(My
Editor is a Devil)
Cast
: Levi Ackerman x Reader
Genre
: Romance, Mature
Language
: Mix (Bahasa Indonesia - English)
Chapter 2
Beberapa hari berlalu setelah kedatangan Joy. Pagi itu jam menunjuk angka sepuluh lewat empat puluh tujuh menit dan langit terlihat sangat mendung. Aku sedang mengantre untuk membeli kopi favoritku disalah satu kafe yang berada dekat dengan apartemenku. Tempat itu memang terkenal dengan kopinya yang enak sehingga beberapa orang harus mengantre untuk mendapatkan kopi panas yang mereka inginkan.
Saat sedang
asyik mengantre ponselku berdering. Kulihat layar ponselku dan disitu tertera nama
Petra. “Halo?” sapaku saat menerima teleponnya. Orang yang antri didepanku
telah mendapatkan kopinya dan ia pun pergi, aku maju untuk memesan bagianku.
“Cappucino satu dan dua roti bagel,” gumamku pada pramusaji didepan meja bar.
“Kau
dimana?” tanya Petra, suaranya terdengar sedikit panik.
“Aku sedang
membeli sarapan, ada apa?”
“Apa kau
sudah tahu kalau editor barumu akan datang hari ini?”
“Hmm.. ya,”
kulihat si pramusaji telah meletakkan gelas berisi Cappucino didepanku dan
selanjutnya ia memasukkan roti bagel kedalam bungkusan kecil. “Bukankah dia
akan datang nanti siang?” gumamku sambil melihat jam tanganku yang saat ini
telah menunjuk pukul sepuluh lewat lima puluh lima menit. “Apa wanita itu
membatalkan pertemuan de...”
“Oh God! Aku
lupa mengabarimu,” gumam Petra dengan suara yang terdengar panik.
“Ada apa?
Kau panik kenapa?”
“Dia
mengganti jam pertemuan kalian! Sebaiknya kau cepat kemari saat ini dia sedang
berada dalam perjalanan menuju kesini,”
“Sedikit
terlambat tak apa kan?” gumamku. Pramusaji telah selesai mengemas pesananku dan
ia menunjukkan padaku berapa uang yang harus kubayarkan padanya. Kukeluarkan
dompetku dan menghitung uang.
“Sebaiknya
kau tidak datang terlambat, kemarin dia mencarimu tapi karena kau sakit rapat
pertemuan kalian akhirnya dibatalkan, hari ini Irvin dan Hanji juga akan ikut
rapat,”
Kusodorkan
uang untuk membayar pesananku pada si pramusaji lalu meraih bungkusan dan
beranjak pergi. “You didn’t tell me before,” gumamku mulai panik.
“I’m sorry
(Name)”
“Oh god,
okay... Aku pergi sekarang agar tidak datang terlambat,” gumamku.
“Rapatnya
mulai lima belas menit lagi,”
“What?!”
“I’m so
sorry...”
“It’s okay,
it’s okay Petra... tolong beritahu Irvin aku akan datang sedikit terlambat,”
pintaku lalu menutup telepon.
Rintik hujan
mulai membasahi kota dan aku baru saja berniat untuk mencari taksi ketika
kulihat sebuah bus berhenti di halte yang berada tidak begitu jauh dari
tempatku berada.
Tepat ketika
aku berhasil mencapai bus, hujan deras langsung mengguyur kota. Saat itu aku
tak mengenakan coat hanya kemeja, rok dan sepatu high heels, aku merasa sangat
salah kostum hari itu tapi sebenarnya aku ingin tampil lebih rapi saat bertemu
dengan editorku yang baru.
Membutuhkan
waktu sekitar hampir dua puluh menit untuk mencapai halte selanjutnya dengan
bus dan aku masih harus berjalan beberapa menit sebelum mencapai kantor
penerbitan corps. Dengan pakaian
setengah basah, kedinginan, dan rambut agak berantakan aku langsung berlari
menuju lift dan memencet tombol menuju lantai sepuluh.
Wajah Jean
langsung menyambutku saat pintu elevator terbuka dilantai sepuluh, ia menatapku
dengan dahi berkerut. “Wow... you look like shit!!” komentarnya, ia terkekeh
pelan sambil mengiringi langkahku.
“Shut up
horse face... bagaimana penampilanku?” tanyaku sambil merapikan rambutku.
“I don’t
know how to say it,” lanjut Jean sambil memperbaiki kerah bajuku. “”It looks
kinda weird,”
“Oh maan..
seriously...?”
Petra muncul
dan langsung menyapaku. “(Name) akhirnya kau datang!! Mereka sudah berkumpul
diruang rapat, sebaiknya kau cepat bergabung dengan mereka,” gumamnya lalu
menarik tanganku.
“O-okay,”
****
Setelah merapikan
rambut dan pakaianku perlahan kuketuk pintu ruang rapat dan terdengar suara
Irvin meyambutku.
“Come in,”
Kubuka pintu
itu dan masuk, Hanji menatapku dengan ekspresi kaget. “What the hell was going
on (Name)?” gumam Hanji.
“Kau
kehujanan...?” selidik Irvin.
“Ah yeah a
lilbit... I’m sorry for being late boss,”
“It’s okay,
come and sit down please,” pinta Irvin.
Aku beranjak
menuju kursi kosong yang ada disebelah Hanji, namun mataku terpaku pada seorang
pria tampan yang duduk diseberang meja rapat. Ia tampak tenang dan sedang
menatapku dengan wajah tanpa ekspresi yang sangat dingin dan sadis, rambutnya
yang sehitam malam dan matanya yang biru keabu-abuan menarik perhatianku. Ia
terlihat pucat dengan kulit dan wajah yang menurutku sedikit mirip vampir
penghisap darah. Entah kenapa aku sedikit berimajinasi bodoh tentang vampir
hanya karena dirinya.
“Baiklah,
kita akan lanjutkan rapat yang sedikit tertunda tadi...”
“Apa kau
tidak ingin mendisiplinkan bawahanmu terlebih dulu? Gadis ini sudah membuat
kita semua menunggu dan menyia-nyiakan waktu berharga kita selama hampir tiga
puluh menit,”
Jantungku serasa
akan berhenti berdetak saat mendengar suara pria bermata biru yang ada
diseberangku ini. Suara yang dalam bagai sungai tenang tanpa riak. Tenang namun
berbahaya karena tak ada yang tahu seberapa dalam sungai tersebut.
“Kau bisa
mengurusnya nanti Levi, sekarang aku akan memperkenalkan kalian berdua terlebih
dulu,” lanjut Irvin, pria bernama Levi itu mendecakkan lidahnya.
“(Name)
seperti yang sudah kujanjikan sebelumnya bahwa aku akan mengenalkan seorang
editor baru untukmu..” Irvin menatapku sekilas lalu kemudian melempar pandang
pada levi. “Mr. Levi Ackerman, akan menggantikan Hanji dan membantumu
menyelesaikan pekerjaanmu sementara Hanji pergi, dan Mr. Ackerman... gadis yang
perlu mendapat latihan disiplin ini adalah Ms. (Name) dia adalah gadis kaku
yang pernah kubicarakan denganmu,”
Aku tak tahu
ingin bilang apa yang pasti Levi Ackerman tampak sangat tidak bersahabat, aku sedikit
meragukan hubungan kerja kami dimasa depan. Apa aku akan sanggup bertahan
dengan editor menakutkan seperti dia.
“Apa kau
akan pergi lama?” tanyaku pada Hanji.
“Tidak juga,
aku akan bolak-balik kesini... tapi aku tak punya waktu untuk merevisi pekerjaanmu.
Mungkin sekitar dua atau tiga bulan,” Jawabnya santai.
“Kenapa
Hanji baru memberitahuku sekarang?” gumamku pada Irvin, mencoba untuk protes.
“Ini terlalu mendadak...” protesku.
“Yeah,
kupikir kau akan mengambil cuti dan pergi liburan setelah buku kedua belasmu
dipublikasikan... tapi kau justru menambah jam terbangmu. Seandainya kau
mengambil cuti, Hanji tidak perlu meminta Levi untuk menggantikannya sementara
waktu ini,” jelas Irvin.
Jadi semua
ini terjadi karena salahku? Selain memperkenalkan kami berdua tak lupa juga
Irvin menyampaikan pemberitahuan bahwa ia akan dipindah tugaskan ke kantor
lain.
“What?”
pekikku tak sadar.
“Calm down
(Name),” pinta Hanji sambil tertawa.
Irvin dan
Levi menatapku dengan ekspresi kaget. Setelah semua ini bahkan Irvin juga harus
dipindahkan?
“Yeah,
mereka menaikkan pangkatku dan menjanjikan kenaikan gaji jadi aku menerima
kepindahan ini dengan senang hati,” gumam Irvin dengan wajah penuh senyuman.
“Kabar baiknya... Mr. Ackerman akan berperan sebagai penggantiku, dia akan
menjadi kepala divisi kalian jadi kuharap kau bisa membantunya agar segera
terbiasa berada disini Ms. (Name),”
Kabar ini
seperti peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga pula. Tapi akhirnya aku harus
menerima kabar buruk ini dengan perasaan setengah-setengah, aku bersyukur Irvin
mendapat keberuntungan yang bagus ditempat baru tapi disisi lain aku merasa
kehilangan seorang teman curhat dan rasanya sangat mengesalkan.
Rapat hari
itu berakhir dan aku masih tinggal didalam ruang rapat sementara Hanji dan
Irvin pergi meninggalkanku berdua dengan Mr. Ackerman.
Dia
menatapku diam lalu bangkit dari kursinya dan memperbaiki jas yang ia pakai.
“You’re late,” gumamnya. Ia berjalan mengitari meja rapat dan berhenti didekat
jendela lalu menatapku lagi.
“I’m sorry
sir, I...”
“Aku tak
ingin hal ini terulang lagi, perlu kau tahu aku sangat benci pada orang yang
membuatku menunggu pantat malasnya,” potongnya. Aku mengangguk mengiyakan. “Apa
ada yang ingin kau tanyakan sebelum memulai kerjasama kita?” gumamnya lalu
menatapku dengan ekspresi dingin. Kuharap ia tak perlu waktu lama untuk
mengenali wajahku dan mengingatnya dalam kepalanya.
“Um.. Mengenai
novelku...”
“Aku sudah
baca tulisanmu...” gumamnya pelan. Pernyataannya membuatku sedikit kaget.
“Hanji memaksaku membacanya... kalau aku tak mau dia akan memberiku makanan
aneh buatannya,” lanjutnya kemudian. Sebenarnya dia tak perlu mengungkapkan
kebenarannya, kalau memang terpaksa ia tak harus membaca novel itu.
“Benarkah...?
Menurutku makanan buatan Hanji tidak begitu buruk,” gumamku, meskipun
sebenarnya ekspektasiku berbeda dengan realitanya.
“Aku tak
percaya, ternyata kau menyukai sampah buatannya,” gumamnya pelan.
Ternyata ia
tak percaya bualanku. Kupikir pria satu ini tak tahu cara berbicara yang
sepantasnya. Dia benar-benar terbuka membicarakan hal seperti ini, bukankah dia
ini seorang yang sangat bertalenta? Tapi mulutnya setajam pisau cutter.
“Hmm... Aku
ingin tahu pendapatmu tentang tulisanku,”
“Sejujurnya
itu tulisan terburuk yang pernah kubaca,” gumamnya lagi.
Aku tak bisa
menampik kata-katanya, entah dia ini bodoh atau pendapatnya memang benar, tapi
asal tahu saja aku sudah menulis sebanyak dua belas buku dan semuanya berhasil
menuai kesuksesan, beberapa diantaranya bahkan harus dibuat cetakan keduanya
karena selalu sold out. Kurasa dia hanya berusaha untuk membuatku down.
“Jadi...
rupanya novelku adalah novel terburuk?” ulangku tak percaya. Ia mengangguk.
“Menurutmu apa yang kurang dari novelku? Kurasa Hanji sudah memberitahumu
tentang riwayatku menulis dan berapa banyak yang sudah kuhasilkan hanya dengan
membuat sebuah cerita buruk yang ternyata banyak disukai orang-orang diluar
sana,”
“Aku ingin
tahu alasanmu menulis?”
“Alasanku?
Aku menjadikannya sebagai pekerjaan utamaku sir,”
“Apa kau
menikmatinya?”
“Tentu saja
aku menyukainya,”
“Kurasa kau
tidak sungguh-sungguh dengan pekerjaan ini, aku tidak merasakan ‘perasaanmu’
dalam karya itu,”
“Apa
maksudmu?”
“Saat
membaca karyamu, aku cukup terkesima... saat itu kupikir kau ini wanita paruh
baya berusia tiga puluh lima tahun. Aku tak menyangka kau masih sangat muda...
dan kau membuat cerita bulshit yang bahkan tak ingin kubaca ulang, tokoh
prianya terlihat sangat sempurna,”
“Tentu saja.
Mereka itu karakter pria yang diimpikan banyak perempuan, perempuan
menginginkan karakter sempurna yang hanya bisa didapat dalam cerita kau pasti
tahu itu?”
“Tampaknya
kau sangat memahami pekerjaanmu,” gumamnya entah kenapa aku merasa kalau dia
sedang mengejekku. “Tapi aku tak ingin kau menulis omong kosong, pria sempurna
cuma ada dalam drama dan aku benci
drama,”
“But... a-aku
menulisnya setelah melakukan banyak penelitian dengan beberapa kenalanku,
kurasa pengalaman mereka bukan drama...”
“Pengalaman
orang lain memang pelajaran yang bagus tapi kegagalan mereka membuatmu jadi
merasa terlalu takut untuk merasakan pengalamanmu sendiri. Aku tak bermaksud
untuk menyudutkanmu... tapi sebaiknya kau memikirkan hal ini dari sudut yang
berbeda, kita akan membahasnya bersama kalau kau merasa bingung,”
“Sebenarnya...
sekarang aku merasa bingung, sir... Seharusnya kurangnya pengalaman pribadiku
tidak akan menjadi penghalang dalam hal ini,” selidikku.
“Apa kau memang selalu sebodoh ini dan tidak
bisa mencerna maksudku?”
Damn! Apa
sih maunya pria ini? “Aku akan berusaha untuk mencernanya sir, anda tak perlu
khawatir...” gumamku dengan nada yang manis meskipun dalam hati aku merasa
dongkol. Levi menggelengkan kepalanya.
“It looks
like you hate me..” tebaknya. Tch... kenapa dia tak segera mengakhiri
percakapan ini saja. “Begini saja... tak masalah kalau kau tak suka dengan cara
kerjaku, selama kau menulis dengan baik dan aku menyukainya kurasa aku tak akan
mempermasalahkannya, apa kau keberatan...?”
“No...”
gelengku.
Ponsel Levi
berdering dan ia menerima panggilan itu, ia hanya menjawab seadanya lalu
kembali menutup ponselnya. “Aku harus pergi sekarang, kau bisa kirim nomor
ponsel dan alamat emailmu ke emailku. Aku akan mengeceknya nanti dan
menghubungimu sewaktu-waktu,” gumamnya sambil beranjak bangkit dari sofa dan
membawa cangkir bekas tehnya ke dapur mini Irvin.
“Okay sir...”
gumamku lega.
“Ah...”
sentaknya. Aku berbalik dan menatap Levi yang sedang menatapku.
“Yes, sir?”
“Karena kau
datang terlambat untuk pertemuan pertama kurasa aku akan memberimu sebuah
hukuman,”
“Hah?? Punishment?”
“Mulai besok
kau bertugas membantu pekerjaanku,” serunya lalu berjalan mendekatiku. “... dan
jangan lupa untuk datang tepat waktu kalau kau tak ingin mendapat tugas
tambahan lainnya, ah I need my coat I must going now...” gumam Levi lalu
beranjak keluar dari kantor Irvin.
****
Sebulan
telah berlalu sejak pertemuan pertamaku dengan Levi Ackerman dan pagi itu aku
telah berada dalam ruangannya untuk melakukan tugas rutinku. Levi Ackerman
sedang duduk dikursi kerjanya sambil membaca kertas berisi cerita yang sudah
kuprint untuknya.
“Um, sir...
bagaimana dengan tulisanku kali ini? Apa sudah lebih baik?” tanyaku.
“Akan
kuberitahu saat kau telah menyelesaikan pekerjaanmu. Rapikan berkas-berkas itu
sesuai urutannya, aku tak ingin merasa kebingungan saat mencari berkas klien,
dan debu dibagian dalam lemari itu sudah menumpuk, gosok!”
“Yes sir...”
Dengan
perasaan sedikit kecewa aku pun kembali melanjutkan pekerjaanku. Tumpukan buku
dan berkas yang berserakan dilantai itu telah menunggu untuk disortir. Levi benar-benar sangat teratur dan
dia sangat gila kebersihan. Temanku, Eren Jaeger juga berada dalam situasi yang
sama denganku. Levi sangat suka menyuruh Eren melakukan pekerjaan
bersih-bersih, ini bukan pekerjaan kami tapi kami harus melakukannya. Karena jika
tidak, dia akan meneriaki kami.
“Oi, done
already?” tegurnya saat melihatku berdiri berkacak pinggang sambil melap
keringat yang mengalir didahiku.
“Yeah...
what do you think?” tanyaku. Levi mengamati pekerjaanku.
“Hmmm...
ah!” sentaknya. “Aku belum sempat menyortir tumpukan kertas dimeja itu, kau
pilah sesuai jenis dan kebutuhannya dan jangan mencampurnya dengan proyek dari
divisi satu,”
“What?!”
“Any
problems here?” tanyanya lalu menatapku dengan wajah tanpa rasa bersalah.
“Kau sangat
suka kerapian tapi kau juga sangat suka menghambur-hamburkan barang, Mr.
Ackerman, kurasa kau takkan bisa hidup tanpa pelayananku,” balasku sambil
berjalan menuju meja dan mulai merapikannya.
“Annoying
shit,” gumamnya pelan.
Hal itu
terjadi sepanjang hari. Lalu saat sedang santai dimejaku setelah menyelesaikan
beberapa pekerjaannya, Mikasa, gadis blasteran Jepang-Jerman berambut hitam dan
berwajah cantik keluar dari ruangan Levi.
“(Name) bos
ingin secangkir Earl Grey,”
“Again?”
protes Sasha Brause yang sedang duduk didekatku. “Ini ketiga kalinya dia
menyuruh (Name) hari ini, seharusnya itu tugas Christa kan?”
“I don’t
know, aku hanya menyampaikan apa yang bos minta,”
“Sepertinya
dia sangat membenciku,” gumamku. “He’s a devil,” dengan cepat aku pun beranjak
menuju ruang istirahat yang merangkap dapur mini.
Levi selalu
mengeluh dengan minuman yang disajikan untuknya jadi kuputuskan untuk
memisahkan teh, krimer dan gula agar Levi bisa meracik tehnya sendiri. Dia
pernah menceramahiku soal berbagai macam jenis teh dan berkat insiden itu aku
jadi tahu teh yang paling disukainya, black tea dan earl grey. Setelah banyak
survei melelahkan dengan teh favoritnya aku pun mulai jadi pembuat teh khusus
menggantikan tugas Christa. Meskipun begitu belum ada seorang pun yang
menyadari hal ini.
“Here’s your
damn tea,” gumamku lalu meletakkan teh yang selesai kubuat.
“Kau lama
sekali, apa yang kau kerjakan?” gumamnya lalu meraih cangkir yang kutaruh
diatas meja.
“Sorry, aku
harus memanaskan airnya terlebih dulu,”
Setelah
sebulan bekerja dengan Levi aku mulai memahami sifat menyebalkannya. Meskipun
begitu Levi bukanlah seseorang yang gila hormat, dia sangat menghargai dan
peduli pada orang lain. Meskipun cara bicaranya cukup menyebalkan dan
menyakitkan, dia cukup dihormati karena cara kerjanya yang bagus.
Tapi entah
kenapa Levi tak pernah mencoba menahan diri saat sedang bersamaku. Dia akan
melakukan dan mengatakan apa pun yang dia inginkan tanpa filter.
“What is this?
It tastes like shit,” gerutunya dengan dahi berkerut setelah menyeruput tehnya.
“Good to
know. Mungkin kau harus memasukkan satu atau dua blok gula kedalam tehmu..
sir,”
“Tch...”
decaknya.
“Apa ada
lagi yang kau inginkan? Kalau tidak ada aku akan kembali bekerja..”
“Wait!”
cegahnya saat aku baru saja akan membuka kenop pintu. “This is your damn work!”
gumamnya sambil menaruh setumpuk kertas diatas mejanya. “Aku sudah mengeceknya
dan kau perbaiki sekarang juga,”
Kuambil
tumpukan kertas itu dan bisa kulihat banyak sekali gambar peta dan coretan
disana. “Thank you sir, for checking up my work,” gumamku. “And... I see a lot
of map on this paper, I’d never think that you have a good skill to draw a map,
Mr. Ackerman,”
“I’ve seen a
lot of bulshit on there, apa kau tahu kenapa aku mau menerima posisi sebagai
editormu?”
“Umm..
supaya kau bisa mengawasiku dan mengamatiku sepanjang hari?”
“Aku
menerima pekerjaan ini karena dijanjikan posisi bagus dan gaji yang bagus, tapi
tak kusangka aku harus mendisiplinkan pantat malasmu itu, sekarang kembalilah
bekerja,” gumamnya dingin.
Dengan
senang hati aku pun beranjak untuk keluar dari ruangannya. “Oh dan apa aku lupa
mengatakannya padamu, kalau kau membuat wajahmu terlihat sangat bodoh saat menghabiskan waktumu dengan main game
diponsel? Aku tak mengerti kenapa kau merasa sangat senang karena permainan
bodoh itu,”
Aku pun
keluar dengan wajah merah karena sebal. Dia benar-benar sesuatu. “He’s a jerk,”
****
“(Name) you
got some invitation,” Petra menghampiriku dengan sebuah surat ditangan lalu ia
menyerahkan surat itu padaku.
“Invitation?
From who?” kuambil surat itu dan membukanya.
“Sepertinya
itu acara penghargaan untuk novelis, sebaiknya kau datang,”
“Apa aku
masuk dalam list penghargaan mereka?”
“Hmmm...
entahlah, mungkin saja,”
“Kalau tidak
meyakinkan aku tak akan datang,”
“What? It
must be so fun, you should come to this place,” protesnya. “Kau ingat kata-kata
bos Irvin? Bersantai, berpesta dan..”
“Berkencan...
yeah I still remember,” potongku.
Jean yang
sedang sibuk mondar mandir mengurus pekerjaannya langsung terhenti saat
mendengar percakapanku dan Petra. “Your gonna do what?” tanyanya.
“Kencan. She
got an invitation,” Petra melakukan pengumuman ulang.
“From who?”
suara Levi mengagetkan kami bertiga dan seketika kami menatap sosoknya yang
sedang berjalan mendekati mejaku, kami mematung. Levi menyodorkan tangannya
untuk meminta undangan tersebut.
Kusodorkan
undangan itu padanya dan ia membacanya cepat. “Aku tak akan menghadiri acara
ini...” gumamku.
“Sebaiknya
kau datang, aku tak ingin kau mangkir dari acara sepenting ini hanya karena
pantat malasmu itu,” gumam Levi, ia menyodorkan undangan itu kembali padaku.
“Jangan khawatir, aku akan menemanimu kita bisa menghadirinya bersama dan
melihat sejauh apa perkembangan anak-anak itu,”
“Ha-hah?”
Jean dan
Petra tak berani menyela, mereka menatapku dengan tatapan waspada. Kuyakin Levi
merasa sebal padaku karena kini dia memberiku tatapan kematiannya. “I told you
clearly shitty brat, you should come to this party... pastikan kau mengenakan
sesuatu yang rapi, kita bertemu tepat jam 7 besok malam.... AND DONT BE LATE!”
Levi
beranjak pergi dan kembali keruangannya. Jean menyenggolku yang masih mematung.
“Oi, are you
okay?” tegurnya.
****
0 comments:
Post a Comment