Shingeki No Kyojin Special
: Levi’s Romantic Love Story
“Wild Flower”
Genre : Romance, Action, Mature
Chapter 10
Strategy
Pagi itu Rhein telah berada didalam
ruangan Rivaille, kembali menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda.
Pintu terbuka dan Rivaille muncul dari balik pintu dan menatapnya diam. “Ada
apa?” tanya Rhein. Dadanya bergemuruh tak karuan ketika melihat sosok dingin
itu sedang mengamatinya dari balik pintu.
Rivaille hanya diam menatapnya.
Keheningan menyelimuti mereka sebelum akhirnya Rivaille masuk kedalam ruangan
dan duduk di sofanya dengan santai. Rhein memutuskan untuk tidak memperdulikan
sikap Rivaille yang tiba-tiba saja menjadi aneh apalagi sejak pernyataan
Rivaille kemarin.
“Harusnya kau menyelesaikan semua itu
kemarin, kucing pencuri,” celetuk Rivaille dengan intonasi suara yang menekan.
“Hmm.. kemarin aku terlalu sibuk
mengatasi sesuatu yang penting.. lagipula aku cuma manusia biasa sehebat apapun
manusia jika kau memintanya menulis sebanyak ini hanya dalam sehari mungkin kau
bisa membuatnya terbunuh,” balas Rhein.
“Apakah
hal itu lebih penting dari pekerjaanmu sebagai mata-mata?” tanya Rivaille sembari
melirik Rhein yang masih terus menulis.
Rhein
terlihat sedang berpikir keras sebelum memberikan jawaban. “Hmm, ya.. tentu
saja itu lebih penting,” jawabnya, membuat Rivaille menyunggingkan senyuman
tipis diwajahnya. Pertanyaan Rivaille barusan membuat Rhein teringat pada
Seprai yang telah dirobeknya, hal itulah yang lebih penting dari pekerjaannya
sebagai mata-mata. Bagaimana pun kerapian dan kebersihan adalah prioritas utama
Rivaille saat berada di kastil dan ia agak takut mendapat hukuman yang lebih
parah lagi. Namun sepertinya Rivaille justru membayangkan hal lain.
Rivaille
beranjak mendekati meja dan duduk disalah satu sisinya. Berada sedekat itu
dengan Rivaille membuat Rhein merasa gugup hingga ia merasa jantungnya berdegup
kencang tak karuan. Rivaille menyentuh lengan Rhein yang terluka, sentuhannya
membuat gadis itu berjengit dan menjauhkan lengannya namun ia sama sekali tidak
mengeluarkan ringis kesakitan. Rivaille mengurungkan niatnya untuk melihat luka
itu lebih jauh lagi.
“Kau
sudah mengganti perbannya?”
“Hmm,
yaa.. Hanji membantuku mengganti perbannya..”
“Tck..”
“Kenapa?”
“Aku
bisa melakukannya untukmu..”
“Mh,
terima kasih.. mungkin kau bisa melakukannya lain kali, Rivaille.. sekarang
menyingkirlah dari meja karena aku harus menyelesaikan tugas ini secepat
mungkin,”
“Tck..”
decaknya lagi.
Decakan
Rivaille membuat Rhein mendongak untuk menatap wajah yang sedang balik
menatapnya itu. “Kenapa?” tanyanya lagi.
“Kau
tidak perlu terburu-buru menyelesaikannya, kau boleh menunda pekerjaan ini,”
Rhein
tersenyum tipis. “Tak masalah, aku bisa melakukannya Rivaille.. aku hanya butuh
beberapa jam saja untuk menyelesaikannya..”
Rivaille
beranjak dari meja dan duduk kembali di sofanya. “Tck, dasar keras kepala..”
Rhein
terus menyelesaikan tugasnya dan mengacuhkan kehadiran Rivaille. Pria itu juga
tidak mengatakan apa-apa lagi setelah mendecakkan bibirnya, ia terdiam sembari
memperhatikan Rhein yang fokus pada tugasnya.
Seseorang mengetuk pintu ruangan dan
membukanya, Eren muncul dari balik pintu. Ia langsung menyapa Rivaille.
“Heichou.. aku akan membersihkan
ruangan ini..” serunya memberitahu, sejenak pandangannya teralih pada Rhein
yang masih sibuk menulis. Tanpa disadarinya dahinya berkerut, karena merasa
sedang diperhatikan Rhein melempar pandangannya pada Eren lalu tersenyum.
“Hai..” sapa Rhein sembari tersenyum
ramah, ini adalah pertemuan pertama mereka.
“Oh, hai..” jawab Eren dengan wajah
kebingungan.
“Tidak perlu membersihkan tempat ini
Eren, kau bersihkan saja kamar dilantai dua.. aku akan mengeceknya nanti,”
“A-ah.. baiklah, tapi ada satu kamar
yang terkunci rapat dan aku tak bisa membukanya”
Rivaille
melirikkan matanya kearah Rhein namun gadis itu tak bereaksi. “Lupakan saja
kamar itu dan bersihkan yang lain,”
“Baik,
Heichou..” Eren pun pergi meninggalkan mereka berdua didalam ruangan.
Rivaille
kembali memperhatikan Rhein yang masih tidak memperdulikannya dan telah kembali
sibuk menulis dan merangkum data. Rivaille bangkit dari sofa dan keluar dari
ruangan. Dua jam berlalu dalam keheningan hingga akhirnya Rhein menggeliat
lelah, akhirnya ia menyelesaikan tugasnya. Segera ia kumpulkan lagi semua
kertas yang telah ditumpuknya dilantai, merapikannya lalu mengikatnya lagi dan
menaruhnya kembali disudut ruangan.
Pintu
kembali terbuka dan Rivaille muncul sambil membawa secangkir teh ditangannya.
“Kau sudah selesai?” tanyanya.
“Ya, ini dia..” Ia mengambil buku
besar yang sudah diselesaikannya dan menyodorkan buku itu kepada Rivaille.
“Silakan kau periksa,” serunya.
Rivaille
mengambil buku dari tangan Rhein dan menyodorkan cangkir tehnya pada gadis itu
sementara ia memeriksa isi buku. Rhein berdiri disamping Rivaille ikut
memeriksa buku yang telah ditulisnya dengan perasaan bangga sambil terus
memegang cangkir teh, perlahan Rivaille mengalihkan pandangannya dari buku
kepada Rhein. “Apa kau akan membiarkan teh itu hingga dingin dan tidak
meminumnya?”
“Eh..?
Ini untukku?” tanya Rhein dengan wajah bodoh.
“Idiot,
cepat habiskan teh itu sebelum kau membuatku kesal dan jangan berdiri terlalu
dekat denganku,”
Rhein
memutar matanya sebal sambil meletakkan cangkir itu dibibirnya dan meminum
isinya perlahan. “Ya, ya, ya, kau tidak perlu mengomeliku begitu karena aku
akan langsung menghabiskan isinya, setidaknya beritahu aku kalau kau memberikan
teh ini padaku jadi aku tidak bingung,” gerutunya. Rivaille melirikkan matanya
kearah Rhein dan tersenyum tipis. Ia meletakkan tangannya di atas kepala Rhein
dan mengelusnya perlahan dan kembali melanjutkan membaca buku, sikapnya membuat
Rhein merasa malu hingga jantungnya kembali berdetak cepat dan wajahnya kembali
merona merah.
“Akhir-akhir
ini wajahmu sering berubah warna jadi semerah tomat,” celetuk Rivaille, matanya
masih menatap buku.
“Hmm,
kurasa kau tau siapa yang menyebabkannya..” balas Rhein.
Rivaille
mengerutkan dahinya dan menatap Rhein. “Oh.. siapa orang itu?” pancingnya.
Rhein
balas menatap Rivaille dan langsung tersenyum, ia tak bisa menahan tawanya
lagi. “Lupakan saja karena aku tak akan memberitahumu, sebaiknya kau periksa
buku itu.. aku akan membantu yang lain bersih-bersih,” seru Rhein sembari
beranjak pergi menuju pintu dengan cangkir ditangannya.
“Hei..”
Rivaille menarik tangan Rhein dan mencegahnya pergi. Suara Rivaille kembali
tertahan ketika pintu ruangannya diketuk dan terbuka. Dengan cepat Rhein
menepis tangan Rivaille. Seorang gadis mungil yang tak pernah Rhein lihat sebelumnya
muncul dari balik pintu.
“Nifa?
Kuharap kau datang dengan berita bagus?” seru Rivaille tampak sebal, ia menutup
buku yang dipegangnya.
“Oh..
maaf kalau aku mengganggu kalian, tapi kami membutuhkanmu didapur Rivaille.
Sekarang!” setelah menyampaikan informasi singkat itu Nifa langsung beranjak
pergi meninggalkan keduanya.
Rivaille
menghela napas panjang, membuat Rhein melempar pandangan kaget padanya karena
suara helaan itu terdengar sangat putus asa. “Ayo..” ajak Rivaille sembari
meletakkan buku yang dipegangnya diatas meja
“Apa
maksudmu ‘Ayo’? Apa aku boleh ikut rapat?” tanya Rhein sembari mengikuti
langkah Rivaille keluar dari dalam kantor, pria itu menggandeng tangannya
sebentar sebelum akhirnya melepas gandengannya.
“Mh,
karena kau sangat bodoh.. akan lebih baik kalau kau mengetahui rencana kami.
Setidaknya kau bisa memikirkan jalan terbaik untuk dirimu sendiri agar kau
tidak tewas lebih cepat, karena kita belum sempat melakukan permainan menarik
lainnya,”
“Permainan
apa?”
“Hmm,
kau pura-pura tidak mengerti atau memang bodoh, kadet?”
Rhein
hanya diam mendengarkan. Matanya terus mengawasi sosok Rivaille.
“Aku
akan memberitahumu secara detail tentang permainan itu saat kita punya waktu
luang lebih banyak,” jawab Rivaille dengan senyuman licik di wajahnya.
“Kurasa
itu bukan ide yang bagus,”
“Mh,
sayang sekali.. karena sepertinya permainan itu akan menyenangkan,”
*
* *
Di dapur telah ada Margo dan Suzanne
dengan tim masing-masing, Hanji, Nifa, Eren, Mikasa, Jean, Armin dan beberapa
orang kadet lainnya telah ikut berkumpul didalam ruangan dan duduk dikursi yang
telah disediakan. Rivaille dan Rhein memasuki dapur, hampir semua mata menyambut
kedatangan mereka berdua. Rivaille segera duduk disalah satu kursi meja makan
yang sengaja disiapkan untuknya. Rhein berdiri didekat Sasha yang sedang
bersandar pada dinding. Gadis itu langsung sibuk menanyakan keadaan lengannya.
Rhein menebarkan pandangannya dan
mengamati seluruh wajah baru yang ada dalam ruangan, mencoba mengingatnya satu
persatu. Tatapannya terhenti pada seseorang yang berdiri dekat lemari suplai
dengan tangan terlipat didada ia kini sedang mengamatinya dengan wajah serius penuh
keterkejutan dan ia terus mendelik menatap Rhein. Pria itu Karl.
“Apa
yang kau lakukan disini?” bisik Karl tanpa suara.
Rhein
membaca gerakan bibirnya lalu menggelengkan kepalanya pelan. Pria itu
menatapnya penuh frustasi dan ia tak memperdulikannya. Disisi lain ia bisa
melihat sosok lain yang juga dikenalnya ada Joan, Mariette dan... Reiz?
Kedua
gadis itu tersenyum padanya dan ia membalas senyuman itu, melihat keempat orang
ini sehat membuatnya merasa lebih baik.
“Jadi berita apa yang kau punya Nifa..”
suara Rivaille memecah keheningan.
“Ini pesan dari Irvin, kita semua tahu
untuk sementara ini masalah dari luar benteng berhasil diatasi.. ia telah melakukan
pertemuan dengan komandan Pixis dan sampai pada kesimpulan bahwa adanya
pengkhianatan dan monarki dalam pemerintahan dan dalam keluarga kerajaan, secara
pribadi ia meminta Pixis untuk membantu scout legiun melakukan pemberontakan
terhadap keluarga raja. Namun Pixis sampai pada satu kesimpulan bahwa dia tak
akan bergabung dan membantu scout legiun.. dibagian ini kita menemukan
kebuntuan dan Irvin memutuskan bahwa kita harus bergerak sendiri,”
Rhein merasa tubuhnya seolah membeku
mendengar penuturan Nifa. Sebenarnya ia telah mengetahui struktur busuk seperti
apa yang berjalan dalam kerajaan dan pemerintahan, daripada melawan Titan
diluar ia telah menempuh jalan panjang untuk meneliti ruang lingkup kerajaan
melalui penyamarannya yang sempurna. Ia bahkan sudah bisa menyimpulkan
informasi lebih lengkap dan bisa mengambil kesimpulan dari semua jalinan yang
terkait diantara semua masalah yang terjadi dalam dinding Rose. Mendengar Pixis
menolak untuk membantu scout legiun menjadi satu pukulan telak dihatinya,
sebenarnya apa yang kakek tua itu pikirkan.
Scout legiun kembali berada dalam
kondisi bahaya, para koruptor itu kembali melancarkan usaha mereka demi
kepentingan masing-masing. Ia masih tak mengerti kenapa semua orang harus
saling membunuh untuk mencapai keinginan mereka, sebenarnya ‘siapa?’ yang sedang
umat manusia lawan saat ini?
Membayangkan bahwa Rivaille akan
kembali terpuruk lebih dalam jika misi ini terus berlanjut membuat Rhein merasa
dadanya semakin sakit. Rivaille memang tidak pernah menunjukkan perasaannya,
tapi dari sorot mata itu ia tahu bahwa Rivaille tidak pernah ingin membunuh
siapapun.. mengotori tangannya dengan darah manusia adalah pantangan, tapi pria
itu tak punya pilihan dia harus melakukan apa yang bisa dilakukan untuk
mencapai tujuan utama dari scout legiun. Bahkan jika ia harus terus menerus mengotori
tangannya dengan darah dan kehilangan teman-temannya, berada di neraka mungkin
pilihan lebih baik daripada harus menyaksikan kondisi saat ini.
Rhein memutuskan untuk pergi
meninggalkan rapat itu, percuma untuk mendengarnya. Ia memiliki jalan yang
berbeda dengan scout legiun, tempat ini hanyalah persembunyian sementaranya.
Masih ada banyak hal yang harus ia lakukan sebelum kondisi semakin memburuk,
tapi.. membayangkan kemungkinan bahwa waktu yang ia miliki bersama tim barunya semakin
berkurang ia merasa bersalah ia tak bisa begitu saja membiarkan tim ini hancur.
Akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa
dalam waktu dekat scout legiun akan terancam hilang. Yah, tentu saja saat ini
para pasukan telah mengetahuinya.. yang bisa ia lakukan saat ini hanya bergerak
menurut intuisinya dan membiarkan Rivaille dan tim-nya bekerja sendiri sesuai
rencana mereka.
“Hei, apa yang kau lakukan disini?”
sapa sebuah suara. Rhein melempar batu kecil yang dipegangnya kedalam kolam
kecil yang ada ditaman lalu menoleh kearah suara itu. “Kenapa pergi
meninggalkan rapat begitu saja, apa kau tidak ingin tahu kondisi terbaru dari
scout legiun,”
“Karl, kenapa kau menyusulku?”
“Rapatnya sudah berakhir,”
”Oh..” Rhein menghela napas panjang ia
menatap Karl dan tersenyum, melihatnya membuat wajah Karl kembali merona merah.
Entah kenapa dia menyukai gadis ini namun bukannya bersikap lembut ia justru
sering berbicara kasar padanya.
“Hari itu..” ada jeda dalam kata-kata
Karl ia melihat Rhein kembali melempari air dalam kolam dengan batu-batu kecil.
“Terima kasih sudah membantu kami..”
“Tck, kau tidak perlu berterima kasih,
sudah seharusnya kita saling bantu,” jawab Rhein cuek.
“Sampai saat ini aku belum tahu
namamu..”
“Kau boleh memanggilku Rhein,”
“Oh, Rhein.. Aku tak menyangka kau
berada dibawah resimen kapten Rivaille.. maaf karena sebelumnya sudah
mencurigaimu,”
“Jangan meminta maaf Karl, ayolah..
aku lebih lega mendengarmu memakiku daripada bersikap seperti ini,” seru Rhein
tersenyum maklum.
“Bagaimana mungkin aku bisa
memakimu..” balas Karl dengan nada suara meninggi namun ia tidak melanjutkan
kata-katanya saat Rhein menatapnya, wajahnya kembali memerah namun Rhein langsung
berdiri dari duduknya. “Ada apa?” tanya Karl bingung.
Pandangan Rhein beralih pada sosok
yang baru saja keluar dari kereta kuda yang ada didekat gerbang kastil. “Maaf
Karl, aku permisi sebentar..” serunya sembari berjalan pergi meninggalkan Karl
yang masih mengamati gerak-geriknya.
Joan berjalan mendekati Karl dan menepuk
punggungnya. “Sebaiknya menyerah saja Karl, tampaknya dia sudah memiliki
kekasih.. kau lihat pria tinggi besar dan tampan itu?” seru Joan.
“Diam kau, aku hanya ingin mengucapkan
terima kasih padanya itu saja!”
“Hmm, alasan yang bagus Karl.. tapi bisakah
kau berhenti menatapnya dengan wajah merona merah seperti itu. Aku kasihan
melihatmu,”
“Tutup mulutmu, Joan,” gerutu Karl, ia
berjalan meninggalkan Joan namun matanya masih melirik dua sosok yang tampak
serasi itu. Ia merasa cemburu pada pria tinggi besar yang berhasil mencuri
perhatian Rhein.
Disudut lain kastil terlihat Rivaille
sedang bersandar pada tembok dengan tangan terlipat didada kini sosoknya
tertutup oleh tanaman besar yang ada didekatnya. Ia bisa mendengar percakapan
Karl dan Joan barusan juga bisa melihat dengan jelas gerak-gerik Rhein. Pria
berpakaian mewah yang baru saja turun dari kereta kuda itu adalah Luke, pria
yang ia temui ketika datang kepesta kerajaan beberapa minggu yang lalu. Entah
apa yang menyebabkan Luke berani muncul didekat kastil pasti bukan sesuatu yang
bagus untuk Rhein.
Dahinya semakin berkerut saat melihat Luke
meraih tangan kanan Rhein dan mencium punggung tangan gadis itu, lalu tak lama
Luke melihat luka dilengan Rhein dan ia meletakkan tangannya dibahu gadis itu.
Ia tak suka melihat ekspresi khawatir yang muncul diwajah Luke. Dengan tubuh
tinggi besar yang dimilikinya, ia tahu postur tubuh Luke sangat bagus untuk
melindungi tubuh mungil Rhein hal itu sedikit mengintimidasinya. Keduanya
berjalan perlahan keluar dari gerbang kastil namun mata Rivaille masih terus
mengawasi keduanya.
“Kenapa kau muncul disini? Hentikan
kebiasaanmu mencium tanganku, Luke,”
“Hmm, sudah berapa lama aku tidak
melihatmu jadi refleks aku melakukannya, lagipula aku tak bisa bersikap kasar
didepan seorang lady,”
“Kau tidak boleh membiasakannya ketika
berada disini,”
“Mh, kau selalu melarangku melakukan
ini dan itu, tidak boleh mabuk-mabukan, tidak boleh merokok, tidak boleh
memelukmu..”
“Aku lebih tua darimu sudah sewajarnya
aku memberitahumu mana yang tidak baik untuk tubuhmu,”
“Tck, alasan itu lagi.. padahal umur
kita cuma beda dua tahun, tak bisakah kau bersikap lembut padaku?”
“Tidak..” tolak Rhein, ia sangat tahu
Luke sangat manja padanya dan ia telah bekerja keras untuk membuat lelaki itu
mengerti dan menghentikan kebiasaannya. “Hei, bagaimana kabar Collins? Kenapa
dia tidak bersamamu?”
“Ah, ada hal yang harus ia lakukan
dalam resimennya.. ia memintaku mengantar sample yang kau minta, aku
meninggalkannya di kereta,”
“Luke, kita harus segera kembali.. aku
harus segera memeriksa sample itu,” ajak Rhein ia menarik lengan Luke dan
menyeret pria itu agar mengikutinya.
“Aku juga mendapatkan yang kau minta,”
seru Luke, kata-katanya membuat Rhein menghentikan langkahnya dan menatap Luke
dengan mata berbinar-binar. “Tapi aku tak bisa mendapat rincian pastinya, ini
hanya garis besarnya saja.. tapi aku yakin dengan kemampuanmu kau bisa menarik
beberapa kesimpulan setelah meneliti ini,” serunya sembari menyodorkan sebuah
paket yang terbungkus rapi.
“Terima kasih, Luke..” balas Rhein, ia
menerima paket yang lumayan berat itu dan memeluknya didadanya. Keduanya
kembali berjalan menuju kastil.
“Rhein..”
“Ya?”
“Kalau saatnya tiba, apa kau mau
mengajakku bersamamu?”
“Tentu saja, setelah membaca ini aku
akan memberitahumu dan kita akan bergerak bersama,”
“Hhh.. kau sudah sering kali
mengatakan hal yang sama, kali ini aku sangat serius.. jangan bergerak
sendirian lagi, kau lihat luka ini?” Luke menunjuk perban dilengan Rhein. “Kau
tidak seharusnya menerima ini, semua ini terjadi karena kakek tua sialan itu,”
“Jangan menghinanya Luke, bagaimanapun
juga aku sangat berterima kasih padanya karena memberiku kesempatan ini..”
Rhein tersenyum sembari menatap langkahnya ditanah. “Lagipula dia ayahku, apa
kau lupa? Beraninya kau menghinanya didepanku!” pekik Rhein tiba-tiba dan ia
memukulkan paket yang ada ditangannya ke lengan Luke membuat pria itu tertawa dan
membiarkan gadis itu memukulinya.
Adegan itu terhenti ketika mereka
berdua melihat tim Margo dan Suzzane akan beranjak meninggalkan kastil
Rivaille. Keduanya memberikan salute pada kedua tim yang pergi itu, Rhein
melihat kelompok Karl dan ia melambaikan tangannya pada teman-teman barunya
lalu beranjak mendekati kereta kuda milik Luke.
Ia memeriksa isi dalam kereta dan
mendapatkan sebuah kotak kayu berukuran lumayan besar berisi tumpukan barang. “Banyak
sekali sample-nya?”
“Bukankah kau sendiri yang menyuruh
Collins mengambil satu jenis sample dari tiap barang yang berbeda? Semua ini
adalah hasilnya..”
“Tapi tak kusangka akan sebanyak ini,
hah.. apa sebaiknya kubuang sebagian saja,”
“Sudah jangan mengeluh, tanpa mengeluh
saja semua ini sudah jadi masalah besar, kau hanya akan membuat dirimu semakin
kesulitan jika membuang barang-barang ini,”
“Mengeluh juga salah satu bagian dari
proses kadet, itu adalah hal yang lumrah dan merupakan salah satu penyaluran
emosi yang cukup baik,” suara dalam dan menekan milik Rivaille membuat keduanya
menoleh.
Luke memasang wajah seriusnya dan
menatap Rivaille penuh rasa dendam. Ia kembali teringat adegan memuakkan ketika
kapten cebol itu mencium Rhein diteras kerajaan dan tak bisa membayangkan lebih
dari itu mengingat kini Rhein tinggal satu atap dengan si cebol ini.
“Oh, halo kapten,” seru Luke mencoba
bersikap biasa tapi gagal ia terlalu jelas memperlihatkan kebenciannya.
“Apa yang ada ditanganmu kadet?” tanya
Rivaille pada Rhein dan mengacuhkan Luke.
“Ah, kau bisa sedikit membantuku
Kapten.. bukankah kau seorang “Humanity Strongest”? aku yakin kau tak akan
keberatan membantuku membawa ini keruanganku,” pinta Rhein sembari meletakkan
kotak kayu besar itu ditangan Rivaille, lelaki itu mengerutkan dahinya namun tidak
mengubah ekspresinya sedikitpun ketika diperlakukan seperti ini.
Luke menyentuh bahu Rhein dan langsung
memperingatkannya. “Kau tidak boleh bersikap begitu padanya, lagipula kau tidak
boleh membiarkan sembarang orang masuk keruanganmu kan?” serunya tak sabar.
“Maaf Kapten, dia memang gadis yang manja biar aku yang membawakan kotak itu,”
Rivaille menjauhkan kotak yang ada
ditangannya dari jangkauan Luke, membuat pria itu sebal. “Tak apa Luke, Kapten
tidak pernah masuk seenaknya kedalam ruanganku. Kau tak perlu khawatir,” seru
Rhein.
“Tapi..”
“Kau dengar sendiri apa yang dia
bilang, kadet? Aku hanya membantunya membawakan kotak ini,”
“Rheiinnn!!” terdengar suara Hanji
memanggil dari arah kastil, Rhein menatap wanita itu yang kini telah
melambaikan tangan memanggilnya agar segera mendekat. Ia segera berlari
meninggalkan dua pria yang masih saling menatap itu.
“Sudah saatnya kau kembali ke
sarangmu,” seru Rivaille berbalik membelakangi Luke.
“Kapten..” suara Luke yang pelan
membuat langkah Rivaille terhenti dan ia kembali berbalik menatap Luke.
Menunggu. “Aku tau tak sepantasnya meminta ini.. tapi bisakah kau menjaganya
agar tidak bertindak ceroboh? Dia terlalu mementingkan orang lain diatas
kepentingannya sendiri dan hal itu sering membuatnya terjebak dalam masalah,
anda lihat luka ditangannya? Dia selalu mendapat luka seperti itu karena dia
selalu bergerak mengikuti intuisinya sendiri..”
“Aku yakin dia punya cara sendiri
untuk mengatasi masalahnya. Kau tak perlu mengkhawatirkan kucing pencuri itu,
dia akan baik-baik saja..” seru Rivaille kembali berbalik dan beranjak pergi.
“Anda tidak mengenalnya Kapten..”
“Aku memang sudah tidak mengenalnya
lagi.. tapi dia masih orang yang sama,”
*
* *
0 comments:
Post a Comment