyadarinya... sampai
sini sudah sangat bagus tapi sebaiknya kau menambah scene romantis untuk mereka
berdua, cerita ini akan jadi sia-sia saja jika sudah sejauh ini namun hubungan
mereka masih belum ada perkembangan sama sekali, kau akan membuat pembaca
menutup buku ini setelah membacanya setengah jalan,” komentarnya pedas.
“Ummm... kurasa
karena itulah kau jadi editorku kan? Sudah menjadi tugasmu untuk selalu
mengawasi dan memeriksa pekerjaanku,” gumamku speechless. Levi hanya menatapku
dengan ekspresi dingin lalu ia kembali melanjutkan membaca.
“Dan
disini...” serunya lagi lalu memperlihatkan layar itu kembali padaku.
“Sebaiknya scene ini dihapus saja, kupikir kau bisa meng-cutnya dan menukarnya
diplot lain, carilah alur lain agar sesuai dengan scene ini, kalau kau masukkan
sekarang jadinya akan seperti dipaksakan dan pembaca tidak akan begitu puas
dengan endingnya,”
“Hmm, okay-okay
kurasa aku mengerti...” gumamku sambil meminum air dari botol mineral. “Padahal
aku cukup suka adegan kencan pertama ini...”
“Sudah
kubilang, jangan memaksakan ceritanya. Kau bisa memangkasnya dan menaruhnya
diplot selanjutnya, kurasa itu akan lebih bagus...”
“Yeah,
kurasa kau benar... aku akan menggantinya,” putusku.
Sejauh ini
ceritanya sudah semakin bagus, kurasa aku cukup menyukainya.. kau bisa
memperbaikinya sekarang sebelum aku memeriksa bagian tambahan,” gumamnya sambil
menyodorkan notebook itu kembali padaku.
“Really??”
gumamku excited. “Thank you...” namun aku langsung terdiam saat tangan kami
saling bersentuhan secara tak sengaja dan detik berikutnya akupun sadar bahwa
jarak diantara kami berdua ternyata sudah sangat dekat. “I’m sorry...” gumamku
lalu segera merampas notebook itu dari Levi.
“For
what..?” gumam Levi santai ia menatapku sambil menyeringai kecil.
“Umm...
nothing, just forget about that,” gumamku.
“Tch...
another shit again, huh? Apa kau selalu segugup ini saat menyentuh tangan
seorang pria?” tanyanya dengan intonasi yang sangat santai namun aku tau kalau
dia sedang mengerjaiku.
“I’m not
gonna tell you about my privacy life sir, lagipula aku tak sengaja menyentuh
tanganmu bukankah itu bukan masalah besar?”
“Kau bilang
itu bukan masalah besar, tapi kau sendiri terlihat gugup,” koreksi Levi. Aku
tak bisa membalas Levi dan memutuskan untuk diam dan kembali fokus dengan
pekerjaanku. “Jadi... kau sekarang masih belum berkencan dengan pria manapun
kan?” tanya Levi.
Kata-katanya
membuatku terperanjat. Aku tak bisa menoleh padanya dan ide yang muncul dalam
kepalaku langsung buyar dan hilang seketika. Oh god, kenapa bosku menanyakan
hal ini?
“I’m not
interested with having a relationship, I think it kinda waste of time or
something like that,”
Levi
mengangguk-angguk kecil saat mendengar tanggapanku. “Good to hear that, because
we have a same problem,” lanjutnya lagi.
“No way...”
gumamku tak percaya.
“Why?”
tanyanya dengan wajah serius.
“Ummm... kau
memiliki daya tarik yang kuat aku yakin ada banyak wanita yang ingin bersamamu,”
“Really?”
tanyanya, dari ekspresi yang terpancar diwajahnya aku tahu dia mulai tertarik
dengan acara curhat kami malam ini. “It sounds interesting to hear you said
something like this, tapi kenapa wanita yang duduk disebelahku ini justru
terlihat tidak tertarik padaku?”
“Huh?”
Kutatap wajah Levi dengan perasaan bingung, apa yang barusan dia katakan?
Levi
membalas tatapanku dan kami bertatapan dalam diam untuk beberapa detik.
Kupalingkan wajahku darinya secepat mungkin dan pura-pura menyibukkan diri
dengan tulisanku. “What are you talking about? Are you joking on me?” gumamku
sambil tersenyum kecil.
“I’m not
joking on you. I just want to ask you for a date... can I?”
“W-what?”
gumamku tak percaya lalu tersenyum santai. “Levi please... stop playing at me,
I need to be focus,” lanjutku berusaha mengalihkan perhatian.
“Hei, aku
serius Shitty brat...” gumam Levi. Kutatap wajahnya yang ekspresinya tak
berubah sama sekali. “I’m asking you for a date, what’s your answer?” tanya
Levi menghiraukan kata-kataku. Kutatap dirinya dan kulihat ia cukup serius
dengan kata-katanya barusan.
“Umm... I
don’t know. I think we can’t do this...”
“Of course
we can... kenapa kau pesimis sekali?” sanggahnya lagi.
“Why you ask
me something like this?”. Jantungku berdegup semakin cepat, Levi bertindak
diluar kebiasaannya malam ini dan hal itu membuatku merasa bingung.
“Entahlah...”
jawabnya lalu terdiam. Kata-katanya membuatku berpikir sejenak, aku tak tahu
dia serius atau tidak dengan kata-katanya. Tapi semakin dipikir lagi, ini hanya
satu kencan yang tak berarti apa-apa kan? “Jangan khawatir...” gumamnya pelan.
“Kau tak harus jatuh cinta padaku hanya karena satu kali berkencan kan?”
“I know!
It’s not what I mean!” pekikku panik. Levi mengatakan sesuatu yang terlintas
dalam kepalaku.
Kami berdua
kembali terdiam dan suara Levi kembali memecah keheningan diantara kami. “So...
what’s your answer?”
“Hmm... Aku
akan memikirkannya...”
“Tch,” decak
Levi lalu ia menyandarkan dirinya pada punggung sofa. “Anggap saja kencan kali
ini sebagai bahan penelitianmu, aku tahu kau selalu melakukan penelitian
sendiri akan lebih baik kalau kau menelitinya langsung, kan?”
“Apa kau sedang
bernegosiasi denganku?”
Levi
menyunggingkan senyuman tipis dibibirnya. “Mungkin. Akan kulakukan apapun
sampai kau mau kencan denganku,”
“Aku tak
yakin bisa berkencan dengan mu, bos..”
“Tch...” Levi
menatapku dingin, ia menghela napas panjang dan bangkit dari duduknya. Ia
berjalan menjauh dariku dengan kedua tangan menyilang didada lalu kembali
menyandarkan dirinya dipinggiran sisi meja kerjanya dan menatapku dingin. “Kutunggu
jawabanmu besok, oke?” gumamnya pelan.
****
Malam itu
Levi berhasil membuatku tak bisa memejamkan mataku. Aku tak bisa tidur dengan
tenang dan berguling-guling tak jelas dikasurku. Kulihat jam diatas meja
disamping kasurku, jarum pendeknya telah menunjuk angka tiga. Dengan perasaan
sedikit putus asa aku pun beranjak dari kasurku dan menjauhkan selimut dari
tubuhku.
Aku pun beranjak
menuju dapur dan menghampiri kulkas lalu memeriksa isinya. Kulihat sekotak es
krim yang sepertinya baru saja dibeli teronggok santai dalam freezer yang
dingin. Sepertinya aku butuh mendinginkan kepalaku jadi kuambil es krim itu dan
mengambil sendok lalu membawanya bersamaku.
Kunyalakan
televisi dan duduk disofa panjang lalu mulai memakan es krim itu. Rasanya
seperti surga, namun tentu saja efeknya tak bertahan lama. Tayangan televisi
itu tak ada yang menarik hal itu membuatku kembali tenggelam dalam renunganku.
Kenapa aku
merasa bingung saat Levi bilang dia ingin berkencan? Kalau tak mau harusnya aku
menolaknya langsung kan? Tapi kenapa aku malah bilang akan memikirkannya????
Setiap hari
kami bertemu dan dia selalu menyiksaku lalu apa yang membuatku menyukainya? Seharusnya
tak ada.
“Damn...
Levi... why you did this to me...??”
Pintu kamar
Joy terbuka dan dia keluar sambil mengucek-ngucek matanya. Ia menatapku lalu
menatap televisi yang tidak ku tonton. “(Name)? What are you doing at this
late? It’s already 3.30 Am,” tegurnya lalu berjalan mendekatiku.
Kutatap
wajahnya dengan pandangan nanar. “Aku tak bisa tidur...”
“Wait!!”
pekiknya lalu menghampiriku cepat. “Kau memakan es krim ku ya?!” pekiknya lagi
sambil mengamati cup es krim yang ada dalam pelukanku. Kuperlihatkan cup itu
padanya dan dia menjerit tertahan. “No way!! Kau tahu tidak itu es krim edisi
terbatas yang kudapatkan susah payah tadi sore! Aku menyimpannya untuk kumakan
besok pagi!!” pekiknya lagi.
Es krim itu
masih ada setengah dengan perasaan bersalah kusodorkan lagi es krim itu
padanya. “I’m sorry... I don’t know,” gumamku.
“Kau ini...”
Joy meraih cup itu dengan wajah sebal lalu beranjak menuju dapur dan memasukkan
cup itu kembali kedalam kulkas, tak lama kemudian dia muncul lagi diruang tamu
dan menatapku sebal sementara aku tak begitu memperhatikannya.
“Hei? Kenapa
malah melamun sih? Sekarang sudah hampir jam empat pagi, sebaiknya kau segera
tidur bukankah kau tak boleh telat masuk kantor?” tegurnya.
Ada sesuatu
yang mengganjal hatiku saat mendengar kata-kata Joy. Aku pun bergelung pasrah
dan meringkuk diatas sofa sambil memeluk kakiku. “Kurasa besok aku akan bolos,”
putusku.
Joy
menatapku dengan pandangan kasihan, ia pun berjalan mendekat dan duduk didekat
kepalaku lalu ia mengelus kepalaku. “Kenapa lagi sih? Apa terjadi sesuatu
dikantor?” gumamnya pelan.
“Nothing
happened,”
Joy menghela
napas panjang. “Terakhir kali tingkahmu begini saat kau stuck dengan cerita
yang kau buat dan tak bisa menemukan ide baru. Saranku sebaiknya kau istirahat
dan pergi jalan-jalan dengan pacarmu, kalian harus menghabiskan waktu berdua
supaya kau semangat lagi,” sarannya.
Aku langsung
mengerutkan dahiku saat mendengar kata-katanya. Apa yang dimaksud Joy adalah
Levi Ackerman? Orang yang paling tak ingin kutemui saat ini?
“Sudah
kubilang aku tak punya yang seperti itu,”
Joy berdecak
sebal. “Kau selalu berkilah. Aku tak paham kenapa pria itu mau bersamamu.
Padahal dia sudah sangat baik karena mau mengantarmu pulang saat kau mabuk
berat, kau ini kan orangnya ceroboh,” omelnya.
Aku pun
bangkit dari tidurku dan menatap Joy malas. “Kau selalu menyimpulkan kalau Levi
itu pacarku. Dia itu editorku. Sudah kubilang aku nggak punya...”
“Oh jadi namanya
Levi? Hmm... bukankah asyik bisa pacaran dengan editor sendiri? Come o~n tell
m~e~ Pasti dia mengajarimu banyak hal nakal, kan?” goda Joy sambil mencubit
pelan pinggangku.
“Joy please...
he’s not my boyfriend!!” gumamku panik.
“Tch!!! Dia
sendiri yang bilang kalau kalian pacaran!” gumam Joy sebal. “Are you stupid or
what..?”
“But...”
“Sudah ah...
sepertinya kau memang lebih memilih untuk dijodohkan dengan pria yang tidak kau
kenal,” gumam Joy lalu bangkit dari sofa dan beranjak menuju kamarnya. “Aku mau
tidur besok ada kuliah pagi sebaiknya kau juga segera tidur, stupido,” gumamnya
lalu menutup pintu kamarnya.
****
Continued to Chapter 6
0 comments:
Post a Comment