Wednesday, 12 August 2015

Shingeki No Kyojin : Chapter 10 [Bunga Liar / Wild Flower]

BY Unknown IN No comments



Shingeki No Kyojin Special : Levi’s  Romantic Love Story
“Wild Flower”

Cast     : Levi Ackerman x Rhein Forester
Genre  : Romance, Action, Mature
            

Chapter 10
Strategy

          Pagi itu Rhein telah berada didalam ruangan Rivaille, kembali menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda. Pintu terbuka dan Rivaille muncul dari balik pintu dan menatapnya diam. “Ada apa?” tanya Rhein. Dadanya bergemuruh tak karuan ketika melihat sosok dingin itu sedang mengamatinya dari balik pintu.

          Rivaille hanya diam menatapnya. Keheningan menyelimuti mereka sebelum akhirnya Rivaille masuk kedalam ruangan dan duduk di sofanya dengan santai. Rhein memutuskan untuk tidak memperdulikan sikap Rivaille yang tiba-tiba saja menjadi aneh apalagi sejak pernyataan Rivaille kemarin.

          “Harusnya kau menyelesaikan semua itu kemarin, kucing pencuri,” celetuk Rivaille dengan intonasi suara yang menekan.

          “Hmm.. kemarin aku terlalu sibuk mengatasi sesuatu yang penting.. lagipula aku cuma manusia biasa sehebat apapun manusia jika kau memintanya menulis sebanyak ini hanya dalam sehari mungkin kau bisa membuatnya terbunuh,” balas Rhein.

“Apakah hal itu lebih penting dari pekerjaanmu sebagai mata-mata?” tanya Rivaille sembari melirik Rhein yang masih terus menulis.

Rhein terlihat sedang berpikir keras sebelum memberikan jawaban. “Hmm, ya.. tentu saja itu lebih penting,” jawabnya, membuat Rivaille menyunggingkan senyuman tipis diwajahnya. Pertanyaan Rivaille barusan membuat Rhein teringat pada Seprai yang telah dirobeknya, hal itulah yang lebih penting dari pekerjaannya sebagai mata-mata. Bagaimana pun kerapian dan kebersihan adalah prioritas utama Rivaille saat berada di kastil dan ia agak takut mendapat hukuman yang lebih parah lagi. Namun sepertinya Rivaille justru membayangkan hal lain.

Rivaille beranjak mendekati meja dan duduk disalah satu sisinya. Berada sedekat itu dengan Rivaille membuat Rhein merasa gugup hingga ia merasa jantungnya berdegup kencang tak karuan. Rivaille menyentuh lengan Rhein yang terluka, sentuhannya membuat gadis itu berjengit dan menjauhkan lengannya namun ia sama sekali tidak mengeluarkan ringis kesakitan. Rivaille mengurungkan niatnya untuk melihat luka itu lebih jauh lagi.

“Kau sudah mengganti perbannya?”

“Hmm, yaa.. Hanji membantuku mengganti perbannya..”

“Tck..”

“Kenapa?”

“Aku bisa melakukannya untukmu..”

“Mh, terima kasih.. mungkin kau bisa melakukannya lain kali, Rivaille.. sekarang menyingkirlah dari meja karena aku harus menyelesaikan tugas ini secepat mungkin,”

“Tck..” decaknya lagi.

Decakan Rivaille membuat Rhein mendongak untuk menatap wajah yang sedang balik menatapnya itu. “Kenapa?” tanyanya lagi.

“Kau tidak perlu terburu-buru menyelesaikannya, kau boleh menunda pekerjaan ini,”

Rhein tersenyum tipis. “Tak masalah, aku bisa melakukannya Rivaille.. aku hanya butuh beberapa jam saja untuk menyelesaikannya..”

Rivaille beranjak dari meja dan duduk kembali di sofanya. “Tck, dasar keras kepala..”

Rhein terus menyelesaikan tugasnya dan mengacuhkan kehadiran Rivaille. Pria itu juga tidak mengatakan apa-apa lagi setelah mendecakkan bibirnya, ia terdiam sembari memperhatikan Rhein yang fokus pada tugasnya.

          Seseorang mengetuk pintu ruangan dan membukanya, Eren muncul dari balik pintu. Ia langsung menyapa Rivaille.

          “Heichou.. aku akan membersihkan ruangan ini..” serunya memberitahu, sejenak pandangannya teralih pada Rhein yang masih sibuk menulis. Tanpa disadarinya dahinya berkerut, karena merasa sedang diperhatikan Rhein melempar pandangannya pada Eren lalu tersenyum.

          “Hai..” sapa Rhein sembari tersenyum ramah, ini adalah pertemuan pertama mereka.

          “Oh, hai..” jawab Eren dengan wajah kebingungan.

          “Tidak perlu membersihkan tempat ini Eren, kau bersihkan saja kamar dilantai dua.. aku akan mengeceknya nanti,”

          “A-ah.. baiklah, tapi ada satu kamar yang terkunci rapat dan aku tak bisa membukanya”

Rivaille melirikkan matanya kearah Rhein namun gadis itu tak bereaksi. “Lupakan saja kamar itu dan bersihkan yang lain,”

“Baik, Heichou..” Eren pun pergi meninggalkan mereka berdua didalam ruangan.

Rivaille kembali memperhatikan Rhein yang masih tidak memperdulikannya dan telah kembali sibuk menulis dan merangkum data. Rivaille bangkit dari sofa dan keluar dari ruangan. Dua jam berlalu dalam keheningan hingga akhirnya Rhein menggeliat lelah, akhirnya ia menyelesaikan tugasnya. Segera ia kumpulkan lagi semua kertas yang telah ditumpuknya dilantai, merapikannya lalu mengikatnya lagi dan menaruhnya kembali disudut ruangan.

Pintu kembali terbuka dan Rivaille muncul sambil membawa secangkir teh ditangannya. “Kau sudah selesai?” tanyanya.

          “Ya, ini dia..” Ia mengambil buku besar yang sudah diselesaikannya dan menyodorkan buku itu kepada Rivaille. “Silakan kau periksa,” serunya.

Rivaille mengambil buku dari tangan Rhein dan menyodorkan cangkir tehnya pada gadis itu sementara ia memeriksa isi buku. Rhein berdiri disamping Rivaille ikut memeriksa buku yang telah ditulisnya dengan perasaan bangga sambil terus memegang cangkir teh, perlahan Rivaille mengalihkan pandangannya dari buku kepada Rhein. “Apa kau akan membiarkan teh itu hingga dingin dan tidak meminumnya?”

“Eh..? Ini untukku?” tanya Rhein dengan wajah bodoh.

“Idiot, cepat habiskan teh itu sebelum kau membuatku kesal dan jangan berdiri terlalu dekat denganku,”

Rhein memutar matanya sebal sambil meletakkan cangkir itu dibibirnya dan meminum isinya perlahan. “Ya, ya, ya, kau tidak perlu mengomeliku begitu karena aku akan langsung menghabiskan isinya, setidaknya beritahu aku kalau kau memberikan teh ini padaku jadi aku tidak bingung,” gerutunya. Rivaille melirikkan matanya kearah Rhein dan tersenyum tipis. Ia meletakkan tangannya di atas kepala Rhein dan mengelusnya perlahan dan kembali melanjutkan membaca buku, sikapnya membuat Rhein merasa malu hingga jantungnya kembali berdetak cepat dan wajahnya kembali merona merah.

“Akhir-akhir ini wajahmu sering berubah warna jadi semerah tomat,” celetuk Rivaille, matanya masih menatap buku.

“Hmm, kurasa kau tau siapa yang menyebabkannya..” balas Rhein.

Rivaille mengerutkan dahinya dan menatap Rhein. “Oh.. siapa orang itu?” pancingnya.

Rhein balas menatap Rivaille dan langsung tersenyum, ia tak bisa menahan tawanya lagi. “Lupakan saja karena aku tak akan memberitahumu, sebaiknya kau periksa buku itu.. aku akan membantu yang lain bersih-bersih,” seru Rhein sembari beranjak pergi menuju pintu dengan cangkir ditangannya.

“Hei..” Rivaille menarik tangan Rhein dan mencegahnya pergi. Suara Rivaille kembali tertahan ketika pintu ruangannya diketuk dan terbuka. Dengan cepat Rhein menepis tangan Rivaille. Seorang gadis mungil yang tak pernah Rhein lihat sebelumnya muncul dari balik pintu.

“Nifa? Kuharap kau datang dengan berita bagus?” seru Rivaille tampak sebal, ia menutup buku yang dipegangnya.

“Oh.. maaf kalau aku mengganggu kalian, tapi kami membutuhkanmu didapur Rivaille. Sekarang!” setelah menyampaikan informasi singkat itu Nifa langsung beranjak pergi meninggalkan keduanya.

Rivaille menghela napas panjang, membuat Rhein melempar pandangan kaget padanya karena suara helaan itu terdengar sangat putus asa. “Ayo..” ajak Rivaille sembari meletakkan buku yang dipegangnya diatas meja

“Apa maksudmu ‘Ayo’? Apa aku boleh ikut rapat?” tanya Rhein sembari mengikuti langkah Rivaille keluar dari dalam kantor, pria itu menggandeng tangannya sebentar sebelum akhirnya melepas gandengannya.

“Mh, karena kau sangat bodoh.. akan lebih baik kalau kau mengetahui rencana kami. Setidaknya kau bisa memikirkan jalan terbaik untuk dirimu sendiri agar kau tidak tewas lebih cepat, karena kita belum sempat melakukan permainan menarik lainnya,”

“Permainan apa?”

“Hmm, kau pura-pura tidak mengerti atau memang bodoh, kadet?”

Rhein hanya diam mendengarkan. Matanya terus mengawasi sosok Rivaille.

“Aku akan memberitahumu secara detail tentang permainan itu saat kita punya waktu luang lebih banyak,” jawab Rivaille dengan senyuman licik di wajahnya.

“Kurasa itu bukan ide yang bagus,”

“Mh, sayang sekali.. karena sepertinya permainan itu akan menyenangkan,”

* * *

          Di dapur telah ada Margo dan Suzanne dengan tim masing-masing, Hanji, Nifa, Eren, Mikasa, Jean, Armin dan beberapa orang kadet lainnya telah ikut berkumpul didalam ruangan dan duduk dikursi yang telah disediakan. Rivaille dan Rhein memasuki dapur, hampir semua mata menyambut kedatangan mereka berdua. Rivaille segera duduk disalah satu kursi meja makan yang sengaja disiapkan untuknya. Rhein berdiri didekat Sasha yang sedang bersandar pada dinding. Gadis itu langsung sibuk menanyakan keadaan lengannya.

          Rhein menebarkan pandangannya dan mengamati seluruh wajah baru yang ada dalam ruangan, mencoba mengingatnya satu persatu. Tatapannya terhenti pada seseorang yang berdiri dekat lemari suplai dengan tangan terlipat didada ia kini sedang mengamatinya dengan wajah serius penuh keterkejutan dan ia terus mendelik menatap Rhein. Pria itu Karl.

          “Apa yang kau lakukan disini?” bisik Karl tanpa suara.

Rhein membaca gerakan bibirnya lalu menggelengkan kepalanya pelan. Pria itu menatapnya penuh frustasi dan ia tak memperdulikannya. Disisi lain ia bisa melihat sosok lain yang juga dikenalnya ada Joan, Mariette dan... Reiz?

Kedua gadis itu tersenyum padanya dan ia membalas senyuman itu, melihat keempat orang ini sehat membuatnya merasa lebih baik.

          “Jadi berita apa yang kau punya Nifa..” suara Rivaille memecah keheningan.

          “Ini pesan dari Irvin, kita semua tahu untuk sementara ini masalah dari luar benteng berhasil diatasi.. ia telah melakukan pertemuan dengan komandan Pixis dan sampai pada kesimpulan bahwa adanya pengkhianatan dan monarki dalam pemerintahan dan dalam keluarga kerajaan, secara pribadi ia meminta Pixis untuk membantu scout legiun melakukan pemberontakan terhadap keluarga raja. Namun Pixis sampai pada satu kesimpulan bahwa dia tak akan bergabung dan membantu scout legiun.. dibagian ini kita menemukan kebuntuan dan Irvin memutuskan bahwa kita harus bergerak sendiri,”

          Rhein merasa tubuhnya seolah membeku mendengar penuturan Nifa. Sebenarnya ia telah mengetahui struktur busuk seperti apa yang berjalan dalam kerajaan dan pemerintahan, daripada melawan Titan diluar ia telah menempuh jalan panjang untuk meneliti ruang lingkup kerajaan melalui penyamarannya yang sempurna. Ia bahkan sudah bisa menyimpulkan informasi lebih lengkap dan bisa mengambil kesimpulan dari semua jalinan yang terkait diantara semua masalah yang terjadi dalam dinding Rose. Mendengar Pixis menolak untuk membantu scout legiun menjadi satu pukulan telak dihatinya, sebenarnya apa yang kakek tua itu pikirkan.

          Scout legiun kembali berada dalam kondisi bahaya, para koruptor itu kembali melancarkan usaha mereka demi kepentingan masing-masing. Ia masih tak mengerti kenapa semua orang harus saling membunuh untuk mencapai keinginan mereka, sebenarnya ‘siapa?’ yang sedang umat manusia lawan saat ini?

          Membayangkan bahwa Rivaille akan kembali terpuruk lebih dalam jika misi ini terus berlanjut membuat Rhein merasa dadanya semakin sakit. Rivaille memang tidak pernah menunjukkan perasaannya, tapi dari sorot mata itu ia tahu bahwa Rivaille tidak pernah ingin membunuh siapapun.. mengotori tangannya dengan darah manusia adalah pantangan, tapi pria itu tak punya pilihan dia harus melakukan apa yang bisa dilakukan untuk mencapai tujuan utama dari scout legiun. Bahkan jika ia harus terus menerus mengotori tangannya dengan darah dan kehilangan teman-temannya, berada di neraka mungkin pilihan lebih baik daripada harus menyaksikan kondisi saat ini.

          Rhein memutuskan untuk pergi meninggalkan rapat itu, percuma untuk mendengarnya. Ia memiliki jalan yang berbeda dengan scout legiun, tempat ini hanyalah persembunyian sementaranya. Masih ada banyak hal yang harus ia lakukan sebelum kondisi semakin memburuk, tapi.. membayangkan kemungkinan bahwa waktu yang ia miliki bersama tim barunya semakin berkurang ia merasa bersalah ia tak bisa begitu saja membiarkan tim ini hancur.

          Akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa dalam waktu dekat scout legiun akan terancam hilang. Yah, tentu saja saat ini para pasukan telah mengetahuinya.. yang bisa ia lakukan saat ini hanya bergerak menurut intuisinya dan membiarkan Rivaille dan tim-nya bekerja sendiri sesuai rencana mereka.

          “Hei, apa yang kau lakukan disini?” sapa sebuah suara. Rhein melempar batu kecil yang dipegangnya kedalam kolam kecil yang ada ditaman lalu menoleh kearah suara itu. “Kenapa pergi meninggalkan rapat begitu saja, apa kau tidak ingin tahu kondisi terbaru dari scout legiun,”

          “Karl, kenapa kau menyusulku?”

          “Rapatnya sudah berakhir,”

          ”Oh..” Rhein menghela napas panjang ia menatap Karl dan tersenyum, melihatnya membuat wajah Karl kembali merona merah. Entah kenapa dia menyukai gadis ini namun bukannya bersikap lembut ia justru sering berbicara kasar padanya.

          “Hari itu..” ada jeda dalam kata-kata Karl ia melihat Rhein kembali melempari air dalam kolam dengan batu-batu kecil. “Terima kasih sudah membantu kami..”

          “Tck, kau tidak perlu berterima kasih, sudah seharusnya kita saling bantu,” jawab Rhein cuek.

          “Sampai saat ini aku belum tahu namamu..”

          “Kau boleh memanggilku Rhein,”

          “Oh, Rhein.. Aku tak menyangka kau berada dibawah resimen kapten Rivaille.. maaf karena sebelumnya sudah mencurigaimu,”

          “Jangan meminta maaf Karl, ayolah.. aku lebih lega mendengarmu memakiku daripada bersikap seperti ini,” seru Rhein tersenyum maklum.

          “Bagaimana mungkin aku bisa memakimu..” balas Karl dengan nada suara meninggi namun ia tidak melanjutkan kata-katanya saat Rhein menatapnya, wajahnya kembali memerah namun Rhein langsung berdiri dari duduknya. “Ada apa?” tanya Karl bingung.

          Pandangan Rhein beralih pada sosok yang baru saja keluar dari kereta kuda yang ada didekat gerbang kastil. “Maaf Karl, aku permisi sebentar..” serunya sembari berjalan pergi meninggalkan Karl yang masih mengamati gerak-geriknya.

          Joan berjalan mendekati Karl dan menepuk punggungnya. “Sebaiknya menyerah saja Karl, tampaknya dia sudah memiliki kekasih.. kau lihat pria tinggi besar dan tampan itu?” seru Joan.

          “Diam kau, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih padanya itu saja!”

          “Hmm, alasan yang bagus Karl.. tapi bisakah kau berhenti menatapnya dengan wajah merona merah seperti itu. Aku kasihan melihatmu,”

          “Tutup mulutmu, Joan,” gerutu Karl, ia berjalan meninggalkan Joan namun matanya masih melirik dua sosok yang tampak serasi itu. Ia merasa cemburu pada pria tinggi besar yang berhasil mencuri perhatian Rhein.

          Disudut lain kastil terlihat Rivaille sedang bersandar pada tembok dengan tangan terlipat didada kini sosoknya tertutup oleh tanaman besar yang ada didekatnya. Ia bisa mendengar percakapan Karl dan Joan barusan juga bisa melihat dengan jelas gerak-gerik Rhein. Pria berpakaian mewah yang baru saja turun dari kereta kuda itu adalah Luke, pria yang ia temui ketika datang kepesta kerajaan beberapa minggu yang lalu. Entah apa yang menyebabkan Luke berani muncul didekat kastil pasti bukan sesuatu yang bagus untuk Rhein.

          Dahinya semakin berkerut saat melihat Luke meraih tangan kanan Rhein dan mencium punggung tangan gadis itu, lalu tak lama Luke melihat luka dilengan Rhein dan ia meletakkan tangannya dibahu gadis itu. Ia tak suka melihat ekspresi khawatir yang muncul diwajah Luke. Dengan tubuh tinggi besar yang dimilikinya, ia tahu postur tubuh Luke sangat bagus untuk melindungi tubuh mungil Rhein hal itu sedikit mengintimidasinya. Keduanya berjalan perlahan keluar dari gerbang kastil namun mata Rivaille masih terus mengawasi keduanya.

          “Kenapa kau muncul disini? Hentikan kebiasaanmu mencium tanganku, Luke,”

          “Hmm, sudah berapa lama aku tidak melihatmu jadi refleks aku melakukannya, lagipula aku tak bisa bersikap kasar didepan seorang lady,”

          “Kau tidak boleh membiasakannya ketika berada disini,”

          “Mh, kau selalu melarangku melakukan ini dan itu, tidak boleh mabuk-mabukan, tidak boleh merokok, tidak boleh memelukmu..”

          “Aku lebih tua darimu sudah sewajarnya aku memberitahumu mana yang tidak baik untuk tubuhmu,”

          “Tck, alasan itu lagi.. padahal umur kita cuma beda dua tahun, tak bisakah kau bersikap lembut padaku?”

          “Tidak..” tolak Rhein, ia sangat tahu Luke sangat manja padanya dan ia telah bekerja keras untuk membuat lelaki itu mengerti dan menghentikan kebiasaannya. “Hei, bagaimana kabar Collins? Kenapa dia tidak bersamamu?”

          “Ah, ada hal yang harus ia lakukan dalam resimennya.. ia memintaku mengantar sample yang kau minta, aku meninggalkannya di kereta,”

          “Luke, kita harus segera kembali.. aku harus segera memeriksa sample itu,” ajak Rhein ia menarik lengan Luke dan menyeret pria itu agar mengikutinya.

          “Aku juga mendapatkan yang kau minta,” seru Luke, kata-katanya membuat Rhein menghentikan langkahnya dan menatap Luke dengan mata berbinar-binar. “Tapi aku tak bisa mendapat rincian pastinya, ini hanya garis besarnya saja.. tapi aku yakin dengan kemampuanmu kau bisa menarik beberapa kesimpulan setelah meneliti ini,” serunya sembari menyodorkan sebuah paket yang terbungkus rapi.

          “Terima kasih, Luke..” balas Rhein, ia menerima paket yang lumayan berat itu dan memeluknya didadanya. Keduanya kembali berjalan menuju kastil.

          “Rhein..”

          “Ya?”

          “Kalau saatnya tiba, apa kau mau mengajakku bersamamu?”

          “Tentu saja, setelah membaca ini aku akan memberitahumu dan kita akan bergerak bersama,”

          “Hhh.. kau sudah sering kali mengatakan hal yang sama, kali ini aku sangat serius.. jangan bergerak sendirian lagi, kau lihat luka ini?” Luke menunjuk perban dilengan Rhein. “Kau tidak seharusnya menerima ini, semua ini terjadi karena kakek tua sialan itu,”

          “Jangan menghinanya Luke, bagaimanapun juga aku sangat berterima kasih padanya karena memberiku kesempatan ini..” Rhein tersenyum sembari menatap langkahnya ditanah. “Lagipula dia ayahku, apa kau lupa? Beraninya kau menghinanya didepanku!” pekik Rhein tiba-tiba dan ia memukulkan paket yang ada ditangannya ke lengan Luke membuat pria itu tertawa dan membiarkan gadis itu memukulinya.

          Adegan itu terhenti ketika mereka berdua melihat tim Margo dan Suzzane akan beranjak meninggalkan kastil Rivaille. Keduanya memberikan salute pada kedua tim yang pergi itu, Rhein melihat kelompok Karl dan ia melambaikan tangannya pada teman-teman barunya lalu beranjak mendekati kereta kuda milik Luke.

          Ia memeriksa isi dalam kereta dan mendapatkan sebuah kotak kayu berukuran lumayan besar berisi tumpukan barang. “Banyak sekali sample-nya?”

          “Bukankah kau sendiri yang menyuruh Collins mengambil satu jenis sample dari tiap barang yang berbeda? Semua ini adalah hasilnya..”

          “Tapi tak kusangka akan sebanyak ini, hah.. apa sebaiknya kubuang sebagian saja,”

          “Sudah jangan mengeluh, tanpa mengeluh saja semua ini sudah jadi masalah besar, kau hanya akan membuat dirimu semakin kesulitan jika membuang barang-barang ini,”

          “Mengeluh juga salah satu bagian dari proses kadet, itu adalah hal yang lumrah dan merupakan salah satu penyaluran emosi yang cukup baik,” suara dalam dan menekan milik Rivaille membuat keduanya menoleh.

          Luke memasang wajah seriusnya dan menatap Rivaille penuh rasa dendam. Ia kembali teringat adegan memuakkan ketika kapten cebol itu mencium Rhein diteras kerajaan dan tak bisa membayangkan lebih dari itu mengingat kini Rhein tinggal satu atap dengan si cebol ini.

          “Oh, halo kapten,” seru Luke mencoba bersikap biasa tapi gagal ia terlalu jelas memperlihatkan kebenciannya.

          “Apa yang ada ditanganmu kadet?” tanya Rivaille pada Rhein dan mengacuhkan Luke.

          “Ah, kau bisa sedikit membantuku Kapten.. bukankah kau seorang “Humanity Strongest”? aku yakin kau tak akan keberatan membantuku membawa ini keruanganku,” pinta Rhein sembari meletakkan kotak kayu besar itu ditangan Rivaille, lelaki itu mengerutkan dahinya namun tidak mengubah ekspresinya sedikitpun ketika diperlakukan seperti ini.

          Luke menyentuh bahu Rhein dan langsung memperingatkannya. “Kau tidak boleh bersikap begitu padanya, lagipula kau tidak boleh membiarkan sembarang orang masuk keruanganmu kan?” serunya tak sabar. “Maaf Kapten, dia memang gadis yang manja biar aku yang membawakan kotak itu,”

          Rivaille menjauhkan kotak yang ada ditangannya dari jangkauan Luke, membuat pria itu sebal. “Tak apa Luke, Kapten tidak pernah masuk seenaknya kedalam ruanganku. Kau tak perlu khawatir,” seru Rhein.

          “Tapi..”

          “Kau dengar sendiri apa yang dia bilang, kadet? Aku hanya membantunya membawakan kotak ini,”

          “Rheiinnn!!” terdengar suara Hanji memanggil dari arah kastil, Rhein menatap wanita itu yang kini telah melambaikan tangan memanggilnya agar segera mendekat. Ia segera berlari meninggalkan dua pria yang masih saling menatap itu.

          “Sudah saatnya kau kembali ke sarangmu,” seru Rivaille berbalik membelakangi Luke.

          “Kapten..” suara Luke yang pelan membuat langkah Rivaille terhenti dan ia kembali berbalik menatap Luke. Menunggu. “Aku tau tak sepantasnya meminta ini.. tapi bisakah kau menjaganya agar tidak bertindak ceroboh? Dia terlalu mementingkan orang lain diatas kepentingannya sendiri dan hal itu sering membuatnya terjebak dalam masalah, anda lihat luka ditangannya? Dia selalu mendapat luka seperti itu karena dia selalu bergerak mengikuti intuisinya sendiri..”

          “Aku yakin dia punya cara sendiri untuk mengatasi masalahnya. Kau tak perlu mengkhawatirkan kucing pencuri itu, dia akan baik-baik saja..” seru Rivaille kembali berbalik dan beranjak pergi.

          “Anda tidak mengenalnya Kapten..”

          “Aku memang sudah tidak mengenalnya lagi.. tapi dia masih orang yang sama,”


* * *

0 comments:

Post a Comment